PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyempurnaan
kurikulum adalah salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan. Upaya itu
berhasil jika ada perubahan pola kegiatan pembelajaran, dari yang berpusat pada
guru kepada yang berpusat pada siswa, serta orientasi penilaian dari yang
berorientasi diskriminasi siswa kepada yang berorientasi diferensiasi siswa.
Keseluruhan perubahan itu akan menentukan hasil pendidikan. Ketepatan
penilaian yang dilakukan sekolah, terutama yang berkaitan dengan penilaian
kelas, memperlihatkan pencapaian hasil belajar siswa. Penilaian tersebut
mempengaruhi pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang diterapkan guru
dalam proses pembelajaran.
Selama ini
pelaksanaan penilaian di kelas kurang mampu menggambarkan kemampuan siswa yang
beragam karena cara dan alat yang digunakan kurang sesuai dan kurang
bervariasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu, penilaian cenderung
dilakukan dengan menggunakan cara dan alat yang lebih menyederhanakan tuntutan
perolehan siswa. Hasil evaluasi pelaksanaan Kurikulum menunjukkan bahwa
penilaian yang dilakukan di kelas kurang mampu memperlihatkan tuntutan hasil
belajar siswa. Di samping itu, penilaian dilakukan
tidak hanya untuk mengungkapkan hasil belajar ranah kognitif, tetapi juga
diharapkan mampu mengungkapkan hasil belajar siswa dalam lingkup ranah afektif
dan psikomotor
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan pengukuran dalam evaluasi pembelajaran?
2.
Apa yang
dimaksud dengan ranah kognitif dalam evaluasi pembelajaran?
3.
Apa yang
dimaksud dengan ranah afektif dalam evaluasi pembelajaran?
4.
Apa
yang dimaksud penilaian autentik dalam evaluasi pembelajaran?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengukuran dalam
evaluasi pembelajaran.
2.
Untuk
mengetahui ranah kognitif dalam evaluasi pembelajaran.
3.
Untuk
mengetahui ranah afektif dalam evaluasi pembelajaran.
4.
Untuk
mengetahui penilaian autentik dalam evaluasi pembelajaran.
PENGUKURAN
DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN
A.
Pengertian Pengukuran
Pengukuran dapat diartikan
dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah
membandingkan sesuatu dengan atau sesuatu yang lain. Secara umum
pengukuran adalah kegiatan membandingkan sesuatu dengan ukuran tertentu dan
bersifat kuantitatif.[1] Sebelum seorang evaluator menilai tentang proses sebuah pendidikan,
maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan sebuah pengukuran.
Dalam penilaian pendidikan, evaluator
harus mengatahui standar penilain yang telah telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai
acuan dasar, sehingga dari situ evaluator mampu melakukan pengukuran sesuai
dengan apa yang seharusnya diakur dalam bidang pendidikan. Umumnya sebuah
pengukuran, akan dapat dilakukan dengan baik apabila evaluator mengetahui dengan pasti objek apa yang akan diukur, dengan
begitu evaluator dapat menentukan instrument yang digunakan dalam pengukuran.
Pengukuran adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan
fakta kuantitatif yang disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu sesuai
dengan objek yang akan diukur. Menurut
Endang Purwanti pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang
dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa,
atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka.[2] Sedangkan Menurut Ign. Masidjo pengukuran adalah suatu kegiatan menentukan
kuantitas suatu objek melalui aturan-aturan tertentu sehingga kuantitas yang
diperoleh benar-benar mewakili sifat dari suatu objek yang dimaksud.[3]
Kegiatan evaluasi hasil
belajar memerlukan data yang diperoleh dari kegiatan pengukuran. Kegiatan
pengukuran memerlukan instrumen yang diharapkan menghasilkan data yang benar.
Kegiatan pengukuran dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam bentuk
tugas-tugas rumah, kuis, ulangan tengah semester dan akhir semester. Pengukuran
dalam proses belajar atau dalam pendidikan merupakan suatu prosedur penerapan
angka atau simbol terhadap suatu objek atau kegiatan maupun kejadian sesuai
dengan aturan. Dengan demikian pengukuran dalam bidang pendidikan berarti
mengukur atribut atau karakteristik peserta didik tertentu dan pengukuran
merupakan prosedur yang dapat digunakan oleh tenaga pendidik dalam mengumpulkan
data kuantitatif.
1.
Ranah Kognitif
Istilah kognitif (connitive)
berasal dari kata congnition yang padanan katanya knowing,
artinya dari arah luas, cingnition (kognisi) ialah perolehan, penataan,
dan penggunaan pengetahuan. Istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu
domain atau ranah manusia yang meliputi setiap perilaku mental dan berhubungan
dengan pemahaman, pertimbangan, pengelolahan informasi, pemecahan masalah,
kesenjangan, dan keyakinan.[4]
Ranah kognitif adalah ranah yang
mencakup kegiatan mental (otak) seperti kemampuan berpikir, memahami,
menghapal, mengaplikasi, menganalisa, mensintesa, dan kemampuan mengevaluasi.
Menurut Taksonomi Bloom, segala upaya yang mengukur aktivitas otak adalah
termasuk dalam ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari
jenjang terendah sampai jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang tersebut
yaitu: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension),
aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis),
dan penilaian (evaluation).[5]
a)
Pengetahuan/hafalan/ingatan
(knowledge)
Merupakan kemampuan seseorang untuk
mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah,
ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk
menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang
paling rendah.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif
pada jenjang pengetahuan adalah dapat menghafal surat al-‘Ashar, menerjemahkan
dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran
kedisiplinan yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di sekolah.
b)
Pemahaman (comprehension)
Pemahaman adalah kemampuan seseorang
untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat.
Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya
dari berbagai segi. Seseorang peserta didik dikatakan memahami
sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih
rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman
merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan
atau hafalan.
Salah satu contoh hasil belajar ranah
kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan
Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang
terkandung dalam surat al-‘Ashar secara lancar dan jelas.
c)
Penerapan (application)
Adalah kesanggupan seseorang untuk
menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode,
prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang
baru dan kongkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat
lebih tinggi ketimbang pemahaman.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif
jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan
konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari baik
dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
d)
Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang
untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian
yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau
faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah
setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang aplikasi.
Contoh: Peserta didik dapat merenung dan
memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa di
rumah, di sekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat,
sebagai bagian dari ajaran Islam.
e)
Sintesis (syntesis)
Sintesis adalah kemampuan berfikir yang
merupakan kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu
proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga
menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau bebrbentuk pola baru.
Jenjang sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis.
Salah satu jasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta
didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagiamana telah
diajarkan oleh islam.[6]
f)
Penilaian/penghargaan/evaluasi
(evaluation)
Penilaian merupakan jenjang berpikir
paling tinggi dalam ranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilian/evaluasi
disini Menurut
Taksonomi Bloom, penilaian disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat
pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide[7], misalkan jika seseorang
dihadapkan pada beberapa pilihan maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang
terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif
jenjang evaluasi adalah: peserta didik mampu menimbang-nimbang tentang manfaat
yang dapat dipetik oleh seseorang yang berlaku disiplin dan dapat menunjukkan
mudharat atau akibat-akibat negatif yang akan menimpa seseorang yang bersifat
malas atau tidak disiplin, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan
penilaian, bahwa kedisiplinan merupakan perintah Allah SWT yang waji dilaksanakan
dalam sehari-hari.[8]
Tujuan
pengukuran ranah kognitif adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat
mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa pada ranah kognitif
khususnya pada tingkat hapalan pemahaman, penerapan, analisis, sintesa dan
evaluasi. Manfaat penngukuran kognitif adalah untuk memperbaiki mutu atau
meningkatkan prestasi siswa pada ranah kognitif khususnya pada tingkat hapalan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesi, dan evaluasi.
Ranah kognitif dapat diukur melalui dua cara yaitu dengan cara
yaitu tes subjektif dan objektif. Tes subjektif biasanya berbentuk esay
(uraian), namun dalam pelaksanaannya tes ini tidak dapat mencakup seluruh
materi yang diujiankan. Oleh karena itu instrument dalam penelitian ini tidak
akan menggunakan tes subjektif, melainkan
menggunakan tes objektif. Hal ini
memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes bentuk esay.
Karena dalam penggunaan tes objektif jumlah soal yang diajukan jauh lebih
banyak dari pada esay.
Menurut Suharsimi Arikanto ada beberapa
macam tes objektif diantaranya adalah
tes benar salah, pilihan ganda,
menjodohkan dan tes isian. Diantara macam-macam tes objektif tersebut
peneliti akan menggunakan tes pilihan ganda (Multiple choise test). Tes
pilihan ganda terdiri atas suatu keterangan atau pemberitahuan tentang suatu
pengertian yang belum lengkap. Dan untuk melengkapinya harus memilih satu dari
beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Adapun kemungkinan jawaban
(option) terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan
beberapa pengecoh (distractor).[9]
2.
Pengertian Ranah Afektif
Ranah Afektif
Adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.
a)
Menerima (Receiving atau
Attending) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan atau
stimulus dari luar yang dating kepada dirinya dalam bentuk masalah situasi,
gejala dan lain-lain. Misalnya : menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan
sifat malas dan sikap tidak disiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
b)
Menanggapi (Responding)
adalah adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampian
yang dimiliki ileh seseorang untuk
mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat
reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Contoh hasil belajar ranah afektif
jenjang responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari
lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang
kedisiplinan.
c)
Menilai tau menghargai (Valuing),
artinya memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga
apabila kegiatan atau obyek itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa
kerugian atau penyesalan. Contohnya adalah tumbuhnya kemauan yang kuat pada
diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di
tengah-tengah masyarakat.
d)
Mengonganisasikan (Organization),
yaitu mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih
universal yang membawa kepada perbaikan umum. Contohnya yaitu peserta didik
mendukung penegakan disiplin nasional yang telah direncanakan oleh bapak
presiden Soeharto pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 1995.
Mengorganisasikan ini merupakan jenjang sikap atau nilai yang lebih tinggi lagi
ketimbang receiving, responding dan
valuing.
e)
Karakteristik dengan suatu nilai atsi komplek nilai (Charavterization by a value or value complex),
yaitu keterpaduan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang yang
mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Contohnya siswa telah
meminta nilai kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah ALLAH
SWT yang tertera dalam AL-Qur’an surat al-‘ashr sebagai pegangan hidupnya dalam
hal yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah, dirumah, maupun
dimasyarakat.[10]
Teknik pengukuran afektif dapat
dilakukan dengan berbagai ragam misal:
a)
Skala bertingkat (rating scale;
suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertimbangan).
b)
Angket (questionaire; sebuah
daftar pertanyaan yang harus diisi oleh siswa).
c)
Swalapor (berupa sejumlah
pernyataan yang menggambarkan respon diri terhadap sesuatu).
d)
Wawancara (interview; tanya jawab
atau dialog untuk menggali informasi terkait dengan afek tertentu).
e)
Inventori bisa disebut juga
sebagai interviu tertulis. Dilihat dari banyaknya jajaran kalimat yang isinya
hanya perlu di dijawab dengan tanda check, inventori dapat disebut checklist
(menandai), daftar atau inventarisasi pribadi, dan lain-lain alat atau teknik
non tes.
Secara rinci, dalam buku
Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata
Pelajaran PAI (2003) dijelaskan, terdapat 8 langkah dalam membuat instrumen
sikap dan minat:
a) Memilih ranah (karakteristik)
afektif yang akan dinilai, misal minat siswa terhadap mata pelajaran PAI.
b) Menentukan indikator, misal
indikator minat siswa terhadap mapel PAI meliputi kehadiran di kelas, banyak
bertanya, mengumpulkan tugas tepat waktu.
c) Memilih tipe skala yang digunakan
(metode dan tingkat skala pengukuran).
d) Menelaah instrumen dengan teman
sejawat (validasi, judgment).
e) Memperbaiki instrumen.
f) Menyiapkan inventori laporan diri.
g) Menentukan skor inventori.
h) Membuat hasil analisis inventori.
3. Ranah Psikomotorik
Istilah psychomotor, psikomotor terkait
dengan kata motor, sensory-motor, atau perceptual-motor. Ranah psikomotor erat
kaitannya dengan kerja otot yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya,
mulai dari gerak yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan dalam shalat
sampai dengan gerakan-gerakan yang kompleks seperti gerakan-gerakan dalam praktik
manasik ibadah haji. Ada beda makna antara skills (keterampilan) dan abilities
(kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor, sedangkan kemampuan
terkait dengan kognitif.[11]
Pengukuran karakteristik (gerak) dalam
ranah psikomotor dilakukan terhadap proses maupun hasil belajar yang berupa
tampilan perilaku atau kinerja. Dalam hal ini kita bisa menggunakan kriteria
atau prinsip-prinsip : kecermatan, inderawi, kreatif, efektif. Menurut Antony
J. Nitko untuk mengukur gerak motorik ada dua pendekatan:
1) Pengamatan dan pengukuran pada saat proses
berlangsung;
2) Pengamatan dan pengukuran pada hasil dari
gerakan motorik. Pendekatan pengukuran proses memerlukan kecermatan dan
konsentrasi serta waktu yang relatif lama. Sementara pengukuran dengan
pendekatan hasil relatif lebih mudah mengamatinya. Pengukuran karakteristik
psikomotor yang baik adalah menggunakan dua pendekatan tersebut.
Pengukuran karakteristik psikomotor dapat
menggunakan beraneka model instrumen, misal:
1) Checklist (menandai).
2) Identification Test (tes identifikasi)
3) Ranking (urutan).
4) Numerical Scales (skala angka).
5) Graphic Rating Scales (skala rating grafik).
Kesemua model ini menggunakan pendekatan
observasi (pengamatan). Pengamatan terhadap karakteristik psikomotor dilakukan
dalam upaya untuk menemukan kesesuaian teori (materi belajar yang pernah
dipelajari) dan tampilan atau kinerja yang dapat ditunjukkan oleh siswa. Guru
yang melakukan pengukuran karakteristik psikomotor siswa dengan menggunakan tes
tindakan perlu memahami 4 hal : kecepatan, kecermatan, gerak dan waktu, serta
ketahanan dan kemampuan fisik. Keempat hal ini masing-masing dapat dijabarkan
ke dalam 4 jenis tes yaitu : tes kecepatan, tes kecermatan, tes gerak dan
waktu, serta tes ketahanan dan kemampuan fisik.
Pengukuran karakteristik psikomotor
dengan menggunakan tes tindakan perlu ditempuh dengan serangkaian langkah
sebagai berikut :
1) Identifikasi gerak motorik yang dikehendaki
berdasarkan kompetensi dasar yang relevan, untuk hal ini perlu dibuat
kisi-kisi.
2) Tentukan apakah proses atau hasil yang hendak
diukur.
3) Membuat butir-butir tes beserta kunci jawaban
(poin-poin atau rambu-rambu jawaban).
4) Tentukan skala pengukurannya, cara
penskorannya.
5) Lakukan validasi isi tes.
6) Revisi berdasarkan hasil validasi.
7) Sebelum digunakan, sebaiknya diujicoba
kemudian dianalisis.
8) Revisi berdasar hasil ujicoba dan analisis.
9) Hasil tes siap digunakan.
4.
Penilaian
Autentik
a)
Pengertian
Penilaian Autentik
Penilaian autentik adalah proses
pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian
pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang
mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan
pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.
Hakikat penilaian pendidikan menurut
konsep authentic assesment ini adalah proses pengumpulan berbagai data
yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan
belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru
mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, guru segara bisa
mengambil tindakan yang tepat. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu
diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, asesmen tidak hanya dilakukan di
akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil
belajar (seperti EBTA/Ebtanas/UAN), tetapi dilakukan bersama dan secara terintegrasi
(tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
b)
Karakteristik
Penilaian Autentik
Karakteristik penilaian otentik menurut
Santoso adalah sebagai berikut:
1.
Penilaian
merupakan bagian dari proses pembelajaran.
2.
Penilaian
mencerminkan hasil proses belajar pada kehidupan nyata.
3.
Menggunakan
bermacam-macam instrumen, pengukuran, dan metode yang sesuai dengan
karakteristik dan esensi pengalaman belajar.
4.
Penilaian harus
bersifat komprehensif dan holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran.
Sedangkan
Nurhadi mengemukakan bahwa karakteristik authentic assesment adalah sebagai
berikut:
a.
Melibatkan
pengalaman nyata (involves real-world experience)
b.
Dilaksanakan
selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
c.
Mencakup
penilaian pribadi (self assesment) dan refleksi yang diukur keterampilan dan
performansi, bukan mengingat fakta
d.
Berkesinambungan
e.
Terintegrasi
f.
Dapat digunakan
sebagai umpan balik
g.
Kriteria
keberhasilan dan kegagalan diketahui siswa dengan jelas
Jadi, penilaian autentik merupakan suatu
bentuk tugas yang menghendaki pembelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia
nyata secara bermakna, yang merupakan penerapan esensi pengetahuan dan
keterampilan. Penilaian autentik menekankan kemampuan pembelajar untuk
mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan
penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan yang telah
diketahui pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang
telah dikuasai.
Tujuan penilaian itu adalah untuk
mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi
di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Misalnya,
penugasan kepada pembelajar untuk membaca berbagai teks aktual-realistik,
menulis topik-topik tertentu sebagaimana halnya di kehidupan nyata, dan
berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku, menulis untuk jurnal,
surat, atau mengedit tulisan sampai siap cetak. Dalam kegiatan itu, baik materi
pembelajaran maupun penilaiannya terlihat atau bahkan memang alamiah. Jadi,
penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing something, melakukan sesuatu yang merupakan
penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai secara teoretis.
Penilaian autentik lebih menuntut pembelajar
mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan mengkreasikan
jawaban atau produk. Siswa tidak sekedar diminta merespon jawaban seperti dalam
tes tradisional, melainkan dituntut untuk mampu mengkreasikan dan menghasilkan
jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis.
5.
Model Penilaian
Autentik dan Penilaian Tradisional
Assesmen tradisional (AT) ini mengacu pada
forced-choice ukuran tes pilihan ganda, fill-in-the-blank, true-false,
menjodohkan dan semacamnya yang telah digunakan dalam pendidikan umumnya. Tes
ini memungkinkan distandarisasi atau dikreasi oleh guru. Mereka dapat mengatur
setingkat lokal, nasional atau secara internasional. Latar belakang asessmen
autentik dan tradisional adalah suatu kepercayaan bahwa misi utama
sekolah adalah untuk membantu mengembangkan warganegara yang produktif. Itu
adalah intisari dari misi yang sering kali kita baca. Dari permulaan umum ini,
muncul dua perpektif pada penilaian yang berbeda/menyimpang.
Esensi assesmen tradisional didasarkan
pada filosofi bidang pendidikan yang mengadopsi pemikiran yang berikut:
1)
Suatu misi
sekolah adalah untuk mengembangkan warganegara produktif.
2)
Untuk menjadi
warganegara produktif setiap orang harus memiliki suatu kopetensi tertentu dari
pengetahuan dan ketrampilan.
3)
Oleh karena itu
sekolah harus mengajarkan kopetensi ketrampilan dan pengetahuan ini.
4)
Untuk
menentukan kopetensi itu sukses, kemudian sekolah menguji para siswa, untuk
melihat apakah mereka memperoleh pengetahuan dan ketrampilan.
Di dalam assesmen tradisional, kurikulum
memandu penilaian. Kopetensi pengetahuan ditentukan lebih dulu. Pengetahuan itu
menjadi kurikulum yang ditransferkan. Sesudah itu penilaian dikembangkan
dan diatur untuk menentukan jika suatu saat kurikulum tersebut
diterapkan.Kontras dengan asesmen autentik yang mendasarka pada alasan praktek
berikut ;
1)
Suatu misi
sekolah adalah untuk mengembangkan warga negara produktif
2)
Untuk menjadi
warga negara yang produktif, seseorang harus mampu untuk melakukan
/menyelenggarakan tugas yang bermakna di dalam dunia yang nyata.
3)
Oleh karena
itu, sekolah harus membantu para siswa menjadi pandai untuk melakukan
/menyeleng
garakan tugas yang mereka hadapi ketika mereka lulus.
4)
Untuk menentukan
kopetensi itu sukses .
5)
Kemudian
sekolah meminta para siswa untuk melaksanakan tugas penuh arti yang replicate
dengan dunia nyata dalam menghadapi tantangan, untuki melihat para siswa adalah
mampu untuk melakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anas Sudiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan,
Jakarta: PT.Grafindo Persada,
2001.
Endang Purwanti, Asesmen Pembelajaran SD, Jakarta:
Depdiknas, 2008.
Ign. Masidjo, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa Di
Sekolah. Jakarta:
Kanisius,1995.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran PAI Berbasis Integrasi dan
Kompetensi,
Jakarta:Rajawali Press, 2014.
Daryanto, Evaluasi
Pendidikan, Jakarta:Rineka Cipta,1999.
Nana
Sudjana dan Dr. Ibrahim MA. Penelitian dan penilaian
pendidikan, Bandung,
Sinar Baru, 1989.
Suharsimi Arikunto,
Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara,
1996.
Iin Nurbudyani, Pelaksanaan Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif,
dan
Psikomotor Pada
Mata Pelajaran Ips, Palangkaraya:
Jurnal Pendidikan, Vol.8, No.2, Oktober
2013.
Dikmenum Diknas.
Kurikulum 2004 SMA pedoman khuus pengembangan silabus
dan penilaian mata pelajaran pendidikan agama
Islam, Jakarta: 2003.
[1] Anas Sudiono, Pengantar
Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT.Grafindo Persada, 2001, h. 21.
[2] Endang Purwanti,
Asesmen Pembelajaran SD, Jakarta: Depdiknas, 2008, h. 4.
[3] Ign. Masidjo, Penilaian
Pencapaian Hasil Belajar Siswa Di Sekolah. Jakarta: Kanisius,1995,
h.
14.
[4] Tohirin, Psikologi
Pembelajaran PAI Berbasis Integrasi dan Kompetensi, Jakarta:Rajawali
Press, 2014, h.61-62.
[5] Daryanto, Evaluasi
Pendidikan, Jakarta:Rineka Cipta,1999, h.37.
[6] Nana Sudjana dan Dr.
Ibrahim MA. Penelitian dan penilaian pendidikan, Bandung,
Sinar Baru,
1989 h. 136
[7] Anas Sudijono,
Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013,
h.49-
50.
[8] Suharsimi Arikunto,
Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara, 1996, h. 58.
[9] Iin
Nurbudyani, Pelaksanaan Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor
Pada Mata
Pelajaran Ips, Palangkaraya:
Jurnal Pendidikan, Vol.8, No.2, Oktober 2013, h.16.
[10] Anas Sujiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Rajawali Pers, 2003, h. 49
[11] Dikmenum Diknas.
Kurikulum 2004 SMA pedoman khuus pengembangan silabus dan
penilaian mata pelajaran pendidikan agama
Islam, Buku
7.1.(Jakarta: 2003) hal. 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar