Senin, 21 November 2011

tafsir sufi


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Tafsir  Sufi
Tasawuf merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu tasawuf juga dalam sejarah perkembangannya telah mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemic
Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Qur’an ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.  Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-Z ahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah dan yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf.
            Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H. dan seterusnya), secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi (w. 150 H.).
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H.), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran  yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu  cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.   Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan  kalam, sehingga munculah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi nazari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf falsafi yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amaly yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah swt.
Dari hal tersebut di atasi mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.
Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang tasawuf. Di samping itu, telah banyak bermunculan karya-karya tafsir  produk ulama sufi. Di antara karya tafsir ulama sufi adalah al-Futuhat karya Ibn al-‘Arabi, Tafsir al-Qur’an al-Azim karya al-Tastari dan Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi.
Dua macam tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Qur’an, sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nazary dan tafsir sufi Isyari.
1.       Pengertian Tafsir Shufi
       Tafsir sufi  adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi[1]. Dalam tafsir ini mufassir berusaha menjelaskan makna ayat-ayat Al-Quran isyarat-isyrat yang tersirat yang tampak oleh seorang shufi didalam suluknya[2]  Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari
Ø     Tafsir Sufi Nazari (tashawuf teoritis)
Tafsir Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi yang  dibangun untuk mempromosikan  dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.  Dalam menafsirkannya itu  mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhori dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa  serta apa yang dimaksudkan oleh syara[3]’.  
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhory yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush.  Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Qur’an tentang paham ini diantaranya:
Pertama, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:



Artinya; “Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka.  Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka
Kedua,  yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah:



Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.”
Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
Ketiga, surat Qaf ayat 16:



 Artinya: “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada dilehernya”.
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan  orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadis Nabi:

Artinya: “Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.”
Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimasi atas pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari madlu ayat yang dimaksudkan oleh Allah.  Dari pendapatnya itu, al-Z|ahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nya diantaranya :
Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:


Wadkhuli  jannaty, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia  untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga  adalah Hamba.  
Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran naz}ary yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhory sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nazari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran  Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :  

Menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lapaz makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir
Ø     Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.  Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa  penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat zhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran  yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’y, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’y atau akal. 
    Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa ummatnya, sedangkan al-Batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin),  yang berasal dari Allah.   Oleh karena itu dulisme lahir-batin  dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi dhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah  al-Ruh al-Ma’nawi.
Semua tafsir Isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
2.    Harus ada nas lain yang menguatkannya.
3.    Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4.    Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zahir.
    Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu, Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.
Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. Abu bakar ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah dinyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan Abu Bakar menangis, lantas Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang”  
B.     Tafsir bil-Adabi al-Ijtima’y
Tafsir adaby-ijtima’y merupakan tafsir yang menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dari segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan-tujuan al-qur’an yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menghubungkan penjelasan ayat dengan kenyataan social dan sistrm budaya yang ada[4]
Ada empat yang dapat dianggap sebagai unsur pokok dari tafsir adaby-ijtima’y yaitu:
 a) menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an
 b) menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah
c) aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikannya al-Qur’an
d) penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Unsur pertama dan kedua memperlihatkan corak adaby, sedangkan unsur ketiga dan keempat memperlihatkan corak ijtima’y.
Kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini di antaranya yaitu, Tafsir al-Manar karya Imam Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Rasyid Ridla (w. 1935 M), Tafsir al-Qur’an oleh Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi (w. 1945), Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syeikh Mahmud Syaltut dan Tafsir al-Wadlih karangan Syaikh Muhammad Mahmud Hijazy.
Segi kelebihan tipe tafsir ini yaitu membumikan al-Qur’an dalam kehidupan manusia, menjadikan ajaran-ajaran al-Qur’an lebih praktis dan pragmatis. Umat dapat terhindar dari pertikaian mazhab dan aliran, mendorong pada semangat obyektifitas dan rasa persatuan serta membangkitkan dinamika umat Islam untuk membangun dunia yang lebih cerah. Sedang kekurangannya adalah adanya kecenderungan untuk melegalisasi masalah-masalah sosial budaya yang timbul seiring dengan perkembangan ilmu. Di samping juga ada (potensi) ke arah pemaksaan ayat-ayat al-Qur’an untuk tunduk pada teori-teori ilmiah
C.     Perbedaan tafsir sufi nazary dengan tafsir sufi isyary
a)      Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an
b)      Dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Persoalan yang timbul kemudian adalah, bagaimana para  sufi menafsirkan ayat-ayat tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa zakat dan sebagainya. Yang ditekankan oleh mereka adalah hakikat bukan syariat. Dalam menaggapi persoalan ini,  perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.
Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dmainkan oleh para  fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin.  Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui hikamh-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban,  adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.  
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban membayar zakat yang ditujukan pada  delapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakah). Ibnu Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara syariah diwajibkan  tujuan adalah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.
Jadi jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya.         
Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan












BAB III
PENUTUP
    Tasawuf dalam perkembangan sejarahnya telah memperkaya khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya fiqh, kalam dan yang lainnya. Tasawuf telah memberikan warna khusus dalam praktik keagamaan para sufi. Dalam praktik-praktik ibadah mereka  lebih menekankan pada nilai rasa di balik semua praktik ibadah tersebut. Warna khusus tersebut, bukan saja dalam praktik keagamaan, tetapi dalam penafsiran al-Qur’an-pun mereka punya cara tersendiri sehingga memperkaya corak penafsiran al-Qur’an.  
    Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak lepas dari epistimogi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu epistemologi ‘irfani yang dalam cara kerja epistimologi ini adalah adanya  konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an sebagai makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an adalah teks al-Qur’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di balik teks.
Metode tafsir yang mereka pakai adalah isyarat atau takwil melalui jalan pengalaman batin yang tentu saja penafsirannya itu tidak bisa lepas sama sekali dari dilalah ayat (madlu al-ayat) al-Qur’an Mereka sangat anti akal karena menurutnya akal akan menghalangi mereka untuk bisa mengetahui yang batin
Belakangan muncul gaya penafsiran baru (adabi wa ijtima’i) yang dipelopori Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Tujuan utama tafsir ini adalah menghindari cara penafsiran ulama sebelumnya yang menjadikan AlQuran seolah-olah teerlepas dari kehidupan nyata manusia. Baik secara individu maupun kelompok. Mereka terjebak pada pertikaian aliran dan mazhab. Akibatnya, Ruh dan tujuan Al-Quran diturunkan sebagai rahmatan li alamin diterlantarkan. Gaya tafsir adaby wa ijtimai mrmbumikan alquran, sehingga tujuannya sebagai rahmat bagi semeseta alam benar-benar wujud dalam kenyataan
















DAFTAR PUSTAKA


al- Farmawi, Abdul Hayy, Mertode Tafsir Maudhu’I, PT Raja Grafindo Persada,  Jakarta 1996

Shihab,Moh Quraish, Dr. Prof. Sejarah & Ulum al qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta 2001

Zailani , Akhyar, Pandangan Fazlul Rahman tentang Al-Quran, Yayasan Pustaka Riau, Pekanbaru 2008


[1]  Prof. Dr. Moh Quraish Shihab, Sejarah & Ulum al qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta 2001 ,hal:  180
[2] Akhyar Zailani, Pandangan Fazlul Rahman tentang Al-Quran, Yayasan Pustaka Riau, Pekanbaru 2008, hal: 86
[3]  Abdul Hayy al- Farmawi, Mertode Tafsir Maudhu’I, PT Raja Grafindo Persada,  Jakarta 1996, hal: 17
[4] Tafsir wa mufassirun, hal: 213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar