Selasa, 21 Juli 2020

TAKLID VS ITTIBA'

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Taklid

1.    Pengertian Taqlid

Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban).Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.[1]

Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[2]

2.      Hukum – Hukum Taqlid

Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.[3]

a.       Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.

b.      Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :

Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :

 

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)

Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

B.     Ittiba’

1.    Pengetian Ittiba’

Ittiba’ artinya menurut atau mengikut.Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.[4]Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[5] Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.

2.      Dasar Hukum dan Hukum Ittiba

Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.[6]

 

 

 

 

C.    Talfiq

1.    Pengertian Talfiq

Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam.Ia diumpamakan seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.[7]Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[8]

Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja.Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh.Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.[9]

2.      Hukum Talfiq

Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.[10] Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

a.       Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.

b.      Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.

c.       Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadits yang mengatakan bahwa agama itu mudah.

Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh).Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.

Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :

a.    Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab;

b.    Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah;

c.    Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan;

d.   Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab;

e.    Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.[11]

D.    Perbedaan Taklid, Ittiba’, dan Talfiq beserta Contohnya

                 Taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya.Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[12]Sedangkan talfiq pada dasarnya adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum.

Contoh taklid: seseorang yang melakukan gerakan ruku’ dan sujud ketika dia hanya mengikuti guru ngajinya, tanpa pernah tau dari mana dalil yang melandasinya.

Contoh ittiba’: seseorang yang sedang baca doa qunut saat shalat shubuh mengikuti mazhab Imam Syafi’i, dan tau dalil yang melandasinya.

Contoh talfiq: dalam masalah rukun nikah mazhab Al-Hanabilah, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya. Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap sah meskipun tidak ada saksi-saksi.Dan dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak diberi mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya. Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadi-jadian’. Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan menolak model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu tidak sah. Pernikahan model begini para prinsipnya sama saja dengan sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-namakan pernikahan.


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Taqlid adalah mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Secara hukum taklid dibagi menjadi dua, yaitu:

1.      Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.

2.      Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.

Ittiba’ yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Hukum ittiba’ bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya.

Talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Hukum talfiq adalah mubah (boleh).

B.     Saran

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan sehingga penyusunan berharap saran dan kritik dari pembaca sekalian agar penyusun dapat meningkatkan dan memperbaiki penyajian makalah yang lebih baik dari sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi Yusuf, 2003, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Arifin Miftahul dan Haq Ahmad Faisal, 1997, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media

Bakry Nazar, 2003, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 

Hasan M Ali, 2002, Perbandingan Mazhab, cet 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Hanafi Ahmad, 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, Jakarta: PT Bulan Bintang. 

Rosyada Dede, 1999, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta: Logos

Umam Khairul dan Aminudin A. Achyar Aminudin, 2001, Ushul Fiqih II, cet. 2, Bandung: Pustaka Setia.



[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 87. 

[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 61.  

[3] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 155. 

[4] Nazar Bakry, Op.cit., h. 60. 

[5] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 163. 

[6]Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 164.

[7]M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 89.

[8] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 164 

[9] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 177. 

[10] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 165. 

[11] M Ali Hasan, Op.cit.,h. 91. 

[12] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999), h. 25. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar