BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATARBELAKANG
Islam di
Aceh merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Banyak ahli sejarah
baik dalam maupun luar negeri yang berpendapat bahwa agama Islam pertama sekali
masuk ke Indonesia melalui Aceh.Keterangan Marco Polo yang singgah di Perlak
pada tahun 1292 menyatakan bahwa negeri itu sudah menganut agama Islam. Begitu
juga Samudera-Pasai, berdasarkan makam yang diketemukan di bekas kerajaan
tersebut dan berita sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan
bahwa kerajaan ini sudah menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.
Tentang
sejarah perkembangan Islam di daerah Aceh pada zaman-zaman permulaan itu
petunjuk yang ada selain yang telah kita sebutkan pada bagian-bagian yang lalu
ada pada naskah-naskah yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti Kitab
Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai. Menurut kedua kitab tersebut, seorang
mubaligh yang bernama Syekh Ismail telah datang dari Mekkah sengaja menuju
Samudera untuk mengislamkan penduduk di sana. Sesudah menyebarkan agama Islam
seperlunya, Svekh Ismail pun pulang kembali ke Mekkah. Perlu uga disebutkan di
sini bahwa dalam kedua kitab ini disebutkan pula negeri-negeri lain di Aceh
yang turut diislamkan, antara lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
Asal Usul Masuknya Islam Di Aceh?
2.
Apa saja
kerajaan Islam Melayu yang ada di Aceh?
3.
Apa saja Adat
Istiadat Islami yang ada di Aceh?
4.
Apa saja yang
identik dengan Islam yang ada di Aceh?
5. Apa
saja Tarian Islami yang ada di Aceh?
C.
Tujuan
1. Bagaimana
Asal Usul Masuknya Islam Di Aceh?
2.
Apa saja
kerajaan Islam Melayu yang ada di Aceh?
3.
Apa saja Adat
Istiadat Islami yang ada di Aceh?
4.
Apa saja yang
identik dengan Islam yang ada di Aceh?
5. Apa
saja Tarian Islami yang ada di Aceh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAL USUL MASUKNYA ISLAM DI ACEH
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa
dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh. [1]
Berdasarkan
kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di
Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
a.
Islam untuk
pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari
Arab.
b.
Daerah yang
pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan
Islam yang pertama adalah di Pasai.
c.
Dalam proses pengislaman selanjutnya,
orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran
Islam dilakukan secara damai.
d.
Keterangan Islam di Indonesia, ikut
mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk
kepribadian bangsa Indonesia.(Taufik Abdullah, 1983: 5)
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang
mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. (Musrifah, 2005: 10-11).
Dan jalur yang digunakan adalah:
a.
Perdagangan,
yang mempergunakan sarana pelayaran
b.
Dakwah, yang
dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh
itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.
c.
Perkawinan,
yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan
Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan
masyarakat muslim.
d.
Pendidikan.
Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran
Islam.
e.
Kesenian. Jalur
yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat
penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih
dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak
memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan
agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh
tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari
Negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan
masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
1.
Letaknya sangat
strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
2.
Pengaruh Hindu –
Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan
rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.[2]
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof.
Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat
tersebar di seluruh Indonesia (Hasbullah, 2001: 19-20), antara lain:
a.
Agama Islam
tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh
segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan
mengucap dua kalimah syahadat saja.
b.
Sedikit tugas
dan kewajiban Islam
c.
Penyiaran Islam
itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
d.
Penyiaran Islam
dilakukan dengan cara bijaksana.
e.
Penyiaran Islam
dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh
golongan bawah dan golongan atas.
Konversi
massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab (Musrifah, 2005: 20-21), yaitu:
1.
Portilitas (siap
pakai) sistem keimanan Islam.
2.
Asosiasi Islam
dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi
dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya
raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan
penting dalam bidang politik dan diplomatik.
3.
Kejayaan
militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
4.
Memperkenalkan
tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara
yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
5.
Mengajarkan
penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru,
khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.
6.
Kepandaian dalam
penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan
kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja
Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh
dari Pasai.
7.
Pengajaran
tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan
kebahagiaan di akhirat kelak.
B. Kerajaan Islam Melayu di Aceh
1. Kesultanan Lamuri
Secara umum, data
tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang
dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan
Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti
Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang
keberadaan kesultanan ini.
Data tentang lokasi
kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli
sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut sebelah barat
laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah
lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang
pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan
India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires,
letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah
Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah
pedalaman.
Menurut T. Iskandar
dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa kesultanan ini
berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten
Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat
sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh Besar dekat
dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh
lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di dekat
Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Berdasarkan sejumlah
data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih menjadi
perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun demikian, dapat
diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai
dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak kesultanan ini berada
di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri.
Kata “Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng
Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng
Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.
Berdasarkan
sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kerajaan Lamuri telah ada sejak
pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar
tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi
sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun
943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah
kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai
kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban
untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga
datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.
Menurut Prasasti
Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang oleh
Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya,
Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah
memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut
mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti
sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti
Kerajaan Chola.
Berdasarkan
sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan tempat
pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang
datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para
pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M
semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah
historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan
daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia
mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.
Menurut Hikayat Atjeh,
salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan Lamuri adalah Sultan
Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang
sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat
pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta
Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut
dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara
sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan
Makota Alam.
Dalam perkembangan
selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri beserta dengan
Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamiang, dan Samudera
Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali
Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri
merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Nama
kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang pusat
pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.[2]
2. Kerajaan Jeumpa
Sebelum kedatangan
Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri sebuah kerajaan Hindu yang dipimpin turun
temurun oleh seorang meurah. Pada saat itu kerajaan ini sudah dikenal di
seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan
lain-lain. Pada awal abad VIII seorang pemuda bernama Abdullah dari India
belakang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga
melalui Kuala Jeumpa dengan tujuan berdagang.
Abdullah kemudian
tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut
dengan mudah menerima Islam karena tertarik dengan perilakunya. Abdullah
kemudian dinikahkan dengan puteri raja bernama Ratna Kumala. Di kemudian hari
Abdullah dinobatkan menjadi raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian
wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan
nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama Champia, yang
artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya,
berarti kemenangan.
Berdasarkan silsilah
keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei
Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau
tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia yang bernama
Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang
Seuludong (Dialek Bireuen: Manyam Seuludang) dan memiliki beberapa anak, antara
lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum
Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut
penelitian sejarawan Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama
yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah,
habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya.
Syahri diambil dari
nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia
terakhir. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam
pengembangan Kerajaan Peureulak, bahkan dia dianggap arsitek pendiri kota
pelabuhan Peureulak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan
kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz.
Keberadaan Kerajaan
Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusuri dari pembentukan Kerajaan Perlak yang
dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805
Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang
dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan
Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan
dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab
dan Persia.
Akibatnya masyarakat
muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali
lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan
wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah
Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya
kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan
pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul
Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan
Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi’ah.
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan
Revolusi Syi’ah yang terjadi di Persia tahun 744-747.
3. Kesultanan Samudra Pasai
Kedatangan Islam di
berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Sekitar abad ke-7 dan 8, Selat
Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke
negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman
T’ang, pada abad-abad tersebut diduga masyarakat Muslim telah ada, baik di
Kanton maupun di daerah Sumatera.
Di Sumatera, daerah yang pertama kali
disinggahi oleh orang-orang Islam adalah pesisir Samudera. Penyebabnya terdiri
dari para mubaligh dan saudagar Islam yang datang dari Arab, Mesir, Persia dan
Gujarat. Para saudagar ini banyak dijumpai di beberapa pelabuhan di Sumatera
yaitu di Barus yang terletak di pesisir Barat Sumatera, Lamuri di pesisir Timur
Sumatera dan di pesisir lainnya seperti di Perlak,yaitu sekitar tahun 674 Masehi.
Kehadiran agama Islam
di Pasai mendapat tanggapan yang cukup berarti di kalangan masyarakat. Di Pasai
agama Islam tidak hanya diterima oleh lapisan masyarakat pedesaan atau
pedalaman malainkan juga merambah lapisan masyarakat perkotaan. Dalam
perkembangan selanjutnya, berdirilah kerajaan Samudera Pasai.
Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin
Al-Kamil pada tahun 1267. Nizamudin Al-Kamil adalah seorang laksmana angkatan
laut dari Mesir sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut
pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M. Setelah itu, ia mendirikan
kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan Lada. Dinasti Fatimiyah merupakan
dinasti yang beraliran paham Syiah, maka bisa dianggap bahwa pada waktu itu
Kerajaan Pasai juga berpaham Syiah. Akan tetapi, pada saat ada ekspansi ke
daerah Sampar Kanan dan Sampar Kiri sang laksamana Nizamudin Al-Kamil gugur.
Setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah
yang beraliran Syiah pada tahun 1284, dinasti Mamuluk yang bermadzhab Syafi’I
berinisiatif mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pasai. Selain untuk
menghilangkan pengaruh Syiah, penaklukan ini juga bertujuan untuk menguasai
pasar rempah-rempah dan lada dan pelabuhan Pasai. Maka, Syekh Ismail bersama
Fakir Muhammad menunaikan tugas tersebut. Mereka akhirnya dapat merebut Pasai.
Selanjutnya dinobatkanlah Marah Silu sebagai raja Samudera Pasai yang pertama
oleh Syekh Ismail. Setelah Marah Silu memeluk Islam dan dinobatkan menjadi
raja, dia diberi gelar “Malikus Saleh” pada tahun 1285. Nama ini adalah gelar
yang dipakai oleh pembangunan kerajaan Mamuluk yang pertama di Mesir yaitu “Al
Malikus Shaleh Ayub”.
Ada kisah-kisah menarik
yang diterangkan dalam Hikayat Raja Pasai seputar Marah Silu. Kisah-kisah ini
nyaris di luar nalar dan beraroma mistis. Seperti adanya sabda Rasulullah yang
menaubatkan berdirinya kerajaan Samudera Pasai ataupun kisah Merah Silu yang
tanpa diajari siapapun mampu membaca Al Quran 30 juz dengan sempurna. Terlepas
dari itu, Malik As Saleh kemudian berpindah paham, dari Syiah menjadi paham
Syafi’i. Maka aliran paham di Kerajaan Samudera Pasai yang semula Syiah berubah
menjadi paham Syafi’I yang sunni.
4. Kesultanan Aceh
Kerajaan Aceh dirintis
oleh Mudzaffar Syah. Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia,
tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai
tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan
Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta
negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires
menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan
Aceh).
Aceh berdiri sekitar
abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut
Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan
dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia,
khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama
Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain
pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil
dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina.
Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan
sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya
wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan
Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil
melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun
itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam
kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan
penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari
belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama
pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra
Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga
mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di
Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal
ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang
Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika
perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru
berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat
sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya
untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh
rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana
tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga
mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk
terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka
terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh,
dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah
Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng
yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal
pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas
perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun
digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah
atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia
menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba
menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil
menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571.
Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari
Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka
sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575.
Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat
ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan
kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan
internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki,
Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke
Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan
penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya.
Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak
saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang dilakukan
oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau
Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah orang
berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah.
Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur
dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara
maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada
tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar
Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin
oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun
1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)
Kerajaan Aceh mulai
mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan Sultan Iskandar
Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar
Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam
bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada
perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan
kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan
yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda
(Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda
memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan
rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran
masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619,
serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil
timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan
Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar
Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang
politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh
yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan
utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada
sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam
perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan
pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry
Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam lapangan
pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama
ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing,
seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin
al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri
dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya
Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Dalam hubungan
ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis, Inggris,
Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain:
beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam,
besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas,
opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh.
Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan,
gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro: 2010, 31)
Di bawah kekuasannya
kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama
daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh,
dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak
di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya,
rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia
Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)
5. Kerajaan Pedir
Sejarawan Aceh, M.
Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja
Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini
digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur,
sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi,
sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh
Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di
sebelah utara.
Sementara dalam kisah
pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam
kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat
menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok
itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil,
atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari
utara ke selatan.
Menurut M. Junus Jamil,
Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia
Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa
abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian
dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar
yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.
Setelah berlabuh dan
menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang
dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha
Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian
masuk pengaruh Hindu.
Lama kelamaan Kerajaan
Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan
Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan
Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kala itu Kerajaan Sama
Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan
kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama
Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,
Menurut M Junus Djamil,
pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari
agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh
Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M).
Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh
Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.
Setelah kerajaan Sama
Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya,
Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan
muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam.
Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama
kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.
Meski sebagai kerajaan
otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap
dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh
Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum
mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie
beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah
kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.
Sementara Prof. D. G. E
Hall dari Inggris, dalam bukunya “A History of South East Asia”, mengambarkan
Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu
berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang
pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.
Dalam catatan Varthema,
sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam
“Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih
disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya
disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang
selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
Dari pelabuhan Pedir
juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar.
Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan
Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu
meningkat.
Bahkan vartheme
menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang
penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number
of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd
moneychanger,” kata Varhtema.
Varthema oleh Muhammad
Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan
penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari
Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari
Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis
sejumlah buku tentang Aceh.
Dalam catatannya
Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah
menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan
hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration
of Justice,”.
Selain itu Varthema
juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang,
yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang
keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat
alat-alat peletup atau senjata api.
Dalam sebuah riwayat
Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa
Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan
Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah,
berpakaian sutra dan bermahkota emas.
Untuk menjalin hubungan
diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke
Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari
Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun singgah dan
tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh
Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan
kerjaan Dangroian (?).
Poli sebagai Pidie yang
dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan
Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri
yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar
pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang
oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal
sebagai Kuala Batee.
Menurut Varthema sumber
Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu
pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang
wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie
dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di
Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.
Kemudian Raja Ibrahim
yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu
Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan
bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.
Selanjutnya dengan
sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada
tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta.
Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang
adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.
6. Kerajaan Linge Gayo
Kerajaan Linge adalah
sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H)
dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai
empat orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak Linge, Merah Johan, Merah Linge. Reje
Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin
permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah
(1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge
pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama
Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.
7. Kerajaan Trumon
Asal usul Raja kerajaan
Trumon,berasal dari Asia kecil atau dari rumpun suku-suku Bangsa Arab,menurut
silsilah kami Ja Thahir berasal dari Baghdad dan hijrah ke Timur dan menetaplah
di Bate Pidie (Aceh).
Ja Thahir mempunyaI beberapa orang
anak,diantaranya bernama Ja
ABDULLAH (DULLAH) juga menetap di BATEE
PIDIE.
JA ABDULLAH mempunyai
anak di antara lain JA JOHAN,JA JOHAN ini menetap di Tanoh Abee
Seulimum,mempunyai anak di antara lain TENGKU JAKFAR salah seorang dari murid
TENGKU di ANJONG di PELENGGAHAN.Setelah selesai (tamat) dari belajar agama
islam,TENGKU JAKFAR di suruh oleh guru
beliau untuk berangkat kesebelah Barat Aceh.
Mula-mula TENGKU JAKFAR
menetap di Unjong Seurangga Susoh. Di sini beliau mengajar Agama Islam dan
mendapat gelar LABAI,juga di kenal
dengan labai jakfar disini beliau tidak berapa lama dan melanjutkan perjalanan
sampai kedaerah SINGKIL,dan menetap disini.Atas rahmat Allah
TENGKU JAKFAR membuka negri yang disebut PAYA BOMBONG.Kemudian TENGKU
JAKFAR membuka perkebunan lada (MERICA)pada suatu dataran sebelah utara singkil
yang kemudian disebut TRUMON.Asal kata TRUMON adalah :waktu TENGKU JAKFAR
mensurvei dataran tersebut didapatilah sebuah sumur tua dan di tepinya ada sebatang terung jadi
dalam bahasa Aceh di sebut:”TRUNG BINEI MON”lama kelamaan menjadi
“TRUMON”.Demikianlah cerita yang kami terima secara turun temurun.
Negeri yang baru dibuka
ini mulai ditata sejak tahun 1780 M dan beliau yang menjadi pengusaha pertama
sebagai Raja di negri tersebut dengan nama “KERAJAAN TRUMON”.TENGKU JAKFAR juga
bergelar teuku Raja Singkil tapi biasa di sebut Teuku Singkil yang lebih
populer.Beliau meninggal di Trumon dalam tahun 1812 M.
TENGKU DJAKFAR alias
Tengku Singkil sebelum membangun Trumon telah membangun negeri-negeri Paya
Bakong,teluk Abon,Rantau Gedang dan Teluk Rumbia,setelah Trumon dijadikan pusat
kerajaan yang merupakan ibu kota kerajaan,maka seperti negeri-negeri lain yang
dibangunnya,diangkatlah anak-anak beliau menjadi Ulee Balang sebagai pengusaha
dinegeri tersebut.Pada saat ini kerajaan Trumon belum mendapat pengakuan dari
Sultan Aceh yang berarti berdaulat penuh.
Pada tahun 1810 kerajaan
Trumon telah dikenal oleh bangsa- bangsa Eropah,Asia kecil,India dan Cina.Ini
disebabkan perdagangan lada(MERICA)yang begitu maju dan melimpah sehingga
mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya.Maka berdatanglah penduduk dari lain,
mengalirnya dengan pesatnya dan menetap di kerajaan Trumon seperti dari Aceh
Rayeuk,Nias,bahkan dari Minangkabau pertanian lada sangat meningkatkan hasilnya
pun sangat baik kerajaan Trumon satunya yang menghasilkan lada dipantai barat
Aceh bagian Selatan.Pada saat ini kerajaan Trumon sudah mmpunyai beberapa
armada diantaranya yang biasa membawa barang dagangan keluar negeri
seperti:Penang,India sampai keAsia kecil(TIMUR TENGAH)dengan orang
(pedagang)Eropah seperti pedagang Sipatoka(portugis)SPANYOL,Inggris dan
Belanda.Armada yang sering keluar negeri yang bernama armada-armada diana dan
La-Xemie.
Haji Tengku Djakfar alias Tengku Singkil pernah
kawin dengan putri Persi anak dari perempuan Persi ini diangkat menjadi Ulee
Balang Paya Bombong (Singkil lama) yaitu anak nomor 11 yaitu TENGKU RAJA
SULAIMAN.
Melihat
Kerajaan Trumon sangat pesat majunya dalam bidang perdagangan,Belanda
pun mulai mendekati Kerajaan Trumon.Tapi kerajaan Trumon yang berdaulat
menyambut Belanda sebagaimana menyambut /menerima pedagang lainnya bangsa
Eropah.Pada tahun 1812 Teuku Singkil meninggal dan anak beliau nomor 6
dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Trumon pengganti Tengku Djakfar alias Tengku
Singkil yang bernama TENGKU RAJA BUJANG.Tengku Raja Bujang berpendidikan di
Penang.
C.
Adat Istidat Islami di Aceh
1. Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata
yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan Tunang yang berarti
pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-layang atau adu
layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu.
Permainan ini sangat digemari di
berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada
pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir
sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini
diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai
pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu,
permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan
RI, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) atau event-event lainnya.
2.
Kenduri
Apam
Khanduri Apam (Kenduri Serabi) adalah
salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh (buleun Apam)
dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu dari nama-nama bulan dalam
“Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah. Buleun
artinya bulan, dan Apam adalah sejenis makanan yang mirip serabi.
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat
Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada buleun Apam. Tradisi ini paling
populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan sebutan Apam Pidie. Selain
di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa
kabupaten lain di Provinsi Aceh.
Kegiatan toet apam (memasak apam)
dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok.
Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh
bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu dicampur santan
kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk besar). Campuran ini direndam paling
kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang sudah
sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung
inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya,
yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).
Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor
atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering. Malah
orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on “ue tho
ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang
, sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata(tidak bopeng).
Apam paling sedap bila dimakan dengan
kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat
barat(sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Bagi yang alergi kuah
tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama
kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja (seunge Apam),
yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat juga
Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian
disebut Apam Leu'eop. Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu
dimakan.
Apam yang telah dimasak bersama kuah
tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke
rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati
hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke
Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung
lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung
ke kampung lainnya selama buleuen Apam(bulan Rajab) sebulan penuh.
Sejarah
Khanduri Apam
Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal
dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama
Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam.
Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat
disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang
menghibakan/menyedihkan hati itu; ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang
sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk
mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak
Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam
(memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab),
kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah selesai
dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam.
Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran
kelapa yang diberi gula (dilhok ngon u)
Khanduri
Apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat– seperti gempa
tsunami, hari Minggu, 26 Desember 2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung
Tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal. Akibat gempa
besar; boleh jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya.
Sebagai turut berduka-cita atas keadaan itu; disamping memohon rahmat bagi si
mati, maka diadakanlah khanduri Apam tersebut.
Selain itu, ada juga yang mengatakan
bahwa latar belakang pelaksanaan kenduri apam pada mulanya ditujukan kepada
laki-laki yang tidak shalat Jum'at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai
dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar
ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan
semakin seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu
karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan
shalat jumat.
3. Kanduri Maulod
Kanduri Maulod (kenduri Maulid) pada
masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang Ulee
(penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir pembawa dan
penyebar ajaran agama Islam. Kenduri ini sering pula disebut kanduri Pang Ulee.
Masyarakat Aceh sebagai penganut agama
Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan
Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut
maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir
bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul
Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan
Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan
Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang
bulan Jumadil Akhir.
Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan
rentang tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat
melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada
bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiul
Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadil awal.
Umumnya seluruh masyarakat mengadakan kenduri Maulid hanya waktu pelaksanaannya
yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan menyelenggarakan dari masyarakat.
Kenduri Maulid oleh masyarakat Aceh
dianggap sebagai suatu tradisi. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam
berilmu pengetahuan.
Penyelenggaraan kenduri maulid dapat
dilangsung-kan kapan saja asal tidak melewati batas bulan Rabiul Awal, Rabiul
Akhir, dan Jumadil Awal, tepatnya mulai tanggal 12 Rabiul Awal sampai tanggal
30 Jumadil Awal. Selain itu waktu kenduri maulid ada yang menyelenggarakan pada
siang hari dan ada pula yang menyelenggarakannya pada malam hari.
Bagi desa-desa yang menyelenggarakan
kenduri pada siang hari mulai jam 12 siang hidangan telah siap untuk diantar ke
meunasah atau mesjid. Demikian pula bagi yang menyelenggarakan kenduri di
rumah, hidangan telah ditata rapi untuk para tamu. Pertandingan meudikee maulod
(zikir marhaban atau zikir maulid) dimulai sejak pukul 9 pagi dan berhenti
ketika Sembahyang dhuhur untuk kemudian dilanjutkan kembali.
Selanjutnya desa-desa yang
menyelenggarakan kenduri pada malam hari hidangan dibawa ke meunasah atau
mesjid setelah sembahyang Ashar atau menjelang maghrib, sedangkan lomba
meudikee maulod dilangsungkan setelah sembahyang Isya. Penyelenggaraan kenduri maulid umumnya
dilangsungkan di meunasah atau mesjid. Panitia pelaksana kenduri mengundang
penduduk dari desa-desa lain yang berdekatan atau desa tetangga dan ada juga
yang mengundang semua desa dalam kemukimannya. Kondisi ini diperngaruhi oleh
jumlah hidangan yang disediakan oleh warga desa.
Di samping itu ada juga yang
melaksanakan kenduri di rumah saja atau secara pribadi disebut maulod kaoy
(maulid nazar). Maulid ini diselenggarakan untuk melepas nazar yang menyangkut
kehidupan pribadi atau keluarga disebabkan permohonan mereka kepada Allah SWT
telah dikabulkan. Penyelenggaraan kenduri maulid ini sesuai dengan nazar yang
dicetuskan sebelumnya. Apabila nazarnya ingin menyembelih seekor kerbau, maka
pada saat kenduri akan disembelih hewan tersebut, demikian pula jika nazar
ingin menyembelih seekor kambing. Daging
hewan yang dinazarkan setelah dimasak dan ditambah lauk-pauk lainnya akan
dihidangkan kepada undangan. Besar atau kecilnya kenduri tergantung kepada
kemampuan orang yang melaksanakan.
Pihak yang mengadakan kenduri,
sebelumnya telah memberitahu kepada keuchik (kepala desa) dan teungku meunasah
(imam desa). Apabila kendurinya besar akan dibentuk panitia yang berasal dari
penduduk desa setempat. Penduduk dari luar desa tidak diundang, kecuali sanak
saudara atau ahli famili pihak yang mengadakan kenduri serta anak yatim yang
berada di sekitarnya. Hidangan yang
menjadi tradisi keharusan dalam kenduri Maulid di meunasah dan di rumah berupa
beuleukat kuah tuhee (nasi ketan dengan kuah), sebagai hidangan siang hari
selain nasi dan lauk pauk. kuah tuhee lalu dimakan bersama ketan. Pada malam
hari hidangan yang harus disediakan berupa beuleukat kuah peungat. Kuah peungat
adalah santan dicampur dengan pisang raja dan nangka serta diberi gula
secukupnya.
Seperti telah disebutkan di atas Kenduri
maulid dapat dilaksanakan dalam 3 bulan dimulai dari bulan Rabiul awal, Rabiul
Akhir, dan Jumadil Awal. Apabila kenduri telah dilaksanakan pada bulan Rabiul
Awal berarti pelaksanaan kenduri pada tahun bersangkutan telah dilaksanakan,
tidak perlu diadakan lagi pada pada bulan Rabiul Akhir dan bulan Jumadil
Awal.Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan
Jumadil Awal mempunyai nilai yang sama tidak ada yang lebih tinggi atau rendah,
hanya tergantung kepada kemampuan dan kesempatan warga desa.
D.
Islam
di Aceh
1.
Masjid
Raya Baiturrahman
Merupakan salah satu masjid kebanggaan
masyarakat Aceh. Tidak hanya menjadi ikon Kota Banda Aceh, namun masjid ini
juga mencirikan keagungan Aceh. Masjid yang dibangun pada masa Iskandar Muda
tahun 1022H/ 1612 M itu tetap berdiri kokoh hingga saat ini. Masjid ini juga
menjadi saksi perjuangan Aceh tempo dulu melawan penjajah Belanda.Pernah
dibakar pada 1873 M, Belanda kembali membangun masjid ini pada tahun 1877 untuk
meredam amarah masyarakat Aceh.Selain menjadi saksi sejarah melawan penjajahan
Belanda. Masjid ini juga menjadi saksi dahsyatnya gempa dan Tsunami yang terjadi
pada 26 Desember 2004 silam. Masjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu masjid
di Aceh yang selamat dari goncangan gempa dan amukan Tsunami. Bahkan ribuan
orang yang berlindung di dalamnya ikut terselamatkan ketika terjadi amukan
Tsunami.
2. Masjid Baiturrahim Ulee Lheu
Tidak hanya Masjid Raya Baiturrahman
saja yang menjadi satu-satunya masjid peninggalan kerajaan Islam Aceh
Darussalam. Tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, atau sekitar 10 menit
berkendara juga berdiri sebuah masjid yang menjadi saksi bisu sejarah Aceh. Masjid
yang dibangun pada abad 17 ini bernama Baiturrahim, letaknya di kawasan pantai
Ulee Lheu Banda Aceh. Meskipun terletak di kawasan pantai, namun dengan izin
Allah, masjid itu tetap kokoh saat Tsunami melanda Aceh pada Desember 2004
silam.Hingga saat ini masjid peninggalan kesultanan Aceh Darussalam ini menjadi
salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
3.
Masjid
Teungku Di Anjong
Masih dengan masjid,
ada satu lagi masjid yang juga tidak kalah tenarnya dengan dua masjid
sebelumnya. Masjid ini bernama masjid Teungku Di Anjong. Letaknya di Gampong
Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Masjid ini didirikan pada abad 18
M atau sekitar sekitar tahun 1769 M. masjid ini didirikan oleh seorang ulama
bernama Sayyid Abu Bakar bin Husin Bafaqih, yang digelari dengan Teungku Di
Anjong. Dulu masjid ini merupakan salah satu pusat pembelajaran Islam di Aceh.
Bahkan banyak pemuda negeri jiran yang juga ikut belajar di sini. Saat Tsunami menghantam
Aceh, bangunan masjid ini sempat hancur. Namun dibangun kembali oleh warga
Peulanggahan. Namun dari 3 masjid yang telah disebutkan di atas, masih banyak
masjid di Banda Aceh yang juga menjadi kunjungan para wisatawan selain karena
keindahannya, juga karena bukti sejarah yang disimpannya sejak zaman dahulu.
4. Makam Sultan Iskandar Muda
Siapa yang tidak kenal dengan nama
sultan ini. Makam sultan yang memimpin Aceh Darussalam sejak tahun 1607 hingga
tahun 1636 ini menjadi tempat wisata yang banyak dikunjungi orang. Ketangguhan
dan kecerdasannya pernah membawa Aceh pada puncak kejayaan. Aceh pernah disebut
sebagai negara adidaya kelima di dunia sejak masa pemerintahannya. Bijak sana, adil dan alim membuat ia dicintai masyarakatnya.
Tidak hanya masa hidupnya. Bahkan sepeninggalnya, makamnya juga banyak
dikunjungi masyarakat Aceh untuk memanjatkan doa dan memberi penghormatan
untuknya atas jasa-jasanya dalam membangun negeri ini. Letak makamnya diapit di
antara dua bangunan, Museum Aceh dan pendopo Gubernur Aceh. Berada di dalam
komplek pemakaman kerajaan, makam Iskandar Muda dihias berbeda. Letaknya tepat
di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh di dalam pemakaman itu.
5.
Makam
Syiah Kuala
Selain makam sultan
Iskandar Muda, juga ada salah satu makam seorang ulama besar yang pernah
menjadi mufti kerajaan Aceh Darussalam pada zaman empat ratu berkuasa di Aceh
yang juga ramai dikunjungi wisatwan. Adalah Abdur Rauf As-Sinkily, atau dikenal
dengan Syiah Kuala. Makamnya terletak di Gampong Deah Raya, Kecamatan Syiah
Kuala, Banda Aceh. Semasa hidupnya Abdur Rauf menjadi ulama yang sangat
disegani dunia internasional. Bahkan ia berhasil menjawab seluruh pertanyaan
tentang kepemimpinan wanita dalam Islam yang sempat menghebohkan Aceh karena tersiarnya fatwa dari Mekkah. Makamnya
yang terletak di dekat bibir pantai tidak membuat makam itu hancur diterjang
Tsunami. Kini makam tersebut menjadi tempat yang banyak dikunjungi orang setiap
harinya. Tidak hanya pengunjung lokal dan provinsi lain di Indonesia, namun
juga banyak pengunjung dari luar negeri yang berkunjung ke makam itu, seperti
Malaysia, Brunei Darussalam, Arab, Vietnam dan Australia.
E.
Tarian
yang ada di Aceh
1.
Tari
Saman
Tari Saman merupakan
kesenian asli suku Gayo di dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh Tenggara. Tari
yang kental dengan nuansa Islam ini termasuk di antara kesenian tradisional
Indonesia yang telah mendunia. Bahkan pada tahun 2011, tarian ini ditetapkan
UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia. Selain
ditampilkan dalam perayaan adat, Tari Saman juga sering dipertunjukkan untuk
merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tari ini disajikan tanpa iringan musik
eksternal, iringan tarinya berasal dari suara dan tepuk tangan para penarinya.
Mereka menari dipandu oleh seorang pemimpin tari yang disebut Syekh. Beberapa
literatur mengatakan bahwa Tari Saman dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang
ulama Gayo. Di samping aktif menyebarkan berdakwah, beliau juga mempelajari
Tarian Melayu Kuno. Gerakan-gerakan tari yang dipelajari diadopsi dan
dikombinasikan dengan syair-syair bernuansa Islami, kemudian lahirlah tarian
ini.[3]
2.
Tari
Seudati
Seudati
merupakan tarian khas Aceh yang keberadaan awalnya diketahui dari Kabupaten
Pidie dan Kabupaten Aceh Utara. Tari ini dulunya bernama Ratoh yang berarti
penceritaan tentang apa saja yang berhubungan dengan aspek
sosial-kemasyarakatan. Adapun nama Seudati berasal dari shahadatayn (dua
kalimat syahadat). Seudati merupakan media dakwah yang disampaikan dalam
keindahan dan kekompakkan gerak. Berciri khas heroik, gembira serta
menggambarkan kebersamaan dimana seluruh bagian tubuh para penari bergerak
ketika menarikannya. Sebuah tarian agresif yang dibawakan oleh 8 penari yang
masing-masing diberi jabatan tersendiri. Seperti halnya Tari Saman, Tari
Seudati juga terkenal tidak hanya di dalam negeri, namun juga di mancanegara.
Beberapa sumber mengatakan bahwa sejarah Tari Seudati berasal dari komunitas
tarekat yang dibangkitkan oleh Syekh Tarekat Saman. Bahkan tarian Seudati dalam
bahasa Aceh juga dinamakan dengan “meusamman”.[4] Selengkapnya
perihal Tarian Khas Aceh ini, baca di Seudati – Tarian Aceh Yang Agresif
3.
Tari
Tarek Pukat
Tari
Tarek Pukat merupakan kesenian yang terinspirasi dari budaya masyarakat pesisir
Aceh, yakni Tarek Pukat. Tarek Pukat merupakan tradisi menangkap ikan dengan
cara menarik jala secara gotong-royong. Hasil tangkapan ikannya kemudian dibagi
rata kepada mereka yang ikut serta menarik jala. Tarian Tarek Pukat biasa
dipertunjukkan oleh 7 penari perempuan yang berbusana tradisional Aceh. Mereka
menari sambil membawa instrumen pelengkap berupa tali yang difungsikan untuk
mewakili jala atau yang dalam bahasa Aceh disebut pukat. Tarian ini disajikan dengan
diiringi nyanyian dan musik khas Aceh. Selengkapnya perihal Tarian dari Aceh
ini, baca di Tarek Pukat – Yang Terinspirasi Tradisi Tangkap Ikan
4.
Tari Likok Pulo
Likok
Pulo adalah seni tari pesisir. Hal ini telah diisyaratkan oleh namanya, “Likok”
berarti gerakan tari sedangkan “Pulo” berarti pulau. Pulau yang dimaksudkan
disini adalah Pulo Aceh atau Pulau Beras (Breuh) yakni sebuah pulau yang berada
di daerah Aceh Besar di ujung pelosok utara Pulau Sumatera. Tari ini dibawakan
oleh 10-12 penari dengan properti bambu seukuran jari telunjuk. Mereka menari
dalam formasi duduk memanjang dengan posisi selang seling atas bawah. Setiap
gerakan yang dihadirkan biasanya memuat nasehat-nasehat yang disampaikan
melalui syair oleh penari utama yang biasa disebut Syekh.[5] Selengkapnya
perihal Tarian Daerah Aceh ini, baca di Tari Likok Pulo – Persembahan
Masyarakat Pulau Breuh
5.
Tari Laweut
Tari
Laweut adalah salah satu dari ragam tarian tradisional Aceh, tepatnya berasal
dari Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Seiring perkembangan, selanjutnya tarian
ini pun menyebar di seantero Aceh dan menjadi salah satu tarian populer bersama
dengan Tari Saman dan Tari Seudati. Tari ini dulunya bernama Seudati Inong.
Bisa dikatakan Tari Laweut merupakan Tari Seudati versi perempuan. Banyak
kesamaan diantara dua tarian ini, gerakan dan pola tarian, proses serta
tehniknya, bahkan sama-sama melibatkan 8 penari dengan 1 syahi (penyanyi) yang
sekaligus memimpin tarian.[6] Selengkapnya
perihal Tarian Tradisional Aceh ini, baca di Tari Laweut – Tarian Seudati oleh
Kaum Perempuan
6.
Tari
Ratoeh Duek
Ratoh
Duek merupakan salah satu tari daerah Aceh yang identik dengan Tari Saman.
Sekilas terlihat sama, namun tetap banyak perbedaan. Sejak Tari Saman
ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia,
sejak saat itu pula hanya boleh boleh ditarikan oleh laki-laki berjumlah
ganjil. Sementara itu, Tari Ratoh Duek merupakan tarian yang dibawakan oleh
penari wanita berjumlah genap. Perbedaan lain adalah busana. Penari Saman menggunakan
pakaian adat Suku Gayo, adapun penari Ratok Duek hanya menggunakan pakaian
polos berwarna dipadu dengan kain songket Aceh. dan masih banyak perbedaan
lainnya. Ratoh Duek sangat populer di luar Aceh serta sering ditampilkan di
dalam dan luar negeri. Tari ini disajikan dalam posisi duduk berbanjar dengan
pola lantai yang tidak banyak memiliki perubahan, yakni hanya berbentuk
horisontal, zig zag. Para penarinya semuanya wanita berjumlah genap yang
berjumlah 8-12 orang. Selengkapnya perihal Tarian Khas Aceh ini, baca di Tari
Ratoh Duek – Mirip Tari Saman, Ditarikan oleh Wanita
7.
Tari Bines
Tari
Bines - Tarian Daerah Aceh Tari Bines merupakan Tarian Daerah Aceh sebagai
salah satu ragam kesenian suku Gayo. Bagi masyarakat Gayo Lues, Tari Bines
adalah belahan jiwa Tari Saman. Dahulu perempuan di Gayo Lues, tidak diizinkan
menarikan Tari Saman mengingat sifatnya terlampau keras, sehingga leluhur Gayo
pun menciptakan tarian ini. NMeski tidak ada kepastian mengenai awal munculnya,
dahulu dalam setiap pertandingan (jalu) Saman, Tari Bines juga ditampilkan pada
jeda penampilan satu grup saman dengan grup yang lainnya. Keberadaannya yang
lebih difungsikan sebagai pelengkap inilah yang kemudian membuat tari ini tidak
sepopuler Tari Saman.[7]
8.
Rateb Meuseukat
Rateb
Meuseukat - Tarian Adat Aceh Selain Ratah Duek, tarian khas Aceh yang sering
kali disamakan dengan Tari Saman adalah Rateb Meuseukat. Ketika merujuk pada
Wikipedia, Tari Saman yang biasa dimainkan remaja putri di pesisir berubah
menjadi Ratoh Duek. Dari Ratoh Duek kemudian berubah lagi menjadi Tari Rateb
Meuseukat. Rateb Meuseukat tumbuh sebagai tari yang hanya dibawakan oleh kaum
perempuan saja. Tarian ini melibatkan penari dengan jumlah yang tak terbatas,
namun minimal 10 orang dengan dipimpin oleh seorang syekh. Sumber lain ada yang
mengatakan pemainnya 13 orang, berjumlah ganjil tidak boleh kurang dari 10
penari.[8]
9.
Tari Guel
Tari
Guel - Tarian Khas Aceh Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo,
khususnya yang berada di daerah dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian
tengah. Selain berfungsi hiburan, Guel merupakan tarian tradisi yang erat
kaitannya dengan upacara adat. Istilah Guel memiliki arti membunyikan atau
memukul suatu benda hingga menimbulkan suara. Sumber inspirasi terciptanya
tarian ini adalah alam, lingkungan yang kemudian dirangkai sedemikian rupa
melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Didalamnya terkandung beberapa unsur
seni, sastra, musik dan tari yang berpadu harmonis dan sarat akan makna,
khususnya sehubungan dengan sejarah Gayo.
10.
Rapai
Geleng
Tari
Rapai Geleng Aceh - Tarian Daerah Aceh Tari Rapai Geleng merupakan satu di
antara tarian Daerah Aceh sebagai media dakwah. Tari ini mengekspresikan
nilai-nilai Islam di setiap bagiannya, termasuk syair, busana dan gerakannya.
Selain itu, tarian ini juga turut melambangkan sikap hidup Suku Aceh yang
menonjolkan nilai kekompakan dan kebersamaan dalam bermasyarakat. Rapai Geleng
merupakan salah satu kesenian yang paling populer digemari oleh masyarakat
Aceh. Setiap pertunjukannya, hampir selalu dipadati penonton. Daya tarik utama
dari Tari Rapa’i Geleng adalah lebih kentara melalui keindahan gerak dan syair
yang menyertainya, sangat menghibur mata dan telinga.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam di Aceh merupakan agama yang
dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Banyak ahli sejarah baik dalam maupun luar
negeri yang berpendapat bahwa agama Islam pertama sekali masuk ke Indonesia
melalui Aceh.Keterangan Marco Polo yang singgah di Perlak pada tahun 1292
menyatakan bahwa negeri itu sudah menganut agama Islam. Begitu juga
Samudera-Pasai, berdasarkan makam yang diketemukan di bekas kerajaan tersebut
dan berita sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan bahwa
kerajaan ini sudah menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.
B.
Saran
Setelah pembaca sekalian membaca isi dari makalah ini,
hendaklah pembaca menambah referensi dari sumber lain agar menambah pemahaman
mengenai pembahasan yang kami angkat.
DAFTAR PUSTAKA
Ari
L, Dwi, dan Leo Agung. 2004. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Media Tama
Heru
P, Eko dkk. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : CV Sindhunata.
Amiruddin
M, Hasbi. 2006. Aceh dan Serambi Mekkah. Banda Aceh : Yayasan PeNA
[1] Taufik
Abdullah, 1983, Sejarah Masuknya Islam di Indonesia,hal 4
[2]https://www.tengkuputeh.com/2018/06/24/sejarah-kerajaan-lamuri/amp/
[3] www.hikayatbanda.com
[4] www.kamerabudaya.com
[5] www.wacana.com
[6] http://www.youtube.com/watch?v=F2_CDrCK470
[7] http//www.steemit.com/blog/@abangace99
[8] http//www.chemember.wordpress.com
[9] steemit.com/@muntaza03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar