Jumat, 17 Juli 2020

NASAKH

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diskursus tentang nasakh mansukh hingga saat ini masih menjadi kontroversi yang berkepanjangan di kalangan ulama. Sehingga masalah nasakh ini, menimbulkan dua kubu yang berbeda di kalangan ulama tentang ada dan tidaknya nasakh dalam Al-Qur‟an. Kubu pertama yang dipelopori oleh Imam Syafi‟i dan didukung oleh Subhy Al-Shalih menemukan adanya nasakh dalam Al-Qur‟an. Kubu kedua yangterdiri dari Muhammad Abduh, Abu Muslim Ashfahaniy dan dari ulama Indonesia M.Hasbi Ash Shiddieqy tidak menemukan adanya nasakh dalam al-Quran. Kedua kubu ini memberikan alasan-alasan untuk memperkuat pendapatnya.Perbedaan pendapat ulama tersebut terletak pada perbedaan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan nasakh. Ada tiga ayat yang menjadikan para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasakh dalam Al-Qur‟an. Tiga ayat itu ialah: QS. Al-Nahl ayat 101, QS.al-Baqarah ayat 106, dan QS.al-Fushilat ayat 42.

Dalam banyak literatur ulumul Qur‟an, kontraversi para ulama tentang ada tidaknya nasakh dalam Al-Qur‟an disebutkan secara global tentang ulama yang mendukung maupun menolak adanya nasakh dalam Al-Qur‟an, belum ada penelitian masing-masing produk tafsir para ulama pada masa awal sampai sekarang, kemudian dikelompokkan pada kategori mendukung maupun menolak atas adanya nasakh dalam Al-Qur‟an. Jika ini dilakukan tentunya akan menambah bobot dan khazanah keilmuan Ulumul Qur‟an, yang berkaitan dengan landasan naqli maupun aqli dari para mufassir itu tentang pendapatnya yang berkaitan dengan ada dan tidaknya nasakh dalam Al-Qur‟an.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan An-Nasakh?

2. Apa Saja Rukun dan Hikmah An-Nasakh?

3. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang An-Nasakh?

4. Apa Saja Syarat An-Nasakh?

5. Bagaimana Perbedaan An-Nasakh dengan Takhsis?

5

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Pengertian An-Nasakh.

2. Untuk Mengetahui Rukun dan Hikmah An-Nasakh.

3. Untuk Mengetahui Pendapat Ulama Tentang An-Nasakh.

4. Untuk Mengetahui Syarat An-Nasakh.

5. Untuk Mengetahui Perbedaan An-Nasakh dengan Takhsis.

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian An-Nasakh

An-naskh menurut bahasa Arab mengarah kepada dua arti: Pertama memiliki arti “Izaalatu syain wa i‟daamuhu” yaitu menghilangkan sesuatu dan meniadakannya atas dasar Allah SWT:

وَمَااَرْسَلْىَامِهْ قَبْ لكَ مِهْ رَّسُوْلٍ وَّلََوَبِيّ اِلََّاِذَا تَمَىَّى اَلْقَ الشَّيْطَهُ فِي اُمُىِيَّتِهِ فَيَىْسَخُ اللهُ مَايُلْقِى الشَّيْطَهُ ثُمَ

يُحكِمُ اللهُ اَيَتِهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannyai itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang dimasiukkan setan itu. Dan Allah akan menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah maha mengetahui, maha bujaksana”. (Q.S Al-Hajj: 52)

Lafadz yansakhu dalam ayat diatas bermakna menghilangkan atau meniadakan bisikan-bisikan syaithan dan penyesatannya.

Kedua memiliki arti “Naqlu al syay‟i wa tahwiluhu ma‟a baqaaihi fi nafsihi” yaitu menyalin dan memindahkan sesuatu dengan tetap menjaga perkara yang disalin tersebut. Makna ini diambil dari penuturan ayat al Qur‟an:

هَذَا كِتَبُىَايَىْطِقُ عَلَيْكُمْ بِلْحَقِّ اِوَّاكُىَّاوَسْتَىْسِحُ مَاكُىْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Inilah kitab (catatan) kami menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. Jaatsiyah: 29).

Yaitu memindahkan amal-amal kalian ke dalam shuhuf (lembaran-lembaran).1

Kata nasakh atau An-nasakh dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari fi'il (kata kerja) nasakha. Adapun nasikh adalah bentuk ism fa'il dari fi'il (kata kerja) nasakha, sementara mansukh adalah bentuk ism maful. Kata An-nasakh mempunyai banyak arti, antara

1 Abdul Rahman Malik, Abrogi dalam Al-Qur‟an: Studi Nasikh dan Mansukh, Sekolah Pancasarjana UIN Syarif Hidayatullah: Jurnal Studi Al-Qur‟an (Membangun Tradisi Berpikir Qur‟ani, Vol.12, No.1, Tahun 2016, h.98.

lain "menghilangkan" (a‟izalah) seperti dalam ungkapan "nasakhat a‟syamsu a‟hilla", (matahari menghilangkan/menghapus bayangan).

An-nasakh bisa juga berarti "mengalihkan" (atahwil), seperti perkataan "tanasukh                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     amawarits" yakni "tahwil amawarist min wahidin ila wahidin" (mengalihkan warisan dari seseorang kepada yang lain). Di sini Al-nasakh berarti "merubah atau mengalihkan". Selain itu, An-nasakh bisa juga berarti "memindah/mengutip/ menukil" (al-naql), seperti dalam ungkapan "nasakhtu alkitab" (aku mengutip suatu buku) (Al-Zarkasyi, 1957, II: 29; AlSuyuthy, t.th, II: 20). Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa makna-makna An-naskh adalah menghilangkan, menggantikan, merubah atau mengalihkan dan menukil. Makna-makna an-nasikh sebagai ism fa'il-nya adalah sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, merubah atau mengalihkan dan yang menukil. Dan makna-makna amansukh sebagai isim maful-nya adalah sesuatu yang dihilangkan, digantikan, dirubah atau dialihkan, dan yang dinukil. Adapun pengertian An-nasakh menurut peristilahan (terminologi) syara' dapat dijelaskan dengan pelbagai pengertian. Namun demikian, para ulama memberikan pengertian yang hampir sama bahwa An-nasakh adalah "merubah hukum syara' dengan dalil yang datang kemudian" (Abu Zahrah, 1958: 185; Al-Syaukany, t.th: 184; Al-Zarqany, t.th, II: 72; al-Qaththan, 1973: 232).

Sedangkan secara istilah, Ushuliyyun dan Fuqoha mendefinisikan an Naskh dengan arti “rof‟u as syaari‟ hukman syar‟iyyan bi dalilin syar‟iyyin mutaraakhin „anhu” yaitu pengangkatan (penghapusan) oleh as Syaari‟ (Allah Swt) terhadap hukum syara‟ (yang lampau) dengan dalil syara‟ yang terbaru. Yang dimaksud dengan pengangkatan hukum syara‟ adalah penghapusan kontinuitas pengamalan hukum tersebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir. 2

Nasakh adalah mencabut hukum syari‟at dengan dalil syari‟at. Nasakh adalah membatalkan hukum yang diperoleh dari nash yang pertama dengan dasar nash yang datang kemudian. Naskh adalah menghapuskan hukum syari‟at dengan memakai dalil syara‟ dengan adanya tenggang waktu antara hukum yang pertama dengan hukum yang berikutnya, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada naskh itu, tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku. Definisi yang terakhir ini lebih lengkap dan lebih operasional daripada definisi-definisi yang

2 Noor Rohman Fauzan, Urgensi Nasikh Mansukh dalam Legislasi Hukum Islam, Isti‟dal: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol.1, No.2, Juli-Desember 2014, h.203.

8

sebelumnya. Dengan demikian definisi yang terakhir inilah yang kita gunakan sebagai acuan kepahaman bersama.3

Nasakh adalah pembatalan, pengahapusan, atau penghilangan hukum setelah datang hukum yang kemudian. Nasakh mempunyai syarat-syaratnya, salah satu syarat nasakh yang di nasakh adalah hukum syara‟,yaitu hukum yang bersifat alamiah, bukan dalil akal dan bukan pula yang menyangkut akidah. Nasakh terbagi menjadi berbagai macam-macam bagian. Di antaranya, nasakhal Qur‟an dengan al-Qur‟an, nasakhal Sunnah dengan al-Qur‟an, nasakhal Sunnah dengan al-Qur‟an, dan nasakh al-sunnah dengan al-Sunnah. Para ulama berbeda pendapat mengenai nasakh. Ada yang mengatakan bahwa nasakh diperbolehkan dalam al-Qur‟an, ada juga yang mengatakan bahwa nasakh tidak diperbolehkan dalam al-Qur‟an. Untuk menetapkan kesimpulan mengenai nasakh ini, para pembaca bisa melihat argument (pendapat) melalui mencari bukti-bukti, atau langsung meneliti mengenai teori nasakh.

Pemahaman nasakh dengan makna yang khusus baru muncul setelah al-Syafi„i. Ia disebut sebagai orang pertama yang merumuskan definisi nasakh. Menurut alSyafi„i, nasakh bermakna taraka fardhuhu (meninggalkan kewajibannya). Maksudnya membatalkan beramal dengan hukum yang mansukh. Sesuatu yang wajib tidak bisa ditinggalkan kecuali telah ada kewajiban lain yang menggantikannya. Seperti menghapus kewajiban salat menghadap Baitul Maqdis setelah adanya kewajiban menghadap Ka‟bah.4

B. Rukun dan Hikmah An-Nasakh

1. Rukun An-Nasakh

a) An-nasikh yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.

b) Nasikh yaitu: Allah SWT, karena dia lah yang membuat hukum dan dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-nya. Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.

3 Imam Masrur, Konsep Nasikh Mansukh Jalaludin Al-Suyuti dan Implikasi Metode Pengajarannya di Perguruan Tinggi, Kediri: Jurnal Realita, Vol.16, No.1, Tahun 2018, h.3.

4 Reflita, Redefinisi Makna Nasakh Internal Ayat Al-Qur‟an, Jakarta: Jurnal Substantia, Vol.19, No.1, April 2017, h.27.

9

c) Mansukh yaitu: yaitu hukum yang di batalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.

d) Mansukh„anhu yaitu: orang yang dibebani hukum.

2. Hikmah An-Nasakh

Ketetapan Allah tidak ada yang sia-sia, baik yang menyangkut alam raya maupun dalam hal penetapan nasakh dalam al-Qur'an. Syariat Islam adalah syariat sempurna yang selalu menjaga kemaslahatan umat manusia. Menjaga agar perkembangan hukum senantiasa relevan dengan perkembangan kondisi umat dan peradaban manusia. Adanya nasakh dalam al-Qur'an memiliki hikmah tersendiri yang pada muaranya kembali kepada kemaslahatan manusia.

a. Memelihara kepentingan hamba. Syariat Allah adalah perwujudan dari rahmatNya. Dia lah Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syariat-Nya, Allah mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat.

b. Perkembangan tasyri‟ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.

c. Perkembangan hukum syara‟ menuju tingkat kesempurnaan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan peradaban manusia. Al-Qur‟an diturunkan secara beransur-ansur berkaitan dengan proses penetapan syariat. Allah yang Maha Bijaksana mengetahui kondisi masyarakat Arab pada saat al-Qur'an turun. Adanya tahapan-tahapan dalam menetapkan hukum berguna untuk memudahkan pelaksanaan hukum tersebut.

d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan  pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

C. Pendapat Ulama Tentang An-Nasakh

Nasakh dalam ayat Al-Qur‟an para ulama berbeda pendapat:

1. Abu Muslim al-Isfihani berpendapat bahwa, tidak terdapat nasakh dalam Al-Qur‟an. Hal ini terdapat dua alasan. Alasan pertama, seandainya ada nasakh maka telah terjadi

10

pembatalan hukum dalam al-Qur‟an. Kedua, hukum al-Qur‟an bersifat tetap sampai hari kiamat.

2. Jumhur ulama berpendapat bahwa terdapat nasakh dalam Al-Qur‟an. Hal ini juga terdapat dua pendapat: Pertama ini berdasarkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 106, dan pendapat kedua berdasarkan dalam QS. al-Naḥl [16]: 101. Allah SWT berfirman:

3. Pendapat orang yahudi mereka tidak mengakui adanya Nasakh, karena menurutnya Nasakh mengandung konsep al-bada‟, yakni nampak jelas setekah kabur (tidak jelas). Nasakh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Alah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak.Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidak jelasan dan ini pun mustahil baginya.5

D. Syarat An-Nasakh

Amir Syarifuddin dalam bukunya garis-garis besar Ushul Fiqh menjelaskan syarat-syarat nasakh sebagaimana ulama Mujtahid menerima adanya nasakh, syarat-syarat nasakh tersebut dapat dipenuhi sebagai berikut:

1. Yang di nasakh adalah hukum syara‟, yaitu hukum yang bersifat alamiah, bukan dalil akal dan bukan pula yang menyangkut akidah.

2. Dalil nasikh yang menjelaskan tidak berlakunya dalil terdahulu itu datang secara terpisah dan terkemudian dari dalil mansukh.

3. Dalil hukum yang di nasakh kan (mansukh) tidak menunjukkan berlakunya hukum untuk selamanya.

Syarat-syarat nasakh juga dikuatkan Chaerul Umam di antaranya:

a. Nasakh harus terpisah dari mansukh.

b. Nasikh harus lebih kuat atau sama-sama kuatnya dengan mansuk.

c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syarat.

d. Mansukh tidak dibatasi pada suatu waktu.

e. Mansukh harus hukum-hukum syarat.6

E. Perbedaan An-Nasakh dengan Takhsis

Takhsis merupakan penjelalasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan An-Nasakh

5 Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1973), h. 328.

6 Chaerul Umam, Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h.7.

11

menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelumnya terlah berlaku.

Penjelasan lebih rindi dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan antara nasakh dan takhsis:

1. Takhsis bias dilakukan terhadap lafaz yang belakngan dan bisa pula terhadap lafaz yang datang beriringan. Sedangkan nasakh mutlak hanya bisa dilakukan melalui lafaz yang datang kemudian.

2. Takhsis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.

3. Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja, seperti “Berilah si fulan” sedangkan nasakh bisa dilakukan dengan kasus seperti itu.

4. Lafaz yang umum tetap asa sesuatu ke umum an nya walaupun setelah di takhsis, sedangkan lafaz yang di nasakh kan tidak berlaku lagi.

5. Dibolehkan men-takhsis lafaz yang qath‟I dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalin syara‟ lainnya, (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan para ulama), sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafaz yang qath‟I, kemudian dengan lafaz yang qath‟i pula.7

7 Maman Abd Djaliel, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.206

12

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Nasakh adalah pembatalan, pengahapusan, atau penghilangan hukum setelah datang hukum yang kemudian. Nasakh mempunyai syarat-syaratnya, salah satu syarat nasakh yang di nasakh adalah hukum syara‟,yaitu hukum yang bersifat alamiah, bukan dalil akal dan bukan pula yang menyangkut akidah. Nasakh terbagi menjadi berbagai macam-macam bagian.

Rukun An-Nasakh yaitu An-nasikh, Nasikh, Mansukh dan Mansukh„anhu. Sedangkan hikmah An-Nasakh ialah memelihara kepentingan hamba, perkembangan tasyri‟ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia, perkembangan hukum syara‟ menuju tingkat kesempurnaan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan peradaban manusia, dan menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat

Pendapat ulama tentang An-Nasakh yaitu Abu Muslim al-Isfihani berpendapat bahwa, tidak terdapat nasakh dalam Al-Qur‟an. Hal ini terdapat dua alasan. Alasan pertama, seandainya ada nasakh maka telah terjadi pembatalan hukum dalam al-Qur‟an. Kedua, hukum al-Qur‟an bersifat tetap sampai hari kiamat.

Syarat-syarat An-Nasakh yaitu Nasakh harus terpisah dari mansukh, Nasikh harus lebih kuat atau sama-sama kuatnya dengan mansuk, Nasikh harus berupa dalil-dalil syarat, Mansukh tidak dibatasi pada suatu waktu, dan Mansukh harus hukum-hukum syarat.

Takhsis merupakan penjelalasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan An-Nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelumnya terlah berlaku.

13

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adjaliel, Abd Maman. 2008. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Qattan, Khalil Manna. 1973. Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an. Jakarta: Litera Antar Nusa.

Fauzan, Rohman Noor. Urgensi Nasikh Mansukh dalam Legislasi Hukum Islam. Isti‟dal: Jurnal Studi Hukum Islam. Vol.1. No.2. Juli-Desember 2014.

Malik, Rahman Abdul. Abrogi dalam Al-Qur‟an: Studi Nasikh dan Mansukh, Sekolah Pancasarjana UIN Syarif Hidayatullah: Jurnal Studi Al-Qur‟an (Membangun Tradisi Berpikir Qur‟ani. Vol.12. No.1. Tahun 2016.

Masrur, Imam. Konsep Nasikh Mansukh Jalaludin Al-Suyuti dan Implikasi Metode Pengajarannya di Perguruan Tinggi. Kediri: Jurnal Realita. Vol.16. No.1. Tahun 2018.

Reflita. Redefinisi Makna Nasakh Internal Ayat Al-Qur‟an. Jakarta: Jurnal Substantia. Vol.19, No.1. April 2017.

Umam, Chaerul Umam. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar