BAB II
PEMBAHASAN
A.
Taklid
1.
Pengertian
Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli
bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang
digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya
dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan
kurban).Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.[1]
Taqlid artinya mengikut tanpa
alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima
suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan
tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima
cara tersebut disebut muqallid.[2]
2.
Hukum
– Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini
terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang
dilarang atau haram.[3]
a.
Taqlid
yang diperbolehkan atau mubah, yaitu
taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji
dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana
mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan
diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi
semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum
sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk
mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali
dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji
dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan
Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b.
Taqlid
yang dilarang atau haram, yaitu bagi
orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup
mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain
:
Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara
mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti
menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan
ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ
كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi
Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap
orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan
membabi tuli atau buta.Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui
apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa
pamrih.Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa
pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau
sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap
suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang
betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
B.
Ittiba’
1.
Pengetian
Ittiba’
Ittiba’ artinya menurut atau
mengikut.Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta
mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang
dapat dijadikan hujjah.[4]Imam
Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat
yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari
tabiin yang mendatangkan kebajikan.[5]
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan
orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang
melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
2.
Dasar
Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai
kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan
hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan
agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan
argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid
bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.[6]
C.
Talfiq
1.
Pengertian
Talfiq
Talfiq menurut arti harfiahnya
adalah tambal sulam.Ia diumpamakan seperti tindakan manambal sulam
potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau seperti
kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun untuk
dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah
mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang
mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda.
Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang
berbeda dari kalangan ahli fiqh.[7]Atau
definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang
terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[8]
Apabila dihubungkan dengan
mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab
dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan
yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan
tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja.Pengambilan
dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah
dikatakan di atas, adalah boleh.Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah
bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat
dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah
yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.[9]
2.
Hukum
Talfiq
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai
hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik
secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.[10]
Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Pendapat
pertama, mengatakan bila seseorang
telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab
yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain,
baik secara keseluruhan maupun sebagian. Keadaan orang itu sama dengan seorang
mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus tetap beregang
pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah dalil yang dipandangnya
kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya
lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki orang yang
bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan
memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini
dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
b.
Pendapat
kedua, mengatakan bahwa seseorang
yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain
walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam
satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama
memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan.
Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.
c.
Pendapat
ketiga, berpendirian bahwa seorang
yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya
untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia
dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan
gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua
perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di
dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah
urusan umatnya, juga ada hadits yang mengatakan bahwa agama itu mudah.
Maka menurut pendapat ini
dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh).Golongan ini
dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak
boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh
mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.
Menurut M. Ali Hasan dari segi
kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di
atas, dengan beberapa alasan yaitu :
a.
Tidak
ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab;
b.
Pada
hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah;
c.
Mewajibkan
seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal
ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan
kemaslahatan;
d.
Pendapat
yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin setelah
mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab;
e.
Kenyataan
yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum
kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.[11]
D.
Perbedaan Taklid, Ittiba’, dan Talfiq beserta
Contohnya
Taqlid
dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun
perilakunya.Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam
ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang
menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[12]Sedangkan
talfiq pada dasarnya adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih untuk
menyelesaikan masalah-masalah hukum.
Contoh taklid: seseorang yang melakukan gerakan ruku’
dan sujud ketika dia hanya mengikuti guru ngajinya, tanpa pernah tau dari mana
dalil yang melandasinya.
Contoh ittiba’: seseorang yang sedang baca doa qunut
saat shalat shubuh mengikuti mazhab Imam Syafi’i, dan tau dalil yang
melandasinya.
Contoh talfiq: dalam masalah rukun nikah mazhab Al-Hanabilah,
sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali khususnya bagi
wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya. Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah
pernikahan sudah dianggap sah meskipun tidak ada saksi-saksi.Dan dalam
pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak
diberi mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya. Ketiga pendapat yang berbeda
itu kalau ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan
‘jadi-jadian’. Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab
pasti akan menolak model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut
pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu tidak
sah. Pernikahan model begini para prinsipnya
sama saja dengan sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-namakan
pernikahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taqlid adalah mengikut tanpa
alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima
suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan
tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Secara hukum
taklid dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Taqlid yang
diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum
sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.
2.
Taqlid yang
dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai
tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.
Ittiba’ yaitu menerima ucapan atau perkataan orang
serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis
yang dapat dijadikan hujjah. Hukum ittiba’ bagi orang yang mempunyai
kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan
hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengemukakan hujjahnya.
Talfiq adalah mengambil pendapat dari
seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam
masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Hukum talfiq adalah mubah
(boleh).
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih ada
kekurangan sehingga penyusunan berharap saran dan kritik dari pembaca sekalian
agar penyusun dapat meningkatkan dan memperbaiki penyajian makalah yang lebih
baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi Yusuf, 2003, Bagaimana Berinteraksi Dengan
Peninggalan Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Arifin
Miftahul dan Haq Ahmad Faisal, 1997, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan
Hukum Islam, Surabaya: Citra Media
Bakry Nazar, 2003, Fiqh
dan Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Hasan M
Ali, 2002, Perbandingan Mazhab, cet 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hanafi Ahmad, 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam, cet. 7, Jakarta: PT Bulan Bintang.
Rosyada Dede,
1999, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta: Logos
Umam Khairul dan Aminudin A. Achyar
Aminudin, 2001, Ushul Fiqih II, cet. 2, Bandung: Pustaka Setia.
[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana
Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2003), h. 87.
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul
Fiqh, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 61.
[3] Khairul Umam dan A. Achyar
Aminudin, Ushul Fiqih II, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.
155.
[4] Nazar Bakry, Op.cit., h.
60.
[5] Khairul Umam dan A. Achyar
Aminudin, Op.cit., h. 163.
[6]Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal
Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra
Media, 1997), h. 164.
[7]M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet 4,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 89.
[8] Khairul Umam dan A. Achyar
Aminudin, Op.cit., h. 164
[9] Ahmad Hanafi, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h.
177.
[10] Khairul Umam dan A. Achyar
Aminudin, Op.cit., h. 165.
[11] M Ali Hasan, Op.cit.,h.
91.
[12] Dede Rosyada, Metode Kajian
Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999), h. 25.