Rabu, 11 April 2012

amar ma'ruf nahi munkar


BAB II
PEMBAHASAN
AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
A.    TEKS HADIS
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه مسلم]
B.       TERJEMAHAN HADIS
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.(Riwayat Muslim)[1]

C.      SYARAH HADIS
1.    Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ma’ruf sesuatu yang diperintahkan Syara’ dan dinilai baik oleh akal sehat, sedang munkar sesuatu yang dilarang oleh syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat[2]. Dari pengertian ini terlihat sangat luas cakupan amar ma’ruf dan nahi munkar, baik dari segi aqidah, ibadah maupun muamalat

2.    Melarang Kemungkaran
Seluruh kaum muslimin telah sepakat (Ijmak) atas wajibnya mengingkari kemungkaran[3]. Seorang muslim wajib mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuannya, mengubah sesuai dengan kekuatannya untuk melakukan perubahan dengan perbuatan atau dengan perkataan atau dengan hatinya

a.    Mengingkari Dengan Tangan
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: kataمَنْ   ini adalah syarthiyah dan ini untuk keumuman. Kata  رَأَىmengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah melihat dengan mata, atau yang dimaksud adalah melihat dengan hati, yaitu ilmu. Dan dengan hati ini lebih umum[4]
Kemungkaran ( مُنْكَراً ) ialah apa yang diingkari oleh syari’at, yaitu apa yang diharamkan Allah dan Rasulnya. فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ lam pada Fi’il Mudhari’ ini adalah Lam Amar atau Lam menunjukkan perintah. Yakni merubah kemungkaran ini dengan merubahnya kepada yang ma’ruf dengan mencegahnya secara mutlak.yakni dengan mencegahnya dengan tangannya jika ia memiliki kemampuan mengubah dengan tangan

b.   Mengingkari Dengan Lisan
Dalam Islam diperintahkan untuk saling menasehati, karena itu adalah hakikat agama. Dan nasehat merupakn cara yang baik dalam amar ma’ruf nahi munkar. Sabda Nabi:
عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ   وَسَلَّمَ قَالَ : الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ .[رواه البخاري ومسلم]
Artinya: Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad Daari radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Agama adalah nasehat, kami berkata : Kepada siapa ?  beliau bersabda : Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpan kaum muslimin dan rakyatnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim)[5]
            Nasehat kepada Kitabullah adalah mengamalkannya, nasehat kepada Rasul adalah berpegang teguh dengan sunnahnya, nasehat kepada kaum muslimin dan pemimpinnya adalah amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka[6]
Para ulama berpendapat bahwa wajib memerintah dan melarang bagi orang yang tahu bahwa perintah dan larangannya tidak akan dita’ati,  kewajibannya adalah memerintah dan melarang, dan tidak ada kewajiban baginya nasehatnya dita’ati. Allah berfirman:
öÏj.xsù !$yJ¯RÎ) |MRr& ֍Åe2xãB ÇËÊÈ
Artinya: “ maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan (QS Al-Ghasyiyah: 21)
                   Dalam ayat lain Allah menjelaskan:
÷bÎ*sù (#qàÊtôãr& !$yJsù y7»oYù=yör& öNÍköŽn=tã $¸àŠÏÿym ( ÷bÎ) y7øn=tã žwÎ) à÷»n=t7ø9$# 3 !$¯RÎ)ur !#sŒÎ) $oYø%sŒr& z`»|¡SM}$# $¨ZÏB ZpyJômu yy̍sù $pkÍ5 ( bÎ)ur öNåkö:ÅÁè? 8pt¤ÍhŠy $yJÎ/ ôMtB£s% öNÍgƒÏ÷ƒr& ¨bÎ*sù z`»|¡SM}$# Öqàÿx. ÇÍÑÈ
Artinya: Jika mereka berpaling Maka kami tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari kami dia bergembira ria Karena rahmat itu. dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) Karena Sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).(QS Asy-Syura: 48)
            Dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar ini hendaknya dilakukan dengan cara yang baik. Firman Allah:
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS An-Nahl: 125)
c.    Mengingkari Dengan Hati
Mengetahui yang baik dan yang munkar dan mengingkari kemungkaran didalam hati adalah fardhu Ain atas setiap pribadi muslim[7]. Jika hati tidak mengetahui yang makruf dan tidak mengingkari yang mungkar, maka dia terombang ambing dalam nafsu, karena tiada pedoman. Mengingkari dengan hati akan melepas tanggung jawab jika dia tidak memiliki kemampuan untuk mengingkarinya dengan tangan atau dengan lisan
Barang siapa yang mengetahui kesalahan dan dia rela denganya, maka dia telah melakukan dosa, baik dia melihatnya maupun tidak melihatnya, dosanya sama dengan orang yang menyaksikannya namun tidak mengingkarinya. Abu Daud meriwayatkan hadis dari AL-Urs Bin Umairah RA, Nabi bersabda:
“jika ada kemaksiatan dilakukan dimuka bumi, maka orang yang menyaksikannya dan membencinya adalah seperti orang yang tidak menyaksikannya. Sedangkan orang yang tidak menyaksikannya dan meridhainya, maka dia seperti orang yang menyaksikanya”[8]
Demikian itu karena rela dengan kesalahan berarti tidak mengingkarinya dengan hati, padahal hal tersebut merupakan fardhu ain, dan meninggalkan fardhu ain termasuk dosa besar
3.    Hukum Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan
Hokum mengingkari kemungkaran ada dua[9]:
a. Fardhu kifayah
Jika yang melihat kemungkaran itu lebih dari seorang muslim, maka wajib atas mereka secara umum untuk mengingkarinya dan mengubahnya. Jika ada seorang diantara mereka melakuakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Jika tidak ada yang melakukan, maka menjadi dosa atas orang yang memiliki kemampuan untuk mengubahnya. Firman Allah:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran: 104)

b.   Fardhu Ain
Jika yang melihat kemaksiatan itu hanya satu orang, dan dia mampu untuk mengubahnya, maka menjadi fardhu ain atasnya. Demikian juga jika yang melihat kemaksiatan itu sekelompok kaum muslimin, tidak ada yang mampu mngingkarinya kecuali satu orang saja, maka fardhu ain atas orang yang mampu itu untuk mengingkarinya, jika tidak melakukannya, maka ia berdosa besar sebagaimana dalam hadis Abu Daud diatas

BAB III
KESIMPULAN
            Semua umat islam wajib mencegah kemungkaran. Mencegah dengan tangan dan kekuatan atau kekuasaan, dengan lisan atau perkataan yang baik dan diplomasi, dan mencegah dengan hati, yakni membenci perbuatan maksiat itu
Para ulama sepakat bahwa melarang kemungkaran itu harus ditujukan kepada perbuatan yang telah disepakati keharamannya oleh kaum muslimin, atau meninggalkan yang telah disepakati kewajibannya, seperti meminum arak, berzina, meninggalkan shalat, memamerkan aurat dan lainnya
            Adapun hal yang diperselisihkan para ulama dalam keharaman dan kewajibannya, maka orangn yang mengerjakan dan yang meninggalkannya tidak boleh dilarang, dengan syarat bahwa yang diperselisihkan itu merupakan pendapat yang akui para ulama dan perbedaannya berdasarkan dalil
            Sedang pendapat dari kalangan ahli bid’ah atau aliran –aliran yang menyalahi sunnah seperti khawarij dan lainnya tidak diakui, sebagaimana pendapat yang tidak ada dalilnya atau ada dalil tapi dibatalkan oleh dalil yang shaheh



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syaikhu, Syarah Arbain Nawawi, Darul Haq, Jakarta 2006
Musthafa Al-Bugha dan Muhyidin Mistu, Alwafi Syarah Arbain Nawawi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2002
Ummi Musa, Hadis Arbain Nawawiyah dan Terjemahannya, Hidayatul Insan, Ngruki
Yusnadar Ilyas, Kuliah Akhlaq, LPPI, Yogyakarta 1999


[1] Ahmad Syaikhu, Syarah Arbain Nawawi, Darul Haq, Jakarta 2006, h. 322
[2]  Yusnadar Ilyas, Kuliah Akhlaq, LPPI, Yogyakarta 1999, h. 241
[3] Musthafa Al-Bugha dan Muhyidin Mistu, Alwafi Syarah Arbain Nawawi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2002, h. 318
[4]  Ahmad, Op.Cit, h. 329
[5] Ummi Musa, Hadis Arbain Nawawiyah dan Terjemahannya, Hidayatul Insan, Ngruki , h. 22
[6] Musthafa, Op.Cit, h.327
[7]  Musthafa, Op.Cit, h. 318
[8] Musthafa, Op.Cit, h. 319
[9] Musthafa, Op.Cit, h. 318-319

Tidak ada komentar:

Posting Komentar