Jumat, 03 Juli 2020

PENGUKURAN DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN

 

 

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

       Penyempurnaan kurikulum adalah salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan. Upaya itu berhasil jika ada perubahan pola kegiatan pembelajaran, dari yang berpusat pada guru kepada yang berpusat pada siswa, serta orientasi penilaian dari yang berorientasi diskriminasi siswa kepada yang berorientasi diferensiasi siswa. Keseluruhan perubahan itu akan menentukan hasil pendidikan.  Ketepatan penilaian yang dilakukan sekolah, terutama yang berkaitan dengan penilaian kelas, memperlihatkan pencapaian hasil belajar siswa. Penilaian tersebut mempengaruhi pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran.

       Selama ini pelaksanaan penilaian di kelas kurang mampu menggambarkan kemampuan siswa yang beragam karena cara dan alat yang digunakan kurang sesuai dan kurang bervariasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu, penilaian cenderung dilakukan dengan menggunakan cara dan alat yang lebih menyederhanakan tuntutan perolehan siswa.  Hasil evaluasi pelaksanaan Kurikulum menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan di kelas kurang mampu memperlihatkan tuntutan hasil belajar siswa. Di samping itu, penilaian dilakukan tidak hanya untuk mengungkapkan hasil belajar ranah kognitif, tetapi juga diharapkan mampu mengungkapkan hasil belajar siswa dalam lingkup ranah afektif dan psikomotor

B.  Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud dengan pengukuran dalam evaluasi pembelajaran?

2.    Apa yang dimaksud dengan ranah kognitif dalam evaluasi pembelajaran?

3.    Apa yang dimaksud dengan ranah afektif dalam evaluasi pembelajaran?

4.    Apa yang dimaksud penilaian autentik dalam evaluasi pembelajaran?

C.  Tujuan Penulisan

1.    Untuk mengetahui pengukuran dalam evaluasi pembelajaran.

2.    Untuk mengetahui ranah kognitif dalam evaluasi pembelajaran.

3.    Untuk mengetahui ranah afektif dalam evaluasi pembelajaran.

4.    Untuk mengetahui penilaian autentik dalam evaluasi pembelajaran.

 

PENGUKURAN DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN

A.   Pengertian Pengukuran

       Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan atau sesuatu yang lain. Secara umum pengukuran adalah kegiatan membandingkan sesuatu dengan ukuran tertentu dan bersifat kuantitatif.[1] Sebelum seorang evaluator menilai tentang proses sebuah pendidikan, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan sebuah pengukuran.

       Dalam penilaian pendidikan, evaluator harus mengatahui standar penilain yang telah telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai acuan dasar, sehingga dari situ evaluator mampu melakukan pengukuran sesuai dengan apa yang seharusnya diakur dalam bidang pendidikan. Umumnya sebuah  pengukuran, akan dapat dilakukan dengan baik apabila evaluator mengetahui dengan pasti objek apa yang akan diukur, dengan begitu evaluator dapat menentukan instrument yang digunakan dalam pengukuran.

Pengukuran adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan fakta kuantitatif yang disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan objek yang akan diukur.  Menurut Endang Purwanti pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau  peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka.[2] Sedangkan Menurut Ign. Masidjo pengukuran adalah suatu kegiatan menentukan kuantitas suatu objek melalui aturan-aturan tertentu sehingga kuantitas yang diperoleh benar-benar mewakili sifat dari suatu objek yang dimaksud.[3]

 Kegiatan evaluasi hasil belajar memerlukan data yang diperoleh dari kegiatan pengukuran. Kegiatan pengukuran memerlukan instrumen yang diharapkan menghasilkan data yang benar. Kegiatan pengukuran dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam bentuk tugas-tugas rumah, kuis, ulangan tengah semester dan akhir semester. Pengukuran dalam proses belajar atau dalam pendidikan merupakan suatu prosedur penerapan angka atau simbol terhadap suatu objek atau kegiatan maupun kejadian sesuai dengan aturan. Dengan demikian pengukuran dalam bidang pendidikan berarti mengukur atribut atau karakteristik peserta didik tertentu dan pengukuran merupakan prosedur yang dapat digunakan oleh tenaga pendidik dalam mengumpulkan data kuantitatif.

1.    Ranah Kognitif

       Istilah kognitif (connitive) berasal dari kata congnition yang padanan katanya knowing, artinya dari arah luas, cingnition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau ranah manusia yang meliputi setiap perilaku mental dan berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengelolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan, dan keyakinan.[4]

       Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak) seperti kemampuan berpikir, memahami, menghapal, mengaplikasi, menganalisa, mensintesa, dan kemampuan mengevaluasi. Menurut Taksonomi Bloom, segala upaya yang mengukur aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang tersebut yaitu: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan penilaian (evaluation).[5]

a)    Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)

      Merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah.

      Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah dapat menghafal surat al-‘Ashar, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di sekolah.

b)   Pemahaman (comprehension)

       Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi.  Seseorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan.

              Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-‘Ashar secara lancar dan jelas.

c)    Penerapan (application)

       Adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman.

       Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

 

d)   Analisis (analysis)

       Analisis adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang aplikasi.

       Contoh: Peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa di rumah, di sekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari ajaran Islam.

e)     Sintesis (syntesis)

       Sintesis adalah kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau bebrbentuk pola baru. Jenjang sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis. Salah satu jasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagiamana telah diajarkan oleh islam.[6]

f)    Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation)

       Penilaian merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilian/evaluasi disini Menurut Taksonomi Bloom, penilaian disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide[7], misalkan jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada.

       Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang evaluasi adalah: peserta didik mampu menimbang-nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang berlaku disiplin dan dapat menunjukkan mudharat atau akibat-akibat negatif yang akan menimpa seseorang yang bersifat malas atau tidak disiplin, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan penilaian, bahwa kedisiplinan merupakan perintah Allah SWT yang waji dilaksanakan dalam sehari-hari.[8]

       Tujuan pengukuran ranah kognitif adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa pada ranah kognitif khususnya pada tingkat hapalan pemahaman, penerapan, analisis, sintesa dan evaluasi. Manfaat penngukuran kognitif adalah untuk memperbaiki mutu atau meningkatkan prestasi siswa pada ranah kognitif khususnya pada tingkat hapalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesi, dan evaluasi.

       Ranah kognitif dapat diukur melalui dua cara yaitu dengan cara yaitu tes subjektif dan objektif. Tes subjektif biasanya berbentuk esay (uraian), namun dalam pelaksanaannya tes ini tidak dapat mencakup seluruh materi yang diujiankan. Oleh karena itu instrument dalam penelitian ini tidak akan menggunakan tes subjektif, melainkan  menggunakan tes objektif.  Hal ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes bentuk esay. Karena dalam penggunaan tes objektif jumlah soal yang diajukan jauh lebih banyak dari pada esay.

       Menurut Suharsimi Arikanto ada beberapa macam tes objektif diantaranya  adalah tes benar salah, pilihan ganda,  menjodohkan dan tes isian. Diantara macam-macam tes objektif tersebut peneliti akan menggunakan tes pilihan ganda (Multiple choise test). Tes pilihan ganda terdiri atas suatu keterangan atau pemberitahuan tentang suatu pengertian yang belum lengkap. Dan untuk melengkapinya harus memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Adapun kemungkinan jawaban (option) terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan beberapa pengecoh (distractor).[9]

2.    Pengertian Ranah Afektif

           Ranah Afektif  Adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.

a)      Menerima (Receiving atau Attending) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan atau stimulus dari luar yang dating kepada dirinya dalam bentuk masalah situasi, gejala dan lain-lain. Misalnya : menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan sifat malas dan sikap tidak disiplin harus disingkirkan jauh-jauh.

b)      Menanggapi (Responding) adalah adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampian yang dimiliki ileh seseorang  untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.

c)      Menilai tau menghargai (Valuing), artinya memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan atau obyek itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Contohnya adalah tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di tengah-tengah masyarakat.

d)     Mengonganisasikan (Organization), yaitu mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal yang membawa kepada perbaikan umum. Contohnya yaitu peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang telah direncanakan oleh bapak presiden Soeharto pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 1995. Mengorganisasikan ini merupakan jenjang sikap atau nilai yang lebih tinggi lagi ketimbang receiving, responding dan valuing.

e)      Karakteristik dengan suatu nilai atsi komplek nilai (Charavterization by a value or value complex), yaitu keterpaduan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Contohnya siswa telah meminta nilai kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah ALLAH SWT yang tertera dalam AL-Qur’an surat al-‘ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah, dirumah, maupun dimasyarakat.[10]

Teknik pengukuran afektif dapat dilakukan dengan berbagai ragam misal:

a)      Skala bertingkat (rating scale; suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertimbangan).

b)      Angket (questionaire; sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh siswa).

c)      Swalapor (berupa sejumlah pernyataan yang menggambarkan respon diri terhadap sesuatu).

d)     Wawancara (interview; tanya jawab atau dialog untuk menggali informasi terkait dengan afek tertentu).

e)      Inventori bisa disebut juga sebagai interviu tertulis. Dilihat dari banyaknya jajaran kalimat yang isinya hanya perlu di dijawab dengan tanda check, inventori dapat disebut checklist (menandai), daftar atau inventarisasi pribadi, dan lain-lain alat atau teknik non tes.

        Secara rinci, dalam buku Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran PAI (2003) dijelaskan, terdapat 8 langkah dalam membuat instrumen sikap dan minat:

a)   Memilih ranah (karakteristik) afektif yang akan dinilai, misal minat siswa terhadap mata pelajaran PAI.

b)  Menentukan indikator, misal indikator minat siswa terhadap mapel PAI meliputi kehadiran di kelas, banyak bertanya, mengumpulkan tugas tepat waktu.

c)   Memilih tipe skala yang digunakan (metode dan tingkat skala pengukuran).

d)  Menelaah instrumen dengan teman sejawat (validasi, judgment).

e)   Memperbaiki instrumen.

f)   Menyiapkan inventori laporan diri.

g)  Menentukan skor inventori.

h)  Membuat hasil analisis inventori.

3.    Ranah Psikomotorik

       Istilah psychomotor, psikomotor terkait dengan kata motor, sensory-motor, atau perceptual-motor. Ranah psikomotor erat kaitannya dengan kerja otot yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan dalam shalat sampai dengan gerakan-gerakan yang kompleks seperti gerakan-gerakan dalam praktik manasik ibadah haji. Ada beda makna antara skills (keterampilan) dan abilities (kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor, sedangkan kemampuan terkait dengan kognitif.[11]

       Pengukuran karakteristik (gerak) dalam ranah psikomotor dilakukan terhadap proses maupun hasil belajar yang berupa tampilan perilaku atau kinerja. Dalam hal ini kita bisa menggunakan kriteria atau prinsip-prinsip : kecermatan, inderawi, kreatif, efektif. Menurut Antony J. Nitko untuk mengukur gerak motorik ada dua pendekatan:

1)  Pengamatan dan pengukuran pada saat proses berlangsung;

2)  Pengamatan dan pengukuran pada hasil dari gerakan motorik. Pendekatan pengukuran proses memerlukan kecermatan dan konsentrasi serta waktu yang relatif lama. Sementara pengukuran dengan pendekatan hasil relatif lebih mudah mengamatinya. Pengukuran karakteristik psikomotor yang baik adalah menggunakan dua pendekatan tersebut.

      Pengukuran karakteristik psikomotor dapat menggunakan beraneka model instrumen, misal:

1)  Checklist (menandai).

2)  Identification Test (tes identifikasi)

3)  Ranking (urutan).

4)  Numerical Scales (skala angka).

5)  Graphic Rating Scales (skala rating grafik).

       Kesemua model ini menggunakan pendekatan observasi (pengamatan). Pengamatan terhadap karakteristik psikomotor dilakukan dalam upaya untuk menemukan kesesuaian teori (materi belajar yang pernah dipelajari) dan tampilan atau kinerja yang dapat ditunjukkan oleh siswa. Guru yang melakukan pengukuran karakteristik psikomotor siswa dengan menggunakan tes tindakan perlu memahami 4 hal : kecepatan, kecermatan, gerak dan waktu, serta ketahanan dan kemampuan fisik. Keempat hal ini masing-masing dapat dijabarkan ke dalam 4 jenis tes yaitu : tes kecepatan, tes kecermatan, tes gerak dan waktu, serta tes ketahanan dan kemampuan fisik.

       Pengukuran karakteristik psikomotor dengan menggunakan tes tindakan perlu ditempuh dengan serangkaian langkah sebagai berikut :

1)  Identifikasi gerak motorik yang dikehendaki berdasarkan kompetensi dasar yang relevan, untuk hal ini perlu dibuat kisi-kisi.

2)  Tentukan apakah proses atau hasil yang hendak diukur.

3)  Membuat butir-butir tes beserta kunci jawaban (poin-poin atau rambu-rambu jawaban).

4)  Tentukan skala pengukurannya, cara penskorannya.

5)  Lakukan validasi isi tes.

6)  Revisi berdasarkan hasil validasi.

7)  Sebelum digunakan, sebaiknya diujicoba kemudian dianalisis.

8)  Revisi berdasar hasil ujicoba dan analisis.

9)  Hasil tes siap digunakan.

4.    Penilaian Autentik

a)      Pengertian Penilaian Autentik

       Penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.

       Hakikat penilaian pendidikan menurut konsep authentic assesment  ini adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, guru segara bisa mengambil tindakan yang tepat. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, asesmen tidak hanya dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti EBTA/Ebtanas/UAN), tetapi dilakukan bersama dan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.

b)   Karakteristik Penilaian Autentik

          Karakteristik penilaian otentik menurut Santoso adalah sebagai berikut:

1.      Penilaian merupakan bagian dari proses pembelajaran.

2.      Penilaian mencerminkan hasil proses belajar pada kehidupan nyata.

3.      Menggunakan bermacam-macam instrumen, pengukuran, dan metode yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.

4.      Penilaian harus bersifat komprehensif dan holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran.

      Sedangkan Nurhadi mengemukakan bahwa karakteristik authentic assesment adalah sebagai berikut:

a.  Melibatkan pengalaman nyata (involves real-world experience)

b. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung

c.  Mencakup penilaian pribadi (self assesment) dan refleksi yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta

d. Berkesinambungan

e.  Terintegrasi

f.  Dapat digunakan sebagai umpan balik

g. Kriteria keberhasilan dan kegagalan diketahui siswa dengan jelas

      Jadi, penilaian autentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki pembelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna, yang merupakan penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan. Penilaian autentik menekankan kemampuan pembelajar untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan yang telah diketahui pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai.

      Tujuan penilaian itu adalah untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada pembelajar untuk membaca berbagai teks aktual-realistik, menulis topik-topik tertentu sebagaimana halnya di kehidupan nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku, menulis untuk jurnal, surat, atau mengedit tulisan sampai siap cetak. Dalam kegiatan itu, baik materi pembelajaran maupun penilaiannya terlihat atau bahkan memang alamiah. Jadi, penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing something, melakukan sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai secara teoretis.

      Penilaian autentik lebih menuntut pembelajar mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan mengkreasikan jawaban atau produk. Siswa tidak sekedar diminta merespon jawaban seperti dalam tes tradisional, melainkan dituntut untuk mampu mengkreasikan dan menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis.

5.      Model Penilaian Autentik dan Penilaian Tradisional

      Assesmen tradisional (AT) ini mengacu pada forced-choice ukuran tes pilihan ganda, fill-in-the-blank, true-false, menjodohkan dan semacamnya yang telah digunakan dalam pendidikan umumnya. Tes ini memungkinkan distandarisasi atau dikreasi oleh guru. Mereka dapat mengatur setingkat lokal, nasional atau secara internasional. Latar belakang asessmen autentik  dan tradisional adalah suatu kepercayaan bahwa misi utama sekolah adalah untuk membantu mengembangkan warganegara yang produktif. Itu adalah intisari dari misi yang sering kali kita baca. Dari permulaan umum ini, muncul dua perpektif pada penilaian yang berbeda/menyimpang.

       Esensi assesmen tradisional didasarkan pada filosofi bidang pendidikan yang mengadopsi pemikiran yang berikut:

1)      Suatu misi sekolah adalah untuk mengembangkan warganegara produktif.

2)      Untuk menjadi warganegara produktif setiap orang harus memiliki suatu kopetensi tertentu dari pengetahuan dan ketrampilan.

3)      Oleh karena itu sekolah harus mengajarkan kopetensi ketrampilan dan pengetahuan ini.

4)      Untuk menentukan kopetensi itu sukses, kemudian sekolah menguji para siswa, untuk melihat apakah mereka memperoleh pengetahuan dan ketrampilan.

       Di dalam assesmen tradisional, kurikulum memandu penilaian. Kopetensi pengetahuan ditentukan lebih dulu. Pengetahuan itu menjadi kurikulum yang ditransferkan. Sesudah itu  penilaian dikembangkan dan diatur untuk menentukan jika suatu saat kurikulum tersebut diterapkan.Kontras dengan asesmen autentik yang mendasarka pada alasan praktek berikut ;

1)      Suatu misi sekolah adalah untuk mengembangkan warga negara produktif

2)      Untuk menjadi warga negara yang produktif, seseorang harus mampu untuk melakukan /menyelenggarakan tugas yang bermakna di dalam dunia yang nyata.

3)      Oleh karena itu, sekolah harus membantu para siswa menjadi pandai untuk melakukan /menyeleng
garakan tugas yang mereka hadapi ketika mereka lulus.

4)      Untuk menentukan kopetensi itu sukses .

5)      Kemudian sekolah meminta para siswa untuk melaksanakan tugas penuh arti yang replicate dengan dunia nyata dalam menghadapi tantangan, untuki melihat para siswa adalah mampu untuk melakukannya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anas Sudiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT.Grafindo Persada,   

2001.

Endang Purwanti, Asesmen Pembelajaran SD, Jakarta: Depdiknas, 2008.

Ign. Masidjo, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa Di Sekolah. Jakarta:  

Kanisius,1995.

Tohirin, Psikologi Pembelajaran PAI Berbasis Integrasi dan Kompetensi,  

Jakarta:Rajawali  Press, 2014.

Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta:Rineka Cipta,1999.

Nana Sudjana dan Dr. Ibrahim MA. Penelitian dan penilaian

pendidikan, Bandung, Sinar Baru, 1989.

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara,

1996.

Iin Nurbudyani, Pelaksanaan Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan

Psikomotor Pada Mata Pelajaran Ips, Palangkaraya: Jurnal Pendidikan,  Vol.8, No.2, Oktober 2013.

Dikmenum Diknas. Kurikulum 2004 SMA pedoman khuus pengembangan silabus  

dan  penilaian mata pelajaran pendidikan agama Islam, Jakarta:  2003.

 

 



[1] Anas Sudiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT.Grafindo Persada, 2001, h. 21.

[2] Endang Purwanti, Asesmen Pembelajaran SD, Jakarta: Depdiknas, 2008, h. 4.

[3] Ign. Masidjo, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa Di Sekolah. Jakarta: Kanisius,1995, h.   

  14.

[4] Tohirin, Psikologi Pembelajaran PAI Berbasis Integrasi dan Kompetensi, Jakarta:Rajawali 

  Press, 2014, h.61-62.

[5] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta:Rineka Cipta,1999, h.37.

[6] Nana Sudjana dan Dr. Ibrahim MA. Penelitian dan penilaian pendidikan, Bandung, Sinar Baru,

   1989 h. 136

[7] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, h.49-

  50.

[8] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara, 1996, h. 58.

[9] Iin Nurbudyani, Pelaksanaan Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Pada Mata    

  Pelajaran Ips, Palangkaraya: Jurnal Pendidikan, Vol.8, No.2, Oktober 2013, h.16.

[10] Anas Sujiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan,  Jakarta : Rajawali Pers, 2003, h. 49

[11] Dikmenum Diknas. Kurikulum 2004 SMA pedoman khuus pengembangan silabus dan   

   penilaian mata pelajaran pendidikan agama Islam, Buku 7.1.(Jakarta: 2003) hal. 23.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar