BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diskursus tentang nasakh mansukh
hingga saat ini masih menjadi kontroversi yang berkepanjangan di kalangan
ulama. Sehingga masalah nasakh ini, menimbulkan dua kubu yang berbeda di
kalangan ulama tentang ada dan tidaknya nasakh dalam Al-Qur‟an. Kubu pertama
yang dipelopori oleh Imam Syafi‟i dan didukung oleh Subhy Al-Shalih menemukan
adanya nasakh dalam Al-Qur‟an. Kubu kedua yangterdiri dari Muhammad Abduh, Abu
Muslim Ashfahaniy dan dari ulama Indonesia M.Hasbi Ash Shiddieqy tidak
menemukan adanya nasakh dalam al-Quran. Kedua kubu ini memberikan alasan-alasan
untuk memperkuat pendapatnya.Perbedaan pendapat ulama tersebut terletak pada
perbedaan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan nasakh. Ada tiga ayat
yang menjadikan para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasakh dalam
Al-Qur‟an. Tiga ayat itu ialah: QS. Al-Nahl ayat 101, QS.al-Baqarah ayat 106,
dan QS.al-Fushilat ayat 42.
Dalam banyak literatur ulumul
Qur‟an, kontraversi para ulama tentang ada tidaknya nasakh dalam Al-Qur‟an
disebutkan secara global tentang ulama yang mendukung maupun menolak adanya
nasakh dalam Al-Qur‟an, belum ada penelitian masing-masing produk tafsir para
ulama pada masa awal sampai sekarang, kemudian dikelompokkan pada kategori
mendukung maupun menolak atas adanya nasakh dalam Al-Qur‟an. Jika ini dilakukan
tentunya akan menambah bobot dan khazanah keilmuan Ulumul Qur‟an, yang
berkaitan dengan landasan naqli maupun aqli dari para mufassir itu tentang
pendapatnya yang berkaitan dengan ada dan tidaknya nasakh dalam Al-Qur‟an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
An-Nasakh?
2. Apa Saja Rukun dan Hikmah
An-Nasakh?
3. Bagaimana Pendapat Ulama
Tentang An-Nasakh?
4. Apa Saja Syarat An-Nasakh?
5. Bagaimana Perbedaan An-Nasakh
dengan Takhsis?
5
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian
An-Nasakh.
2. Untuk Mengetahui Rukun dan
Hikmah An-Nasakh.
3. Untuk Mengetahui Pendapat
Ulama Tentang An-Nasakh.
4. Untuk Mengetahui Syarat
An-Nasakh.
5. Untuk Mengetahui Perbedaan
An-Nasakh dengan Takhsis.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian An-Nasakh
An-naskh menurut bahasa Arab
mengarah kepada dua arti: Pertama memiliki arti “Izaalatu syain wa i‟daamuhu”
yaitu menghilangkan sesuatu dan meniadakannya atas dasar Allah SWT:
وَمَااَرْسَلْىَامِهْ قَبْ لكَ مِهْ رَّسُوْلٍ وَّلََوَبِيّ
اِلََّاِذَا تَمَىَّى اَلْقَ الشَّيْطَهُ فِي اُمُىِيَّتِهِ فَيَىْسَخُ اللهُ
مَايُلْقِى الشَّيْطَهُ ثُمَ
يُحكِمُ اللهُ اَيَتِهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Dan kami tidak mengutus
seorang Rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad),
melainkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan
godaan-godaan ke dalam keinginannyai itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang
dimasiukkan setan itu. Dan Allah akan menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah maha
mengetahui, maha bujaksana”. (Q.S Al-Hajj: 52)
Lafadz yansakhu dalam ayat diatas
bermakna menghilangkan atau meniadakan bisikan-bisikan syaithan dan
penyesatannya.
Kedua memiliki arti “Naqlu al
syay‟i wa tahwiluhu ma‟a baqaaihi fi nafsihi” yaitu menyalin dan memindahkan
sesuatu dengan tetap menjaga perkara yang disalin tersebut. Makna ini diambil
dari penuturan ayat al Qur‟an:
هَذَا كِتَبُىَايَىْطِقُ عَلَيْكُمْ بِلْحَقِّ
اِوَّاكُىَّاوَسْتَىْسِحُ مَاكُىْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Inilah kitab (catatan)
kami menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya kami telah
menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. Jaatsiyah: 29).
Yaitu memindahkan amal-amal
kalian ke dalam shuhuf (lembaran-lembaran).1
Kata nasakh atau An-nasakh dalam
bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari fi'il (kata kerja) nasakha. Adapun
nasikh adalah bentuk ism fa'il dari fi'il (kata kerja) nasakha, sementara
mansukh adalah bentuk ism maful. Kata An-nasakh mempunyai banyak arti, antara
1 Abdul Rahman Malik, Abrogi
dalam Al-Qur‟an: Studi Nasikh dan Mansukh, Sekolah Pancasarjana UIN Syarif
Hidayatullah: Jurnal Studi Al-Qur‟an (Membangun Tradisi Berpikir Qur‟ani,
Vol.12, No.1, Tahun 2016, h.98.
lain "menghilangkan"
(a‟izalah) seperti dalam ungkapan "nasakhat a‟syamsu a‟hilla",
(matahari menghilangkan/menghapus bayangan).
An-nasakh bisa juga berarti
"mengalihkan" (atahwil), seperti perkataan "tanasukh amawarits"
yakni "tahwil amawarist min wahidin ila wahidin" (mengalihkan warisan
dari seseorang kepada yang lain). Di sini Al-nasakh berarti "merubah atau
mengalihkan". Selain itu, An-nasakh bisa juga berarti
"memindah/mengutip/ menukil" (al-naql), seperti dalam ungkapan
"nasakhtu alkitab" (aku mengutip suatu buku) (Al-Zarkasyi, 1957, II:
29; AlSuyuthy, t.th, II: 20). Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa
makna-makna An-naskh adalah menghilangkan, menggantikan, merubah atau
mengalihkan dan menukil. Makna-makna an-nasikh sebagai ism fa'il-nya adalah
sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, merubah atau mengalihkan dan yang
menukil. Dan makna-makna amansukh sebagai isim maful-nya adalah sesuatu yang
dihilangkan, digantikan, dirubah atau dialihkan, dan yang dinukil. Adapun
pengertian An-nasakh menurut peristilahan (terminologi) syara' dapat dijelaskan
dengan pelbagai pengertian. Namun demikian, para ulama memberikan pengertian
yang hampir sama bahwa An-nasakh adalah "merubah hukum syara' dengan dalil
yang datang kemudian" (Abu Zahrah, 1958: 185; Al-Syaukany, t.th: 184;
Al-Zarqany, t.th, II: 72; al-Qaththan, 1973: 232).
Sedangkan secara istilah,
Ushuliyyun dan Fuqoha mendefinisikan an Naskh dengan arti “rof‟u as syaari‟
hukman syar‟iyyan bi dalilin syar‟iyyin mutaraakhin „anhu” yaitu pengangkatan
(penghapusan) oleh as Syaari‟ (Allah Swt) terhadap hukum syara‟ (yang lampau)
dengan dalil syara‟ yang terbaru. Yang dimaksud dengan pengangkatan hukum
syara‟ adalah penghapusan kontinuitas pengamalan hukum tersebut dengan
mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir. 2
Nasakh adalah mencabut hukum
syari‟at dengan dalil syari‟at. Nasakh adalah membatalkan hukum yang diperoleh
dari nash yang pertama dengan dasar nash yang datang kemudian. Naskh adalah
menghapuskan hukum syari‟at dengan memakai dalil syara‟ dengan adanya tenggang
waktu antara hukum yang pertama dengan hukum yang berikutnya, dengan catatan
kalau sekiranya tidak ada naskh itu, tentulah hukum yang pertama akan tetap
berlaku. Definisi yang terakhir ini lebih lengkap dan lebih operasional
daripada definisi-definisi yang
2 Noor Rohman Fauzan, Urgensi
Nasikh Mansukh dalam Legislasi Hukum Islam, Isti‟dal: Jurnal Studi Hukum Islam,
Vol.1, No.2, Juli-Desember 2014, h.203.
8
sebelumnya. Dengan demikian
definisi yang terakhir inilah yang kita gunakan sebagai acuan kepahaman
bersama.3
Nasakh adalah pembatalan, pengahapusan,
atau penghilangan hukum setelah datang hukum yang kemudian. Nasakh mempunyai
syarat-syaratnya, salah satu syarat nasakh yang di nasakh adalah hukum
syara‟,yaitu hukum yang bersifat alamiah, bukan dalil akal dan bukan pula yang
menyangkut akidah. Nasakh terbagi menjadi berbagai macam-macam bagian. Di
antaranya, nasakhal Qur‟an dengan al-Qur‟an, nasakhal Sunnah dengan al-Qur‟an,
nasakhal Sunnah dengan al-Qur‟an, dan nasakh al-sunnah dengan al-Sunnah. Para
ulama berbeda pendapat mengenai nasakh. Ada yang mengatakan bahwa nasakh
diperbolehkan dalam al-Qur‟an, ada juga yang mengatakan bahwa nasakh tidak
diperbolehkan dalam al-Qur‟an. Untuk menetapkan kesimpulan mengenai nasakh ini,
para pembaca bisa melihat argument (pendapat) melalui mencari bukti-bukti, atau
langsung meneliti mengenai teori nasakh.
Pemahaman nasakh dengan makna
yang khusus baru muncul setelah al-Syafi„i. Ia disebut sebagai orang pertama
yang merumuskan definisi nasakh. Menurut alSyafi„i, nasakh bermakna taraka
fardhuhu (meninggalkan kewajibannya). Maksudnya membatalkan beramal dengan
hukum yang mansukh. Sesuatu yang wajib tidak bisa ditinggalkan kecuali telah
ada kewajiban lain yang menggantikannya. Seperti menghapus kewajiban salat
menghadap Baitul Maqdis setelah adanya kewajiban menghadap Ka‟bah.4
B. Rukun dan Hikmah An-Nasakh
1. Rukun An-Nasakh
a) An-nasikh yaitu peryataan yang
menunjukan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b) Nasikh yaitu: Allah SWT,
karena dia lah yang membuat hukum dan dia pula yang membatalkannya, sesuai
dengan kehendak-nya. Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.
3 Imam Masrur, Konsep Nasikh
Mansukh Jalaludin Al-Suyuti dan Implikasi Metode Pengajarannya di Perguruan
Tinggi, Kediri: Jurnal Realita, Vol.16, No.1, Tahun 2018, h.3.
4 Reflita, Redefinisi Makna
Nasakh Internal Ayat Al-Qur‟an, Jakarta: Jurnal Substantia, Vol.19, No.1, April
2017, h.27.
9
c) Mansukh yaitu: yaitu hukum
yang di batalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d) Mansukh„anhu yaitu: orang yang
dibebani hukum.
2. Hikmah An-Nasakh
Ketetapan Allah tidak ada yang
sia-sia, baik yang menyangkut alam raya maupun dalam hal penetapan nasakh dalam
al-Qur'an. Syariat Islam adalah syariat sempurna yang selalu menjaga
kemaslahatan umat manusia. Menjaga agar perkembangan hukum senantiasa relevan
dengan perkembangan kondisi umat dan peradaban manusia. Adanya nasakh dalam
al-Qur'an memiliki hikmah tersendiri yang pada muaranya kembali kepada
kemaslahatan manusia.
a. Memelihara kepentingan hamba.
Syariat Allah adalah perwujudan dari rahmatNya. Dia lah Maha Mengetahui
kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syariat-Nya, Allah mendidik
manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan akhirat.
b. Perkembangan tasyri‟ menuju tingkat
sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat
manusia.
c. Perkembangan hukum syara‟
menuju tingkat kesempurnaan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan
peradaban manusia. Al-Qur‟an diturunkan secara beransur-ansur berkaitan dengan
proses penetapan syariat. Allah yang Maha Bijaksana mengetahui kondisi
masyarakat Arab pada saat al-Qur'an turun. Adanya tahapan-tahapan dalam
menetapkan hukum berguna untuk memudahkan pelaksanaan hukum tersebut.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan
bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di
dalamnya terdapat tambahan pahala, dan
jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan
keringanan.
C. Pendapat Ulama Tentang
An-Nasakh
Nasakh dalam ayat Al-Qur‟an para
ulama berbeda pendapat:
1. Abu Muslim al-Isfihani
berpendapat bahwa, tidak terdapat nasakh dalam Al-Qur‟an. Hal ini terdapat dua
alasan. Alasan pertama, seandainya ada nasakh maka telah terjadi
10
pembatalan hukum dalam al-Qur‟an.
Kedua, hukum al-Qur‟an bersifat tetap sampai hari kiamat.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa
terdapat nasakh dalam Al-Qur‟an. Hal ini juga terdapat dua pendapat: Pertama
ini berdasarkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 106, dan pendapat kedua berdasarkan
dalam QS. al-Naḥl [16]: 101. Allah SWT berfirman:
3. Pendapat orang yahudi mereka
tidak mengakui adanya Nasakh, karena menurutnya Nasakh mengandung konsep
al-bada‟, yakni nampak jelas setekah kabur (tidak jelas). Nasakh itu adakalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Alah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah
yang sebelumnya tidak nampak.Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidak jelasan dan ini pun mustahil baginya.5
D. Syarat An-Nasakh
Amir Syarifuddin dalam bukunya
garis-garis besar Ushul Fiqh menjelaskan syarat-syarat nasakh sebagaimana ulama
Mujtahid menerima adanya nasakh, syarat-syarat nasakh tersebut dapat dipenuhi
sebagai berikut:
1. Yang di nasakh adalah hukum
syara‟, yaitu hukum yang bersifat alamiah, bukan dalil akal dan bukan pula yang
menyangkut akidah.
2. Dalil nasikh yang menjelaskan
tidak berlakunya dalil terdahulu itu datang secara terpisah dan terkemudian
dari dalil mansukh.
3. Dalil hukum yang di nasakh kan
(mansukh) tidak menunjukkan berlakunya hukum untuk selamanya.
