Senin, 21 November 2011

kepemimpinan wanita


BAB II
PEMBAHASAN
A.       GAMBARAN PERMASALAHAN
Pada zaman sekarang, para wanita semakin aktif dalam  setiap  aktifitas kehidupan[1]. Hampir semua lapangan kegiatan dan lapangan pekerjaan telah diisi oleh kaum hawa. Di Indonesia sendiri peran kaum wanita semakin menonjol, ada yang menjadi Mentri, Pimpinan perusahaan, Anggakatan bersenjata, anggota DPR-MPR, Pembantu rumah tangga dan buruhan sebagai lapisan bawah
Semakin meningkatnya sosialisi kesetaraan gender dan emansipasi wanita maka semakin hari semakin banyak wanita yang terjun menekuni dunia kerja laki-laki. Pekerjaan-pekerjaan yang dahulunya hanya dilakukan oleh laki-laki kini sudah dilakukan oleh wanita dengan semangat tinggi dan hasil yang tidak kalah dengan hasil kerja laki-laki, hal itu semakin menguatkan keyakinan mereka bahwa wanita bisa melakukan pekerjaan laki-laki. Maka berbondong-bondonglah dan belomba-lombalah para wanita mencalonkan menerjuni dunia kerja laki-laki. Tidak hanya puas dengan jabatan sebagai karyawan, pegawai atau kepala bagian. Mereka mulai berfikir untuk menjadi orang nomor satu disetiap lini kehidupan
Masalah kepemimpinan wanita kembali menghangat setelah dilantiknya Megawati sebagai orang nomor satu dinegri ini, yaitu sebagai Presiden Republik Indonesia ke lima. Permasalahan hukum kepemimpinan wanita kembali dipertanyakan. Karena memang didalam islam selama Ribuan tahun kepemimpinan umat Islam tidak ditemukan adanya pimpinan tertinggi suatu Negara yang masyarakatnya mayoritas Islam seorang wanita. Namun demikian, disamping Ijma’ kaum muslimin yang tidak mengangkat wanita sebagai Pimpinan tertinggi selama belasan abad, ada juga sebagian ulama kontemporer yang mendukung dan membolehkan wanita menjadi pimpinan tertinggi suatu Negara
Terlepas dari benar salahnya, yang pasti peran wanita dalam kepemimpinan sudah mengakar kuat. Eksististensi mereka sebagai makhluq yang memiliki kompetensi kepemimpinan tidak bisa dinafikan, meski tidak semaksimal yang diharapkan, namun kontribusi mereka terhadap yang dipimpinnya dapat kiranya dilihat dan menjadi bahan pertimbangan dalam menilai kinerja mereka
B.       TINJAUAN HUKUM
1.   Hak dan Kewajiban Lelaki dan Perempuan dalam Islam
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan. Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i
Terdapat tiga butir pemikiran dalam hal ini:
·        bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan
·        bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja
·        pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan
Misalnya firman Allah SWT :
ö@è% $ygƒr'¯»tƒ ÚZ$¨Z9$# ÎoTÎ) ãAqßu «!$# öNà6ös9Î) $·èŠÏHsd ÇÊÎÑÈ
Katakanlah,’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS Al A’raaf : 158)
Dan firmannya:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain  dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.(QS Annisa:1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia
Keumuman dalam khithab Asy Syari’ (seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash syara’, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara’. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.
Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”
Jadi jika terdapat nash syara’ yang mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syara’, demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syara’. Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam ba’da at takhshish hujjatun fi al baqi
Lafazh umum yang telah dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang tidak dikhususkan).”
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan pemerintahan
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana  laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan
2.   Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan. Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya


3.      Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim)
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja
4.      Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan (Imamul Adzm)[2]. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya)
Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” [3](pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan adanya celaan dari Rasulullah SAW.
5.   Beberapa Keraguan mengenai larangan wanita jadi pemimpin
          I.   Meragukan keabsahan hadits
Kendati shahih, sebagia kalangan meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah)
    II.      kepemimpinan laki-laki hanya dalam konteks rumah tangga
untuk mendukung Argumen ini mereka menggunakan dalil Surat Annisa ayat 34:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
            Laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang mengusainya dan pendidiknya tatkala ia melakukan penyimpangan[4]
Memang ayat 34 dari surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu ‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)”
 III.      Pemimpin laki-laki hanya untuk negara Islam
Ada Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima. Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia
  IV.      Ada ulama yang membolehkan
Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara. Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda antara qadhi dan kepala Negara[5]
     V.      Syajaratuddur dan Ratu Bilqis Jadi kepala Negara
Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima. Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena landasan syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu. Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syar’u Man Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ

Artinya: Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu
Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita [6]
  VI.      Melanggar HAM dan Demokrasi
Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata
C.       SOLUSI
Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran, beliau berkata:
« لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.” (HR. Bukhari no. 4425)
Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan; “Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra)
Untuk menyelesaikan masalah yang bertentangan ini, solusi terbaik dan paling bijak adalah kembali kepada sumber hokum itu sendiri, yakni kembali merujuk kepada Nash yang menjelaskan hal itu, karena masalah ini berpangkal dari penafsiran terhadap Nash Al-Quran dan Hadis yang menerangkan masalah kepemimpinan itu sendiri. Firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
            Dalam hal ini Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga sebagai pemimpin dalam mengurus urusan yang kecil, maka untuk mengurus urusan yang lebih besar tentu saja laki-laki lebih berhak. Dan sudah menjadi Ijma’ Shahabat n Ulama salafussalih bahwa pemimpin itu adalah laki-laki. Jadi sudah seharusnya kita mengikuti pendapat terkuat dan terbayak serta sunnah Nabi dan para shahabatnya yang Shaleh
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Kaidah Hukum Islam,  Raja Wali, Jakarta 1993

http://islamtradisionalis.wordpress.com/2010/05/14/kepemimpinan-wanita-dalam-perspektif-agama

http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam
Muhammad Nasib Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani, Jakarta 1999
M . Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, PT  Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000
Yusuf Qardhawi, Fatwa Fatwa Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta 1995


[1] M . Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, PT  Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000, hal: 179
[2] Yusuf Qardhawi, Fatwa Fatwa Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta 1995, hal : 259

[3] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Kaidah Hukum Islam,  Raja Wali, Jakarta 1993, hal: 314
[4]  Muhammad Nasib Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani, Jakarta 1999, hal: 702-703
[5]  Yusuf Qardhawi, Op. Cit
[6]http://islamtradisionalis.wordpress.com/2010/05/14/kepemimpinan-wanita-dalam-perspektif-agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar