Selasa, 21 Juli 2020

TAKLID VS ITTIBA'

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Taklid

1.    Pengertian Taqlid

Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban).Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.[1]

Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[2]

2.      Hukum – Hukum Taqlid

Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.[3]

a.       Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.

b.      Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :

Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :

 

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)

Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

B.     Ittiba’

1.    Pengetian Ittiba’

Ittiba’ artinya menurut atau mengikut.Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.[4]Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[5] Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.

2.      Dasar Hukum dan Hukum Ittiba

Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.[6]

 

 

 

 

C.    Talfiq

1.    Pengertian Talfiq

Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam.Ia diumpamakan seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.[7]Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[8]

Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja.Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh.Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.[9]

2.      Hukum Talfiq

Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.[10] Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

a.       Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.

b.      Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.

c.       Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadits yang mengatakan bahwa agama itu mudah.

Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh).Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.

Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :

a.    Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab;

b.    Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah;

c.    Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan;

d.   Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab;

e.    Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.[11]

D.    Perbedaan Taklid, Ittiba’, dan Talfiq beserta Contohnya

                 Taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya.Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[12]Sedangkan talfiq pada dasarnya adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum.

Contoh taklid: seseorang yang melakukan gerakan ruku’ dan sujud ketika dia hanya mengikuti guru ngajinya, tanpa pernah tau dari mana dalil yang melandasinya.

Contoh ittiba’: seseorang yang sedang baca doa qunut saat shalat shubuh mengikuti mazhab Imam Syafi’i, dan tau dalil yang melandasinya.

Contoh talfiq: dalam masalah rukun nikah mazhab Al-Hanabilah, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya. Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap sah meskipun tidak ada saksi-saksi.Dan dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak diberi mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya. Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadi-jadian’. Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan menolak model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu tidak sah. Pernikahan model begini para prinsipnya sama saja dengan sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-namakan pernikahan.


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Taqlid adalah mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Secara hukum taklid dibagi menjadi dua, yaitu:

1.      Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.

2.      Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.

Ittiba’ yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Hukum ittiba’ bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya.

Talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Hukum talfiq adalah mubah (boleh).

B.     Saran

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan sehingga penyusunan berharap saran dan kritik dari pembaca sekalian agar penyusun dapat meningkatkan dan memperbaiki penyajian makalah yang lebih baik dari sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi Yusuf, 2003, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Arifin Miftahul dan Haq Ahmad Faisal, 1997, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media

Bakry Nazar, 2003, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 

Hasan M Ali, 2002, Perbandingan Mazhab, cet 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Hanafi Ahmad, 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, Jakarta: PT Bulan Bintang. 

Rosyada Dede, 1999, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta: Logos

Umam Khairul dan Aminudin A. Achyar Aminudin, 2001, Ushul Fiqih II, cet. 2, Bandung: Pustaka Setia.



[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 87. 

[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 61.  

[3] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 155. 

[4] Nazar Bakry, Op.cit., h. 60. 

[5] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 163. 

[6]Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 164.

[7]M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 89.

[8] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 164 

[9] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 177. 

[10] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 165. 

[11] M Ali Hasan, Op.cit.,h. 91. 

[12] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999), h. 25. 


HUKUM DONOR DARAH

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Transfusi Darah

Transfusi darah atau “Blood Transfution” (bahasa Inggris) adalah usaha pemindahan  darah dari seseorang kepada orang lain dalam rangka menyelamatkan jiwanya. Darah yang dibutuhkan untuk keperluan transfusi adakalanya secara langsung dari donor dan adakalanya melalui Palang Merah Indonesia (PMI) atau Bank Darah.

Darah adalah jaringan cair yang terdiri dari dua bagian, yaitu cairan yang disebut plasma dan sel darah. Darah secara keseluruhan kira-kira seperduabelas dari badan atau kira kira lima liter. Sekitar 55 persennya adalah cairan atau plasma, sedangkan 45 persen sisanya adalah sel darah yang terdiri dari tiga jenis, yaitu sel darah merah, sel darah putih, dan butir pembeku (trambosit). Dengan demikian darah manusia mempunyai empat unsur yaitu plasma darah, sel darah merah, sel darah putih, dan butir pembeku atau trombosit. Plasma adalah cairan yang berwarna kuning dan mengandung  91,0 persen air, 8,5 persen protein, 0,9 persen mineral, dan 0,1 persen sejumlah bahan organik seperti lemak, urea, asam urat, kolesterol dan asam amino.

Unsur kedua dari darah manusia dalah sel darah merah. Dalam setiap milimeter kubik darah terdapat 5 juta sel darah merah. Sel darah merah memerlukan protein, karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Sel darah merah bekerja sebagai sistem transpor dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia, oksigen dan zat makanan yang diperlukan tubuh supaya fungsi normalnya dapat berjalan, dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil buangan lainnya serta mengatur napas ke seluruh tubuh. Unsur yang ketiga yaitu sel darah putih, bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel darah merah namun jumlahnya sedikit yaitu setiap milimeter kubik darah terdapat 6.000 sampai 10.000 sel darah putih. Sel darah putih sangat penting bagi kelangsungan kesehatan tubuh. Sel darah putih berfungsi untuk membekukan daerah yang terkena infeksi atau cidera, menangkap organisme hidup dan menghancurkannya, menyingkirkan kotoran, menyediakan bahan pelindung yang melindungi tubuh dari serangan bakteri dan dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan dipulihkan. Plasma darah berfungsi sebagai perantara untuk menyalurkan makanan, lemak, dan asam amino ke jaringan tubuh. Plasma merupakan perantara untuk mengangkut bahan buangan seperti urea, asam urat dan sebagai karbon dioksida. Selain itu plasma juga berfungsi untuk menyegarkan cairan jaringan tubuh, karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima makanannya.

Unsur yang terakhir adalah butir pembeku atau trambosit. Bentuknya lebih kecil dari sel darah merah, kira-kira sepertiganya. Terdapat 300.000 trambosit dalam setiap milimeter kubik darah. Trambosit berfungsi untuk membekukan darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, sehingga darah tersebut dapat bertahan. Seandainya tidak ada sel pembeku, darah yang sementara ke luar dari anggota tubuh  yang terluka tidak dapat bertahan, sehingga orang bisa mati karena kehabisan darah. Demikian komposisi dan fung si darah yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Oleh sebab itu orang-orang yang kekurangan darah karena terlalu banyak  mengeluarkan darah ketika kecelakaan, terkena benda tajam atau karena muntah darah dan lainnya, perlu diberikan tambahan darah dengan jalan transfusi darah.[1]

Darah yang disimpan pada Bank darah sewaktu-waktu dapat digunakan untuk kepentingan orang yang memerlukan atas saran dan pertimbangan dokter ahli, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan antara golongan darah donor dan golongan darah penerimanya. Oleh karena itu, darah donor dan penerimanya harus dites kecocokannya sebelum dilakukan transfusi. Adapun jenis-jenis darah yang dimiliki manusia yaitu golongan AB, A, B, dan O. Golongan-golongan yang dipandang sebagai donor darah adalah sebagai berikut:

1.      Golongan AB dapat memberi darah pada AB

2.      Golongan A dapat memberi darah pada A dan AB

3.      Golongan B dapat memberi darah pada B dan AB

4.      Golongan O dapat memberi darah kesemua golongan darah

Adapun golongan darah dilihat dari segmi resipien atau penerima adalah sebagai berikut:

1.      Golongan AB dapat menerima dari semua golongan

2.      Golongan A dapat menerima golongan A dan O

3.      Golongan B dapat menerima golongan B dan O

4.      Golongan O hanya dapat menerima golongan darah O

Namun sebaiknya transfusi dilakukan dengan golongan darah yang sama dan hanya dalam keadaan terpaksa dapat diberikan darah dari golongan yang lain. Dengan demikian donor darah adalah berarti seseorang yang menyumbangkan darah kepada orang lain dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa orang yang membutuhkan darah tersebut.

Sejarah singkat transfusi darah diawali pada tahun 1665 oleh Dr. Richard seorang ahli anatomi tubuh dari Inggris yang berhasil mentransfusikan darah seekor anjing pada anjing yang lain. Selanjutnya dua tahun kemudian Jean Babtiste Denis seorang dokter, filsuf dan astronom dari Prancis berusaha melakukan transfusi darah pertama kali pada manusia. Ia mentransfusikan darah anak kambing ke dalam tubuh pasiennya yang berumur 15 tahun namun gagal anak tersebut meninggal dan dia dikenai tuduhan pembunuhan.[2] 

B.     Hukum Menjual Belikan Darah Donor

Para Ulama ahli Fikih berbeda pendapat tentang hukum menjual belikan darah. Imam Abu Hanifah dan Zahiri membolehkan menjualbelikan benda najis yang di dalamnya terdapat manfaat seperti kotoran hewan untuk serbuk. Secara analogis mazhab ini membolehkan jualbeli darah, untuk keperluan operasi dan lain sebagainya. Namun Imam Syafi’i mengharamkan menjualbelikan najis termasuk darah. Karena ayat Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan. Yaitu terdapat di Q.S Al-Maidah: 3  

 

 

Pendapat tentang keharaman menjualbelikan darah karena termasuk benda najis seperti dijelaskan di atas, diperkuat oleh hadits berikut ini:

 

“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka mengharamkan juga harganya” (H.R Ahmad dan Abu Daud)

Namun demikian, meskipun Imam Syafi’i mengharamkan menjualbelikan darah tapi beliau memberikan cara lain selain tansaksi jual beli. Cara tersebut disebut dengan “helah” yaitu mengganti akad dari jual beli kepada akad yang lain seperti upah pengambilan dan biaya perawatan darah.[3]

C.     Hukum Transfusi Darah

Kalau kita membuka lembaran Al-Quran dan Hadis tidak menemukan satu nash yang menjelaskan hukum donor darah. Maka cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan kejelasan hukumnya harus dilakukan ijtihad yang dilakukan secara jama’I (kolektif).

Mendonorkan darah kepada seseorang  merupakan pekerjaan kemanusiaan yang ssangat mulia. Karena dengan ,endonorkan darah sebagian darahnya berarti seseorang telah memberikan pertolongan kepada orang lain sehingga seseorang selamat dari ancaman yang ,membawa kepada kematian.

Kebolehan donor darah kepada siapa saja dengan mengabaikan perbedaan agama dan etnis sebagaimana tersebut diatas dapat diberikan alasan yang rasional yaitu karena manusia secara umum adalah anah Adam yang mendapat keistimewaan dari Allah SWT, maka sesama manusa wajib menjaga martabat dan kemuliaannya dengan cara saling menolong dan menghormati ( mutual respect ) . salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merealisasikan kemualiaan manusia tersebut adalah dengan memberikan pertolongan melalui donor darah, jika dibutuhkan. Hal ini diperkuat oleh ayat Al-Quran :

 

 

Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S al-israa: 70).

 

 

Dijelaskan juga pada surah Al-Baqoroh:173

 

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya menharamkan bagimu bangkai,darah, daging babi, dan binatang (ketika disembelih) disebut selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), padahal ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.(Al-Baqoroh:173)[4]

Kebolehan donor darah kepada siapa saja yang membutuhkan sebagaimana dijelaskan diatas karena tidak ditemukan larangan, baik dari Al-Quran maupun Hadis, karenanya masalah ini dikembalikan kepada hukum asal sesuatu yaitu boleh, sejalan dengan kaidah ushul.

“Pada asalnya hukum sesuatu itu boleh sebelum ada dalil yang mengharamkannya”

Aspek lain yang menjadi pertimbangan hukum tentang kebolehan hukum mendonorkan darah adalah kemashlahatan yang bersifat dharury , yaitu tindakan penyelamatan terhadap jiwa manusia dalam keadaan darurat. Misalnya orang yang sedang pendarahan, kecelakaan, atau yang lainnya, mereka akan mengalami kematian atau mendekatinya jika tidak mendapatkan dobnor darah secepatnya dari orang lain. Maka kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kedaruratan berikut ini dapat digunakan untuk kebolehan donor darah :

1.     الضرر يزال 

bahaya itu harus dicegah atau dihilangkan”

Dalam hal ini, penderita sebuah penyakit tertentu yang akut dan parah karena kekurangan darah sehingga mendekati kematian maka harus dibantu dengan donor darah.

 

2.     الضرر ﻻ يزال  بالضرر

bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain”

 Kaidah kedua ini menjelaskan bahwa harus terdapat jaminan bahwa akibat dari menutupi sesuatu yang darurat itu dipastikan tidak menimbulkan bahaya yang lain. Terkait dengan donor darah maka usaha itu dibolehkan jika tindakannya itu tidak membahayakan piohak pendonor sendiri. Tetapi jika membawa bahaya atau mengancam keselamatannya maka haram hukumnya bagi seseorang untuk mendonorkan darahnya.

 

3.     ما أبيح للضرورة بقدر تعذرها

“ sesuatu yang dibolehkan karena terpaksa harus disesuaikan dengan kadar dibutuhkannya”

 Kaidah diatas menunjukkan bahwa pengguna benda najis yang digunakan untuk memenuhi/ menutupi keadaan yang berbahaya tidak bioleh berlebihan, tapi sekedar secukupnya saja. Dalam hal ini maka donor darah yang diberikan hanya sebatas untuk keperluan menolong resipien yang membutuhkan.[5]

Dalam kajian ushul fiqh, transfusi darah masih diperbincangkan apakah termasuk bab ibadah, bab muammalah atau jinayah. Apakah darah merupakan „barang‟ sehingga boleh dimiliki atau “bukan barang” sehingga tidak boleh dimiliki, apakah kegunaan transfusi darah hanya boleh u ntuk kepentingan sosial atau boleh juga untuk dibisniskan. 

melaksanakan transfusi darah dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang berbunyi sebagai berikut:[6]

 

Artinya : “dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Dalam kajian istinbath al- ahkam (ushul fiqh), ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan diantaranya pada hukum syar‟i yaitu hukum taklifi dan hukum wadh‟i. pada hukum wadh‟I terdapat rukhsah. Diantara macam rukhsah yaitu:

 1) Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan karena darurat misalnya diperbolehkan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya karena dia dalam keadaan lapar yang sangat dan tidak makanan kecuali bangkai, andaikata tidak dimakannya dia akan mati jadi dia makan bangkai adalah kaerna darurat, keadaan ini dapat dianalogikan dengan keadaan transfusi darah. 

2) Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib karena adanya uzur misalnya diperbolehkan tidak berpuasa di bulan ramadhan karena ada sesuatu uzur misalnya sakit atau dalam bepergian.

3) Memberikan pengecualian sebahagian perikatan-perikatan karena dihajatkan dalam lalu lintas muammalah, misalnya perikatan salam, perikatan jual beli barang yang diperjualbelikan belum wujud pada saat perikatan diadakan, tetapi harganya sudah dibayar lebih dahulu. Biarpun syarat umum jual beli tersebut belum dipenuhi namun karena salam itu berlaku pada kebanyakan orang dan sangat dibutuhkan, maka perikatan salam itu sah secara rukhsah sebagaimana sabda Rasul:”Bahwa Rasulullah SAW melarang manusia menjualbelikan sesuatu yang tidak ada padanya, tetapi beliau memberikan kemudahan atau rukhsah dalam salam.

4) menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syariat terdahulu seperti mencuci pakaian yang kena najis dengan air suci.

D.    Hukum Donor Darah Antar Orang Yang Berbeda Agama

Realitas menunjukkan, bahwa kebutuhan terhadap darah telah merupakan bagian dari kebutuhan manusia yang mengalami penyelamatan jiwanya melalui transfusi darah. Sehingga terjadinya donor darah antar orang yang berbeda agama telah merupakan suatu keniscayaan. Berkaitan dengan donor darah antar orang yang berbeda agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa. Fatwa ini kemungkinan dikeluarkan sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan atau disebabkan oleh banyaknya kasus donor darah yang terjadi di masyarakat, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu untuk memberikan legalitas dan kejelasan terhadap masalah tersebut. MUI dalam hal ini telah mengambil sebuah keputusan dengan mengeluarkan fatwa, bahwa tidak ada halangan untuk mendonorkan darah antar yang berlainan agama.[7]

Dalil yang dikemukakan dalam fatwa ini terdiri dari ayat al-Qur’an dan argumen yang bersifat rasional. Fatwa tersebut diawali dengan menunjuk ayat al-Qur’an yang mengatakan bahwa umat Islam tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memusuhi agamanya dan juga tidak berusaha menyingkirkan mereka. Karena itu fatwa MUI tersebut mengutip QS. al-Mumtahanah : 8 

 

Artinya:“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat kebaikan dan bersikap jujur terhadap orangorang yang tidak memerangi kamu karena agamamu dan tiada mengusir kamu dari kampung halamanmu, sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang jujur”

 

Argumen rasional dalam fatwa tersebut, bahwa dibolehkan mendonorkan darah karena darurat untuk menghindari kematian orang yang kekurangan darah (resipien), tetapi juga tidak menimbulkan bahaya kematian terhadap orang yang diambil darahnya (donor). Hal itu merupakan tanggung jawab kemanusiaan dengan tidak memperhatikan perbedaan agama antara kedua belah pihak (resipien, penerima darah dengan donor, penyumbang darah). Di samping itu, bagi orang yang menyumbangkan darah merupakan suatu perbuatan kebajikan yang dianjurkan oleh agama.[8]

Fatwa itu bukan hanya memberikan aturan-aturan yang jelas terhadap donor darah antar orang yang berbeda agama, namun juga mempunyai implikasi yang sangat positif apabila orang mau mendonorkan darahnya kepada orang lain, baik darah itu disumbangkan secara langsung kepada orang yang membutuhkan transfusi darah, misalnya untuk anggota keluarga sendiri atau orang lain, maupun diserahkan kepada lembaga khusus yang mengelola dan menyimpan darah tersebut untuk menolong orang yang membutuhkannya kapan saja.Dilihat dari segi metodologi fatwa ini hanya merujuk kepada sebuah ayat al-Qur’an walaupun sebenarnya fatwa ini dapat diperkuat lagi oleh dalil-dalil lain seperti QS. Al-Maidah (5): 32, yang intinya “jika mempertahankan hidup seseorang nilainya sama dengan mempertahankan hidup manusia semuanya.”

 

 

Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa mendonorkan darah, yang dilakukan dengan ikhlas, merupakan suatu amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan ( mandub ) oleh Islam, sebab usaha tersebut dapat menyelamatkan jiwa manusia (resipien). Mendonorkan darah boleh saja dilakukan tanpa memandang perbedaan agama, etnis dan sebagainya. Dengan kata lain, penerima sumbangan darah (resipien) tidak disyaratkan harus sama agamanya dengan donornya, demi menolong dan menghormati harkat dan martabat manusia ( human dignity ). Karena sesungguhnya Allah sebagai Khaliq sendiri, telah memuliakan manusia. Sebab itu sudah semestinya manusia, sebagai hamba Allah, senantiasa saling menolong dan saling hormat-menghormati antara sesamanya.

Fatwa di atas juga dapat diperkuat dengan qa’idah fiqhhiyah, bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh ( mubah ) hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalam kaitan ini Yusuf Qardawi mengatakan, bahwa pada zaman sekarang adanya donor darah yang sangat dibutuhkan tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslimin tanpa ada seorang ulamapun yang mengingkarinya, bahkan mereka ikut serta menjadi donor. Sebab itu, kesepakatan ulama secara diam-diam ( ijma sukuti ) menunjukkan, bahwa mendonorkan darah dapat diterima syara.[9]

Berdasarkan asumsi, bahwa tidak ada satu ayat dan hadis yang secara eksplisit atau dengan nas yang sarih melarang donor darah antar orang yang berbeda agama, berarti donor darah antar orang yang berbeda agama diperbolehkan, bahkan perbuatan itu dinilai sebagai suatu sedekah atau ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.

 

 

 

E.     Hubungan Donor Dengan Resipien

Faktor apa saja yang menyebabkan hubungan kemahraman seseorang dengan orang lain. Faktor-faktor dimaksud secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa (4): 23, yaitu:

 

Berdasarkan ayat di atas, maka dapat dikelompok beberapa sebab yang menimbulkan kemahraman  seseorang dengan orang lain, yaitu:

1.      Mahram karena adanya hubungan nasab. 

2.      Mahram karena adanya hubungan pernikahan.

3.      Mahram karena adanya hubungan persusuan. 

Karena tidak mengakibatkan hubungan mahram, maka antara donor dan resipien secara hukum adalah seperti hubungan semula sebelum terjadi donor darah. Keduanya boleh menikah kecuali salah satu dari keduanya adalah terhitung salah satu dari ketiga hubungan mahram sebagaimana tersebut di atas.[10]

 

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Donor adalah sebuah amal yang disunnahkan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa hukum donor darah itu sampai kepada hukum fardhu kifayah. Tentunya bila sudah ada muslim yang melakukannya, sudah gugur kewajibannya. Namun ada pula ulama yang menyatakaan haramnya jual beli darah. Karena tubuh manusia itu mulia, tidak untuk diperjual-belikan. Termasuk juga darahnya.  Donor darah adalah bentuk sedekah yang paling utama di zaman sekarang ini. Sebab menjadi donor darah dalam konteks ini bukan sekedar membantu, tetapi sudah sampai taraf menyelamatkan nyawa seseorang. Jadi nilainya sangat tinggi di sisi Allah. Bahkan menyelamatkan nyawa manusia yang seharusnya mati tidak tertolong, tapi dengan berkat donor darah ini mengakibatkan bisa terus berlangsungnya kehidupan seseorang, digambarkan seperti memberikan kehidupan kepada semua manusia. Umat Islam wajib membantu sesama manusia yang memerlukan bantuannya dalam hal-hal yang positif, termasuk dalam melakukan donor darah (transfusi/pemindahan) darah kepada penderita suatu penyakit datau kepada orang yang tertimpa musibah kecelakaan yang membutuhkan tambahan darah untuk keperluan pengobatan. Transfusi darah adalah merupakan perbuatan yang mulia dan menurut Islam transfusi darah diperbolehkan, tetapi dengan syarat praktek transfusi darah harus dalam keadaan darurat. Sedangkan jual beli darah hukumnya adalah haram, namun jika darah yang dibutuhkan untuk ditransfusikan maka praktek jual beli harus diusahakan untuk dihindari.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anshary,Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz (ed.). 2002. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus

Eutanasia, Abul Fadl Muhsin Ibrahim, Kloning. 2007. Transfusi Darah, Transpalntasi Organ dan Eksperimen Pada Hewan (terj. Mujiburrahman). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta

Mahjuddin. 2012. Masail Al-Fiqh Kasus-kasus actual dalam hokum Islam, Jakarta: Kalam Mulia

Qardawi, Yusuf. 1988. Hadyu al-Islam Fatawa Mu’asirah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press

Shidiq, Sapiudin. 2017. Fikih Kontemporer. Jakarta: Kencana

Umar, M.Hasbi. 2007. Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press



[1] Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), hh. 129-130

[2]  Abul Fadl Muhsin Ibrahim, Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transpalntasi Organ dan Eksperimen Pada Hewan, (terj. Mujiburrahman), cet. I, (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 82

[3] Sapiudin Shidiq, Op. Cit, hh. 135-136

[4] Mahjuddin, Masail Al-Fiqh kasus-kasus actual dalam hokum Islam, Jakarta: Kalam Mulya, 2012, h  118

[5] Sapiudin Shidiq, Op. Cit, hh. 132-134

[6]  Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002) Cet. 3, h. 55

[7] M.Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 190

[8] Ibid, h. 191

[9] Yusuf Qardawi, Hadyu al-Islam Fatawa Mu’asirah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa Fatwa Kontemporer, Jilid 2 (Cet. IV; Jakarta: Gema Insani Press, 1988), h. 758

[10] Ibid, hh. 136-137