Syarat-syarat nasakh juga
dikuatkan Chaerul Umam di antaranya:
a. Nasakh harus terpisah dari
mansukh.
b. Nasikh harus lebih kuat atau
sama-sama kuatnya dengan mansuk.
c. Nasikh harus berupa
dalil-dalil syarat.
d. Mansukh tidak dibatasi pada
suatu waktu.
e. Mansukh harus hukum-hukum
syarat.6
E. Perbedaan An-Nasakh dengan
Takhsis
Takhsis merupakan penjelalasan
mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan
lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan An-Nasakh
5 Manna Khalil Al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur‟an, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1973), h. 328.
6 Chaerul Umam, Ushul Fiqih,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h.7.
11
menghapus atau membatalkan semua
kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelumnya terlah berlaku.
Penjelasan lebih rindi
dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan antara nasakh dan takhsis:
1. Takhsis bias dilakukan
terhadap lafaz yang belakngan dan bisa pula terhadap lafaz yang datang
beriringan. Sedangkan nasakh mutlak hanya bisa dilakukan melalui lafaz yang
datang kemudian.
2. Takhsis bisa dilakukan baik
dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa
dilakukan dengan dalil naqli saja.
3. Takhsis tidak berlaku pada
perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja, seperti “Berilah si fulan”
sedangkan nasakh bisa dilakukan dengan kasus seperti itu.
4. Lafaz yang umum tetap asa
sesuatu ke umum an nya walaupun setelah di takhsis, sedangkan lafaz yang di
nasakh kan tidak berlaku lagi.
5. Dibolehkan men-takhsis lafaz
yang qath‟I dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalin syara‟ lainnya, (pendapat
ini masih diperselisihkan dikalangan para ulama), sedangkan dalam nasakh tidak
boleh men-takhsis suatu lafaz yang qath‟I, kemudian dengan lafaz yang qath‟i
pula.7
7 Maman Abd Djaliel, Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.206
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nasakh adalah pembatalan,
pengahapusan, atau penghilangan hukum setelah datang hukum yang kemudian.
Nasakh mempunyai syarat-syaratnya, salah satu syarat nasakh yang di nasakh
adalah hukum syara‟,yaitu hukum yang bersifat alamiah, bukan dalil akal dan
bukan pula yang menyangkut akidah. Nasakh terbagi menjadi berbagai macam-macam
bagian.
Rukun An-Nasakh yaitu An-nasikh,
Nasikh, Mansukh dan Mansukh„anhu. Sedangkan hikmah An-Nasakh ialah memelihara
kepentingan hamba, perkembangan tasyri‟ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia, perkembangan hukum
syara‟ menuju tingkat kesempurnaan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan
peradaban manusia, dan menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat
Pendapat ulama tentang An-Nasakh
yaitu Abu Muslim al-Isfihani berpendapat bahwa, tidak terdapat nasakh dalam
Al-Qur‟an. Hal ini terdapat dua alasan. Alasan pertama, seandainya ada nasakh maka
telah terjadi pembatalan hukum dalam al-Qur‟an. Kedua, hukum al-Qur‟an bersifat
tetap sampai hari kiamat.
Syarat-syarat An-Nasakh yaitu
Nasakh harus terpisah dari mansukh, Nasikh harus lebih kuat atau sama-sama
kuatnya dengan mansuk, Nasikh harus berupa dalil-dalil syarat, Mansukh tidak
dibatasi pada suatu waktu, dan Mansukh harus hukum-hukum syarat.
Takhsis merupakan penjelalasan
mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan
lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan An-Nasakh menghapus atau
membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang
sebelumnya terlah berlaku.
13
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adjaliel, Abd Maman. 2008. Ilmu
Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Qattan, Khalil Manna. 1973.
Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Fauzan, Rohman Noor. Urgensi
Nasikh Mansukh dalam Legislasi Hukum Islam. Isti‟dal: Jurnal Studi Hukum Islam.
Vol.1. No.2. Juli-Desember 2014.
Malik, Rahman Abdul. Abrogi dalam
Al-Qur‟an: Studi Nasikh dan Mansukh, Sekolah Pancasarjana UIN Syarif
Hidayatullah: Jurnal Studi Al-Qur‟an (Membangun Tradisi Berpikir Qur‟ani.
Vol.12. No.1. Tahun 2016.
Masrur, Imam. Konsep Nasikh
Mansukh Jalaludin Al-Suyuti dan Implikasi Metode Pengajarannya di Perguruan
Tinggi. Kediri: Jurnal Realita. Vol.16. No.1. Tahun 2018.
Reflita. Redefinisi Makna Nasakh
Internal Ayat Al-Qur‟an. Jakarta: Jurnal Substantia. Vol.19, No.1. April 2017.
Umam, Chaerul Umam. 2000. Ushul
Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar