Jumat, 17 Juli 2020

ISLAM DI KALIMANTAN

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Setiap masyarakat selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok, adapun perubahan yang membawa pengaruh terbatas maupun luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali. Akan tetapi, ada juga yang berjalan ceepat. Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak dahulu landasan teori perubahan kebudayaan suatu fenomena yang abadi dala  kehidupan di dunia ini, perubahan kebudayaan adalah adanya ketidaksesuaian unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda, sehingga terjadilah keadaan yang tidak sesuai dengan fungsinya bagi kehidupan. Apabila manusia makhluk sosial, yang tidak bisa mempertahankan hidup selamanya. Segala sesuatu yang ada didunia ini akan mengalami kerusakan dan hanya ada satu yang abadi yakni tuhan yang Maha Esa.

Keberadaan Islam di rantau melayu yang terdiri dari daratan dan kepulauan yang banyak jumlahnya telah berjaya membina satu imej baru kepada masyarakat rantau melayu. Alam melayu berjaya menampilkan sebuah tamadun yang gemilang terutama setelah kedatangan Islam ke rantau ini. Umat melayu berjaya membina kecermelangan dan kegembilngan dalam berbagai bidang dimulai dengan keagungan pemerintahan, kemntapan ekonomi dan kemurnian budaya serta sosial. Kejayaan ini dibina oleh generasi awal berasaskan pemahaman agama Islam yang berteras tauhid. Sebelum Islam berjaya dibangsa melayu, bangsa melayu mempunyai sejarah sebelum masuknya Islam, kedatangan Islam dan pengaruh agama Islam terhadap tamadun melayu. Dan orang sering mengaitkan bahwa melayu itu beragama Islam.

Berbagai  teori  tentang  masuknya Islam  ke  Nusantara  telah  dikemukakan oleh  para  ahli.  Secara  umum,  pendapat tersebut dapat  dibagi dalam empat  teori besar, yaitu Teori Gujarat, Teori Mekkah, Teori  Persia,  dan  Teori  Cina.[1]  Nor  Huda menggunakan  istilah  yang  lebih umum untuk menyebutkan Gujarat dan  Mekkah,  yaitu  India  dan  Arab.[2] Menurut  Daliman  secara umum  pembabakan  Islamisasi  di Nusantara dapat dibagi dalam tiga babak, yaitu:  masa  kedatangan,  proses penyebaran dan  proses perkembangan.  Masa kedatangan Islam di Nusantara dimulai  pada  abad  ke-7  berdasarkan pendapat  dari  para  ahli  tentang  adanya pemukiman Ta-Shih  di beberapa  tempat di wilayah Sriwijaya.[3] Rita Rose Di Meglio mendefinisikan  Ta-Shih  sebagai  orang Islam yang berasal dari Arab atau  Persia dan bukan orang Islam  dari India. Selain itu, disebutkan pula  dalam berita Jepang yang  ditulis  pada  748  M  menceritakan tentang  perjalanan  Pendeta  Kanshin. Dalam berita tersebut diceritakan bahwa pada masa itu di Kanton berlabuh kapal-kapal  dari  Posse  dan  Ta-shih  Kuo.  Rita Rose  mendefinisikan  Ta-shih  sebagai orang  Arab  dan  Po-sse  sebagai  orang Melayu.[4] Proses penyebaran  Islam pada  abad ke-11  di  Nusantara  ditandai  dengan ditemukannya  batu  nisan  makam Fatimah  binti  Maimun  di  Leran,  Gresik berangka  tahun  1082  M.  Selain  itu, sebuah  batu  berukir  di  daerah  Lubuk Tua, pantai barat Sumatera menunjukkan pula  kemungkinan  bahwa  Islam  telah masuk  ke  Sumatera  pada  masa  yang lebih  tua  lagi.  Hal  inilah  yang menyebabkan  beberapa  ahli berpendapat  bahwa  Islam  telah  masuk ke  Nusantara  pada  abad  ke-7.

Proses  perkembangan  Islam  di Nusantara  dimulai pada  abad  ke-13 sebagaimana yang didukung oleh banyak ahli  berdasarkan  fakta-fakta  historis. Berita  Marco  Polo  dari  Venesia  yang singgah di Samudera Pasai pada  1292 M dalam perjalanan pulang dari Cina dapat menjadi  acuan  dalam  teori  ini. Keterangan  Marco  Polo  yang menyebutkan  bahwa  ia telah  singgah  di Sumatera  dan  menyebutkan  bahwa Perlak telah dikenal sebagai sebuah kota Islam.[5] Para  ahli  berpendapat  bahwa Kerajaan  Samudera  Pasai  merupakan kerajaan  Islam  pertama di  Nusantara di akhir  abad  ke-13.  Bukti  yang memperkuat  pendapat  ini  adalah ditemukannya  bukti-bukti  arkeologis batu  nisan makam  Sultan Malik  al Saleh berangka tahun 1297 M. Berita  Ibnu  Bathuthah  yang singgah di  Samudera  Pasai  pada  1345  M  dapat pula  dijadikan  acuan  tentang perkembangan  Islam  pada  abad  ke-13. Dalam  berita  tersebut  ia  mendapati bahwa penguasa  Samudera Pasai  adalah seorang  pengikut  mazhab Syafi’i.  Hal ini menegaskan  bahwa  keberadaan mazhab ini  sudah  berlangsung  sejak  lama,  yang kelak  akan  mendominasi  Indonesia.[6] Namun,  tidak menutup  adanya  kemungkinan  bahwa ketiga  mazhab  Sunni  lainnya,  yaitu Mazhab  Hanafi,  Mazhab  Maliki,  dan Mazhab  Hambali  juga  sudah  masuk  ke Nusantara  pada  masa-masa  awal berkembangnya Islam.

Pengertian tamadun yang berasal dari kata Arab “maddana” yang berarti peradapan, dapat diartikan sebagai keadaan atau kondisi kehidupan bermasyarakat yang bertambah maju. Oleh karenanya, melalui pusat kajian Tamadun Melayu Nusantara, berbagai aspek yang menyertainya akan dipelajari, dikaji, diteliti, dan dikembangkan oleh para peneliti baik berasal dari UI maupun dari luar UI. Berbagai hasil penelitian yang nantinya akan dihasilkan oleh Pusat Kajian Tamadun Melayu Nusantara dapat memberikan sumbangan atau kontribusi yang signifikan bagi UI ynag telah mencanangkan sebagai universitas riset yang bertaraf nasional maupun internasional.

Masuknya Islam ke Kalimantan Barat itu sendiri tidak di ketahui secara pati, masih banyak perbedaan pendapat dari berbagai kalangan, ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada abad ke-15, da ada juga pendapat lain yang mengatakan Islam masuk di Kalimantan Barat pada abad ke-16. Daerah Kalimantan Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa Islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab, namun ada versi lain yang mengatakan nam beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri dayak yang telah menganut agama Islam putri kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 rabiul awal 1151 H (1739 M), jadi ia merupakan keturunan Arab dan dayak dan ayahnya Syarief Husein menjadi Ulama terkenal di kerajaan Matan hamper selama 20 tahun.

 

B.       Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian tamadun melayu?

2.    Bagaimana masuknya Islam di Kalimantan?

3.    Apa saja kerajaan melayu di Kalimantan?

4.    Bagaimana adat istiadat melayu Kalimantan?

5.    Apakah melayu Kalimantan identik dengan Islam?

6.    Apa saja tarian adat melayu Kalimantan yang popular?

 

C.      Tujuan Masalah

1.    Untuk mengetahui pengertian tamadun melayu.

2.    Untuk mengetahui masuknya Islam di Kalimantan.

3.    Untuk mengetahui apa saja kerajaan melayu di Kalimantan.

4.    Untuk mengetahui adat istiadat melayu Kalimantan.

5.    Untuk mengetahui melayu Kalimantan identic dengan Islam.

6.    Untuk mengetahui tarian adat melayu Kalimantan yang popular.


7.     

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Pengertian Tamadun Melayu

Pengertian Tamadun itu berasal dari kata Arab “maddana” yaitu kota atau Bandar yang didalam berisikan peradaban, dapat diartikan sebagai keadaan atau kondisi kehidupan bermasyarakat yang bertambah maju. Oleh karenya, melalui Pusat Kajian Tamadun Melayu Nusantara, berbagai fenomena yang terkait dengan kehidupan masyarakat melayu, serta berbagai aspek yang menyertainya akan dipelajari, dikaji, diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti baik yang berasal dari UI maupun dari luar UI.

Istilah melayu cukup banyak ragamnya, seorang cendikiawan melayu bernama Bahanuddin Elhulaimy yang juga pernah menjadi ketua umum partai islam tanah melayu dalam bukunya asas falsafah kebangsaan melayu, terbit pertama kali pada tahun 1950, mencatat beberapa istilah kata tersebut. Ada pendapat yang mengatakan kata melayu berasal dari mala (yang berarti mula) yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada Ganggayu yang berarti negeri Gangga. Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu cerita si Kelambi atau sang Kelambai. Dalam cerita itu disebutkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya, yang dihuni atau disentuh oleh si kelambai, semuanya akan mendapatkan keajaiban. Ini memberi petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni orang melayu pada zaman purba itu, telah mempunyai peradapan yang cukup tinggi.

Kemudian kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau bukit, disamping kata mala yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang melayu pada awalnya terletak pada perbuktian, seperti bukit siguntung Mahameru. Negeri ini sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Selanjutnya, dalam bahasa Jawa, melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu kita kenal pula sungai Melayu, diantara dekat Johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan perkataan itu dapat dirangkumkan sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu. Mereka membuat negeri diatas bukit, karena ada pencairan es kitub utara yang menyebabkan sejumlah daratan atau pulau yang rendah jadi terendam oleh air. Banjir dari kutub itu lebih dikenal dengan banjir atau topan Nabi Nuh. Untuk menghindari banjir mereka berlarian mencari tempat yang tinggi (bukit) lalu disitulah mereka membuat negeri.

Istilah melayu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi, melalui tulisan Cina yang menyebutkan dengan kata M0-lo-yeu. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Cina, membawa barang hasil bumi untuk dipersembahkan kepada kaisar Cina. Jadi kata melayu menjadi nama sebuah kerajaan dewasa itu. Banyak pertelingkahan, dimana kerajaan yang bernama melayu itu, tapi banyak yang berpendapat kerajaan itu berada di Jambi sekarang ini. Nenek moyang melayu itu ternyata juga beragam, baik asalnya yang mungkin dari suku Dravida di India, mungkin juga Mongolia atau campuran Dravida dengan Aria yang kemudian kawin dengan ras Mongolia. Kedatangan mereka juga bergelombang ke Nusantara.[7]

Secara umum, dapat dikatakan bahwa pengertian merujuk kepada bangsa yang berbahasa melayu yang mendalami semenanjung Tanah Melayu, pantai timur Sumatra, dan beberapa tempat lainnya di wilayah nusantara. Dalam arti sempit yang terdapat dalam pelembagaan Malaysia yakni perkara 153 mengatakan bahwa seseorang itu dapat dikategorikan sebagai melayu apabila memiliki ciri-ciri seperti berikut:

1.    Lazimnya berbahasa melayu;

2.    Berkebudayaan melayu;

3.    Beragama Islam.

Pengertian melayu menurut pengertian suku bangsa lebih berdasarkan etnis, walaupun begitu syarat bangsa melayu dan kebudayaan melayu masih diperlukan, tetapi tidaklah semestinya beragama Islam. Berdasarkan ini orang-orang melayu adalah:

a.    Orang-orang melayu yang mendiami kawasan Thai, pesisir Sumatra (utara medan, deli serdang, Palembang, Riau lingga.

b.    Ada yang beragama Budha dan Kristen.

c.    Orang-orang melayu di Brunei dan Sabah.

Pengertian melayu berdasarkan Ras yaitu menerangkan penduduk seluruh Nusantara berdasarkan kajian Geldara dan Kern. Mereka berasal dari satu kelompok bangsa kemudian tersebar keseluruh nusantara, pengertian mengikuti ras ini lebih bertumpu kepada suatu rumpun bangsa yang besar berkaitan. Jadi dapat disimpulkan, sehingga malayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang pertama didiami oleh seluruh penduduk yang ada dinusantara oleh sungai yang diberi nama sungai melayu.

B.       Masuknya Islam di Kalimantan

Agama Islam mula-mula masuk ke Kalimantan ialah di daerah utara kota Berunai (1500 M). Brunei adalah sebuah kota tua yang telah lama mengadakan perhubungan perdagangan dengan Tiongkok. Setelah kerajaan Brunei memeluk Islam maka Brunei menjadi pusat penyiaran agama Islam, sehingga pada waktu itu agama Islam mencari jalannya ke Pilipina, tetapi pulau ini agama Islam hanya berkembang disebelah Selatan, karena di sebelah Utara menghadapi agama Nasrani. Islam masuk di Kalimantan Selatan pada Tahun 1550 M. raja-raja di Kalimantan masuk Islam setelah mendapat bantuan dari Sultan Demak, kemudian Islam mulai berkembang ke daerah Hulu sungai Barito.[8]

Kalimantan merupakan  daerah yang dikenal  memiliki  hasil  bumi  yang melimpah.  Hasil  bumi  dari  Kalimantan yang  menjadi  incaran  para  pedagang Cina  sejak  1400  Masehi  adalah  intan yang  merupakan  daerah penghasil  satu-satunya  di  Nusantara.  Pada  abad  ke-15, pusat  perdagangan  intan  di  Kalimantan Selatan,  seperti Tanjungpura  dan  Matan telah  dikuasai oleh  para  pedagang  Cina. Bahkan,  pada  saat  Portugis  masuk  ke dalam bidang perdagangan di wilayah ini tidak  dapat  menggeser  peranan pedagang  Cina  yang  telah  menguasai jalur  perdagangan selama  berabad-abad sebelumnya.

Tome Pires dalam Suma Oriental mendeskripsikan bahwa:[9] Kalimantan  terdiri  dari  banyak pulau,  baik  besar  maupun  kecil yang  hampir  seluruhnya  ditinggali oleh  orang  Pagan,  kecuali  pulau utamanya  yang  ditinggali  oleh orang  Moor  setelah  belum  lama rajanya  menjadi  seorang  Moor. Mereka  tampaknya  sangat  lihai berdagang  yang  sebagian  besar merupakan  pria-pria berkedudukan  menengah.  Tempat ini  merupakan  penghasil  daging, ikan,  beras  dan  sagu  yang melimpah. Kedatangan  Islam  di  Kalimantan tentunya  tidak  luput  dari  jaringan Islamisasi  Nusantara.  Tidak  dapat diketahui dengan  pasti kapan  masuknya Islam ke Kalimantan Selatan. Namun, hal tersebut  tidak  lepas  dari  jaringan perdagangan  Nusantara yang  salah  satu penggeraknya  adalah para  pedagang yang telah  memeluk agama  Islam. Tidak mustahil  bahwa  diantara  sekian  banyak pedagang  yang  pernah  singgah  di Banjarmasin  merupakan  pedagang muslim  dan  pernah  tinggal  di  kota pelabuhan ini.

1.    Masuknya Islam di Kalimantan Barat

Masuknya Islam ke Kalimantan Barat itu sendiri tidak diketahui pasti, masih banyak perbedaan pendapat dari berbagai kalangan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada abad ke-15, dan ada juga pendapat lain yang mengatakan Islam masuk di Kalimantan Barat abad ke-16. Daerah Kalimantan Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa Islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab, namun ada versi lain yang mengatakan nam beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri dayak yang telah menganut agama Islam putri kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 rabiul awal 1151 H (1739 M), jadi ia merupakan keturunan Arab dan dayak dan ayahnya Syarief Husein menjadi Ulama terkenal di kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.[10]

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, Islam masuk di Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan tidak melalui organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan. Ada dua proses berlangsungnya penyebaran islam. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah kemudian melakukan perkawinan campuran dan menjadi anggota masyarakat lainnya. Ada beberapa hal yang membuat islam dapat dengan mudah untuk diterima oleh masyarakat dan menyebar luas sampai ke daerah pedalaman. Adapun faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

a.    Melalui perkawinan campuran yang dilakukan oleh orang muslim dengan orang non muslim. Adanya perkawinan campuran ini juga dapat dilihat pada kerajaan Pontianak yang rajanya Syarief Abdurrahman Al-Kadri menikah dengan Nya’I Tua putri Dayak kerajaan Matan.

b.    Melalui perdagangan. Mayoritas penduduk Kalbar tinggal di daerah pesisir sungai atau pantai. Islam disebar luaskan dan berkembang melalui kegiatan perdagangan, mulanya di kawasan pantai seperti Kota Pontianak, Ketapang, atau Sambas, kemudian menyebar ke arah perhuluan sungai.

c.    Melalui dakwah. Adapun nama-nama mubaligh dan guru agama yang terlibat dalam menyebarkan agama Islam di Kalbar tersebut pada awal abad ke 20 menurut Mohd Malik diantaranya adalah Haji Mustafa dari Banjar (1917-1918), Syeh Abdurrahman dari Taif, Madinah (1926-1932), Haji Abdul Hamid dari Palembang (1932-1937), Sulaiman dari Nangah Pinoh, dan Haji Ahmad asal Jongkong (sekarang). Para guru agama ini mengajarkan membaca Al-Qur’an, fiqih dan lain-lain, di rumah dan juga di masjid.

d.   Melalui kekuasaan (otoriter). Islamisasi ini terjadi pada masa Sultan Aman di kerajaan Sintang. Pada masa ini beliau melakukan peperangan kepada siapa saja yang tidak mau masuk islam. Tercatat raja-raja kerajaan Silat, Suhaid, jongkong, Selimbau dan Bunut diperangi karena tidak mau masuk Islam. Setelah raja tersebut dapat ditaklukan dan menyatakan diri memeluk Islam, mereka diharuskan berjanji untuk tidak ingkar. Bagi yang melanggar akan dihukum mati.

Melalui kesenian tradisional. Sastra tradisional di Cupang Gading memperlihatkan adanya keislaman. Dengan mengkolaborasikan antara nilai islam dengan nilai kesenian ini memberikan kemudahan dalam menyebarkan islam itu sendiri. Berpadunya nilai lokal dengan islam dapat dilihat melalui prosa rakyat yang dikenal dengan istilah berkesah dan melalui puisi tradisional, seperti pantun, mantra, dan syair. Selain itu islam juga disebarkan melalui kesenian Jepin Lembut yang ada di daerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian inilah yang kemudian dijadikan media dakwah dalam menyebarkan islam di Kalbar.

2.    Masuknya Islam di Kalimantan Selatan

Sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode menjelang masuknya Islam di Kalimantan adalah Negara Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut daerah Kalimantan Selatan yang diketahui ialah daerah sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya. Situasi politik didaerah Kalimantan Selatan menjelang Islam banyak diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni Hikayat Lambung Mangkurat (Hikayat Banjar). Sumber tersebut memberitahukan bahwa didaerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.

Proses  penyebaran  Islam  di Kalimantan  Selatan  secara  terang-terangan  dimulai  dengan  kontak  antara Pangeran  Samudera  dengan  Kerajaan Demak.  Pada  saat  itu,  Pangeran Samudera meminta  bantuan pasukan  ke Demak  untuk  berperang  melawan pamannya, Pangeran Tumenggung dalam merebut  tahta  kekuasaan  Negara Daha. Pada saat itu, ia menghadapi bahaya yang berat  yaitu  kelaparan  dikalangan pengikutnya.  Atas  usul  Patih  Masih, Pangeran  Samudera  meminta  bantuan kepada Demak yang merupakan kerajaan terkuat setelah  Majapahit.  Dalam hal  ini, Patih  Balit  diutus  menghadap  Sultan Demak  dengan  membawa  400 penggiring  dan  10  buah  kapal.[11] Setibanya  di  Demak,  Patih  Balit langsung  menghadap  Sultan  Demak Trenggana  dengan  membawa  sepucuk surat  dari  Pangeran  Samudera.  Surat tersebut  ditulis  dalam  Bahasa  Banjar dengan  menggunakan  Huruf  Arab-Melayu yang berbunyi sebagai berikut: “Salam  sembah  putera  andika Pangeran  di  Banjarmasin  datang kepada  Sultan  Demak.  Putera andika  menantu  nugraha  minta tolong  bantuan  tandingan  lawan sampean  karena  putera  andika berebut  kerajaan  lawan parnah mamarina  yaitu  namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua  putera  andika  yaitu  masuk mengula  pada  andika  maka persembahan  putera  andika  intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000  buah,  damar  1.000  kandi, jerangan  10  pikul  dan  lilin  10 pikul”.

Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalsel kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah dia meninggal dia digantikan oleh pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa dengan pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam. Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja Demak, dalam hal ini sangat menarik perhatian hubungan antara sunan Giri dengan Kalimantan Selatan. Dalam hikayat Lambung Mangkurat dicerikan tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul dikepalanya dan mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan petinggi yang berasal dari Surabaya.

Juragan Balaba memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia kawinkan dengan puteri juragan Balaba sendiri.dia mempunyai dua orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji Dekar, keduanya berguru dengan sunan Giri, Raden Sekar Sungsang kemudian diambil menjadi menantu sunan Giri dan bergelar sunan serabut. Raden Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke Negara Dipa. Dengan penampilam yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan dengan pihak kerajaan Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara sekarang, sedangkan ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan raden Samudera yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari kerajaan Banjar.

Raden Sekar Sungsang menjadi raja pertama dari Negara Daha dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama ia berkuasa hubungan dengan giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap tahun, yang menjadi masalah kalau raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dan melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden Panji Sekar Sungsang telah memeluk agama Islam meskipun keimananya belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara Daha dari kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum Sultan Suriansyah, kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa kemungkinan yaitu bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan ke Islamannya, atau memang keimanannya belom kuat. Tetapi yang dapat disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup didaerah Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar abad ke-13, 14 Masehi.

3.    Masuknya Islam di Kalimantan Timur

Menurut catatan sejarah Alawiyah dikenal tokoh Datuk Tunggang Parangan atau Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya yang lahirnya di Tarim, Hadralmaut Yaman Selatan, seorang ulama penyebar agama Islam di Kalimantan Timur. Makanya berada didesa Kutai Lama Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Habib Hasyim bin Musyyakh keluar dari Hadralmaut Yaman, hijrah untuk menyebarkan Islam di pulau Jawa, pulau Sumatera kemudian kepulau Sulawesi. Disini Habib Hasyim bertemu dengan seorang ulama berasal kota tengah Kampar Riau yang telah lama bergelar datuk Ri Bandang. Dari Sulawesi Habib Hasyim menuju negeri Matan (ketapang) Kalimantan Barat. Disni Habib sebagai ulama dikenal dengan gelar Habib Tunggang Parangan dan sebutan Si Janggut Merah.

Menurut Risalah Kutai, dua orang penyebar agama Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan raja Mahkota. Salah satu diantaranya adalah Tuan Ri Bandang, yang lebih dikenal dengan Datuk Ri Bandang dari Makassar dan Tuan Tunggang Parangan.[12] Disebut Tuan Tunggang Parangan oleh masyarakat sekitar karena ketika dating ke Kutai beliau menunggang jukut (ikan) Parangan.[13] Sementara menurut dokumentasi Wikipedia, disebutkan Habib Hasyim adalah seorang ulama Minangkabau yang menyebarkan agama Islam di kerajaan Kutai di Kalimantan bersama temannya Datuk Ri Bandang pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota yang memerintah dari tahun 1525 hingga 1589. Datuk Tunggang Parangan berperan besar dalam menyebarkan Islam bersama Raja Aji Dilanggar atau Aji Gendung gelar Meruhum Aji Mandaraya yang memerintah setelah menggantikan ayahnya, Aji Mahkota sejak tahun 1589 hingga 1605, sehingga rakyat Kutai akhirnya memeluk Islam.

Pada saat kerajaan Kutai Kartanegara di perintah Aji Mahakota Mulia datanglah misi penyiaran Islam yang dilakuakn oleh dua orang ulama dari Minangkabau yang bernama Datuk Ri Bandang dan Tuanku Tunggang Parangan. Kedua Mubaligh itu dating ke Kutai setelah orang-orang Makassar masuk Islam, tetapi beberapa waktu kemudian keluar lagi dari Islam, karena itu Tuan Ri Bandang kembali lagi ke Makassar, sedangkan Tuanku Tunggang Parangan menetap di Kutai.[14]

Selanjutnya diceritakan proses Islamisasi di Kerajaaran Kutai Kartanegara dilakukan dengan adu kesaktian yang menakjubkan antara Tuanku Tunggang Parangan dan Aji Mahakota. Langkah kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota untuk mememeluk Islam ditolak. Bahkan karena langkah dakwah ini buntu, Tuan Ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar untuk melanjutkan dakwahnya disana dan meninggalkan Tuan Tunggang Parangan di kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir, dikisahkan Tunggang Parangan menwarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian, dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja harus bersedia untuk memeluk Islam. Akan tetapi, jika Aji Raja Mahakota yang menag, maka Tunggang Parangan akan mengabdikan hidupnya untuk kerajaan Kutai Kartanegara. Raja Aji Mahakota masuk Islam setelah ia merasa kalah dalam adu kesaktian dengan Tuanku Tunggang Parangan. Kemudian diikuti oleh keluarga, menteri, punggawa, dan para pembesar kerajaan.[15] Para Bangsawan diberi pelajaran agama Islam mengenai shalat lima waktu, hukum Islam, membaca Arab dan lain-lain.[16]

Dibawah asuhan Datuk Ri Bandang, dibantu oleh Raja Mahakota, maka agama Islam dalam waktu yang tidak begitu lama sudah tersebar dari Sangkulirang disebelah utara hingga disekitar sungai Jumpi, dan pada waktu itu ibukota kerajaan telah didirikan masjid yang indah, dan disanalah Datu Ri Bandang (Tuanku Tunggang Parangan) mendidik murid-murisnya menjadi pemeluk agama Islam yang taat dan menjadikan juru dakwah yang akan melanjutkan Ukhuwah Islamiyah di masa mendatang. Tuanku Tunggang Parangan hingga akhir hayatnya berada di Kutai, dan ketika beliau berpulang ke rahmatullah jenazah beliau dimakam kan didesa Jahitan Layar. Makam tersebut sekarang dapat dilihat di kampung Kutai Lama yang termasuk wilayah kecamatan Angggana.[17]

Dengan demikian menurut referensi yang ada, mulai tersebarnya Islam di Kalimantan Timur, khususnya dikerajaan Kutai Kartanegara paling cepat baru pada tahun 1606. Diantara para pemeluk Islam yang mula-mula hanya kerabat di kerajaan Kutai Kartanegara sebagi hasil usaha dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, termasuk rajanya sendiri yang dalam tahun 1606 itu sedang atau masih menduduki tahta kerajaan.[18]

C.      Kerajaan Melayu di Kalimantan

Kita ketahui bahwa diseluruh Kalimantan terdapat kerajaan-Kerajaan yang bercorak Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Dalam pembicaraan ini diantara kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan yang berccorak Islam yang akan dibicarakan adalah kerajaan-kerajaan seperti berikut:

1.    Kerajaan Banjar (Banjarmasin)

Kerajaan Banjar (Banjarmasin terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di hulu sungai Negara di Amuntai kini. Kerajaan Negara Dipa masa pemerintahan Putru Jungjung Built dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit sudah sampai di daerah sungai Negara, Batang Tabalung, Barito, dan segalanya tercatat dalam kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Konon diceritakan bahwa di kerajaan Daha setelah pergantian pangeran Sukarama cucu oleh pangeran Tumenggung timbul perpecahan dengan Raden Samudra cucu pangeran Sukarma. Raden Samudra dinobatkan sebagai raja banjar oleh  patih Masin, Mahur, Balit dan Kuwin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, raden Samudra minta bantuan kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan dan semenjak itulah kerajaan Samudra menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah, yang mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudra dengan patih-patih serta rakyatnya adalah seorang penghulu Demak.

Islamisasi didaerah itu menurut A.A Cense terjadi sekitas 1550 M. sejak pemerintahan sultan Suryanullah kerajaan Banjar meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah sebagai penguasa kerajaan Banjar. Setelah sultan Suryanullah wafat, dan digantikan oleh puteranya yang tertua dengan gelar Rahmatullah yang masih mengirimkan upeti ke Demak yang pada waktu itu sudah menjadi kerajaan Pajang. Setelah sultan Rahmatullah yang memerintah kerajaan Bnajar adalah seorang puteranya yang bergelar Hidayatullah, pada masa itu patih-patih yang namanya disebut diatas sudah tiada karena itu mangkubumu sultan Hidayatullah adalah Kyai Anggadipa. Penggantu sultan Hidayatullah adalah sultan Marhum penembahan atau dikenal dengan gelar Mustain Billah yang pada pemerintahannya berupaya memindahkan ibukota kerajaan Amuntai.masa pemerintahan sultan Mustain Billah pada awal abad ke-17 ditakuti oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya dan dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, disamping mengusai daerah-daerah di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah dan Barat.

Pada awal abad ke-17 itu banjar kedatanagan pedagang Belanda Gilis Michielse Zoon diundang ke darat, tetapi akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Balasan dari pihak VOC tahun 1612 kota Banjarmasin hancur ditembaki Belanda. Akhirnya sultan Marhum penembahan memndahkan pusat kerajaan ke Kayu Tangi. Perdamaian baru terjadi lagi pada tahun 1635, tetapi hubungan tersebut tidak lama. Kerajaan Banjar sejak pengaruh Belanda politik monopoli perdagangan masuk di Kalimantan Selatan terus-menerus terjadi perselisihan baik dengan pihak Belanda maupun lingkungan kerajaan Banjar sendiri, ditambah perdaganagn Inggris. Terutama sejak awal abad 18, yaitu sejak Belnada membuat benteng di pulau Tatas tahun 1747 bahkan kelak pada abad 19, yaitu tepatnya tanggal 4 Mei 1826 melalaui kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dengan sultan Adam, dalam hal ini pulau Tatas diserahkan kepada Belanda juga daerah Kuwin Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpal dan sebagainya. Meskipun keadaan politik kerajaaan Banjar yang kurang stabil itu boleh dicatat bahwa pada abad ke-18 dikerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad b’Abdullah al-Banjari (1710-1745) pergi belajar ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya ia mengajarkan fikih atau syariah dengan kitabnya Sabil al-Muhtadin, ia juga ahli dibidang tasawuf dengan karya khas al-Ma’rifah. Baik riwayatnya maupun ajaran dan guru-guru dan kitab-kitab hasil karyanya secar panjang lebar telah dibicarakan oleh Dr. Azyumardi Azra dalam jaringan ulama timurr tengah dan kepulauan nusantara abad xvii.

Sejak wafatnya 1 November 1857, pergantian sultan-sultan dengan campur tangan politik Belanda mulai menimbulkan pertentangan antara keluarga raja-raja. Lebih-lebih setelah dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan kepada Belnada it uterus menerus terutama antara tahun 1859-1863 merupakan perjuangan baik rakyat maupun para pahlawan, anatara lain pangeran Antasari, pangeran Demang Leman, dan Haju Nasru. Perlawanan penjajah Belanda itu sebenarnya samapai tahun-tahun selnjutnya.

2.    Kerajaan Kutai

Di Kalimantan Timur terutama di Kutai pada masa kehadiran dan Islamisasi tidak menghadapi situasi dan kondisi politik perpecahan keluarga raja-rajanya, berbeda dengan di Kalimantan Selatan, kerajaan Kutai yang bercorak Hindu diceritakan dalam hikayat Kutai selalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. Demikian hubungan tersebut dapat diketahui dari data dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca tahun 1365 M, konon diceritakan dalam hikayat Kutai pada masa pemerintahan Raja Mahkota datanglah dua orang mubaligh Islam yaitu datuk Petik Ri Bandang dan Tunggang Parangan setelah mengislamkan Makasar. Setelah itu beradu kesaktian dengan Raja Mahkota itu dan kalah maka Raja Mahkota mulai memeluk agama Islam. C.A Moeis mengirakan kedatangan Islam dan mulai di anut oleh Raja Kutai itu sekitar tahun 1575 m. Kerajaan Kutai selanjutnya melakukan penyebaran Islam di daerah-daerah sekitarnya samapai abad ke-17 yang mana mulai didatangi pedagang-pedagang VOC Belanda bahkan sampai penjajahan Hindia Belanada.[19]

3.    Kerajaan Pontianak

Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat kini antara lain Tanjung Pura dan Lawe pernah diberitakan Tome Pirres (1512-1515). Tanjung Pura dan Lawe menurut berita musafir portugia itu sudah mempunyai kegiatan dalam perdaganagn baik dengan Malakan dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Adipati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah sukadana) menghasilkan komoditas seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah, dikatakan pula bahwa rakyatnya banyak yang menjadi pedagang.

Pada abad ke-17 kedua daerah kerajaan itu telah ada dibawah pengaruh kekuasaan kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC. Menarik perhatian beberapa tahun yang lampau pernah dilaporkan kepada pusat penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta bahwa daerah Sukadan ditemukan nisan-nisan kubur Islam dan ternyata setelah diteliti bentuknya menunjukkan persamaan dengan nisan-nisan kubur dari Tralaya yang pernah diteliti oleh L.Ch, Damais, nisan-nisan kibur dari daerah Sukandana itu seperti halnya nisan-nisan kubur di Tralaya sekitar abbad ke-14-15 M. pendapat itu diperkuat  bahawa kedua kerajaan Tanjungpura dan Lawe (Sukadana) sudah banyak hubungannya dengan Jawa dan Malaka sehingga kehadiran Islam di daerah Kalimantan Barat dipesisir itu mungkin sudah ada sejak abad-abad tersebut.[20]

4.    Kerajaan Pasir

Kesultanan Pasir pada awalnya berada di Sadurungas, kemudian pindah ke Pasir Belengkong. Kesultanan yang didirikan oleh pelarian dari Kerajaan Kuripan ini mempunyai hubungan yang kuat dengan Kesultanan Banjar dengan status sebagai daerah taklukan.

a.    Sejarah Awal Kerajaan Pasir

Kerajaan Pasir (Sadurangas) tidak bisa dipisahkan dari perang saudara yang melanda Kerajaan Kuripan yang terjadi sekitar abad ke-16.  Akibat perang saudara tersebut, dua panglima perang Kerajaan Kuripan, yaitu Temenggung Duyung dan Tukiu (Tokio) tersingkir hingga melarikan diri ke daerah yang bernama Sadurangas di Kalimantan Timur. Dalam pelariannya, kedua panglima perang Kerajaan Kuripan tersebut membawa seorang bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Putri Betung. Bayi ini adalah anak perempuan dari Aria Manau, sahabat Temenggung Duyung dan Tukiu. Aria Manau yang mengetahui bahwa putrinya diselamatkan oleh Temenggung Duyung dan Tukiu akhirnya menyusul ke Sadurangas. Bersama dengan istrinya, mereka memutuskan untuk menetap di Sadurangas. Di tempat ini, para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut membuat semacam perkampungan. Setelah menetap sekian lama di Sadurangas, nama Aria Manau mulai dilupakan orang dan dia lebih dikenal dengan nama Kakah Ukop yang berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop sementara sang istri dikenal dengan nama Itak Ukop.

Perkampungan yang didirikan oleh para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut lama-lama berubah menjadi besar. Beberapa orang (suku) akhirnya memutuskan untuk ikut serta menetap di Sadurangas. Melihat begitu pesat perkembangan perkampungan di Sadurangas, Temenggung Duyung, Tukiu, Aria Manau, dan istrinya bermusyawarah untuk mengangkat seorang pemimpin di Sadurangas. Kata mufakat kemudian didapatkan dengan mengangkat Putri Betung, yang saat itu telah dewasa, menjadi pemimpin di Sadurangas sekitar tahun 1575 Masehi. Sejak saat itu, nama Kerajaan Sadurangas, kemudian Kerajaan Pasir, akhirnya mulai terdengar dan dikenal sebagai sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Sadurangas, hulu sungai Kandilo. Versi legenda menyatakan bahwa Putri Betung lahir bukan dari hasil perkawinan manusia melainkan dari sebutir telur yang tersimpan di dalam sebilah bambu (betung atau petung). Ketika masih bayi, Putri Betung hanya mau meminum susu dari kerbau putih . Di sini, terdapat kesamaan antara versi legenda dan fakta sejarah yang menceritakan tentang adanya kerbau putih, seekor hewan yang dipelihara oleh Aria Manau.

Putri Betung menikah dengan seorang keturunan Arab (kemungkinan adalah raja) bernama Pangeran Indera Jaya yang berasal dari Gresik. Pernikahan ini dilaksanakan ketika Putri Betung telah menjadi ratu di Kerajaan Pasir. Ketika melangsungkan pernikahan, Pangeran Indera Jaya membawa sebongkah batu. Batu yang kini terletak di Kampung Pasir (Benua) tersebut dikenal dengan nama “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang. Perkawinan antara Putri Betung dengan Pangeran Indera Jaya dikaruniai dua orang anak yang bernama Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter. Adjie Patih akhirnya menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di Kerajaan Pasir. Putri Adjie Meter menikah dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam di Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M. Pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturuan Arab dari Mempawah dikaruniai 2 orang anak yang bernama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan dengan putra Adjie Patih Indra yang bernama Adjie Anum. Keturunan dari pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.

b.    Pengaruh Islam di Kerajaan Pasir

Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan perkawinan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600M. Putri Adjie Meter adalah adik dari Adjie Patih Indra (memerintah antara tahun 1567 – 1607), raja Kerajaan Pasir setelah Putri Betung turun tahta. Hubungan yang erat antara kakak-adik inilah yang menyebabkan suami dari Putri Adjie Meter dapat leluasa memasukan pengaruh Islam ke dalam Keraton Kerajaan Pasir, sehingga sekitar tahun 1600 M, agama Islam telah menjadi agama negara di Kerajaan Pasir. Hanya saja, penyebutan kesultanan belum lazim digunakan pada waktu itu karena gelar yang digunakan oleh penguasa tertinggi Kerajaan Pasir adalah “adjie” atau “aji”, bukan “sultan”. Penyebutan kesultanan baru lazim digunakan ketika Kesultanan Pasir diperintah oleh Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680).

Pada masa pemerintahan Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726) (pengganti Sultan Panembahan Sulaiman I) terjadi perang antara Kesultanan Pasir melawan suku bangsa yang disebut Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Dalam perang ini, Istana Kesultanan Pasir dibakar oleh pasukan dari Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Akibatnya, Sultan Adjie Muhammad Alamsyah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Pasir ke Pasir Benua, sebuah daerah yang dekat dengan Pasir Belengkong.

c.    Dinamika Daerah Taklukan: Dari Kesultanan Banjar hingga Belanda

Daerah Pasir – yang kemudian menjadi Kerajaan Pasir -- telah menjadi daerah taklukan Kesultanan Banjar yang berdiri pada tanggal 24 September 1526  Sebagai daerah taklukan, Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi kesultanan diwajibkan untuk mengirimkan upeti setiap tahun kepada Kesultanan Banjar berupa 10 kati emas urai, beras, dan padi. Kebijakan pengiriman upeti tersebut dianggap terlalu memberatkan rakyat di Kesultanan Pasir. Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766) berangkat ke Kesultanan Banjar untuk meminta keringanan pengiriman upeti. Melalui langkah diplomasi, Sultan Sepuh I Alamsyah berhasil menawarkan solusi bahwa Kesultanan Pasir tidak lagi harus mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar, tetapi sebagai konsekuensinya, Kesultanan Pasir harus mengirimkan upeti 50 kati emas urai. Sultan Banjar memberikan waktu selama 1 tahun kepada Sultan Sepuh dan rakyatnya untuk menambang emas dan memberikannya kepada Kesultanan Banjar.

Usaha Sultan Sepuh dan rakyat Kesultanan Pasir tidak sia-sia. Mereka berhasil menambang emas dan menyerahkannya kepada Sultan Banjar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Atas dasar kesepakatan ini, pada masa pemerintahan Sultan Sepuh, Kesultanan Pasir bisa menjadi daerah merdeka, dalam arti tidak wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar. Status sebagai sebuah negara yang merdeka bagi Kesultanan Banjar bertahan sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie Sembilan) (1766 – 1786). Setelah Sultan Ibrahim Alam Syah meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh Ratu Agung (1786 – 1788). Pada masa pemerintahan Ratu Agung, Kesultanan Banjar menjadi taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC). Status Kerajaan Pasir sebagai daerah taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC) dimulai ketika Belanda membantu Sultan Tahmidillah II dalam perang melawan Pangeran Amir. Perang ini adalah perang perebutan tahta yang terjadi di Kesultanan Banjar. Dalam perang tersebut, Sultan Tahmidillah II dibantu oleh Belanda sedangkan Pangeran Amir dibantu oleh orang-orang Bugis. Di akhir perang, yang terjadi pada tanggal 14 Maret 1786, kekuatan gabungan Sultan Tahmidillah II dan Belanda berhasil mengalahkan kekuatan gabungan Pangeran Amir dan orang-orang Bugis. Pangeran Amir akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (Srilangka).

Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan Tahmidillah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio, Hulu ungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Permintaan ini dilakukan setelah peperangan berakhir. Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787. Salah satu poin penting dari perjanjian itu yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas.

Kesultanan Pasir secara de facto telah menjadi daerah taklukan Belanda melalui perjanjian tanggal 13 Agustus 1787 tersebut. Belanda sebenarnya tidak mengetahui kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya (pada masa pemerintahan Sultan Sepuh) bahwa Kesultanan Pasir sebenarnya telah menjadi daerah yang merdeka dan bukan lagi sebagai daerah taklukan Kesultanan Banjar. Meskipun demikian, Belanda tetap meminta pengakuan kedaulatan atas Kesultanan Pasir. Penyerahan kedaulatan Kerajaan Pasir kepada Belanda baru dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853). Ketika ditabalkan sebagai sultan, untuk pertama kalinya A.L. Weddik, Residen Banjarmasin yang berpangkat Komisaris Gubernemen Belanda menghadiri acara penabalan. Pada waktu penabalan, Belanda mengikat secara de jureKesultanan Pasir melalui kontrak politik yang berisi:

1.    Kesultanan Pasir mengakui sebagai daerah yang termasuk ke dalam wilayah jajahan Hindia Belanda.

2.    Kesultanan Pasir menyatakan sumpah setia kepada Kerajaan Belanda dan taat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

3.    Kesultanan Pasir tidak akan mengadakan hubungan langsung ataupun membuat perjanjian dengan negara lain. Selain itu, musuh dari Belanda juga menjadi musuh Kesultanan Pasir.

d.   Perlawanan terhadap Belanda

Perjanjian politik antara Sultan Adam II dan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh A.L. Weddik ternyata tidak sepenuhnya ditaati oleh Sultan Adam II. Beberapa kerjasama dengan pihak asing tetap dilakukan oleh Sultan Adam II tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu kerjasama dengan pihak luar tersebut adalah kerja sama antara Sultan Adam II dengan seorang pedagang keturunan Arab dari Semarang yang bernama Syeh Syarif Hamid Alsegaf. Pedagang ini sering membawa pistol dan senapan untuk Sultan Adam II. Keduanya kemudian menjalin persahabatan yang dikukuhkan dengan perkawinan antara Syeh Syarif Hamid Alsegaf dengan kemenakan sultan bernama Aji Musnah. Bahkan, Syeh Syarif Hamid Alsegaf kemudian diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan diberi gelar Pangeran. Sultan Adam II juga menjalin hubungan dengan seorang pedagang lainnya bernama La Kumai dari Sulawesi Selatan. La Kumai kemudian dikawinkan dengan putri almarhum Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815 – 1843) yang bernama Aji Rindu. La Kumai kemudian juga diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan bergelar Pangeran Mas.

Salah satu tujuan kerjasama yang dilakukan oleh Sultan Adam II adalah membantu gerakan perlawanan di Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari. Sultam Adam II membantu gerakan dengan cara menyuplai senjata melalui gerakan bahwah tanah. Belanda yang mengetahui langkah-langkah Sultan Adam II mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan kemudian membuang Sultan Adam II ke Banjarmasin . Belanda beralasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sultan Adam II telah melanggar perjanjian politik yang telah disepakati sebelumnya. “Pembangkangan” terhadap perjanjian politik terus menjalar sampai pewaris Kesultanan Pasir selanjutnya naik tahta, yaitu Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875). Di era pemerintahan Sultan Sepuh II, kebijakan Kesultanan Pasir sepaham dengan kebijakan Kesultanan Banjar yang melawab kepada Belanda. Perebutan tahta yang terjadi antara Sultan Tamjidillah II dengan Pangeran Hidayatullah ternyata menjalar pula ke Pasir. Sultan Sepuh secara tegas berada di belakang Pangeran Hidayatullah yang nyata-nyata mempunyai kedudukan yang sah sebagai pewaris tahta Kesultanan Banjar -- lain halnya dengan Sultan Tamjidillah II yang merupakan putera dari seorang selir yang tidak berhak untuk naik tahta. Pembangkangan ini semakin diperkuat dengan naiknya Sultan Tamjidillah II yang merupakan buah karya Belanda. Sultan Tamjidillah II dianggap sebagai pemimpin boneka buatan Belanda yang bertujuan untuk mengatur Kesultanan Banjar agar tunduk pada kekuasaan Belanda.

Penyebab utama keberpihakan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Hidayatullah dan Kesultanan Banjar adalah Pangeran Antasari. Dalam sengketa perebutan tahta yang kemudian menimbulkan Perang Banjar (1859-1905) tersebut, Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi penghubung antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat. Beliau menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir. Pemimpin perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran Antasari meskipun pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh rakyat Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran Antasari sebagai “Pemimpin Pemberontakan”, jauh hari sebelum pertempuran pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859.

Pada saat Perang Banjar meletus, banyak pengikut Pangeran Antasari yang disembunyikan oleh Sultan Sepuh II maupun sultan setelahnya di Kesultanan Pasir. Tindakan inilah yang membuat Belanda menjadi murka karena selain tidak mentaati perjanjian politik yang ditandatangani pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853), Kesultanan Pasir juga memberikan tempat persembunyian bagi pengikut Pangeran Antasari yang merupakan musuh Belanda – dalam perjanjian tertera bahwa musuh Belanda adalah juga musuh dari Kesultanan Pasir. Belanda tidak segera mengambil tindakan yang tegas untuk menyikapi “pembangkangan” dari beberapa sultan tersebut. Belanda hanya mewajibkan kepada para sultan yang memimpin Kesultanan Pasir untuk melakukan pelayanan sebaik-baiknya dalam hubungannya dengan urusan pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan perintah Residen Banjarmasin. Sikap “lunak” Belanda ini tetap tidak ditaati oleh para Sultan Pasir. Kesabaran Belanda sampai pada puncaknya ketika terjadi suatu peristiwa di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898).

Kejadian ini berawal dari tindakan Sultan Muhammad Ali yang memberikan kelonggaran kepada para pegawainya untuk melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Akibat kelonggaran tersebut, beberapa perintah dari Residen Banjarmasin kurang mendapatkan pelayanan yang baik. Residen Banjarmasin yang mendapatkan laporan dari Asisten Residen yang mengadakan penyelidikan di Kesultanan Pasir kemudian memerintahkan kepada Sultan Muhammad Ali untuk datang ke Banjarmasin dan melaporkan serta mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di luar dugaan Residen Banjarmasin, Sultan Muhammad Ali menolak untuk datang ke Banjarmasin. Bahkan, dengan tegas Sultan Muhammad Ali menyatakan bahwa urusan pemerintahan serta kebijakan di dalamnya yang menyangkut Kesultanan Pasir menjadi kewenangan Sultan Pasir, bukan kewenangan Belanda. Menghadapi sikap Sultan Muhammad Ali ini, Belanda kemudian mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan membuang Sultan Muhammad Ali ke Banjarmasin. Sultan Muhammad Ali akhirnya meninggal di tempat pembuangan.

e.    Masa Akhir Kesultanan Pasir

Setelah Sultan Muhammad Ali dibuang ke Banjarmasin, terjadi kekosongan pimpinan pemerintahan di Kesultanan Pasir. Belanda kemudian mengangkat Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) yang dinobatkan sebagai sultan di Muara Pasir. Akan tetapi rakyat Kesultanan Pasir menolak sultan baru yang dinobatkan oleh Belanda ini. Rakyat kemudian mengangkat Sultan Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) yang dinobatkan di Benua. Untuk mengatasi situasi yang semakin tidak kondusif di Kesultanan Banjar, maka Belanda mengambil tindakan tegas dengan mengambil alih pemerintahan di Kesultanan Banjar dalam periode tahun 1898 – 1899. Situasi  di Kesultanan Banjar akhirnya dapat diredakan setelah rakyat dan Belanda setuju untuk mengangkat sultan baru bernama Pangeran Ratu Raja Besar pada tahun 1899. Dalam menjalankan pemerintahnnya, Pangeran Ratu Raja Besar mempercayakan urusan antara Kesultanan Pasir dengan Residen Banjamasin, J. Broes, kepada beberapa orang menterinya, yaitu Pangeran Mangku Jaya Kesuma, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, Pangeran Panji Nata Kesuma, dan Pangeran Dipati. Di antara keempat menterinya tersebut, hanya Pangeran Mangku Jaya Kesuma yang mendapat kepercayaan yang lebih besar untuk berhubungan dengan J. Broes.

Pada perkembangan kemudian, ternyata J. Broes lebih mempercayakan urusan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma daripada Pangeran Ratu Raja Besar. Atas dasar kepercayaan inilah, J. Broes akhirnya membuat surat pelimpahan kepercayaan yang berkembang menjadi surat pengalihan kekuasaan dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma. Pengukuhan pengalihan kekuasaan Kesultanan Pasir dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma diwakilkan kepada seorang overste dan asisten residen sebagai wakil dari Residen Banjarmasin. Kedua pegawai Pemerintah Hindia Belanda ini datang ke Kesultanan Pasir menggunakan tiga buah kapal yang lengkap dengan serdadu militer untuk mengantisipasi pergolakan yang mungkin terjadi sehubungan dengan pengalihan kekuasaan tersebut. Serah-terima kekuasaan akhirnya terjadi dan Pangeran Mangku Jaya Kesuma naik tahta dan bergelar Sultan Ibrahim Chaliluddin (Adjie Medje) (1899–1908).

Sultan Ibrahim Chaliluddin ternyata tidak dikehendaki oleh rakyat Kesultanan Banjar. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan Ibrahim Chaliluddin tidak ditaati oleh rakyat, misalnya kebijakan untuk menarik belasting (pajak). Sebenarnya, Sultan Ibrahim Chaliluddin telah melakukan beberapa hal untuk menarik simpati rakyat, misalnya dengan mengangkat Aji Nyesei yang bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, putra dari Pangeran Nata Panembahan Sulaiman (seorang pewaris tahta yang memilih untuk tidak menggunakan haknya dan memberikan haknya kepada kemenakannya, yaitu Sultan Abdur Rahman Alamsyah) untuk diangkat menjadi raja muda. Akan tetapi semua upaya dari Sultan Ibrahim Chaliluddin tetap tidak bisa menarik simpati rakyat. Melihat sikap rakyat yang kurang kooperatif terhadap kebijakan kesultanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mulai putus asa dalam memimpin Kesultanan Pasir. Apalagi Sultan Ibrahim Chaliluddin mendengar bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan menerapkan kebijakan baru, yaitu mengadakan peraturan heerendients atau kerja rodi yang mewajibkan rakyat di Kesultanan Pasir untuk bekerja selama 20 hari tiap tahun, di samping kewajiban untuk membayar belasting.

Sultan Ibrahim Chaliluddin menilai bahwa rakyat di Kesultanan Pasir yang kurang dapat dikendalikan olehnya akan bersikap semakin melawan dengan adanya peraturan yang akan diterapkan oleh Belanda tersebut. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin juga tidak mampu melawan perintah dari Pemerintah Hindia Belanda karena statusnya sebagai daerah taklukan yang harus melaksanakan segala kebijakan yang datang dari Pemerintah Hindia Belanda melalui Residen Banjarmasin. Sebagai jalan keluar, karena merasa sudah tidak mampu lagi untuk memimpin Kesultanan Pasir akibat dari berbagai tekanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mengajak para petinggi Kesultanan Pasir untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, Sultan Ibrahim Chaliluddin menyarankan agar para petinggi dan kerabat Kesultanan Pasir menyerahkan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan meminta ganti rugi bagi para bangsawan yang berhak atas pewarisan tahta Kesultanan Pasir. Sebagian peserta musyawarah setuju dengan usul dari Sultan Ibrahim Chaliluddin, tetapi sebagian lainnya tidak setuju. Pangeran Jaya Kesuma Ningrat tidak setuju apabila Kesultanan Pasir diserahkan kepada Belanda karena pada suatu saat dia akan menjadi sultan. Pangeran Panji Nata Kesuma bin Sultan Abdur Rahman juga tidak setuju dengan saran tersebut karena Kesultanan Pasir adalah pusaka turun-temurun yang harus diperintah oleh zuriat para Sultan Pasir. Di pihak lain, Aji Meja Pangeran Menteri, Pangeran Mas, dan Pangeran Dipati menyetujui usul dari Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada Belanda.

Musyawarah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada Belanda dengan kompensasi memberikan ganti rugi sejumlah uang kepada para bangsawan Kesultanan Pasir. Pada bulan Oktober 1907, melalui perantara Civil Gezaghebber (kepala pemerintahan sipil) Tanah Grogot, Kapten Droest, Residen J. Van Weerk memberitahukan kepada Sultan Pasir bahwa permohonan permintaan ganti rugi atas seluruh hak Kesultanan Pasir diterima baik oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Uang ganti rugi tersebut diputuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebesar N.F. 377.267. Pada bulan April 1908, uang sebesar N.F. 377.267  yang dikirim oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia telah diterima oleh Gezaghebber Tanah Grogot. Selanjutnya, Gezaghebber Tanah Grogot memanggil Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk mengumpulkan para bangsawan untuk diberi ganti rugi. Dalam pertemuan yang digelar kemudian, Gezaghebber Tanah Grogot mengeluarkan suatu akte tentang penyerahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda. Sejak ditandatanganinya akte penyerahan tersebut, secara de jure Kesultanan Pasir resmi diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Beberapa bangsawan yang tidak setuju dengan penyerahan tersebut memutuskan untuk mengadakan perlawanan. Pangeran Panji, Panglima Sentik, dan beberapa bangsawan lainnya bergabung bersama-sama dengan rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Para bangsawan ini mengangkat Pangeran Panji Nata Kesuma sebagai sultan kesultanan Pasir yang sah. Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Panji berlangsung antara tahun 1908-1912. Perlawanan ini berakhir karena Pangeran Panji tertangkap dan kemudian dibuang ke Banjarmasin. Tertangkapnya Pangeran Panji tidak menyurutkan timbulnya perlawanan serupa. Pada tahun 1913, seorang pengikut Pangeran Panji bernama Matjanang melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Sejalan dengan bergolaknya rakyat Pasir menentang Belanda, berdiri cabang Sarekat Islam (SI) pada tahun 1914 di wilayah Pasir. Para orator SI kemudian mendekati para bangsawan Pasir untuk menguatkan keberadaan organisasi ini di daerah Pasir. Karena merasa tertarik dengan propaganda dari para orator SI, para bangsawan Pasir akhirnya bergabung dengan SI. Bahkan, Sultan Ibrahim Chaliluddin menduduki posisi sebagai Presiden SI sedangkan adiknya yang bernama Pangeran Menteri menjadi wakil presiden. Keberadaan SI semakin kuat dan besar ketika Pangeran Ratu Raja Besar juga ikut serta masuk menjadi anggota SI.

Melalui SI, para bangsawan tersebut ternyata mendapatkan pencerahan dan sadar politik. Kesadaran berpolitik inilah yang akhirnya menjadi kesadaran bersama untuk membangun kekuatan dalam menghadapi Belanda. Para bangsawan yang sebelumnya setuju dengan penyerahan Kesultanan pasir, kini berbalik sadar bahwa tindakan yang mereka ambil semata-mata hanya menguntungkan Belanda. Mereka kini mulai melancarkan berbagai perlawanan dari pedalaman Pasir. Pangeran Ratu Raja Besar, Andin Ngoko, Andin Gedang, Andin Dek, Pangeran Singa, Wana, Sebaya, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, dan Pangeran Perwira melancarkan perlawanan fisik mulai dari Teluk Apar, Teluk Adang, Pasir Benua, sampai pedalaman sungai Kadilo. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin terus menggempur Belanda melalui aksi politik di bawah naungan SI. Perpaduan perlawanan fisik dan perlawanan politik ini mampu membuat Belanda kewalahan dan terpaksa meminta bantuan pasukan dari Banjarmasin pada tahun 1916. Perlawanan para bangsawan Pasir berakhir dengan tertangkapnya para pemimpin pergerakan pada akhir tahun 1916. Bahkan, melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 19 November 1917 No. 43, Partai Sarekat Islam dibubarkan. Semua pengurusnya dinyatakan bersalah karena dituduh menghasut rakyat Pasir untuk mengadakan perlawanan. Melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 31 Juli 1918 No. 25, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan dan memutuskan:

1.    Sultan Ibrahim Chaliluddin dihukum buang seumur hidup ke Teluk Betung;

2.    Pengeran Menteri dihukum seumur hidup dan diasingkan ke Padang;

3.    Pangeran Perwira dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banyumas;

4.    Aji Nyesei bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banjarmasin;

5.    Pangeran Singa dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Garut;

6.    Andin Dek dan Andin Ngoko masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Aceh dan Sawah Lunto;

7.    Andin Gedang, Sebaya, dan Wana masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Cilacap, Semarang, dan Blitar.

Para pemimpin pergerakan perlawanan terhadap Belanda ini hampir semuanya meninggal dunia dalam pembuangan, kecuali Andin Dek dan Pangeran Jaya Kesuma Ningrat yang selamat menjalani hukuman dan kembali lagi ke Pasir. Setelah meletusnya perlawanan rakyat dan bangsawan, Belanda meningkatkan penarikan pajak, pembatasan kesempatan memperoleh pendidikan (bahkan tidak pernah didirikan sekolah di Pasir), dan pengawasan secara ketat terhadap segala aktivitas rakyat. Berbagai tekanan yang dialami rakyat Pasir ini membuat kesempatan untuk bangkit melawan Belanda praktis tertutup sama sekali. Sesudah tahun 1917, rakyat Pasir tidak mampu mengadakan perlawanan.

f.     Silsilah Raja Raja Pasir

Berikut ini adalah nama raja/ sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Pasir.

1.    Ratu Putri Petung / Putri Di Dalam Petung (Sri Sukma Dewi Aria Manau Deng Giti) (1516 – 1567)

2.    Raja Adjie Mas Patih Indra (1567 – 1607)

3.    Raja Adjie Mas Anom Indra (1607 – 1644)

4.    Raja Adjie Anom Singa Maulana (1644 – 1667)

5.    Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680)

6.    Sultan Panembahan Adam I (Adjie Duwo) (1680 – 1705)

7.    Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726)

8.    La Madukelleng (Arung Matoa dari Wajo, Bugis, Makasar) (1726 – 1736)

9.    Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766)

g.    Sistem Pemerintahan

Sejak berdirinya Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi Kesultanan Pasir, wilayah Pasir telah menjadi taklukan Kesultanan Banjar. Konsekuensi dari sebuah daerah taklukan adalah menjalankan semua kebijakan yang telah diputuskan oleh daerah induk (Kesultanan Banjar). Dalam urusan dengan pemerintahan, segala hal yang berkenaan dengan pengambilan kebijakan di Kesultanan Pasir harus mendapatkan persetujuan (izin) dari Kesultanan Banjar, termasuk di dalamnya dalam urusan pengangkatan sultan. Selain tunduk dan patuh kepada Kesultanan Banjar, untuk urusan dalam negeri, Sultan Pasir juga memiliki beberapa perangkat pemerintahan. Di bawah kedudukan sultan, terdapat menteri yang bertugas untuk menjalankan perintah sultan. Perintah ini kemudian diteruskan kepada para kepala daerah yang disebut dengan gelar pangeran. Selain menjadi pemimpin daerah, seorang pangeran juga bertugas untuk menginformasikan dan menjalankan perintah dari menteri. Selain menjalankan perintah sultan, menteri juga bisa bertugas sebagai duta negara yang menggantikan fungsi sultan jika ada urusan ke luar daerah, misalnya ke Kesultanan Banjar ataupun ke tempat Residen Banjarmasin pada masa pendudukan Belanda.

Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kalimantan secara umum dibagi ke dalam dua karesidenan yang terdiri dari beberapa swapraja atau daerah bekas kerajaan/kesultanan (gewest). Kedua karesidenan ini adalah Keresidenan Westerafdeling van Borneo dengan ibukota Pontianak dan Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin. Ketika Belanda berkuasa atas Kesultanan Pasir sebagai kompensasi atas bantuan Belanda terhadap Kesultanan Banjar, secara struktur pemerintahan, wilayah Kesultanan Pasir dimasukan ke dalam de afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe Landen, yaitu sebuah afdeeling yang termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri dari daerah-daerah “leenplichtige landschappen”, yaitu: Pasir, Pegatan, dan Koesan. Atas dasar pengaturan tersebut, Sultan Pasir wajib memberikan laporan tentang kondisi pemerintahan dan segala kebijakan yang diambil, bahkan dalam urusan internal kesultanan kepada Residen Banjarmasin. Dalam hal ini, kedudukan Sultan Pasir dianggap sebagai kepala gewest saja. Akan tetapi jika berada di lingkungan kesultanan, kedudukan sultan merupakan kedudukan tertinggi.

h.    Wilayah Kekuasaan

Wilayah Kesultanan Pasir sejak pemerintahan Putri Betung (1575 M) sampai dengan dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1908, meliputi daerah yang sekarang ini disebut Kabupaten Pasir dan Penajam Paser Utara. Luas wilayah Kesultanan Pasir mencakup sekitar 14.937 Km2 atau 1.579.366 Ha, yang terdiri dari luas daratan 1.391.200 Ha dan luas perairan laut 188.166 Ha. Kesultanan Pasir berbatasan dengan beberapa wilayah, yaitu:

1.    Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Balikpapan di Provinsi Kalimantan Timur yang pada saat itu berada dalam wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura;

2.    Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan;

3.    Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah;

4.    Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar.

Luas wilayah Kerajaan Pasir diperkirakan juga meliputi sebagian kecil wilayah yang terletak di Provinsi Kalimantan Selatan saat ini, mengingat berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari daerah Kuripan (Amuntai) yang berada di wilayah Kalimantan Selatan. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya wilayah Kesultanan Pasir sedikit berkurang karena wilayah timur Kalimantan Selatan ini menjadi daerah terpisah (berdiri sendiri), yaitu menjadi Kerajaan Tanah Bumbu. Dari mulai berdirinya Kesultanan Pasir sampai masa berakhirnya kesultanan ini, telah terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan, yaitu:

a.    Kuripan (sekarang Amuntai, Kalsimantan Selatan) adalah tempat asal-muasal Kerajaan Pasir;

b.    Desa Lempesu atau dikenal dengan nama Sadurangas (27 KM dari Tanah Grogot, Kalimantan Timur) merupakan pusat kerajaan untuk pertama kalinya;

c.    Gunung Sahari (1 Km sebelah selatan Museum Istana Sadurangas terletak di  Kecamatan Pasir Balengkong, Kalimantan Timur);

d.   Benuwo (Pasir Belengkong, Kalimantan Timur);

e.    Tanah Grogot (Pasir, Kalimantan Timur).

4.    Kerajaan Kotawaringin

Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding.

Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).

D.      Adat Istiadat Melayu Kalimantan

1.    Adat Istiadat Kalimantan Barat

a.    Etnik Melayu

Kelompok etnik melayu adalah kelompok etnik mayoritas yang tersebar di kawasan pesisir dan merupakan kelompok etnik yang telah lama bermukim didaerah Kalimantan Barat, berasal dari anak benua dan kepulauan yang berpusat di Asia Tenggara yang meliputi Negara Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Burma, Kamboja dan lain-lain. Keberadaan masyarakat melayu tak terlepas dari sejarah kota Pontianak, peranan Sultan Syarif Abdurrahman Tua seorang dayang pada kerajaan Matan keturunan Dayak yang telah masuk Islam. Pada dasarnya melayu di Kalimantan Barat adalah orang Dayak yang masuk agama Islam disebut dengan orang laut, sedangkan yang beragama lain disebut dengan orang darat.  Namun banyak juga terdapat orang melayu yang bukan keturunan dayak. Masyarakat etnik melayu dibedakan menurut daerah administrasinya, yaitu melayu Pontianak, Melayu Sambas, melyu Mempawah, melayu Sanggau, melayu Sintang, melayu Ketapang dan melayu Kapuas Hulu. Perbedaan ini disebabkan karena pada masa lalu masing-masing daerah diperintah oleh raja-raja local yang berdiri sendiri dan terlihat pada bahasa dialek yang dipergunakan. Adat istiadat etnik masyarakat Melayu antara lain adalah:

1)        Tradisi Tepung Tawar

Bahan upacara tradisi tepung tawar terdiri dari tepung beras, beras kuning, berteh daun juang-juang, daun gandarusa, daun pacar, serta minyak bau atau minya bugis (jika diperlukan). Ada empat jenis yaitu: tepung tawar badan, tepung tawar mayit, tepung tawar peralatan dan tepung tawar rumah.

a)         Tradisi tepung tawar badan diperuntukkan bagi anak kecil yang melaksanakan gunting rambut dan naik ayun (naik tojang), melaksanakan pernikahan, anak laki-lakidan perempuan yang akan dikhitan, bagi keluarga yang meninggal setelah tiga hari dimakamkan, dan peralatan yang baru dipakai atau ketika mengalami musibah. Tujuannya untuk meminta keselamatan dengan keyakinan bahwa masih ada kekuatan gaib yang mempengaruhi didalam kehidupan dan tetap memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b)        Tepung tawar mayit, dilakukan dengan tujuan supaya ahli keluarga yang ditinggalkan senantiasa sabar menerima cobaan dari Allah, terhidar dari musibah dengan memohon agar dijauhkan dari segala musibah yang dating dengan memohon keselamatan. Tujuannya sebagai ungkapan bahwa dalam kehidupan semua pasti mati dan yang telah terjadi menjadi pasrah, kembali ketempat asalnya.

c)         Tepung tawar peralatan, digunakan untuk kendaraan yang baru maupun kendaraan yang telah mendapat musibah seperti setelah kecelakaan atau kendaraan hilang ditemukan kembali. Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan menghindarkan musibah dan meminta izin agar selalu dalam keselamatan dengan menggunakan lafadz doa tertentu.

d)        Tepung tawar pernikahan dilakuakan saat akad nikah agar mempelai mendapatkan keberkahan dan keselamatan dalam menjalani bahtera rumah tangga.

2)        Tradisi Robo-Robo

Robo-robo berasal dari kata Robo atau rabu. Tradisi robo-robo diadakan pada rabu terakhir bulan sapar (Hijriah) yang menyimbolkan keberkahan. Menurut cerita, ritus ini merupakan peringatan atau napak tilas kedatangan Pangeran Mas Surya Negara dari kerajaan Matan (Martapura) ke kerajaan Mempawah (Pontianak). Robo-robo itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu peringatan serangkaian kejadian penting bermula Haulan pada hari senin malam selasa terakhir bulan syafar guna mengenang wafatnya opu Daeng Manambun. Bagi warga keturunan Bugis di Kalbar, robo-robo biasanya diperingati dengan makan bersama keluarga.

3)        Tradisi Saprahan (makan dalam kebersamaan)

Sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk didalam satu barisan, saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan, dialas dengan kain putih maupun hijau yang membentang panjang da nada yang ditumpuk pada satu talam. Pantangan yang berlaku dalam jamuan makan saprahan ialah tidak boleh berbicara kotor serta keji, janagn berludah, jika ada yang bersin maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan dihadapannya. Panjang kain saprahan minimal 2 meter yang ukuran dapat menampung 10 atau 5 orang yang saling berhadapan, dengan sap yang resminya terdiri dari 3 baris.

a)         Sap pertama merupakan orang-orang yang memiliki kedudukan penting.

b)        Sap kedua merupakan kaum kerabat terdekat.

c)         Sap ketiga merupakan masyarakat umum.

Impelemntasinya adanya perasaan senasib, kebersamaan, sopan santun, menghargai yang dituakan atau menghargai pemimpin, karena pemimpin sudah menunjukkan tatacara budi bahasa yang baik, penuh dengan kesopanan. Suguhan makanan tersaji dalam tiga gelombang, tiga gelombang memiliki makna tiga sesi hidangan yang berbeda, yang hadir pada suatu majlis, yaitu:

1)        Acara pertama yaitu makanan hidangan, terdiri dari nasi putih, sayur ikan pedas, sambal belacan, ayam, ikan asin, pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal).

2)        Acara kedua hidangan pencuci mulut, terdiri dari kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande, kue berupa bingke berendam, belodar, rori kap.

3)        Acara ketiga hidangan yang dikeluarkan ialah air serbat (air yang terbuat dari ramuan berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang disebut dengan kode bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera meninggalkan tempat jamuan, diakhiri dengan membaca shalawat Nabi.

2.    Adat Istiadat Kalimantan Selatan

a.    Mahidin

Mahidin berasal dari kata madah dalam bahasa arab artinya nasihat. Mahidin dapat diartikan sebagai sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia, karena ia menyanyikan syair-syair yang berasal dari kata akhir persamaan bunyi atau sebagai kalimat puji-pujian (bahasa arab) karena bisa dilihat dari kalimat dalam madihin yang kadang kala berupa puji-pujian. Kesenian madihin pada umumnya digelarkan pada malam hari, lamanya sekitar 2 sampai 3 jam ditempatkan diarena terbuka. Seniman pamadihin ini terdiri dari 1 sampai 4 orang pria dan wanita. Seorang pamadihin harus memiliki keterampilan memukul terbang sesuai dengan penyajian syair-syair yang dibacakan, madihin ini temanya saling sindir menyindir antara pamadihinnya.

b.    Bayaun Mulid

Baayun asal katanya “ayun” yang diartikan “melakukan proses ayunan”. Asal kata mauled berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Baayun anak adalah salah satu tradisi symbol pertemuan anatara tradisi dan pertemuan agama. Inilah dialektika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama dating menuntun budaya.

3.    Adat Istiadat Kalimantan Timur

a.    Hadrah

Merupakan kesenian Islam yang ditampilkan dengan iring-iringan rebana/terbang (alat perkusi) sambil melantunkan pujian terhadap akhlak mulia Nabi Muhammad SAW, yang disertai dengan gerak tari. Tradisi dari 2 kelompok, kelompok penabuh hadrah dan kelompok yang melantunkan syair berjanji. Hadrah biasa dipakai pada acara perkawinan, mangantar orang berangkat haji, hari-hari Islam dan lain sebagainya.

b.    Mamanda

Mamanda merupakan seni panggung (teter), kesenian klasik Melayu (setengah musical/opera) dengan menggunakan instrument Biola dan Gendang. Tema cerita yang dibawakan biasanya tentang kisah para raja.

 

E.       Melayu Kalimantan Identik Dengan Islam

Saat mendengar kata ‘Kalimantan’, seringkali diasosiasikan dengan kata ‘Dayak’ karena memang salah satu suku bangsa yang terkenal berasal dari Kalimantan adalah suku bangsa Dayak. Akan tetapi, tentu saja tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan suku bangsa lain juga turut memperkaya khasanah kebudayaan Kalimantan, salah satunya adalah suku Bangsa Melayu. Walker (2004) mencoba menelusuri keberadaan Melayu di Pulau Kalimantan. Menurutnya orang Melayu berasal dari Kesultanan Malaka di Johor yang memperluas kekuasaannya di Borneo dan menduduki Kesultanan Brunei. Dari sanalah identitas Melayu mulai dipakai dan menyebar ke seluruh wilayah Pulau Kalimantan. Sedangkan penduduk asli Kalimantan sendiri adalah orang Dayak. Keberadaan suku bangsa Melayu, juga tidak terlepas dari masa-masa keemasan kesultanan Melayu yang tersebar di Pulau Kalimantan. Mulai dari Kesultanan Pasir, Kesultanan Pontianak, Kesultanan Bulungan dan sebagainya. Hingga saat ini, peninggalan-peninggalan kesultanan terdahulu di Pulau Kalimantan masih bisa ditemukan, dan bahkan beberapa kesultanan masih berjalan dengan system pemerintahan dan kebudayaannya.

Keberadaan suku bangsa Melayu tersebut, sangat identik dengan penyebaran agama Islam di Pulau Kalimantan. Hanya saja, sebagian besar kesultanan awal mulanya mengekspansi wilayah pesisir saja, sehingga perkembangan Islam lebih banyak terjadi di daerah pesisir. Akan tetapi, tentu saja seiring berjalannya waktu, penyebaran Islam mencapai dataran pedalaman Kalimantan dan menyentuh komunitas-komunitas Dayak yang mayoritas berada di wilayah pedalaman. Persoalan kultural antara identitas suku bangsa dan identitas keagamaan pun ditemui oleh orang Dayak yang memeluk Islam. Kultur Dayak yang seringkali bertentangan dengan ajaran agama Islam tentu saja tidak dapat lagi dipraktekkan oleh orang-orang Dayak yang sudah menjadi muslim. Turun Melayu, adalah salah satu upaya orang Dayak pemeluk agama Islam untuk dapat terus menjalankan ajaran agama sekaligus memiliki identitas kultural yang diakui.[21]

F.       Tarian Adat Melayu Kalimantan yang Populer

1.    Tari Jepin

Tari jepin adalah kesenian tradisional yang berasal dari Kalimantan Barat yang dapat diadaptasi dari kesenian melayu, agama Islam, dan juga budaya lokal. Tarian ini merupakan salah satu media penyebaran dari agama Islam di Provinsi Kalimantan Barat. Tari jepin merupakan kesenian tari gerak dan lagu yang memiliki arti disetiap gerakannya. Menurut bebrapa sumber sejarah yang ada, jepin awalnya merupakan kesenian yang menjadi media dakwah didalam penyebaran agama Islam pada abad ke-13. Tarian ini pada awalnya ditampilkan didaerah Sambas Provinsi Kalimantan Barat, kemudian menyebar dan juga berkembang ke berbagai daerah di Provinsi Kalimantan Barat.

2.    Tari Radat Rambas

Tarian radat dimainkan oleh para wanita yang terdiri dari 12 orang penari, yang diiringi oleh alunan music berupa Tamborin, Gendang, Tahar, Rebana dan alunan syair yang sangat indah yang biasanya dimainkan oleh para pria. Tarian ini biasanya untuk menyambut tamu-tamu istimewa dan acara tertentu. Tarian radat merupakan budaya Islam di Timur Tengah yakni yang diasimilasikan dengan budaya melayu. Radat dipercayai berasal dari singkatan “Hadrat Baghdad” yang menjadi sebahagian bentuk seni persembahan hadrah atau berzanji (bacaan puji-pujian yang berisi riwayat Nabi Muhammad SAW).

3.    Tari Tandak Sambas

Tanda’ merupakan salah satu bahasa Melayu yang berarti menari. Dinamakan tanda’ sambas karena ini merupakan seni tari yang berada di wilayah Sambas. Mengenai sejak kapan keberadaan tanda’ Sambas hadir di tengah masyarakat Melayu Sambas, siapa tokoh dan guru yang mengajarkannya belum dapat penjelasan yang kuat dan akurat. H. Muin Ikram, salah satu pemerhati kebudayaan Melayu Sambas, mengatakan bahwa Tanda’ Sambas merupakan seni tari asli Melayu Sambas. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa keberadaan tanda’ Sambas sejalan dengan perkembangan Islam di kota Sambas. Tanda Sabas juga berfungsi sebagai salah satu pertunjukan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an peringkat Nasional ke-15 pada tahun 1985 di Pontianak untuk pertama kalinya.[22]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Keberadaan Islam di rantau melayu yang terdiri dari daratan dan kepulauan yang banyak jumlahnya telah berjaya membina satu imej baru kepada masyarakat rantau melayu. Alam melayu berjaya menampilkan sebuah tamadun yang gemilang terutama setelah kedatangan Islam ke rantau ini. Umat melayu berjaya membina kecermelangan dan kegembilngan dalam berbagai bidang dimulai dengan keagungan pemerintahan, kemntapan ekonomi dan kemurnian budaya serta sosial. Kejayaan ini dibina oleh generasi awal berasaskan pemahaman agama Islam yang berteras tauhid. Sebelum Islam berjaya dibangsa melayu, bangsa melayu mempunyai sejarah sebelum masuknya Islam, kedatangan Islam dan pengaruh agama Islam terhadap tamadun melayu. Dan orang sering mengaitkan bahwa melayu itu beragama Islam.

Masuknya Islam ke Kalimantan Barat itu sendiri tidak di ketahui secara pati, masih banyak perbedaan pendapat dari berbagai kalangan, ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada abad ke-15, da ada juga pendapat lain yang mengatakan Islam masuk di Kalimantan Barat pada abad ke-16. Daerah Kalimantan Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa Islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab, namun ada versi lain yang mengatakan nam beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri dayak yang telah menganut agama Islam putri kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 rabiul awal 1151 H (1739 M), jadi ia merupakan keturunan Arab dan dayak dan ayahnya Syarief Husein menjadi Ulama terkenal di kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.

Adapun kerajaan melayu di Kalimantan yaitu kerajaan banjar (Banjarmasin), kerajaan Kutai, kerajaan Pontianak, kerajaan Pasir dan kerajaan Kotawaringin. Sedangkan adat istiadat melayu Kalimantan Barat ialah taradisi tepung tawar, taradisi robo-robo, tradisi saprahan (makan dalam kebersamaan), adat istiadat melayu Kalimantan Selatan ialah mahidin dan bayaun maulid, dan adat istiadat melayu Kalimantan Timur ialah hadrah dan mamanda. Tarian melayu Kalimantan yang popular ialah tari jepin, tari radat rambas dan tari tandak sambas.

 

B.     Saran

Demikian yang dapat saya sajikan, semoga bermanfaat bagi para pembaca dan juga bagi penulis khususnya, dan saya sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini lebih baik kedepannya.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ansar Rahman.2000 Syarif Abdurrahman al-Kadri, Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak

Adham, Salasilah Kutai

Af’idatul Lathifah, Turun Melayu: Konstruksi Identitas Orang Dayak Muslim di Desa Kuala Rosan Kalimantan Barat, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi  Vol. 2 No. 1 : Desember 2018 E-ISSN : 2599-1078

 

A. Muin Ikram. 2008. Tanda’ Sambas: Tari Pergaulan Kalimantan Barat. Kalimantan Barat: Yayasan Penulis Enam-Enam

Bathuthah. 2012. Rihlah  Ibnu Bathuthah. Terj. Muhammad Muchson Anasy dan Khalifurrahman Fath. Jakarta: Pustaka al-Kautsar

Badri Yatim. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Daliman. 2012. Islamisasi  dan Perkembangan  Kerajaan-Kerajaan Islam  di  Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak

H. Dachlan Sjahrani. 1981. Samarinda Dengan Perkembangan Dakwah Islam. Samarinda, Dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timur

Hamadiy, Lagad Melayu Dalam Lintas Budaya Riau, cet.1, (Pekanbaru: Blik Kreatis Press, 1423 H)

Mahmud Yunus. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balal Pustaka

Nor Huda. 2007. Islam Nusantara:  Sejarah Sosial  Intelektual Islam  di  Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Oemar Dachlan. 1981. Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timut. Samarinda:Panitia Menyambut Abad XV Hijriah, Daerah Tingkat 1 Provinsi Kalimantan Timur Seksi Ilmu Pengetahuan

Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur. 1997. Silsilah Kutai Kartanegara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebangsaan Budaya Kraton Kutai Kartanegara

Pusponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III

Ricklefs. 2009. Sejarah  Indonesia Modern  1200-2008.  Terj.  Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi

Suryanegara. 2009. Api  Sejarah. Bandung: Salamadani

Tom Pires.2014. Suma Oriental. Terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Usman. 1995. Kerajaan  Banjar: Sejarah  Perkembangan  Politik, Ekonomi Perdagangan  dan  Agama Islam. Banjarmasin:  Lambung Mangkurat University Press

 



[1]  Suryanegara,  Api  Sejarah. (Bandung: Salamadani, 2009), hh. 99-102.

[2] Nor Huda, Islam Nusantara:  Sejarah Sosial  Intelektual Islam  di  Indonesia. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h.32.

[3] Daliman, Islamisasi  dan Perkembangan  Kerajaan-Kerajaan Islam  di  Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 35.

[4] Ibid, h. 33

[5] Ricklefs. Sejarah  Indonesia Modern  1200-2008.  Terj.  Tim Penerjemah Serambi, (Jakarta: Serambi, 2009), h. 4.

[6] Bathuthah, Rihlah  Ibnu Bathuthah. Terj. Muhammad Muchson Anasy dan Khalifurrahman Fath, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 601.

[7] Hamadiy, Lagad Melayu Dalam Lintas Budaya Riau, cet.1, (Pekanbaru: Blik Kreatis Press, 1423 H), hh. 3-4

[8] Mahmud Yunus Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hh. 323-324

[9] Tom Pires, Suma Oriental. Terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), hh. 187-188.

[10] Ansar Rahman, Syarif Abdurrahman al-Kadri, Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, 2000, (Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak, 2000), h. 3

[11] Usman, Kerajaan  Banjar: Sejarah  Perkembangan  Politik, Ekonomi Perdagangan  dan  Agama Islam.  (Banjarmasin:  Lambung Mangkurat University Press, 1995), h. 2.

[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 221

[13] Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur, Silsilah Kutai Kartanegara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 106

[14] Pusponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, h. 25

[15] Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebangsaan Budaya Kraton Kutai Kartanegara, h. 66

[16] Adham, Salasilah Kutai, h.240

[17] H. Dachlan Sjahrani, Samarinda Dengan Perkembangan Dakwah Islam, (Samarinda, Dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timur, 1981), h. 27

[18] Oemar Dachlan, Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timut, (Samarinda:Panitia Menyambut Abad XV Hijriah, Daerah Tingkat 1 Provinsi Kalimantan Timur Seksi Ilmu Pengetahuan, 1981), h. 1

[19] Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balal Pustaka, 2008), hh. 88-89

[20] Ibid., h. 90

[21] Af’idatul Lathifah, Turun Melayu: Konstruksi Identitas Orang Dayak Muslim di Desa Kuala Rosan Kalimantan Barat, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi  Vol. 2 No. 1 : Desember 2018 E-ISSN : 2599-1078, hh. 80-81.

[22] A. Muin Ikram, Tanda’ Sambas: Tari Pergaulan Kalimantan Barat, (Kalimantan Barat: Yayasan Penulis Enam-Enam, 2008), h. 6


Tidak ada komentar:

Posting Komentar