Jumat, 03 Juli 2020

ATTA’ARUD AL-ADILLAH


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai
peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama
makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan
tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir
dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa
dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang
dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada
aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai
dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam dalam
menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya
suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu
hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan
dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu
menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas
dari kelemahan dalam pemahaman. Maka di sini dikenal dengan ta’arudl aladillah
(pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam
memahami sesuatu namun di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang
baru untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ta’arudh al-adillah ?
2. Apa saja pembagian ta’arudh al-adillah?
3. Bagaimana cara penyelesaian ta’arudh al-adillah dalam metode
Hanafiyah dan Syafi’iyah ?
4. Bagaimana contoh cara penyelesaian ta’arudh al-adillah ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian ta’arudh al-adillah.
2. Untuk mengetahui Apa saja pembagian ta’arudh al-adillah.
3. Untuk mengetahui cara penyelesaian ta’arudh al-adillah dalam metode
Hanafiyah dan Syafi’iyah.
4. Untuk mengetahui contoh cara penyelesaian ta’arudh al-adillah.

ATTA’ARUD AL-ADILLAH
A. Pengertian Ta’arudh al-Adillah
Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara
terminologis, ta’arudh yaitu:
تقابل الديحبث يخالف أحد هما الآخر
“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berbeda/bertentangan dengan
dalil lainnya.”
Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara
beberapa dalil tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu
menyatakan bahwa perbuatan tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil
lainnya menetapkan sunnah. Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak
ada dalil nash yang saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu
hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka
pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i
maupun zanni.1
Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang
derajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang
shahih, sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.
Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian
dari kajian ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan
pandangan karena adanya pertentangan antar dua dalil, hal tersebut adalah
wajar. Yang paling utama adalah mencari cara penyelesaian yang ilmiah dan
masuk akal.
B. Jenis-Jenis Ta’arudh Al-Adhillah
1. Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah
SWT :
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )
1 Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, h. 391.
Dalam ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda,
begal, dan keledai haya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang
ayatberikut bermakna berbeda :
اللهُ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الأَنْعَامَ لِتَرْكَبُوْا مِنْهَا تَأْكُلُوْنَ
Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk
kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min
(40): 79)
2. Ta’arudh antara sunah dangan sunah.
عَنْ عَاىِيشَةَ وأمِّ سَلَامَةَ رَضِىَ للهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْ بِحُ
جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ (متفق عليه)
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu
subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan
menjalankan puasa.
Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :
اِذَا نُوْدِىَ لِلصَّلَاةِ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَاَحَدَكُمْ جُنُبًا فَلَا يَصُوْمُ يَوْمَه Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu
dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad
dan Ibnu Hibban)
3. Ta’arudh antara sunah dangan qiyas
Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang
ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri
dan dua kambing untuk putra, berdasarkan hadits :
اَلْعَقِيْقَةُ حَقٌّ عَنِ اْلغُلَامِ شَاتَانِ مُكَا فَىَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاة Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing
dan untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh
hewanyang lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing,
ini hampir pendapat sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada
bunyi hadits di atas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan
dengan meyambelih kambing.
4. Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi
Muhammad saw. terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari
Muslim :
وَعَنْ عَاىِسَةَ قَالَتْ : تَزَوَّجَنِىْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَتِّ سِنِيْنَ وَ بَنِىَ بِى
وَاَنَابِنْتُ تِسْعِ سِنِيْنَ (رواه مسلم وعن عاىسة)
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya
berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang
telah berumur sembila tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)
Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan
mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin
yangbersangkutan yang masih di bawah umur, demikian pendapat
Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap karena
kegadisannya.2
C. Cara penyelesaian Ta’arudh Al-adhillah Dalam Metode Hanafiyah dan
Syafi’iyah
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah
dalam menyelesaikan ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika
terjadi ta’arudh al-adillah maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:
1. Nasakh
Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek
waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat
dinasakh oleh dalil yang datang kemudian.
2. Tarjih
Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat
digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang
bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih).
3. Al-jam’u wa al-taufiq
2 Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2009. Hlm 313-314
Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk di
lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan.
4. Tasaqut
Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah
tidak menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat
menggunakan dalil lain yang lebih rendah urutannya. Jika yang
bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan sunnah.jika
yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan
qaul sahabi begitu selanjutnya.
Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili,
cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah
sebagai berikut:
1. Al-jam’u wa ai-taufiq
Yaitu mengkompromikan jika memungkinkan. Alasannya karena
mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan membiarkan salah
satunya. Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah
dengan ayat 4 surat At-Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
yang masing-masing berbicara tentang masa iddah wanita yang dicerai
oleh suaminya.
2. Tarjih
Jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara selanjutnya
yang ditempuh adalah dengan tarjih.
3. Nasakh
Jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka caranya
meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil
yang datang terdahulu dapat di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.
4. Tasaqut
Jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan keluarnya
adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat menggunakan
dalil yang lebih rendah kualitasnya.3
3 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hh. 234-236.
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan
syafi’iyah sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa perbedaan keduanya terletak pada urutannya.
1. Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut.
2. Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut.
D. Contoh Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-adillah
1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq
(menggabungkan dan mengkompromikan)
Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَ لَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِى أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:
وَأُوْلَتُ آلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْع لْ لَّهُ , مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan
yang ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah
selama empat bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna
umum, yaitu setiap wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai
hidup wajib ber-iddah sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu
terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati
suami. Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidan, dapat dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat
difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan
yang diambil adalah bahwa iddah perempuan hamil yang kematian suami
adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan
atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya, jika perempuan itu
melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak suaminya
meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika
sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan,
maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.
2. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh
Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:
كُ تِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُ وْفِ حَقّا عَلَى
الْمُتَّقِيْنَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِي خُطْ بَتِهِ عَامَ
حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَ ارِثٍ
Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah
memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat
kepada ahli waris. (HR. Tirmidzi)
3. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih
Hadits Rasulullah saw. berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابٍ قَالَ : كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ
Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah
berkata: barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah
ada puasa baginya. (HR. Ahmad)
Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:
عَنْ عَاىِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَىِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمَا قَالَتَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَ لَّى
.اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُوْمُ
Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya
berkata: Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena
mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa. (HR. Malik)
4. Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain
Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20
فَآقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ
Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.
Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:
وَإِذَا قُرِىَءالْقُرْءَانُ فَآسْتَمِعُوْالَهُ, وَأَنْصِتُواْلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik,
dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.
Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat,
termasuk makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah
dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat.
Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab
yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam
dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat
terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan
dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara bersamaan.
Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum yang
saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf
(tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang
menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada
hadits yang menjelaskan:
من صلى خلف الإمام فإن قراءة الإمام له قراءة
Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya
bacaan imam menjadi baginya. (HR. Jama’ah)4
4 Mardani, Op. Cit., h.394-396.

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara
kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan
kandungan dalil yang lain yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut
menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul
Adillah terjadi Jika terdapat unsur-unsur. Adapun cara penyelesaian yang
dapat dilakukan terdapat dua pendapat, yakni, menurut Hanafiyah yaitu
nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut. Sedangkan menurut
Syafiiyah yaitu al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Totok Jumantoro, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2009.
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar