BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap
masyarakat selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan dapat
berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok, adapun
perubahan yang membawa pengaruh terbatas maupun luas, serta ada pula
perubahan-perubahan yang lambat sekali. Akan tetapi, ada juga yang berjalan
ceepat. Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak dahulu landasan teori
perubahan kebudayaan suatu fenomena yang abadi dala kehidupan di dunia ini, perubahan kebudayaan
adalah adanya ketidaksesuaian unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda,
sehingga terjadilah keadaan yang tidak sesuai dengan fungsinya bagi kehidupan.
Apabila manusia makhluk sosial, yang tidak bisa mempertahankan hidup selamanya.
Segala sesuatu yang ada didunia ini akan mengalami kerusakan dan hanya ada satu
yang abadi yakni tuhan yang Maha Esa.
Keberadaan
Islam di rantau melayu yang terdiri dari daratan dan kepulauan yang banyak
jumlahnya telah berjaya membina satu imej baru kepada masyarakat rantau melayu.
Alam melayu berjaya menampilkan sebuah tamadun yang gemilang terutama setelah
kedatangan Islam ke rantau ini. Umat melayu berjaya membina kecermelangan dan
kegembilngan dalam berbagai bidang dimulai dengan keagungan pemerintahan,
kemntapan ekonomi dan kemurnian budaya serta sosial. Kejayaan ini dibina oleh
generasi awal berasaskan pemahaman agama Islam yang berteras tauhid. Sebelum
Islam berjaya dibangsa melayu, bangsa melayu mempunyai sejarah sebelum masuknya
Islam, kedatangan Islam dan pengaruh agama Islam terhadap tamadun melayu. Dan
orang sering mengaitkan bahwa melayu itu beragama Islam.
Berbagai
teori tentang masuknya Islam ke Nusantara telah
dikemukakan oleh para ahli.
Secara umum, pendapat tersebut dapat dibagi dalam empat teori besar, yaitu Teori Gujarat, Teori
Mekkah, Teori Persia, dan
Teori Cina.[1] Nor
Huda menggunakan istilah yang
lebih umum untuk menyebutkan Gujarat dan
Mekkah, yaitu India
dan Arab.[2]
Menurut Daliman secara umum
pembabakan Islamisasi di Nusantara dapat dibagi dalam tiga babak,
yaitu: masa kedatangan,
proses penyebaran dan proses
perkembangan. Masa kedatangan Islam di Nusantara
dimulai pada abad
ke-7 berdasarkan pendapat dari
para ahli tentang
adanya pemukiman Ta-Shih di
beberapa tempat di wilayah Sriwijaya.[3]
Rita Rose Di Meglio mendefinisikan
Ta-Shih sebagai orang Islam yang berasal dari Arab atau Persia dan bukan orang Islam dari India. Selain itu, disebutkan pula dalam berita Jepang yang ditulis
pada 748 M
menceritakan tentang
perjalanan Pendeta Kanshin. Dalam berita tersebut diceritakan
bahwa pada masa itu di Kanton berlabuh kapal-kapal dari
Posse dan Ta-shih
Kuo. Rita Rose mendefinisikan Ta-shih
sebagai orang Arab dan
Po-sse sebagai orang Melayu.[4]
Proses penyebaran Islam pada abad ke-11 di
Nusantara ditandai dengan ditemukannya batu
nisan makam Fatimah binti
Maimun di Leran,
Gresik berangka tahun 1082
M. Selain itu, sebuah
batu berukir di
daerah Lubuk Tua, pantai barat
Sumatera menunjukkan pula
kemungkinan bahwa Islam
telah masuk ke Sumatera
pada masa yang lebih
tua lagi. Hal
inilah yang menyebabkan beberapa
ahli berpendapat bahwa Islam
telah masuk ke Nusantara
pada abad ke-7.
Proses
perkembangan Islam di Nusantara
dimulai pada abad ke-13 sebagaimana
yang didukung oleh banyak ahli
berdasarkan fakta-fakta historis. Berita Marco
Polo dari Venesia
yang singgah di Samudera Pasai pada
1292 M dalam perjalanan pulang dari Cina dapat menjadi acuan
dalam teori ini. Keterangan Marco
Polo yang menyebutkan bahwa
ia telah singgah di Sumatera
dan menyebutkan bahwa Perlak telah dikenal sebagai sebuah
kota Islam.[5]
Para ahli berpendapat
bahwa Kerajaan Samudera Pasai
merupakan kerajaan Islam pertama di
Nusantara di akhir abad ke-13.
Bukti yang memperkuat pendapat
ini adalah ditemukannya bukti-bukti
arkeologis batu nisan makam Sultan Malik
al Saleh berangka tahun 1297 M. Berita Ibnu
Bathuthah yang singgah di Samudera
Pasai pada 1345
M dapat pula dijadikan
acuan tentang perkembangan Islam
pada abad ke-13. Dalam
berita tersebut ia
mendapati bahwa penguasa Samudera
Pasai adalah seorang pengikut
mazhab Syafi’i. Hal ini
menegaskan bahwa keberadaan mazhab ini sudah
berlangsung sejak lama,
yang kelak akan mendominasi
Indonesia.[6]
Namun, tidak menutup adanya
kemungkinan bahwa ketiga mazhab
Sunni lainnya, yaitu Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki,
dan Mazhab Hambali juga
sudah masuk ke Nusantara
pada masa-masa awal berkembangnya Islam.
Pengertian
tamadun yang berasal dari kata Arab “maddana” yang berarti peradapan,
dapat diartikan sebagai keadaan atau kondisi kehidupan bermasyarakat yang
bertambah maju. Oleh karenanya, melalui pusat kajian Tamadun Melayu Nusantara,
berbagai aspek yang menyertainya akan dipelajari, dikaji, diteliti, dan
dikembangkan oleh para peneliti baik berasal dari UI maupun dari luar UI.
Berbagai hasil penelitian yang nantinya akan dihasilkan oleh Pusat Kajian
Tamadun Melayu Nusantara dapat memberikan sumbangan atau kontribusi yang
signifikan bagi UI ynag telah mencanangkan sebagai universitas riset yang bertaraf
nasional maupun internasional.
Masuknya
Islam ke Kalimantan Barat itu sendiri tidak di ketahui secara pati, masih
banyak perbedaan pendapat dari berbagai kalangan, ada pendapat yang mengatakan
bahwa Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada abad ke-15, da ada juga
pendapat lain yang mengatakan Islam masuk di Kalimantan Barat pada abad ke-16.
Daerah Kalimantan Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama
Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini diperkirakan
antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa Islam
pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab, namun ada versi lain yang
mengatakan nam beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah putra asli
Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab
yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri dayak
yang telah menganut agama Islam putri kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman
al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 rabiul awal 1151 H (1739 M), jadi ia
merupakan keturunan Arab dan dayak dan ayahnya Syarief Husein menjadi Ulama
terkenal di kerajaan Matan hamper selama 20 tahun.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
tamadun melayu?
2.
Bagaimana
masuknya Islam di Kalimantan?
3.
Apa saja
kerajaan melayu di Kalimantan?
4.
Bagaimana adat
istiadat melayu Kalimantan?
5.
Apakah melayu
Kalimantan identik dengan Islam?
6.
Apa saja tarian
adat melayu Kalimantan yang popular?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian tamadun melayu.
2.
Untuk mengetahui
masuknya Islam di Kalimantan.
3.
Untuk
mengetahui apa saja kerajaan melayu di Kalimantan.
4.
Untuk
mengetahui adat istiadat melayu Kalimantan.
5.
Untuk
mengetahui melayu Kalimantan identic dengan Islam.
6.
Untuk
mengetahui tarian adat melayu Kalimantan yang popular.
7.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tamadun Melayu
Pengertian
Tamadun itu berasal dari kata Arab “maddana” yaitu kota atau Bandar yang
didalam berisikan peradaban, dapat diartikan sebagai keadaan atau kondisi
kehidupan bermasyarakat yang bertambah maju. Oleh karenya, melalui Pusat Kajian
Tamadun Melayu Nusantara, berbagai fenomena yang terkait dengan kehidupan
masyarakat melayu, serta berbagai aspek yang menyertainya akan dipelajari,
dikaji, diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti baik yang berasal dari UI
maupun dari luar UI.
Istilah
melayu cukup banyak ragamnya, seorang cendikiawan melayu bernama Bahanuddin
Elhulaimy yang juga pernah menjadi ketua umum partai islam tanah melayu dalam
bukunya asas falsafah kebangsaan melayu, terbit pertama kali pada tahun 1950,
mencatat beberapa istilah kata tersebut. Ada pendapat yang mengatakan kata
melayu berasal dari mala (yang berarti mula) yu (yang berarti
negeri) seperti dinisbahkan kepada Ganggayu yang berarti negeri Gangga.
Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas
dikenal, yaitu cerita si Kelambi atau sang Kelambai. Dalam cerita itu
disebutkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya, yang dihuni
atau disentuh oleh si kelambai, semuanya akan mendapatkan keajaiban. Ini
memberi petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni orang melayu pada zaman
purba itu, telah mempunyai peradapan yang cukup tinggi.
Kemudian
kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau bukit,
disamping kata mala yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri
orang melayu pada awalnya terletak pada perbuktian, seperti bukit siguntung
Mahameru. Negeri ini sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena terletak
antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Selanjutnya, dalam bahasa Jawa, melayu
berarti lari atau berjalan cepat. Lalu kita kenal pula sungai Melayu, diantara
dekat Johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan perkataan itu dapat dirangkumkan
sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang mula-mula didiami,
dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu. Mereka membuat
negeri diatas bukit, karena ada pencairan es kitub utara yang menyebabkan
sejumlah daratan atau pulau yang rendah jadi terendam oleh air. Banjir dari
kutub itu lebih dikenal dengan banjir atau topan Nabi Nuh. Untuk menghindari
banjir mereka berlarian mencari tempat yang tinggi (bukit) lalu disitulah
mereka membuat negeri.
Istilah
melayu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi, melalui tulisan Cina yang
menyebutkan dengan kata M0-lo-yeu. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Mo-lo-yeu
mengirimkan utusan ke Cina, membawa barang hasil bumi untuk dipersembahkan
kepada kaisar Cina. Jadi kata melayu menjadi nama sebuah kerajaan dewasa itu.
Banyak pertelingkahan, dimana kerajaan yang bernama melayu itu, tapi banyak
yang berpendapat kerajaan itu berada di Jambi sekarang ini. Nenek moyang melayu
itu ternyata juga beragam, baik asalnya yang mungkin dari suku Dravida di
India, mungkin juga Mongolia atau campuran Dravida dengan Aria yang kemudian
kawin dengan ras Mongolia. Kedatangan mereka juga bergelombang ke Nusantara.[7]
Secara
umum, dapat dikatakan bahwa pengertian merujuk kepada bangsa yang berbahasa
melayu yang mendalami semenanjung Tanah Melayu, pantai timur Sumatra, dan
beberapa tempat lainnya di wilayah nusantara. Dalam arti sempit yang terdapat
dalam pelembagaan Malaysia yakni perkara 153 mengatakan bahwa seseorang itu
dapat dikategorikan sebagai melayu apabila memiliki ciri-ciri seperti berikut:
1.
Lazimnya
berbahasa melayu;
2.
Berkebudayaan
melayu;
3.
Beragama Islam.
Pengertian
melayu menurut pengertian suku bangsa lebih berdasarkan etnis, walaupun begitu
syarat bangsa melayu dan kebudayaan melayu masih diperlukan, tetapi tidaklah
semestinya beragama Islam. Berdasarkan ini orang-orang melayu adalah:
a.
Orang-orang
melayu yang mendiami kawasan Thai, pesisir Sumatra (utara medan, deli serdang,
Palembang, Riau lingga.
b.
Ada yang
beragama Budha dan Kristen.
c.
Orang-orang
melayu di Brunei dan Sabah.
Pengertian
melayu berdasarkan Ras yaitu menerangkan penduduk seluruh Nusantara berdasarkan
kajian Geldara dan Kern. Mereka berasal dari satu kelompok bangsa kemudian
tersebar keseluruh nusantara, pengertian mengikuti ras ini lebih bertumpu
kepada suatu rumpun bangsa yang besar berkaitan. Jadi dapat disimpulkan,
sehingga malayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang pertama didiami oleh
seluruh penduduk yang ada dinusantara oleh sungai yang diberi nama sungai
melayu.
B.
Masuknya
Islam di Kalimantan
Agama
Islam mula-mula masuk ke Kalimantan ialah di daerah utara kota Berunai (1500
M). Brunei adalah sebuah kota tua yang telah lama mengadakan perhubungan
perdagangan dengan Tiongkok. Setelah kerajaan Brunei memeluk Islam maka Brunei
menjadi pusat penyiaran agama Islam, sehingga pada waktu itu agama Islam
mencari jalannya ke Pilipina, tetapi pulau ini agama Islam hanya berkembang
disebelah Selatan, karena di sebelah Utara menghadapi agama Nasrani. Islam
masuk di Kalimantan Selatan pada Tahun 1550 M. raja-raja di Kalimantan masuk
Islam setelah mendapat bantuan dari Sultan Demak, kemudian Islam mulai
berkembang ke daerah Hulu sungai Barito.[8]
Kalimantan merupakan daerah yang dikenal memiliki
hasil bumi yang melimpah. Hasil
bumi dari Kalimantan yang menjadi
incaran para pedagang Cina
sejak 1400 Masehi
adalah intan yang merupakan
daerah penghasil
satu-satunya di Nusantara.
Pada abad ke-15, pusat
perdagangan intan di
Kalimantan Selatan, seperti
Tanjungpura dan Matan telah
dikuasai oleh para pedagang
Cina. Bahkan, pada saat
Portugis masuk ke dalam bidang perdagangan di wilayah ini
tidak dapat menggeser
peranan pedagang Cina yang
telah menguasai jalur perdagangan selama berabad-abad sebelumnya.
Tome Pires dalam Suma Oriental mendeskripsikan
bahwa:[9]
Kalimantan terdiri dari
banyak pulau, baik besar
maupun kecil yang hampir
seluruhnya ditinggali oleh orang
Pagan, kecuali pulau utamanya yang
ditinggali oleh orang Moor
setelah belum lama rajanya
menjadi seorang Moor. Mereka
tampaknya sangat lihai berdagang yang sebagian
besar merupakan pria-pria
berkedudukan menengah. Tempat ini
merupakan penghasil daging, ikan,
beras dan sagu
yang melimpah. Kedatangan
Islam di Kalimantan tentunya tidak
luput dari jaringan Islamisasi Nusantara.
Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan
masuknya Islam ke Kalimantan Selatan. Namun, hal tersebut tidak
lepas dari jaringan perdagangan Nusantara yang salah
satu penggeraknya adalah
para pedagang yang telah memeluk agama
Islam. Tidak mustahil bahwa diantara
sekian banyak pedagang yang
pernah singgah di Banjarmasin merupakan
pedagang muslim dan pernah
tinggal di kota pelabuhan ini.
1.
Masuknya
Islam di Kalimantan Barat
Masuknya
Islam ke Kalimantan Barat itu sendiri tidak diketahui pasti, masih banyak
perbedaan pendapat dari berbagai kalangan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada abad ke-15, dan ada juga
pendapat lain yang mengatakan Islam masuk di Kalimantan Barat abad ke-16.
Daerah Kalimantan Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama
Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini
diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa
Islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab, namun ada versi lain yang
mengatakan nam beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah putra asli
Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab
yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri dayak
yang telah menganut agama Islam putri kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman
al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 rabiul awal 1151 H (1739 M), jadi ia
merupakan keturunan Arab dan dayak dan ayahnya Syarief Husein menjadi Ulama
terkenal di kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.[10]
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, Islam masuk di
Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan tidak
melalui organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan. Ada dua proses
berlangsungnya penyebaran islam. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan
agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India,
Cina) yang telah memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara permanen di
suatu wilayah kemudian melakukan perkawinan campuran dan menjadi anggota
masyarakat lainnya. Ada beberapa hal yang membuat islam
dapat dengan mudah untuk diterima oleh masyarakat dan menyebar luas sampai ke
daerah pedalaman. Adapun faktor-faktor tersebut sebagai berikut:
a. Melalui perkawinan campuran yang dilakukan oleh
orang muslim dengan orang non muslim. Adanya perkawinan campuran ini juga dapat
dilihat pada kerajaan Pontianak yang rajanya Syarief Abdurrahman Al-Kadri
menikah dengan Nya’I Tua putri Dayak kerajaan Matan.
b. Melalui perdagangan. Mayoritas penduduk Kalbar
tinggal di daerah pesisir sungai atau pantai. Islam disebar luaskan dan
berkembang melalui kegiatan perdagangan, mulanya di kawasan pantai seperti Kota
Pontianak, Ketapang, atau Sambas, kemudian menyebar ke arah perhuluan sungai.
c. Melalui dakwah. Adapun nama-nama mubaligh dan guru
agama yang terlibat dalam menyebarkan agama Islam di Kalbar tersebut pada awal
abad ke 20 menurut Mohd Malik diantaranya adalah Haji Mustafa dari Banjar
(1917-1918), Syeh Abdurrahman dari Taif, Madinah (1926-1932), Haji Abdul Hamid
dari Palembang (1932-1937), Sulaiman dari Nangah Pinoh, dan Haji Ahmad asal
Jongkong (sekarang). Para guru agama ini mengajarkan membaca Al-Qur’an, fiqih
dan lain-lain, di rumah dan juga di masjid.
d. Melalui kekuasaan (otoriter). Islamisasi ini
terjadi pada masa Sultan Aman di kerajaan Sintang. Pada masa ini beliau
melakukan peperangan kepada siapa saja yang tidak mau masuk islam. Tercatat
raja-raja kerajaan Silat, Suhaid, jongkong, Selimbau dan Bunut diperangi karena
tidak mau masuk Islam. Setelah raja tersebut dapat ditaklukan dan menyatakan
diri memeluk Islam, mereka diharuskan berjanji untuk tidak ingkar. Bagi yang
melanggar akan dihukum mati.
Melalui kesenian tradisional. Sastra tradisional di Cupang
Gading memperlihatkan adanya keislaman. Dengan mengkolaborasikan antara nilai
islam dengan nilai kesenian ini memberikan kemudahan dalam menyebarkan islam
itu sendiri. Berpadunya nilai lokal dengan islam dapat dilihat melalui prosa
rakyat yang dikenal dengan istilah berkesah dan melalui puisi tradisional,
seperti pantun, mantra, dan syair. Selain itu islam juga disebarkan melalui
kesenian Jepin Lembut yang ada di daerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian
inilah yang kemudian dijadikan media dakwah dalam menyebarkan islam di Kalbar.
2.
Masuknya
Islam di Kalimantan Selatan
Sumber
yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode menjelang masuknya
Islam di Kalimantan adalah Negara Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca
tahun 1365 ini telah menyebut daerah Kalimantan Selatan yang diketahui ialah
daerah sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya. Situasi politik didaerah
Kalimantan Selatan menjelang Islam banyak diketahui dari sumber historiografi
tradisional yakni Hikayat Lambung Mangkurat (Hikayat Banjar). Sumber tersebut
memberitahukan bahwa didaerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang
bercorak Hindu Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian
dilanjutkan dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Proses
penyebaran Islam di Kalimantan
Selatan secara terang-terangan dimulai
dengan kontak antara Pangeran Samudera
dengan Kerajaan Demak. Pada
saat itu, Pangeran Samudera meminta bantuan pasukan ke Demak
untuk berperang melawan pamannya, Pangeran Tumenggung dalam
merebut tahta kekuasaan
Negara Daha. Pada saat itu, ia menghadapi bahaya yang berat yaitu
kelaparan dikalangan
pengikutnya. Atas usul
Patih Masih, Pangeran Samudera
meminta bantuan kepada Demak yang
merupakan kerajaan terkuat setelah
Majapahit. Dalam hal ini, Patih
Balit diutus menghadap
Sultan Demak dengan membawa
400 penggiring dan 10
buah kapal.[11]
Setibanya di Demak,
Patih Balit langsung menghadap
Sultan Demak Trenggana dengan
membawa sepucuk surat dari
Pangeran Samudera. Surat tersebut ditulis
dalam Bahasa Banjar dengan
menggunakan Huruf Arab-Melayu yang berbunyi sebagai berikut: “Salam sembah
putera andika Pangeran di
Banjarmasin datang kepada Sultan
Demak. Putera andika menantu
nugraha minta tolong bantuan
tandingan lawan sampean karena
putera andika berebut kerajaan
lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada
dua-dua putera andika
yaitu masuk mengula pada
andika maka persembahan putera
andika intan 10 biji, pekat 1.000
galung, tudung 1.000 buah, damar
1.000 kandi, jerangan 10
pikul dan lilin
10 pikul”.
Menjelang
datangnya Islam ke daerah Kalsel kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah
dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu
Lemak. Setelah dia meninggal dia digantikan oleh pangeran Tumenggung yang
menimbulkan sengketa dengan pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang
dilihat dari segi institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan.
Dengan demikian Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan
bercorak Hindu dan setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan
Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja Demak, dalam hal ini sangat
menarik perhatian hubungan antara sunan Giri dengan Kalimantan Selatan. Dalam
hikayat Lambung Mangkurat dicerikan tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara
Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya
Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil
karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul dikepalanya dan mengeluarkan
darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan petinggi yang berasal dari
Surabaya.
Juragan
Balaba memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia kawinkan
dengan puteri juragan Balaba sendiri.dia mempunyai dua orang putera Raden Panji
Sekar dan Raden Panji Dekar, keduanya berguru dengan sunan Giri, Raden Sekar
Sungsang kemudian diambil menjadi menantu sunan Giri dan bergelar sunan
serabut. Raden Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai
ke Negara Dipa. Dengan penampilam yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah
seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan dengan
pihak kerajaan Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara
Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil
barulah terungkap bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka
bercerai, Raden Sekar Sungsang memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha,
yang berlokasi sekitar Negara sekarang, sedangkan ibunya tetap di Negara Dipa
sekitar Amuntai sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan raden Samudera
yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari kerajaan Banjar.
Raden
Sekar Sungsang menjadi raja pertama dari Negara Daha dengan gelar Maharaja Sari
Kaburangan. Selama ia berkuasa hubungan dengan giri tetap terjalin dengan
pembayaran upeti tiap tahun, yang menjadi masalah kalau raden Sekar Sungsang
selama di Jawa kawin dan melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya
menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar
Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden Panji Sekar Sungsang telah
memeluk agama Islam meskipun keimananya belum kuat. Kalau anggapan ini benar
maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara Daha dari kerajaan Hindu yang telah
beragama Islam pertama sebelum Sultan Suriansyah, kalau benar bahwa Raden Sekar
Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak
menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa kemungkinan
yaitu bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan
ke Islamannya, atau memang keimanannya belom kuat. Tetapi yang dapat disimpulkan
bahwa Islam telah menyelusup didaerah Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar
abad ke-13, 14 Masehi.
3.
Masuknya
Islam di Kalimantan Timur
Menurut
catatan sejarah Alawiyah dikenal tokoh Datuk Tunggang Parangan atau Habib
Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya yang lahirnya di Tarim, Hadralmaut
Yaman Selatan, seorang ulama penyebar agama Islam di Kalimantan Timur. Makanya
berada didesa Kutai Lama Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Habib
Hasyim bin Musyyakh keluar dari Hadralmaut Yaman, hijrah untuk menyebarkan
Islam di pulau Jawa, pulau Sumatera kemudian kepulau Sulawesi. Disini Habib
Hasyim bertemu dengan seorang ulama berasal kota tengah Kampar Riau yang telah
lama bergelar datuk Ri Bandang. Dari Sulawesi Habib Hasyim menuju negeri Matan
(ketapang) Kalimantan Barat. Disni Habib sebagai ulama dikenal dengan gelar
Habib Tunggang Parangan dan sebutan Si Janggut Merah.
Menurut
Risalah Kutai, dua orang penyebar agama Islam tiba di Kutai pada masa
pemerintahan raja Mahkota. Salah satu diantaranya adalah Tuan Ri Bandang, yang
lebih dikenal dengan Datuk Ri Bandang dari Makassar dan Tuan Tunggang Parangan.[12]
Disebut Tuan Tunggang Parangan oleh masyarakat sekitar karena ketika dating ke
Kutai beliau menunggang jukut (ikan) Parangan.[13]
Sementara menurut dokumentasi Wikipedia, disebutkan Habib Hasyim adalah seorang
ulama Minangkabau yang menyebarkan agama Islam di kerajaan Kutai di Kalimantan
bersama temannya Datuk Ri Bandang pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota yang
memerintah dari tahun 1525 hingga 1589. Datuk Tunggang Parangan berperan besar
dalam menyebarkan Islam bersama Raja Aji Dilanggar atau Aji Gendung gelar
Meruhum Aji Mandaraya yang memerintah setelah menggantikan ayahnya, Aji Mahkota
sejak tahun 1589 hingga 1605, sehingga rakyat Kutai akhirnya memeluk Islam.
Pada
saat kerajaan Kutai Kartanegara di perintah Aji Mahakota Mulia datanglah misi
penyiaran Islam yang dilakuakn oleh dua orang ulama dari Minangkabau yang
bernama Datuk Ri Bandang dan Tuanku Tunggang Parangan. Kedua Mubaligh
itu dating ke Kutai setelah orang-orang Makassar masuk Islam, tetapi beberapa
waktu kemudian keluar lagi dari Islam, karena itu Tuan Ri Bandang kembali lagi
ke Makassar, sedangkan Tuanku Tunggang Parangan menetap di Kutai.[14]
Selanjutnya
diceritakan proses Islamisasi di Kerajaaran Kutai Kartanegara dilakukan dengan
adu kesaktian yang menakjubkan antara Tuanku Tunggang Parangan dan Aji
Mahakota. Langkah kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota untuk
mememeluk Islam ditolak. Bahkan karena langkah dakwah ini buntu, Tuan Ri
Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar untuk melanjutkan dakwahnya
disana dan meninggalkan Tuan Tunggang Parangan di kerajaan Kutai Kartanegara.
Sebagai jalan akhir, dikisahkan Tunggang Parangan menwarkan solusi kepada Aji
Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian, dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota
kalah, maka sang raja harus bersedia untuk memeluk Islam. Akan tetapi, jika Aji
Raja Mahakota yang menag, maka Tunggang Parangan akan mengabdikan hidupnya
untuk kerajaan Kutai Kartanegara. Raja Aji Mahakota masuk Islam setelah ia
merasa kalah dalam adu kesaktian dengan Tuanku Tunggang Parangan. Kemudian
diikuti oleh keluarga, menteri, punggawa, dan para pembesar kerajaan.[15]
Para Bangsawan diberi pelajaran agama Islam mengenai shalat lima waktu, hukum
Islam, membaca Arab dan lain-lain.[16]
Dibawah
asuhan Datuk Ri Bandang, dibantu oleh Raja Mahakota, maka agama Islam dalam
waktu yang tidak begitu lama sudah tersebar dari Sangkulirang disebelah utara
hingga disekitar sungai Jumpi, dan pada waktu itu ibukota kerajaan telah
didirikan masjid yang indah, dan disanalah Datu Ri Bandang (Tuanku Tunggang
Parangan) mendidik murid-murisnya menjadi pemeluk agama Islam yang taat dan
menjadikan juru dakwah yang akan melanjutkan Ukhuwah Islamiyah di masa
mendatang. Tuanku Tunggang Parangan hingga akhir hayatnya berada di Kutai, dan
ketika beliau berpulang ke rahmatullah jenazah beliau dimakam kan didesa
Jahitan Layar. Makam tersebut sekarang dapat dilihat di kampung Kutai Lama yang
termasuk wilayah kecamatan Angggana.[17]
Dengan
demikian menurut referensi yang ada, mulai tersebarnya Islam di Kalimantan
Timur, khususnya dikerajaan Kutai Kartanegara paling cepat baru pada tahun
1606. Diantara para pemeluk Islam yang mula-mula hanya kerabat di kerajaan
Kutai Kartanegara sebagi hasil usaha dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan, termasuk rajanya sendiri yang dalam tahun 1606 itu sedang
atau masih menduduki tahta kerajaan.[18]
C.
Kerajaan
Melayu di Kalimantan
Kita
ketahui bahwa diseluruh Kalimantan terdapat kerajaan-Kerajaan yang bercorak
Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Dalam pembicaraan ini diantara
kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan yang berccorak Islam yang akan
dibicarakan adalah kerajaan-kerajaan seperti berikut:
1.
Kerajaan
Banjar (Banjarmasin)
Kerajaan
Banjar (Banjarmasin terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang
berpusat di hulu sungai Negara di Amuntai kini. Kerajaan Negara Dipa masa
pemerintahan Putru Jungjung Built dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah
mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit
sudah sampai di daerah sungai Negara, Batang Tabalung, Barito, dan segalanya
tercatat dalam kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan
dalam cerita Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Konon diceritakan bahwa di
kerajaan Daha setelah pergantian pangeran Sukarama cucu oleh pangeran
Tumenggung timbul perpecahan dengan Raden Samudra cucu pangeran Sukarma. Raden
Samudra dinobatkan sebagai raja banjar oleh
patih Masin, Mahur, Balit dan Kuwin. Pada waktu menghadapi peperangan
dengan Daha, raden Samudra minta bantuan kerajaan Demak sehingga mendapat
kemenangan dan semenjak itulah kerajaan Samudra menjadi pemeluk agama Islam
dengan gelar Sultan Suryanullah, yang mengajarkan agama Islam kepada Raden
Samudra dengan patih-patih serta rakyatnya adalah seorang penghulu Demak.
Islamisasi
didaerah itu menurut A.A Cense terjadi sekitas 1550 M. sejak pemerintahan
sultan Suryanullah kerajaan Banjar meluaskan kekuasaannya sampai Sambas,
Batanglawai, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk
biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah
sebagai penguasa kerajaan Banjar. Setelah sultan Suryanullah wafat, dan
digantikan oleh puteranya yang tertua dengan gelar Rahmatullah yang masih
mengirimkan upeti ke Demak yang pada waktu itu sudah menjadi kerajaan Pajang.
Setelah sultan Rahmatullah yang memerintah kerajaan Bnajar adalah seorang
puteranya yang bergelar Hidayatullah, pada masa itu patih-patih yang namanya
disebut diatas sudah tiada karena itu mangkubumu sultan Hidayatullah adalah
Kyai Anggadipa. Penggantu sultan Hidayatullah adalah sultan Marhum penembahan
atau dikenal dengan gelar Mustain Billah yang pada pemerintahannya berupaya
memindahkan ibukota kerajaan Amuntai.masa pemerintahan sultan Mustain Billah
pada awal abad ke-17 ditakuti oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya dan dapat
menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya kerajaan Banjar
sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram,
disamping mengusai daerah-daerah di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah dan
Barat.
Pada
awal abad ke-17 itu banjar kedatanagan pedagang Belanda Gilis Michielse Zoon
diundang ke darat, tetapi akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Balasan dari
pihak VOC tahun 1612 kota Banjarmasin hancur ditembaki Belanda. Akhirnya sultan
Marhum penembahan memndahkan pusat kerajaan ke Kayu Tangi. Perdamaian baru
terjadi lagi pada tahun 1635, tetapi hubungan tersebut tidak lama. Kerajaan
Banjar sejak pengaruh Belanda politik monopoli perdagangan masuk di Kalimantan
Selatan terus-menerus terjadi perselisihan baik dengan pihak Belanda maupun
lingkungan kerajaan Banjar sendiri, ditambah perdaganagn Inggris. Terutama
sejak awal abad 18, yaitu sejak Belnada membuat benteng di pulau Tatas tahun
1747 bahkan kelak pada abad 19, yaitu tepatnya tanggal 4 Mei 1826 melalaui
kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dengan sultan Adam, dalam hal ini pulau
Tatas diserahkan kepada Belanda juga daerah Kuwin Selatan, Pulau Burung, Pulau
Bakumpal dan sebagainya. Meskipun keadaan politik kerajaaan Banjar yang kurang
stabil itu boleh dicatat bahwa pada abad ke-18 dikerajaan Banjar ada seorang
ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad b’Abdullah al-Banjari (1710-1745)
pergi belajar ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya ia mengajarkan
fikih atau syariah dengan kitabnya Sabil al-Muhtadin, ia juga ahli
dibidang tasawuf dengan karya khas al-Ma’rifah. Baik riwayatnya maupun ajaran
dan guru-guru dan kitab-kitab hasil karyanya secar panjang lebar telah
dibicarakan oleh Dr. Azyumardi Azra dalam jaringan ulama timurr tengah dan
kepulauan nusantara abad xvii.
Sejak
wafatnya 1 November 1857, pergantian sultan-sultan dengan campur tangan politik
Belanda mulai menimbulkan pertentangan antara keluarga raja-raja. Lebih-lebih
setelah dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan
kepada Belnada it uterus menerus terutama antara tahun 1859-1863 merupakan
perjuangan baik rakyat maupun para pahlawan, anatara lain pangeran Antasari,
pangeran Demang Leman, dan Haju Nasru. Perlawanan penjajah Belanda itu
sebenarnya samapai tahun-tahun selnjutnya.
2.
Kerajaan
Kutai
Di
Kalimantan Timur terutama di Kutai pada masa kehadiran dan Islamisasi tidak
menghadapi situasi dan kondisi politik perpecahan keluarga raja-rajanya,
berbeda dengan di Kalimantan Selatan, kerajaan Kutai yang bercorak Hindu
diceritakan dalam hikayat Kutai selalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit.
Demikian hubungan tersebut dapat diketahui dari data dalam Negara Kertagama
karya Mpu Prapanca tahun 1365 M, konon diceritakan dalam hikayat Kutai pada
masa pemerintahan Raja Mahkota datanglah dua orang mubaligh Islam yaitu datuk
Petik Ri Bandang dan Tunggang Parangan setelah mengislamkan Makasar. Setelah
itu beradu kesaktian dengan Raja Mahkota itu dan kalah maka Raja Mahkota mulai
memeluk agama Islam. C.A Moeis mengirakan kedatangan Islam dan mulai di anut
oleh Raja Kutai itu sekitar tahun 1575 m. Kerajaan Kutai selanjutnya melakukan
penyebaran Islam di daerah-daerah sekitarnya samapai abad ke-17 yang mana mulai
didatangi pedagang-pedagang VOC Belanda bahkan sampai penjajahan Hindia
Belanada.[19]
3.
Kerajaan
Pontianak
Kerajaan-kerajaan
yang terletak di daerah Kalimantan Barat kini antara lain Tanjung Pura dan Lawe
pernah diberitakan Tome Pirres (1512-1515). Tanjung Pura dan Lawe menurut
berita musafir portugia itu sudah mempunyai kegiatan dalam perdaganagn baik
dengan Malakan dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Adipati
kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Adipati Unus.
Tanjungpura dan Lawe (daerah sukadana) menghasilkan komoditas seperti emas,
berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang
dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling
yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah, dikatakan
pula bahwa rakyatnya banyak yang menjadi pedagang.
Pada
abad ke-17 kedua daerah kerajaan itu telah ada dibawah pengaruh kekuasaan
kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi
ekspansi politik VOC. Menarik perhatian beberapa tahun yang lampau pernah
dilaporkan kepada pusat penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta bahwa daerah
Sukadan ditemukan nisan-nisan kubur Islam dan ternyata setelah diteliti
bentuknya menunjukkan persamaan dengan nisan-nisan kubur dari Tralaya yang
pernah diteliti oleh L.Ch, Damais, nisan-nisan kibur dari daerah Sukandana itu
seperti halnya nisan-nisan kubur di Tralaya sekitar abbad ke-14-15 M. pendapat
itu diperkuat bahawa kedua kerajaan
Tanjungpura dan Lawe (Sukadana) sudah banyak hubungannya dengan Jawa dan Malaka
sehingga kehadiran Islam di daerah Kalimantan Barat dipesisir itu mungkin sudah
ada sejak abad-abad tersebut.[20]
4.
Kerajaan
Pasir
Kesultanan
Pasir pada awalnya berada di Sadurungas, kemudian pindah ke Pasir Belengkong.
Kesultanan yang didirikan oleh pelarian dari Kerajaan Kuripan ini mempunyai
hubungan yang kuat dengan Kesultanan Banjar dengan status sebagai daerah
taklukan.
a.
Sejarah Awal Kerajaan Pasir
Kerajaan Pasir (Sadurangas) tidak bisa
dipisahkan dari perang saudara yang melanda Kerajaan Kuripan yang terjadi
sekitar abad ke-16. Akibat perang saudara tersebut, dua panglima perang
Kerajaan Kuripan, yaitu Temenggung Duyung dan Tukiu (Tokio) tersingkir hingga
melarikan diri ke daerah yang bernama Sadurangas di Kalimantan Timur. Dalam
pelariannya, kedua panglima perang Kerajaan Kuripan tersebut membawa seorang
bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Putri Betung. Bayi ini adalah
anak perempuan dari Aria Manau, sahabat Temenggung Duyung dan Tukiu. Aria Manau
yang mengetahui bahwa putrinya diselamatkan oleh Temenggung Duyung dan Tukiu
akhirnya menyusul ke Sadurangas. Bersama dengan istrinya, mereka memutuskan
untuk menetap di Sadurangas. Di tempat ini, para pelarian dari Kerajaan Kuripan
tersebut membuat semacam perkampungan. Setelah menetap sekian lama di
Sadurangas, nama Aria Manau mulai dilupakan orang dan dia lebih dikenal dengan
nama Kakah Ukop yang berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop
sementara sang istri dikenal dengan nama Itak Ukop.
Perkampungan yang didirikan oleh para pelarian
dari Kerajaan Kuripan tersebut lama-lama berubah menjadi besar. Beberapa orang
(suku) akhirnya memutuskan untuk ikut serta menetap di Sadurangas. Melihat
begitu pesat perkembangan perkampungan di Sadurangas, Temenggung Duyung, Tukiu,
Aria Manau, dan istrinya bermusyawarah untuk mengangkat seorang pemimpin di
Sadurangas. Kata mufakat kemudian didapatkan dengan mengangkat Putri Betung,
yang saat itu telah dewasa, menjadi pemimpin di Sadurangas sekitar tahun 1575
Masehi. Sejak saat itu, nama Kerajaan Sadurangas, kemudian Kerajaan Pasir,
akhirnya mulai terdengar dan dikenal sebagai sebuah kerajaan yang mempunyai
pusat pemerintahan di Sadurangas, hulu sungai Kandilo. Versi legenda menyatakan
bahwa Putri Betung lahir bukan dari hasil perkawinan manusia melainkan dari
sebutir telur yang tersimpan di dalam sebilah bambu (betung atau petung). Ketika
masih bayi, Putri Betung hanya mau meminum susu dari kerbau putih . Di sini,
terdapat kesamaan antara versi legenda dan fakta sejarah yang menceritakan
tentang adanya kerbau putih, seekor hewan yang dipelihara oleh Aria Manau.
Putri Betung menikah dengan seorang keturunan
Arab (kemungkinan adalah raja) bernama Pangeran Indera Jaya yang berasal dari
Gresik. Pernikahan ini dilaksanakan ketika Putri Betung telah menjadi ratu di
Kerajaan Pasir. Ketika melangsungkan pernikahan, Pangeran Indera Jaya membawa
sebongkah batu. Batu yang kini terletak di Kampung Pasir (Benua) tersebut
dikenal dengan nama “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang. Perkawinan
antara Putri Betung dengan Pangeran Indera Jaya dikaruniai dua orang anak yang
bernama Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter. Adjie Patih akhirnya
menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di Kerajaan Pasir. Putri Adjie Meter
menikah dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami
dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan
ajaran agama Islam di Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M. Pernikahan antara
Putri Adjie Meter dengan seorang keturuan Arab dari Mempawah dikaruniai 2 orang
anak yang bernama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian
dinikahkan dengan putra Adjie Patih Indra yang bernama Adjie Anum. Keturunan
dari pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya
akan menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.
b.
Pengaruh Islam di Kerajaan Pasir
Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir
bersamaan dengan perkawinan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan
Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang
kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir
sekitar tahun 1600M. Putri Adjie Meter adalah adik dari Adjie Patih Indra
(memerintah antara tahun 1567 – 1607), raja Kerajaan Pasir setelah Putri Betung
turun tahta. Hubungan yang erat antara kakak-adik inilah yang menyebabkan suami
dari Putri Adjie Meter dapat leluasa memasukan pengaruh Islam ke dalam Keraton
Kerajaan Pasir, sehingga sekitar tahun 1600 M, agama Islam telah menjadi agama
negara di Kerajaan Pasir. Hanya saja, penyebutan kesultanan belum lazim
digunakan pada waktu itu karena gelar yang digunakan oleh penguasa tertinggi
Kerajaan Pasir adalah “adjie” atau “aji”, bukan “sultan”. Penyebutan kesultanan
baru lazim digunakan ketika Kesultanan Pasir diperintah oleh Sultan Panembahan
Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680).
Pada masa pemerintahan Sultan Adjie Muhammad
Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726) (pengganti Sultan Panembahan Sulaiman I)
terjadi perang antara Kesultanan Pasir melawan suku bangsa yang disebut Hulu
Dusun dan Hulu Sungai. Dalam perang ini, Istana Kesultanan Pasir dibakar oleh
pasukan dari Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Akibatnya, Sultan Adjie Muhammad
Alamsyah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Pasir ke Pasir Benua, sebuah
daerah yang dekat dengan Pasir Belengkong.
c.
Dinamika Daerah Taklukan: Dari Kesultanan
Banjar hingga Belanda
Daerah Pasir – yang kemudian menjadi Kerajaan
Pasir -- telah menjadi daerah taklukan Kesultanan Banjar yang berdiri pada
tanggal 24 September 1526 Sebagai daerah taklukan, Kerajaan Pasir yang
kemudian menjadi kesultanan diwajibkan untuk mengirimkan upeti setiap tahun
kepada Kesultanan Banjar berupa 10 kati emas urai, beras, dan padi. Kebijakan
pengiriman upeti tersebut dianggap terlalu memberatkan rakyat di Kesultanan
Pasir. Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766) berangkat ke
Kesultanan Banjar untuk meminta keringanan pengiriman upeti. Melalui langkah
diplomasi, Sultan Sepuh I Alamsyah berhasil menawarkan solusi bahwa Kesultanan
Pasir tidak lagi harus mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan
Banjar, tetapi sebagai konsekuensinya, Kesultanan Pasir harus mengirimkan upeti
50 kati emas urai. Sultan Banjar memberikan waktu selama 1 tahun kepada Sultan
Sepuh dan rakyatnya untuk menambang emas dan memberikannya kepada Kesultanan
Banjar.
Usaha Sultan Sepuh dan rakyat Kesultanan Pasir tidak
sia-sia. Mereka berhasil menambang emas dan menyerahkannya kepada Sultan Banjar
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Atas dasar kesepakatan
ini, pada masa pemerintahan Sultan Sepuh, Kesultanan Pasir bisa menjadi daerah
merdeka, dalam arti tidak wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya kepada
Kesultanan Banjar. Status sebagai sebuah negara yang merdeka bagi Kesultanan
Banjar bertahan sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie
Sembilan) (1766 – 1786). Setelah Sultan Ibrahim Alam Syah meninggal dunia,
kedudukannya digantikan oleh Ratu Agung (1786 – 1788). Pada masa pemerintahan
Ratu Agung, Kesultanan Banjar menjadi taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC).
Status Kerajaan Pasir sebagai daerah taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC)
dimulai ketika Belanda membantu Sultan Tahmidillah II dalam perang melawan
Pangeran Amir. Perang ini adalah perang perebutan tahta yang terjadi di
Kesultanan Banjar. Dalam perang tersebut, Sultan Tahmidillah II dibantu oleh
Belanda sedangkan Pangeran Amir dibantu oleh orang-orang Bugis. Di akhir
perang, yang terjadi pada tanggal 14 Maret 1786, kekuatan gabungan Sultan
Tahmidillah II dan Belanda berhasil mengalahkan kekuatan gabungan Pangeran Amir
dan orang-orang Bugis. Pangeran Amir akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon
(Srilangka).
Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada
Sultan Tahmidillah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk
mendirikan kantor di Tabanio, Hulu ungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Permintaan
ini dilakukan setelah peperangan berakhir. Perjanjian antara Kesultanan Banjar
yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten
Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787. Salah satu
poin penting dari perjanjian itu yang menunjukkan bahwa Belanda telah
menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan Banjar adalah pengalihan kedaulatan
atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari
Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut,
menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai timur
Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit,
Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya,
serta sebagian dari desa Tatas.
Kesultanan Pasir secara de facto telah menjadi
daerah taklukan Belanda melalui perjanjian tanggal 13 Agustus 1787 tersebut.
Belanda sebenarnya tidak mengetahui kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya
(pada masa pemerintahan Sultan Sepuh) bahwa Kesultanan Pasir sebenarnya telah
menjadi daerah yang merdeka dan bukan lagi sebagai daerah taklukan Kesultanan
Banjar. Meskipun demikian, Belanda tetap meminta pengakuan kedaulatan atas
Kesultanan Pasir. Penyerahan kedaulatan Kerajaan Pasir kepada Belanda baru
dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil)
(1843 – 1853). Ketika ditabalkan sebagai sultan, untuk pertama kalinya A.L.
Weddik, Residen Banjarmasin yang berpangkat Komisaris Gubernemen Belanda
menghadiri acara penabalan. Pada waktu penabalan, Belanda mengikat secara de
jureKesultanan Pasir melalui kontrak politik yang berisi:
1.
Kesultanan Pasir mengakui sebagai daerah yang
termasuk ke dalam wilayah jajahan Hindia Belanda.
2.
Kesultanan Pasir menyatakan sumpah setia kepada
Kerajaan Belanda dan taat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
3.
Kesultanan Pasir tidak akan mengadakan hubungan
langsung ataupun membuat perjanjian dengan negara lain. Selain itu, musuh dari
Belanda juga menjadi musuh Kesultanan Pasir.
d.
Perlawanan terhadap Belanda
Perjanjian politik antara Sultan Adam II dan
Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh A.L. Weddik ternyata tidak
sepenuhnya ditaati oleh Sultan Adam II. Beberapa kerjasama dengan pihak asing
tetap dilakukan oleh Sultan Adam II tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia
Belanda. Salah satu kerjasama dengan pihak luar tersebut adalah kerja sama
antara Sultan Adam II dengan seorang pedagang keturunan Arab dari Semarang yang
bernama Syeh Syarif Hamid Alsegaf. Pedagang ini sering membawa pistol dan senapan
untuk Sultan Adam II. Keduanya kemudian menjalin persahabatan yang dikukuhkan
dengan perkawinan antara Syeh Syarif Hamid Alsegaf dengan kemenakan sultan
bernama Aji Musnah. Bahkan, Syeh Syarif Hamid Alsegaf kemudian diangkat menjadi
Menteri Kesultanan dan diberi gelar Pangeran. Sultan Adam II juga menjalin
hubungan dengan seorang pedagang lainnya bernama La Kumai dari Sulawesi
Selatan. La Kumai kemudian dikawinkan dengan putri almarhum Sultan Mahmud Han
Alamsyah (Adjie Karang) (1815 – 1843) yang bernama Aji Rindu. La Kumai kemudian
juga diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan bergelar Pangeran Mas.
Salah satu tujuan kerjasama yang dilakukan oleh
Sultan Adam II adalah membantu gerakan perlawanan di Kesultanan Banjar pimpinan
Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari. Sultam Adam II membantu gerakan
dengan cara menyuplai senjata melalui gerakan bahwah tanah. Belanda yang
mengetahui langkah-langkah Sultan Adam II mengambil tindakan tegas dengan
menangkap dan kemudian membuang Sultan Adam II ke Banjarmasin . Belanda
beralasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sultan Adam II telah melanggar
perjanjian politik yang telah disepakati sebelumnya. “Pembangkangan” terhadap
perjanjian politik terus menjalar sampai pewaris Kesultanan Pasir selanjutnya
naik tahta, yaitu Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875). Di
era pemerintahan Sultan Sepuh II, kebijakan Kesultanan Pasir sepaham dengan
kebijakan Kesultanan Banjar yang melawab kepada Belanda. Perebutan tahta yang
terjadi antara Sultan Tamjidillah II dengan Pangeran Hidayatullah ternyata
menjalar pula ke Pasir. Sultan Sepuh secara tegas berada di belakang Pangeran
Hidayatullah yang nyata-nyata mempunyai kedudukan yang sah sebagai pewaris
tahta Kesultanan Banjar -- lain halnya dengan Sultan Tamjidillah II yang
merupakan putera dari seorang selir yang tidak berhak untuk naik tahta.
Pembangkangan ini semakin diperkuat dengan naiknya Sultan Tamjidillah II yang
merupakan buah karya Belanda. Sultan Tamjidillah II dianggap sebagai pemimpin
boneka buatan Belanda yang bertujuan untuk mengatur Kesultanan Banjar agar
tunduk pada kekuasaan Belanda.
Penyebab utama keberpihakan Kesultanan Pasir
kepada Pangeran Hidayatullah dan Kesultanan Banjar adalah Pangeran Antasari.
Dalam sengketa perebutan tahta yang kemudian menimbulkan Perang Banjar
(1859-1905) tersebut, Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah
untuk menjadi penghubung antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan
rakyat. Beliau menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta
pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir. Pemimpin
perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran Antasari meskipun pucuk pimpinan
tertinggi yang diakui oleh rakyat Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran
Hidayatullah. Keterangan ini merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang
menjuluki Pangeran Antasari sebagai “Pemimpin Pemberontakan”, jauh hari sebelum
pertempuran pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859.
Pada saat Perang Banjar meletus, banyak
pengikut Pangeran Antasari yang disembunyikan oleh Sultan Sepuh II maupun
sultan setelahnya di Kesultanan Pasir. Tindakan inilah yang membuat Belanda
menjadi murka karena selain tidak mentaati perjanjian politik yang
ditandatangani pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie
Adil) (1843 – 1853), Kesultanan Pasir juga memberikan tempat persembunyian bagi
pengikut Pangeran Antasari yang merupakan musuh Belanda – dalam perjanjian
tertera bahwa musuh Belanda adalah juga musuh dari Kesultanan Pasir. Belanda tidak
segera mengambil tindakan yang tegas untuk menyikapi “pembangkangan” dari
beberapa sultan tersebut. Belanda hanya mewajibkan kepada para sultan yang
memimpin Kesultanan Pasir untuk melakukan pelayanan sebaik-baiknya dalam
hubungannya dengan urusan pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan
perintah Residen Banjarmasin. Sikap “lunak” Belanda ini tetap tidak ditaati
oleh para Sultan Pasir. Kesabaran Belanda sampai pada puncaknya ketika terjadi
suatu peristiwa di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera
Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898).
Kejadian ini berawal dari tindakan Sultan
Muhammad Ali yang memberikan kelonggaran kepada para pegawainya untuk
melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Akibat kelonggaran tersebut, beberapa
perintah dari Residen Banjarmasin kurang mendapatkan pelayanan yang baik.
Residen Banjarmasin yang mendapatkan laporan dari Asisten Residen yang
mengadakan penyelidikan di Kesultanan Pasir kemudian memerintahkan kepada
Sultan Muhammad Ali untuk datang ke Banjarmasin dan melaporkan serta
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di luar dugaan Residen Banjarmasin, Sultan
Muhammad Ali menolak untuk datang ke Banjarmasin. Bahkan, dengan tegas Sultan
Muhammad Ali menyatakan bahwa urusan pemerintahan serta kebijakan di dalamnya
yang menyangkut Kesultanan Pasir menjadi kewenangan Sultan Pasir, bukan
kewenangan Belanda. Menghadapi sikap Sultan Muhammad Ali ini, Belanda kemudian
mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan membuang Sultan Muhammad Ali ke
Banjarmasin. Sultan Muhammad Ali akhirnya meninggal di tempat pembuangan.
e.
Masa Akhir Kesultanan Pasir
Setelah Sultan Muhammad Ali dibuang ke
Banjarmasin, terjadi kekosongan pimpinan pemerintahan di Kesultanan Pasir.
Belanda kemudian mengangkat Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) yang dinobatkan
sebagai sultan di Muara Pasir. Akan tetapi rakyat Kesultanan Pasir menolak
sultan baru yang dinobatkan oleh Belanda ini. Rakyat kemudian mengangkat Sultan
Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) yang dinobatkan di Benua. Untuk
mengatasi situasi yang semakin tidak kondusif di Kesultanan Banjar, maka
Belanda mengambil tindakan tegas dengan mengambil alih pemerintahan di
Kesultanan Banjar dalam periode tahun 1898 – 1899. Situasi di Kesultanan
Banjar akhirnya dapat diredakan setelah rakyat dan Belanda setuju untuk
mengangkat sultan baru bernama Pangeran Ratu Raja Besar pada tahun 1899. Dalam
menjalankan pemerintahnnya, Pangeran Ratu Raja Besar mempercayakan urusan
antara Kesultanan Pasir dengan Residen Banjamasin, J. Broes, kepada beberapa
orang menterinya, yaitu Pangeran Mangku Jaya Kesuma, Pangeran Jaya Kesuma
Ningrat, Pangeran Panji Nata Kesuma, dan Pangeran Dipati. Di antara keempat
menterinya tersebut, hanya Pangeran Mangku Jaya Kesuma yang mendapat
kepercayaan yang lebih besar untuk berhubungan dengan J. Broes.
Pada perkembangan kemudian, ternyata J. Broes
lebih mempercayakan urusan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Mangku
Jaya Kesuma daripada Pangeran Ratu Raja Besar. Atas dasar kepercayaan inilah,
J. Broes akhirnya membuat surat pelimpahan kepercayaan yang berkembang menjadi
surat pengalihan kekuasaan dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku
Jaya Kesuma. Pengukuhan pengalihan kekuasaan Kesultanan Pasir dari Pangeran
Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma diwakilkan kepada seorang
overste dan asisten residen sebagai wakil dari Residen Banjarmasin. Kedua
pegawai Pemerintah Hindia Belanda ini datang ke Kesultanan Pasir menggunakan
tiga buah kapal yang lengkap dengan serdadu militer untuk mengantisipasi
pergolakan yang mungkin terjadi sehubungan dengan pengalihan kekuasaan
tersebut. Serah-terima kekuasaan akhirnya terjadi dan Pangeran Mangku Jaya
Kesuma naik tahta dan bergelar Sultan Ibrahim Chaliluddin (Adjie Medje)
(1899–1908).
Sultan Ibrahim Chaliluddin ternyata tidak
dikehendaki oleh rakyat Kesultanan Banjar. Semua kebijakan yang dikeluarkan
oleh Sultan Ibrahim Chaliluddin tidak ditaati oleh rakyat, misalnya kebijakan
untuk menarik belasting (pajak). Sebenarnya, Sultan Ibrahim Chaliluddin telah
melakukan beberapa hal untuk menarik simpati rakyat, misalnya dengan mengangkat
Aji Nyesei yang bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, putra dari Pangeran Nata
Panembahan Sulaiman (seorang pewaris tahta yang memilih untuk tidak menggunakan
haknya dan memberikan haknya kepada kemenakannya, yaitu Sultan Abdur Rahman
Alamsyah) untuk diangkat menjadi raja muda. Akan tetapi semua upaya dari Sultan
Ibrahim Chaliluddin tetap tidak bisa menarik simpati rakyat. Melihat sikap
rakyat yang kurang kooperatif terhadap kebijakan kesultanan, Sultan Ibrahim
Chaliluddin mulai putus asa dalam memimpin Kesultanan Pasir. Apalagi Sultan
Ibrahim Chaliluddin mendengar bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan menerapkan
kebijakan baru, yaitu mengadakan peraturan heerendients atau kerja rodi yang
mewajibkan rakyat di Kesultanan Pasir untuk bekerja selama 20 hari tiap tahun,
di samping kewajiban untuk membayar belasting.
Sultan Ibrahim Chaliluddin menilai bahwa rakyat
di Kesultanan Pasir yang kurang dapat dikendalikan olehnya akan bersikap
semakin melawan dengan adanya peraturan yang akan diterapkan oleh Belanda
tersebut. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin juga tidak mampu melawan
perintah dari Pemerintah Hindia Belanda karena statusnya sebagai daerah
taklukan yang harus melaksanakan segala kebijakan yang datang dari Pemerintah
Hindia Belanda melalui Residen Banjarmasin. Sebagai jalan keluar, karena merasa
sudah tidak mampu lagi untuk memimpin Kesultanan Pasir akibat dari berbagai
tekanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mengajak para petinggi Kesultanan Pasir
untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, Sultan Ibrahim Chaliluddin
menyarankan agar para petinggi dan kerabat Kesultanan Pasir menyerahkan
pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan meminta
ganti rugi bagi para bangsawan yang berhak atas pewarisan tahta Kesultanan
Pasir. Sebagian peserta musyawarah setuju dengan usul dari Sultan Ibrahim
Chaliluddin, tetapi sebagian lainnya tidak setuju. Pangeran Jaya Kesuma Ningrat
tidak setuju apabila Kesultanan Pasir diserahkan kepada Belanda karena pada
suatu saat dia akan menjadi sultan. Pangeran Panji Nata Kesuma bin Sultan Abdur
Rahman juga tidak setuju dengan saran tersebut karena Kesultanan Pasir adalah
pusaka turun-temurun yang harus diperintah oleh zuriat para Sultan Pasir. Di
pihak lain, Aji Meja Pangeran Menteri, Pangeran Mas, dan Pangeran Dipati
menyetujui usul dari Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk menyerahkan Kesultanan
Pasir kepada Belanda.
Musyawarah akhirnya memutuskan untuk
menyerahkan Kesultanan Pasir kepada Belanda dengan kompensasi memberikan ganti
rugi sejumlah uang kepada para bangsawan Kesultanan Pasir. Pada bulan Oktober
1907, melalui perantara Civil Gezaghebber (kepala pemerintahan sipil) Tanah
Grogot, Kapten Droest, Residen J. Van Weerk memberitahukan kepada Sultan Pasir
bahwa permohonan permintaan ganti rugi atas seluruh hak Kesultanan Pasir
diterima baik oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Uang ganti rugi
tersebut diputuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebesar N.F. 377.267. Pada
bulan April 1908, uang sebesar N.F. 377.267 yang dikirim oleh Pemerintah
Hindia Belanda di Batavia telah diterima oleh Gezaghebber Tanah Grogot.
Selanjutnya, Gezaghebber Tanah Grogot memanggil Sultan Ibrahim Chaliluddin
untuk mengumpulkan para bangsawan untuk diberi ganti rugi. Dalam pertemuan yang
digelar kemudian, Gezaghebber Tanah Grogot mengeluarkan suatu akte tentang
penyerahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda. Sejak
ditandatanganinya akte penyerahan tersebut, secara de jure Kesultanan Pasir
resmi diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Beberapa bangsawan yang tidak setuju dengan
penyerahan tersebut memutuskan untuk mengadakan perlawanan. Pangeran Panji,
Panglima Sentik, dan beberapa bangsawan lainnya bergabung bersama-sama dengan
rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Para bangsawan ini
mengangkat Pangeran Panji Nata Kesuma sebagai sultan kesultanan Pasir yang sah.
Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Panji berlangsung antara tahun
1908-1912. Perlawanan ini berakhir karena Pangeran Panji tertangkap dan
kemudian dibuang ke Banjarmasin. Tertangkapnya Pangeran Panji tidak menyurutkan
timbulnya perlawanan serupa. Pada tahun 1913, seorang pengikut Pangeran Panji
bernama Matjanang melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Sejalan dengan
bergolaknya rakyat Pasir menentang Belanda, berdiri cabang Sarekat Islam (SI)
pada tahun 1914 di wilayah Pasir. Para orator SI kemudian mendekati para
bangsawan Pasir untuk menguatkan keberadaan organisasi ini di daerah Pasir.
Karena merasa tertarik dengan propaganda dari para orator SI, para bangsawan
Pasir akhirnya bergabung dengan SI. Bahkan, Sultan Ibrahim Chaliluddin
menduduki posisi sebagai Presiden SI sedangkan adiknya yang bernama Pangeran
Menteri menjadi wakil presiden. Keberadaan SI semakin kuat dan besar ketika
Pangeran Ratu Raja Besar juga ikut serta masuk menjadi anggota SI.
Melalui SI, para bangsawan tersebut ternyata
mendapatkan pencerahan dan sadar politik. Kesadaran berpolitik inilah yang
akhirnya menjadi kesadaran bersama untuk membangun kekuatan dalam menghadapi
Belanda. Para bangsawan yang sebelumnya setuju dengan penyerahan Kesultanan
pasir, kini berbalik sadar bahwa tindakan yang mereka ambil semata-mata hanya
menguntungkan Belanda. Mereka kini mulai melancarkan berbagai perlawanan dari
pedalaman Pasir. Pangeran Ratu Raja Besar, Andin Ngoko, Andin Gedang, Andin
Dek, Pangeran Singa, Wana, Sebaya, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, dan Pangeran
Perwira melancarkan perlawanan fisik mulai dari Teluk Apar, Teluk Adang, Pasir
Benua, sampai pedalaman sungai Kadilo. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin
terus menggempur Belanda melalui aksi politik di bawah naungan SI. Perpaduan
perlawanan fisik dan perlawanan politik ini mampu membuat Belanda kewalahan dan
terpaksa meminta bantuan pasukan dari Banjarmasin pada tahun 1916. Perlawanan
para bangsawan Pasir berakhir dengan tertangkapnya para pemimpin pergerakan
pada akhir tahun 1916. Bahkan, melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 19
November 1917 No. 43, Partai Sarekat Islam dibubarkan. Semua pengurusnya
dinyatakan bersalah karena dituduh menghasut rakyat Pasir untuk mengadakan
perlawanan. Melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 31 Juli 1918 No. 25,
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan dan memutuskan:
1.
Sultan Ibrahim Chaliluddin dihukum buang seumur
hidup ke Teluk Betung;
2.
Pengeran Menteri dihukum seumur hidup dan
diasingkan ke Padang;
3.
Pangeran Perwira dihukum 10 tahun dan
diasingkan ke Banyumas;
4.
Aji Nyesei bergelar Pangeran Jaya Kesuma
Ningrat dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banjarmasin;
5.
Pangeran Singa dihukum 10 tahun dan diasingkan
ke Garut;
6.
Andin Dek dan Andin Ngoko masing-masing dihukum
10 tahun dan diasingkan ke Aceh dan Sawah Lunto;
7.
Andin Gedang, Sebaya, dan Wana masing-masing
dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Cilacap, Semarang, dan Blitar.
Para
pemimpin pergerakan perlawanan terhadap Belanda ini hampir semuanya meninggal
dunia dalam pembuangan, kecuali Andin Dek dan Pangeran Jaya Kesuma Ningrat yang
selamat menjalani hukuman dan kembali lagi ke Pasir. Setelah meletusnya
perlawanan rakyat dan bangsawan, Belanda meningkatkan penarikan pajak,
pembatasan kesempatan memperoleh pendidikan (bahkan tidak pernah didirikan
sekolah di Pasir), dan pengawasan secara ketat terhadap segala aktivitas
rakyat. Berbagai tekanan yang dialami rakyat Pasir ini membuat kesempatan untuk
bangkit melawan Belanda praktis tertutup sama sekali. Sesudah tahun 1917,
rakyat Pasir tidak mampu mengadakan perlawanan.
f.
Silsilah Raja Raja Pasir
Berikut ini adalah nama raja/ sultan yang
pernah memerintah di Kerajaan Pasir.
1.
Ratu Putri Petung / Putri Di Dalam Petung (Sri
Sukma Dewi Aria Manau Deng Giti) (1516 – 1567)
2.
Raja Adjie Mas Patih Indra (1567 – 1607)
3.
Raja Adjie Mas Anom Indra (1607 – 1644)
4.
Raja Adjie Anom Singa Maulana (1644 – 1667)
5.
Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana)
(1667 – 1680)
6.
Sultan Panembahan Adam I (Adjie Duwo) (1680 –
1705)
7.
Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger)
(1703 – 1726)
8.
La Madukelleng (Arung Matoa dari Wajo, Bugis,
Makasar) (1726 – 1736)
9.
Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 –
1766)
g.
Sistem Pemerintahan
Sejak berdirinya Kerajaan Pasir yang kemudian
menjadi Kesultanan Pasir, wilayah Pasir telah menjadi taklukan Kesultanan
Banjar. Konsekuensi dari sebuah daerah taklukan adalah menjalankan semua
kebijakan yang telah diputuskan oleh daerah induk (Kesultanan Banjar). Dalam
urusan dengan pemerintahan, segala hal yang berkenaan dengan pengambilan
kebijakan di Kesultanan Pasir harus mendapatkan persetujuan (izin) dari
Kesultanan Banjar, termasuk di dalamnya dalam urusan pengangkatan sultan.
Selain tunduk dan patuh kepada Kesultanan Banjar, untuk urusan dalam negeri,
Sultan Pasir juga memiliki beberapa perangkat pemerintahan. Di bawah kedudukan
sultan, terdapat menteri yang bertugas untuk menjalankan perintah sultan. Perintah
ini kemudian diteruskan kepada para kepala daerah yang disebut dengan gelar
pangeran. Selain menjadi pemimpin daerah, seorang pangeran juga bertugas untuk
menginformasikan dan menjalankan perintah dari menteri. Selain menjalankan
perintah sultan, menteri juga bisa bertugas sebagai duta negara yang
menggantikan fungsi sultan jika ada urusan ke luar daerah, misalnya ke
Kesultanan Banjar ataupun ke tempat Residen Banjarmasin pada masa pendudukan
Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kalimantan
secara umum dibagi ke dalam dua karesidenan yang terdiri dari beberapa swapraja
atau daerah bekas kerajaan/kesultanan (gewest). Kedua karesidenan ini adalah
Keresidenan Westerafdeling van Borneo dengan ibukota Pontianak dan Keresidenan
Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin. Ketika Belanda
berkuasa atas Kesultanan Pasir sebagai kompensasi atas bantuan Belanda terhadap
Kesultanan Banjar, secara struktur pemerintahan, wilayah Kesultanan Pasir
dimasukan ke dalam de afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe Landen, yaitu sebuah
afdeeling yang termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Zuide en Oosterafdeling
van Borneo dengan ibukota Banjarmasin. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178,
wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri
dari daerah-daerah “leenplichtige landschappen”, yaitu: Pasir, Pegatan, dan
Koesan. Atas dasar pengaturan tersebut, Sultan Pasir wajib memberikan laporan
tentang kondisi pemerintahan dan segala kebijakan yang diambil, bahkan dalam
urusan internal kesultanan kepada Residen Banjarmasin. Dalam hal ini, kedudukan
Sultan Pasir dianggap sebagai kepala gewest saja. Akan tetapi jika berada di
lingkungan kesultanan, kedudukan sultan merupakan kedudukan tertinggi.
h.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kesultanan Pasir sejak pemerintahan
Putri Betung (1575 M) sampai dengan dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda
pada tahun 1908, meliputi daerah yang sekarang ini disebut Kabupaten Pasir dan
Penajam Paser Utara. Luas wilayah Kesultanan Pasir mencakup sekitar 14.937 Km2
atau 1.579.366 Ha, yang terdiri dari luas daratan 1.391.200 Ha dan luas
perairan laut 188.166 Ha. Kesultanan Pasir berbatasan dengan beberapa wilayah,
yaitu:
1.
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai
Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Balikpapan di Provinsi Kalimantan
Timur yang pada saat itu berada dalam wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura;
2.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan;
3.
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong,
Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan
Tengah;
4.
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar.
Luas wilayah Kerajaan Pasir diperkirakan juga
meliputi sebagian kecil wilayah yang terletak di Provinsi Kalimantan Selatan
saat ini, mengingat berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari daerah Kuripan
(Amuntai) yang berada di wilayah Kalimantan Selatan. Akan tetapi pada
perkembangan selanjutnya wilayah Kesultanan Pasir sedikit berkurang karena
wilayah timur Kalimantan Selatan ini menjadi daerah terpisah (berdiri sendiri),
yaitu menjadi Kerajaan Tanah Bumbu. Dari mulai berdirinya Kesultanan Pasir
sampai masa berakhirnya kesultanan ini, telah terjadi beberapa kali perpindahan
pusat kerajaan, yaitu:
a.
Kuripan (sekarang Amuntai, Kalsimantan Selatan)
adalah tempat asal-muasal Kerajaan Pasir;
b.
Desa Lempesu atau dikenal dengan nama
Sadurangas (27 KM dari Tanah Grogot, Kalimantan Timur) merupakan pusat kerajaan
untuk pertama kalinya;
c.
Gunung Sahari (1 Km sebelah selatan Museum Istana
Sadurangas terletak di Kecamatan Pasir Balengkong, Kalimantan Timur);
d.
Benuwo (Pasir Belengkong, Kalimantan Timur);
e.
Tanah Grogot (Pasir, Kalimantan Timur).
4.
Kerajaan
Kotawaringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan
Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten
Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana
al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530,
dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun
ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan
Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun
1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa
Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang
dipimpin oleh Dipati Ngganding.
Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan Pagatan
(1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah
Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam
wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan
bertetangga dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas
negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal,
Manunggul, Sampanahan).
D.
Adat
Istiadat Melayu Kalimantan
1.
Adat
Istiadat Kalimantan Barat
a.
Etnik Melayu
Kelompok etnik
melayu adalah kelompok etnik mayoritas yang tersebar di kawasan pesisir dan
merupakan kelompok etnik yang telah lama bermukim didaerah Kalimantan Barat,
berasal dari anak benua dan kepulauan yang berpusat di Asia Tenggara yang
meliputi Negara Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Burma, Kamboja dan
lain-lain. Keberadaan masyarakat melayu tak terlepas dari sejarah kota
Pontianak, peranan Sultan Syarif Abdurrahman Tua seorang dayang pada kerajaan
Matan keturunan Dayak yang telah masuk Islam. Pada dasarnya melayu di
Kalimantan Barat adalah orang Dayak yang masuk agama Islam disebut dengan orang
laut, sedangkan yang beragama lain disebut dengan orang darat. Namun banyak juga terdapat orang melayu yang
bukan keturunan dayak. Masyarakat etnik melayu dibedakan menurut daerah
administrasinya, yaitu melayu Pontianak, Melayu Sambas, melyu Mempawah, melayu
Sanggau, melayu Sintang, melayu Ketapang dan melayu Kapuas Hulu. Perbedaan ini
disebabkan karena pada masa lalu masing-masing daerah diperintah oleh raja-raja
local yang berdiri sendiri dan terlihat pada bahasa dialek yang dipergunakan.
Adat istiadat etnik masyarakat Melayu antara lain adalah:
1)
Tradisi Tepung
Tawar
Bahan upacara
tradisi tepung tawar terdiri dari tepung beras, beras kuning, berteh daun
juang-juang, daun gandarusa, daun pacar, serta minyak bau atau minya bugis (jika
diperlukan). Ada empat jenis yaitu: tepung tawar badan, tepung tawar mayit,
tepung tawar peralatan dan tepung tawar rumah.
a)
Tradisi tepung
tawar badan diperuntukkan bagi anak kecil yang melaksanakan gunting rambut dan
naik ayun (naik tojang), melaksanakan pernikahan, anak laki-lakidan perempuan
yang akan dikhitan, bagi keluarga yang meninggal setelah tiga hari dimakamkan,
dan peralatan yang baru dipakai atau ketika mengalami musibah. Tujuannya untuk
meminta keselamatan dengan keyakinan bahwa masih ada kekuatan gaib yang
mempengaruhi didalam kehidupan dan tetap memohon keselamatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
b)
Tepung tawar
mayit, dilakukan dengan tujuan supaya ahli keluarga yang ditinggalkan
senantiasa sabar menerima cobaan dari Allah, terhidar dari musibah dengan
memohon agar dijauhkan dari segala musibah yang dating dengan memohon
keselamatan. Tujuannya sebagai ungkapan bahwa dalam kehidupan semua pasti mati
dan yang telah terjadi menjadi pasrah, kembali ketempat asalnya.
c)
Tepung tawar
peralatan, digunakan untuk kendaraan yang baru maupun kendaraan yang telah
mendapat musibah seperti setelah kecelakaan atau kendaraan hilang ditemukan
kembali. Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan menghindarkan musibah dan
meminta izin agar selalu dalam keselamatan dengan menggunakan lafadz doa
tertentu.
d)
Tepung tawar
pernikahan dilakuakan saat akad nikah agar mempelai mendapatkan keberkahan dan
keselamatan dalam menjalani bahtera rumah tangga.
2)
Tradisi
Robo-Robo
Robo-robo
berasal dari kata Robo atau rabu. Tradisi robo-robo diadakan pada rabu terakhir
bulan sapar (Hijriah) yang menyimbolkan keberkahan. Menurut cerita, ritus ini
merupakan peringatan atau napak tilas kedatangan Pangeran Mas Surya Negara dari
kerajaan Matan (Martapura) ke kerajaan Mempawah (Pontianak). Robo-robo itu
sendiri dimaksudkan sebagai suatu peringatan serangkaian kejadian penting
bermula Haulan pada hari senin malam selasa terakhir bulan syafar guna
mengenang wafatnya opu Daeng Manambun. Bagi warga keturunan Bugis di Kalbar,
robo-robo biasanya diperingati dengan makan bersama keluarga.
3)
Tradisi
Saprahan (makan dalam kebersamaan)
Sebuah jamuan
makan yang melibatkan banyak orang yang duduk didalam satu barisan, saling
berhadapan dalam duduk satu kebersamaan, dialas dengan kain putih maupun hijau
yang membentang panjang da nada yang ditumpuk pada satu talam. Pantangan yang
berlaku dalam jamuan makan saprahan ialah tidak boleh berbicara kotor serta
keji, janagn berludah, jika ada yang bersin maka dengan segera meninggalkan
tempat dan digantikan dengan yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian
yang bukan dihadapannya. Panjang kain saprahan minimal 2 meter yang ukuran
dapat menampung 10 atau 5 orang yang saling berhadapan, dengan sap yang
resminya terdiri dari 3 baris.
a)
Sap pertama
merupakan orang-orang yang memiliki kedudukan penting.
b)
Sap kedua
merupakan kaum kerabat terdekat.
c)
Sap ketiga
merupakan masyarakat umum.
Impelemntasinya
adanya perasaan senasib, kebersamaan, sopan santun, menghargai yang dituakan
atau menghargai pemimpin, karena pemimpin sudah menunjukkan tatacara budi
bahasa yang baik, penuh dengan kesopanan. Suguhan makanan tersaji dalam tiga
gelombang, tiga gelombang memiliki makna tiga sesi hidangan yang berbeda, yang
hadir pada suatu majlis, yaitu:
1)
Acara pertama
yaitu makanan hidangan, terdiri dari nasi putih, sayur ikan pedas, sambal
belacan, ayam, ikan asin, pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga ada
ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi
sambal).
2)
Acara kedua
hidangan pencuci mulut, terdiri dari kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran
cawan kecil disebut dengan kopi mak jande, kue berupa bingke berendam,
belodar, rori kap.
3)
Acara ketiga
hidangan yang dikeluarkan ialah air serbat (air yang terbuat dari ramuan
berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang
disebut dengan kode bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera
meninggalkan tempat jamuan, diakhiri dengan membaca shalawat Nabi.
2.
Adat
Istiadat Kalimantan Selatan
a.
Mahidin
Mahidin berasal
dari kata madah dalam bahasa arab artinya nasihat. Mahidin dapat diartikan
sebagai sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia, karena ia menyanyikan
syair-syair yang berasal dari kata akhir persamaan bunyi atau sebagai kalimat
puji-pujian (bahasa arab) karena bisa dilihat dari kalimat dalam madihin yang
kadang kala berupa puji-pujian. Kesenian madihin pada umumnya digelarkan pada
malam hari, lamanya sekitar 2 sampai 3 jam ditempatkan diarena terbuka. Seniman
pamadihin ini terdiri dari 1 sampai 4 orang pria dan wanita. Seorang pamadihin
harus memiliki keterampilan memukul terbang sesuai dengan penyajian syair-syair
yang dibacakan, madihin ini temanya saling sindir menyindir antara
pamadihinnya.
b.
Bayaun Mulid
Baayun asal
katanya “ayun” yang diartikan “melakukan proses ayunan”. Asal kata mauled
berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Baayun anak adalah
salah satu tradisi symbol pertemuan anatara tradisi dan pertemuan agama. Inilah
dialektika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama
dating menuntun budaya.
3.
Adat
Istiadat Kalimantan Timur
a.
Hadrah
Merupakan
kesenian Islam yang ditampilkan dengan iring-iringan rebana/terbang (alat
perkusi) sambil melantunkan pujian terhadap akhlak mulia Nabi Muhammad SAW,
yang disertai dengan gerak tari. Tradisi dari 2 kelompok, kelompok penabuh
hadrah dan kelompok yang melantunkan syair berjanji. Hadrah biasa dipakai pada
acara perkawinan, mangantar orang berangkat haji, hari-hari Islam dan lain
sebagainya.
b.
Mamanda
Mamanda
merupakan seni panggung (teter), kesenian klasik Melayu (setengah
musical/opera) dengan menggunakan instrument Biola dan Gendang. Tema cerita
yang dibawakan biasanya tentang kisah para raja.
E.
Melayu
Kalimantan Identik Dengan Islam
Saat mendengar
kata ‘Kalimantan’, seringkali diasosiasikan dengan kata ‘Dayak’ karena memang
salah satu suku bangsa yang terkenal berasal dari Kalimantan adalah suku bangsa
Dayak. Akan tetapi, tentu saja tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan suku
bangsa lain juga turut memperkaya khasanah kebudayaan Kalimantan, salah satunya
adalah suku Bangsa Melayu. Walker (2004) mencoba menelusuri keberadaan Melayu
di Pulau Kalimantan. Menurutnya orang Melayu berasal dari Kesultanan Malaka di
Johor yang memperluas kekuasaannya di Borneo dan menduduki Kesultanan Brunei.
Dari sanalah identitas Melayu mulai dipakai dan menyebar ke seluruh wilayah
Pulau Kalimantan. Sedangkan penduduk asli Kalimantan sendiri adalah orang
Dayak. Keberadaan suku bangsa Melayu, juga tidak terlepas dari masa-masa
keemasan kesultanan Melayu yang tersebar di Pulau Kalimantan. Mulai dari
Kesultanan Pasir, Kesultanan Pontianak, Kesultanan Bulungan dan sebagainya.
Hingga saat ini, peninggalan-peninggalan kesultanan terdahulu di Pulau
Kalimantan masih bisa ditemukan, dan bahkan beberapa kesultanan masih berjalan
dengan system pemerintahan dan kebudayaannya.
Keberadaan suku
bangsa Melayu tersebut, sangat identik dengan penyebaran agama Islam di Pulau
Kalimantan. Hanya saja, sebagian besar kesultanan awal mulanya mengekspansi
wilayah pesisir saja, sehingga perkembangan Islam lebih banyak terjadi di
daerah pesisir. Akan tetapi, tentu saja seiring berjalannya waktu, penyebaran
Islam mencapai dataran pedalaman Kalimantan dan menyentuh komunitas-komunitas
Dayak yang mayoritas berada di wilayah pedalaman. Persoalan kultural antara
identitas suku bangsa dan identitas keagamaan pun ditemui oleh orang Dayak yang
memeluk Islam. Kultur Dayak yang seringkali bertentangan dengan ajaran agama
Islam tentu saja tidak dapat lagi dipraktekkan oleh orang-orang Dayak yang
sudah menjadi muslim. Turun Melayu, adalah salah satu upaya orang Dayak pemeluk
agama Islam untuk dapat terus menjalankan ajaran agama sekaligus memiliki
identitas kultural yang diakui.[21]
F.
Tarian
Adat Melayu Kalimantan yang Populer
1.
Tari
Jepin
Tari
jepin adalah kesenian tradisional yang berasal dari Kalimantan Barat yang dapat
diadaptasi dari kesenian melayu, agama Islam, dan juga budaya lokal. Tarian ini
merupakan salah satu media penyebaran dari agama Islam di Provinsi Kalimantan
Barat. Tari jepin merupakan kesenian tari gerak dan lagu yang memiliki arti
disetiap gerakannya. Menurut bebrapa sumber sejarah yang ada, jepin awalnya
merupakan kesenian yang menjadi media dakwah didalam penyebaran agama Islam
pada abad ke-13. Tarian ini pada awalnya ditampilkan didaerah Sambas Provinsi
Kalimantan Barat, kemudian menyebar dan juga berkembang ke berbagai daerah di
Provinsi Kalimantan Barat.
2.
Tari
Radat Rambas
Tarian radat
dimainkan oleh para wanita yang terdiri dari 12 orang penari, yang diiringi
oleh alunan music berupa Tamborin, Gendang, Tahar, Rebana dan alunan syair yang
sangat indah yang biasanya dimainkan oleh para pria. Tarian ini biasanya untuk
menyambut tamu-tamu istimewa dan acara tertentu. Tarian radat merupakan budaya
Islam di Timur Tengah yakni yang diasimilasikan dengan budaya melayu. Radat
dipercayai berasal dari singkatan “Hadrat Baghdad” yang menjadi
sebahagian bentuk seni persembahan hadrah atau berzanji (bacaan puji-pujian
yang berisi riwayat Nabi Muhammad SAW).
3.
Tari
Tandak Sambas
Tanda’
merupakan salah satu bahasa Melayu yang berarti menari. Dinamakan tanda’ sambas
karena ini merupakan seni tari yang berada di wilayah Sambas. Mengenai sejak
kapan keberadaan tanda’ Sambas hadir di tengah masyarakat Melayu Sambas, siapa
tokoh dan guru yang mengajarkannya belum dapat penjelasan yang kuat dan akurat.
H. Muin Ikram, salah satu pemerhati kebudayaan Melayu Sambas, mengatakan bahwa
Tanda’ Sambas merupakan seni tari asli Melayu Sambas. Selanjutnya, ia
mengatakan bahwa keberadaan tanda’ Sambas sejalan dengan perkembangan Islam di
kota Sambas. Tanda Sabas juga berfungsi sebagai salah satu pertunjukan dalam
Musabaqah Tilawatil Qur’an peringkat Nasional ke-15 pada tahun 1985 di
Pontianak untuk pertama kalinya.[22]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keberadaan
Islam di rantau melayu yang terdiri dari daratan dan kepulauan yang banyak
jumlahnya telah berjaya membina satu imej baru kepada masyarakat rantau melayu.
Alam melayu berjaya menampilkan sebuah tamadun yang gemilang terutama setelah
kedatangan Islam ke rantau ini. Umat melayu berjaya membina kecermelangan dan
kegembilngan dalam berbagai bidang dimulai dengan keagungan pemerintahan,
kemntapan ekonomi dan kemurnian budaya serta sosial. Kejayaan ini dibina oleh
generasi awal berasaskan pemahaman agama Islam yang berteras tauhid. Sebelum
Islam berjaya dibangsa melayu, bangsa melayu mempunyai sejarah sebelum masuknya
Islam, kedatangan Islam dan pengaruh agama Islam terhadap tamadun melayu. Dan
orang sering mengaitkan bahwa melayu itu beragama Islam.
Masuknya
Islam ke Kalimantan Barat itu sendiri tidak di ketahui secara pati, masih
banyak perbedaan pendapat dari berbagai kalangan, ada pendapat yang mengatakan
bahwa Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada abad ke-15, da ada juga
pendapat lain yang mengatakan Islam masuk di Kalimantan Barat pada abad ke-16.
Daerah Kalimantan Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama
Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini
diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa
Islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab, namun ada versi lain yang
mengatakan nam beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah putra asli
Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab
yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri dayak
yang telah menganut agama Islam putri kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman
al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 rabiul awal 1151 H (1739 M), jadi ia
merupakan keturunan Arab dan dayak dan ayahnya Syarief Husein menjadi Ulama
terkenal di kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.
Adapun
kerajaan melayu di Kalimantan yaitu kerajaan banjar (Banjarmasin), kerajaan
Kutai, kerajaan Pontianak, kerajaan Pasir dan kerajaan Kotawaringin. Sedangkan
adat istiadat melayu Kalimantan Barat ialah taradisi tepung tawar, taradisi
robo-robo, tradisi saprahan (makan dalam kebersamaan), adat istiadat melayu
Kalimantan Selatan ialah mahidin dan bayaun maulid, dan adat istiadat melayu
Kalimantan Timur ialah hadrah dan mamanda. Tarian melayu Kalimantan yang
popular ialah tari jepin, tari radat rambas dan tari tandak sambas.
B.
Saran
Demikian
yang dapat saya sajikan, semoga bermanfaat bagi para pembaca dan juga bagi
penulis khususnya, dan saya sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik
dan saran agar makalah ini lebih baik kedepannya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Ansar
Rahman.2000 Syarif Abdurrahman al-Kadri, Perspektif Sejarah Berdirinya Kota
Pontianak. Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak
Adham,
Salasilah Kutai
Af’idatul
Lathifah, Turun Melayu: Konstruksi
Identitas Orang Dayak Muslim di Desa Kuala Rosan Kalimantan Barat, Endogami:
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi Vol. 2
No. 1 : Desember 2018 E-ISSN : 2599-1078
A.
Muin Ikram. 2008. Tanda’ Sambas: Tari Pergaulan Kalimantan Barat. Kalimantan
Barat: Yayasan Penulis Enam-Enam
Bathuthah.
2012. Rihlah Ibnu Bathuthah. Terj.
Muhammad Muchson Anasy dan Khalifurrahman Fath.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Badri Yatim. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Daliman.
2012. Islamisasi dan
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan
Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak
H.
Dachlan Sjahrani. 1981. Samarinda Dengan Perkembangan Dakwah Islam. Samarinda,
Dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timur
Hamadiy,
Lagad Melayu Dalam Lintas Budaya Riau, cet.1, (Pekanbaru: Blik Kreatis
Press, 1423 H)
Mahmud
Yunus. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya
Marwati
Djoened, Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balal Pustaka
Nor Huda. 2007. Islam
Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
Oemar
Dachlan. 1981. Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timut.
Samarinda:Panitia Menyambut Abad XV Hijriah, Daerah Tingkat 1 Provinsi
Kalimantan Timur Seksi Ilmu Pengetahuan
Pemerintahan
Daerah Kalimantan Timur. 1997. Silsilah Kutai Kartanegara. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebangsaan Budaya Kraton
Kutai Kartanegara
Pusponegoro
dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III
Ricklefs.
2009. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terj.
Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi
Suryanegara.
2009. Api Sejarah. Bandung: Salamadani
Tom Pires.2014. Suma Oriental.
Terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Usman.
1995. Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan
Politik, Ekonomi Perdagangan
dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press
[1] Suryanegara, Api
Sejarah. (Bandung: Salamadani, 2009), hh. 99-102.
[2] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h.32.
[3]
Daliman, Islamisasi dan
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan
Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 35.
[4] Ibid, h.
33
[5] Ricklefs. Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Terj.
Tim Penerjemah Serambi, (Jakarta: Serambi, 2009), h. 4.
[6] Bathuthah, Rihlah Ibnu
Bathuthah. Terj. Muhammad Muchson Anasy dan Khalifurrahman Fath, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 601.
[7] Hamadiy, Lagad
Melayu Dalam Lintas Budaya Riau, cet.1, (Pekanbaru: Blik Kreatis Press,
1423 H), hh. 3-4
[8] Mahmud Yunus
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hh.
323-324
[9] Tom Pires, Suma Oriental. Terj.
Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), hh.
187-188.
[10] Ansar Rahman, Syarif
Abdurrahman al-Kadri, Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, 2000,
(Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak, 2000), h. 3
[11] Usman, Kerajaan Banjar:
Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi Perdagangan dan
Agama Islam. (Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press, 1995), h.
2.
[12] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 221
[13] Pemerintahan
Daerah Kalimantan Timur, Silsilah Kutai Kartanegara, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 106
[14] Pusponegoro
dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, h. 25
[15] Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebangsaan Budaya Kraton
Kutai Kartanegara, h. 66
[16] Adham, Salasilah
Kutai, h.240
[17] H. Dachlan
Sjahrani, Samarinda Dengan Perkembangan Dakwah Islam, (Samarinda, Dalam
Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timur, 1981), h. 27
[18] Oemar Dachlan,
Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan Timut,
(Samarinda:Panitia Menyambut Abad XV Hijriah, Daerah Tingkat 1 Provinsi
Kalimantan Timur Seksi Ilmu Pengetahuan, 1981), h. 1
[19] Marwati
Djoened, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta:
Balal Pustaka, 2008), hh. 88-89
[20] Ibid.,
h. 90
[21] Af’idatul
Lathifah, Turun Melayu: Konstruksi
Identitas Orang Dayak Muslim di Desa Kuala Rosan Kalimantan Barat, Endogami:
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi Vol. 2
No. 1 : Desember 2018 E-ISSN : 2599-1078, hh. 80-81.
[22] A. Muin Ikram,
Tanda’ Sambas: Tari Pergaulan Kalimantan Barat, (Kalimantan Barat:
Yayasan Penulis Enam-Enam, 2008), h. 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar