Jumat, 03 Juli 2020

ISLAM DAN DEMOKRASI

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Ketika  istilah  “demokrasi”  dipakai  sebagai  salah  satu  sistem  politik dalam  mengatur  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  maka  terjadilah perdebatan yang hangat dikalangan umat  Islam. Istilah ini telah diterima  oleh hampir  semua pemerintahan  di  dunia,  bahkan  pemerintah  otoriter  pun menggunakan istilah “demokrasi” untuk memberi ciri kepada rezim dan aspirasi mereka. Konsekuensinya  adalah  menjamurnya  penggunaan  kata  “demokrasi”, seperti  “demokrasi  liberal”,  demokrasi  terpimpin”,  “demokrasi  kerakyatan”, “demokrasi sosialis”, dan lain-lain dalam mengatur tatanan bernegara.

Dalam dunia Islam, banyak dari para ilmuwan dan intelektual muslim telah  berusaha  mendefinisikan  tentang  “demokrasi  dalam  Islam”  dan  melihat adanya kesesuaian antara Islam dan demokrasi di satu sisi. Dan ada pula yang menolak  konsep  demokrasi,  dan  bahkan  mengatakan  bahwa  demokrasi  itu adalah sistem kufur (kafir).[1] sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam di sisi yang lain. Dengan demikian, terdapat dua pendapat di kalangan umat Islam tentang konsep demokrasi  tersebut. Yang pertama  adalah  menolak, dan  yang kedua menerima.

Bagi  para  intelektual  dan  ulama  muslim  yang  menolak  demokrasi, bahkan  mengharamkan  penggunaan  istilah  konsep  demokrasi,  mengatakan bahwa  karena  konsep  demokrasi  berarti  menegasikan  kedaulatan  Allah  atasmanusia dan istilah ini tidak berasal dari kosa kata Islam, dan karenanya harus ditinggalkan.  Tokoh  yang  menolak  demokrasi  tersebut,  diantaranya  adalah seperti  Hafiz  Salih  dan  Abd.  Al-Qadim  Zallum.  Sedangkan  para  intelektual muslim  yang  menerima  konsep  demokrasi,  berpandangan  bahwa  demokrasi dengan  modifikasi  tertentu  sesuai  dengan  ajaran  Islam.

Karena  demokrasi berlandaskan  keadilan  sosial dan persamaan  derajat.[2] Mereka itu  diantaranya adalah seperti Al-Maududi, Fazlur Rahman dan lain-lain.Dalam konteks Indonesia,  sebagai negara  yang memiliki umat  Islam terbanyak di dunia, demokrasi belum diwujudkan secara maksimal, dan

masihmemerlukan suatu upaya yang lebih serius menuju bentuk yang ideal. Sebagai negara  yang  berdaulat,  Indonesia  mempunyai  konsep  tersendiri  tentang demokrasi,  yaitu  “demokrasi  Pancasila”.  Hal  ini  bisa  dilihat  pada  masa  Orde Baru, dan pada masa Reformasi sekarang ini, nampaknya umat Islam Indonesia sudah  lebih  demokrastis di  bandingkan  dengan  pada  masa  Orde  Baru.  Oleh karena  itu,  dalam  makalah  ini  penulis  ingin  memaparkan  bagaimana  respon umat  Islam  Indonesia  terhadap  konsep  demokrasi  dan  proses  demokratisasi. Untuk  melihat  respon dan  proses  tersebut,  maka  berikut ini  akan  dijelaskan tentang apa itu demokrasi.

 

B.     Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan demokrasi?
  2. Bagaimana  model – model demokrasi?

3.      Bagaimana tanggapan umat islam tentang  indonesia terhadap demokrasi?

 

C.    Tujuan Masalah

  1. Mengetahui definisi  demokrasi;
  2. Mengetahui definisi model – model demokrasi;

3.      Bagaimana tanggapan umat islam tentang demokrasi?

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sekilas Temtang Demokrasi

Istilah Demokrasi pertama sekali diperkenalkan oleh Herodotus sekitar 3000  tahun  yang  lalu  di  Mesir  Kuno,  kemudian  dikembangkan  oleh  para pemikir  Yunani  Kuno  pada  masa  klasik.[3]  Secara  etimologi,  kata  demokrasi berasal  dari  kata Demos  (rakyat)  dan Kratos  (kekuasaan/pemerintahan),  dari bahasa Yunani. Dalam sejarah, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5 SM, yang merupakan respon terhadap pengalaman buruk sistem monarkhi dan kediktatoran di negara-negara kota Athena (Yunani Kuno). Ketika itu demokrasi dipraktikkan sebagai sistem dimana seluruh warga negara membentuk lembaga legislatif.

Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan jumlah penduduk negara-negara kota kurang lebih  sepuluh ribu jiwa dan  bahwa wanita,  anak kecil  serta para budak tidak mempunyai hak politik. Tidak ada pemisahan kekuasaan ketika itu dan semua pejabat bertanggung jawab  sepenuhnya pada  Majelis Rakyat yang                                                  Dalam perkembang selanjutnya, ide-ide demokrasi-tentunya dalam istilah modern-berkembang  dengan  ide-ide  dan  lembaga  dalam  tradisi pencerahan yang dimulai pada abad ke-16.

pertama sekali dirintis oleh Niccolo Machiavelli  (1469-1527)  dengan  ide-ide  sekulerisme,  kemudian  ide  Negara Kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi negara liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan lembaga federal oleh John Locke(1632-1704), yang disempurnakan oleh Baron de Montesquieu (1689-1755), yang  idenya  mengenai  pemisahan  kekuasaan  menjadi  lembagalegislatif, eksekutif dan  yudikatif.[4] serta  ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (17-1778), tetapi ide-ide ini ada persamaan dengan ide-ide sekulerisme dan hak-hak asasi. Ide-ide tersebut  merupakan  respon terhadap monarki absolut  akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan gereja yang teokrasi. Ide-

ide demokrasi saat ini   muncul sejak  revolusi Amerika pada  tahun 1776  dan revolusi Perancis tahun 1789. Sekarang,  “term”  demokarasi  hampir  diterima  oleh  seluruh pemerintahan yang ada di dunia ini, bahkan pemerintah otoriter pun menerima istilah  “demokrasi”  untuk  mengkarakterisasikan  rezim  dan  aspirasi  mereka.

Demokrasi memang merupakan slogan wacana politik kontemporer. Akibatnya adalah meluasnya pengertian demokrasi itu sendiri, seperti Demokrasi Liberal, Demokrasi  Terpimpin, Demokrasi Kerakyatan,  Demokrasi Sosialis,  dan lain-lain.  Oleh  karena  itu,  istilah  demokrasi  mempunyai  berbagai  pengertian,  di antaranya yaitu: Pertama,  definisi  yang  diberikan  oleh  Joseph  A.  Schumpeter, menurutnya  metode  demokrasi  adalah  suatu  perencanaan  institusional  untuk mencapai keputusan  politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Kedua, definisi  yang  diberikan  oleh  Sidney  Hook,  demokrasi  adalah  bentuk pemerintahan  di  mana  keputusan-keputusan  pemerintah  yang  penting – atau arah kebijakan di balik keputusan ini – secara langsung maupun tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Sedangkan yang ketiga adalah menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn  Karl,  demokrasi  adalah  sebagai  suatu  sistem  pemerintahan  di  mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik  oleh  warga  negara,  yang  bertindak  secara  tidak  langsung  melalui kompetisi dan kerja sama, dengan para wakil mereka yang telah terpilih.

Dari ketiga  definisi  tersebut  terlihat  bahwa  demokrasi  mengandung  unsur-unsur: kekuasaan  mayoritas,  suara  rakyat,  pemilihan  yang  bebas  dan  bertanggung jawabMeskipun demikian, ada tujuh kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah sistem demokrasi yaitu:.[5]

1.    Kontrol  atas  keputusan  pemerintah  mengenai  kebijakan  secara konstitusional diberikan pada para pejabat yang dipilih;

2.    Para pejabat dipilih melalui  pemilihan  yang  teliti  dan  jujur  dimana  paksaan  dianggap  sebagai sesuatu yang tidak umum;

3.    Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak  untuk  memilih dalam pemilihan  pejabat;

4.    Secara praktis  semua orang dewasa  mempunyai  hak  untuk  mencalonkan  diri  pada  jabatan-jabatan  di pemerintahan, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih ketimbang  hak  pilihnya;

5.    Rakyat  mempunyai  hak  untuk  menyuarakan pendapat  tanpa  ancaman  hukuman  yang  berat  mengenai  berbagai  persoalan politik  yang  didefinisikan  secara  luas,  termasuk  mengkritik  para  pejabat pemerintahan,  rezim,  tatanan  sosio-ekonomi  dan  ideologi  yang  berlaku;

6.    Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif. Lebih dari itu, sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh hukum; dan

7.    Untuk meningkatkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak  yang dinyatakan di  atas, rakyat juga mempunyai  hak membentuk lembaga-lembaga atau  organisasi-organisasi  yang  relatif  independen,  termasuk  berbagai  partai politik dan kelompok kepentingan yang independen.

Berbeda  dengan  definisi  di  atas,  Arief  Budiman  membedakan demokrasi menjadi tiga, yaitu: Pertama, demokrasi pinjaman; kedua, demokrasi terbatas; dan ketiga adalah demokrasi yang asli.

Demokrasi model yang pertama terjadi  bila  ada  suasana  kebebasan.  Semua  warga  bebas  berpendapat,berorganisasi,  mengkritik  dan  sebagainya.  Ini  terjadi,  apabila  pemerintahan sudah kuat dan masyarakat sipilnya lemah. Dalam keadaan begini, demokrasi terjadi namun sifatnya berupa pinjaman penguasa. Suatu saat kalau kritiknya terlalu keras dan mengancam pemerintah,  demokrasi itu  bisa ditarik  kembali.

Model yang kedua  demokrasi akan terjadi kalau ada pluralisme di tingkat elit. Misalnya terjadi konflik di antara mereka. Kalau masyarakat mengkritik pihak yang satu, pasti akan dibela  oleh pihak  yang lain  dan sebaliknya. Demokrasi jenis ini sifatnya hanya sementara, kalau  kelompok yang  satu sudah menang, atau kemudian berkoalisi,  ya kembali  lagi tidak demokrasi. Sedangkan  model yang ketiga adalah demokrasi terjadi karena masyarakat bersatu dan menjadi kuat untuk kemudian dapat mengimbangi kekuasaan. Dengan demikian, untuk memperjuangkan demokrasi kita  tidak perlu meminta-minta kepada  penguasa. Sehingga dapat kita  katakan  kepada pemerintah  seperti: “hai! Kamu gak boleh sewenang-wenang, saya juga punya hak. Kalau gak, awas lho,  bisa terguling kamu”.  Maka  dalam  hal  ini,  perlu kita  perkuat  civil society.

Dengan kuatnya civil  society maka pemerintah atau  penguasa  tidak sewenang-wenang kepada masyarakat. Model yang pertama dan yang kedua  adalah bentuk demokrasi  yang  semu,  karena  tidak adanya keseimbangan  antara  penguasa yang kuat dengan masyarakat  yang  lemah.  Dan  model  inilah,  dalam  pandangan  penulis,  yang terjadi  pada masa Orde  Baru. Dimana masyarakat dipasung oleh pemerintah dengan jargon-jargon yang palsu.

 

B.  Model – Model Demokrasi

Ketika berbicara tentang hubungan antara agama (dalam hal ini Islam) dengan demokrasi, menurut Komaruddin Hidayat,  ada tiga  model  yang harus

diperhatikan,  yaitu:  hubungan  yang  bersifat  negatif,  netral,  dan  positif.  Hubungan  yang  pertama    di  istilahkan  dengan  “Agama  Versus  demokrasi”;

hubungan  kedua  diistilahkan  dengan  “Sekularisasi  Politik”;  dan  yang  ketiga

diistilahkan dengan “Teo-Demokrasi”.[6] Ketiga model tersebut, dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1.         Agama versus Demokrasi

Dalam model  ini, agama dan  demokrasi tidak dapat disatukan atau dipertemukan,  dan  bahkan  berlawanan.  Agama  berciri  konserfatif  dan membelunggu  penalaran  dan  kemerdekaan  manusia  untuk  membangun dunianya  secara  otonom,  tanpa  dikekang  oleh  tangan  Tuhan  yang  hadirmelalui kekuasaan lembaga  dan penguasa agama.  Secara historis, hubungan negatif, bahkan konfliktual, antara kehendak untuk membangun masyarakat demokrastis di satu sisi dan otoritas  agama di  sisi yang  lain akan  dijumpai dalam  masyarakat,  baik  dalam  masyarakat  Kristen  di  Barat  maupun masyarakat Islam di Timur.

2.         Sekularisasi Politik

Pada  model  ini,  hubungan  agama  dan  demokrasi  adalah  bersifat netral, yaitu:urusan agama dan urusan  politik berjalan sendiri.  Sekularisasi tersebut bisa terjadi pada level formal kelembagaan, pada proses sosial, bisa juga pada level kesadaran metafisis, dan  bisa jadi pada ketiga level tersebut terjadi  sekaligus. Ciri  pokok pada  kehidupan sekular  adalah penekanannya pada  prinsip rasionalitas  dan  efisiensi  yang  diberlakukan    dalam  bidang kehidupan  yang faktual  empiris,  sehingga  agama  semakin  tersisih  menjadi urusan pribadi. Masyarakat yang mendukung sekularisasi politik dan ekonomi tidak mesti dihakimi sebagai menolak dan anti agama, tetapi kurang percaya pada  lembaga  agama untuk  menyelesaikan  persoalan  ekonomi  dan  politik. Biarkanlah agama dan  politik menjalankan peran  dan dialektikanya  sendiri-sendiri.

3.         Teo-Demokrasi

Model ketiga ini berpandangan bahwa, baik secara teologis maupun sosiologis,  sangat  mendukung  proses  demokrasi  politik,  ekonomi  maupun kebudayaan.  Karena  semua  agama  dari  tradisi  Ibrahim  muncul  dan berkembang   dengan misi  untuk  melindungi  dan menjunjung  tinggi  harkat manusia. Oleh karena itu, meskipun agama tidak secara sistemis mengajarkan praktek  demokrasi  namun  agama  memberikan  etos,  spirit  dan  muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratis.

Meskipun  agama  berasal  dari  Tuhan,  tetapi  pada  pelaksanaannya tetap melibatkan peranan manusia. Maka disinilah perlunya penafsiran secara terus  menerus  terhadap  “teks-teks  agama”  guna  untuk  melestarikan  alam ciptaan  Tuhan.  Dengan  demikian,  untuk  melihat  tangapan  umat  Islam Indonesia terhadap demokrasi, penulis menggunakan ketiga  kerangka teori (model) tersebut dalam membahas tulisan ini.

C.    Tanggapan Umat Islam Tentang  Indonesia Terhadap Demokrasi

Secara teoritis, demokrasi adalah sebagai konsep yang universal  yang berlaku  dalam  semua  tempat  dan  waktu,  namun  dalam  memahami  dan menerapkannya  tentu  mempunyai padangan  yang  berbeda-beda.  Hal ini  juga dialami oleh umat Islam, dan khususnya umat Islam Indonesia. Untuk melihat bagaimana respon umat Islam Indonesia tentang konsep demokrasi dan proses demokratisasi, akan dijelaskan dalam poin-poin berikut ini. 

1.    Tanggapan terhadap Konsep Demokrasi

Demokrasi bagi bangsaIndonesia  telah  tumbuh sejak awal kebangkitan nasional  pada  awal abad  ini,  dimana  para  pemimpin  dan  intelektual  muslim  Indonesia  telah merespon demokrasi  sebagai sistem yang harus dijalankan dalam kehidupan sosial  dan politik. Pernyataan ini  pertama  sekali dikemukakan oleh Serikat Islam(SI) dalam konggres keduanya pada tahun 1917, yang isinya menuntut pemerintah kolonial Belanda pada masa itu untuk menerapkan sistem yang demokratis  di  Indonesia.  Demikian  pula  selama  periode  parlementer  dan demokrasi  terpimpin,  partai-partai  Islam  dan  para  intelektual  muslim mendukung terwujudnya demokrasi di Indonesia.

Pada tahun 1952-1958,  Muhammad Natsir  sebagai ketua  Masyumi mendukung demokrasi walaupun dia mempunyai penafsiran berbeda tentang demokrasi.  Dalam  pandangannya,  Islam  adalah  sistem  demokrastis,  dalam pengertian  bahwa  Islam  menolak  despotisme,  absolutisme,  dan otoritarianisme. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi. Artinya semua  urusan  dalam pemerintahan  Islam  diputuskan  melalui Majelis Syura (Dewan  permusyawaratan).  Keputusan-keputusan  demokratis  diterapkan hanya  pada  masalah-masalah  yang  tidak  disebutkan  secara  khusus  dalam syari’ah.  Dengan  demikian  tidak  ada  keputusan  demokratis  pada  masalah-masalah yang jelas disebutkan dalam al-Qur’an, seperti pada larangan judi dan zina.

Dalam hal ini, meskipun Natsir mendukung demokrasi, tetapi dia tetap mendukung kedaulatan Tuhan. Jalaluddin  Rahmat,[7]  mendukung  demokrasi  sebagai  konsep  bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip, yaitu: pertama, partisipasi politik;  dan  kedua  adalah  hak  asasi  manusia.  Yang  pertama  menyebabkan rakyat  berpatisipasi  dalam  keputusan-keputusan  publik  melalui  syura. Sedangkan  yang kedua melindungi hak-hak asasi manusia  yang terdiri dari hak kebebasan berbicara, hak mengontrol, dan hak persamaan dimuka hukum. Lebih  lanjut  Rahmat  menjelaskan  bahwa  sistem  politik  Islam  tidak  bisa dibandingkan  dengan  sistem  demokrasi  dalam  dua  pengertian:  Pertama,

demokrasi adalah sistem sekuler, yang kedaulatannya berada di tangan rakyat,sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan (kekuasaan) Tuhan. Suara mayoritas tidak  dapat atau  tidak  mungkin mengubah  syari’ah. Kedua, dalam praktiknya  suara  rakyat  dapat  di  manipulasi  baik  melalui  ancaman  atau rayuan,  sedangkan  Islam  adalah  sistem  yang  unik,  yang  mengembangkan prinsip-prinsip  syura  dan  hak-hak  asasi  manusia. Dengan  demikian,  kedua tokoh  tersebut  mendukung  demokrasi,  tetapi  mereka  pada  dasarnya  setuju tentang kedaulatan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat.

Berbeda  dengan  kedua  tokoh  diatas,  Munawir  Sjadzali,[8] menegaskan bahwa tidak dapat dingkari  bahwa pada hakikatnya kedaulatan tertinggi  berada pada  Tuhan,  tetapi  konsep  kedaulatan  rakyat  tidak pernah diartikan untuk menolak kedaulatan Tuhan. Bahkan secara historis, lanjutnya, kedaulatan rakyat diperkenalkan untuk menentang kedaulatan monarki, yang ketika itu mempunyai kekuasaan absolut. Sementara itu, Nurchalish Madjid secara tegas mendukung sistem demokrasi Barat.

Baginya, pilihan umat Islam kepada ideologi demokrasi adalah suatu keharusan. Karena bukan hanya suatu pertimbangan  yang prinsipil,  yaitu karena nilai-nilai  demokrasi itu menurut kita dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya  sebagai  aturan  politik  yang  terbuka.  Aturan  tersebut  diperlukan supaya dalam sistem politik kita terwujud  suatu mekanisme untuk  sewaktu-waktu  mengadakan  koreksi  atas  kesalahan  pelaksanaan  pemerintahan  dan penggunaan kekuasaan ditinjau dari sudut kepentingan rakyat dan ketentuan-ketentuan konstitusional.

Amin  Rais menerima  demokrasi  berdasarkan  tiga  alasan,[9]  yaitu: Pertama, Karena  al-Qur’an memerintahkan  umat  Islam  untuk  melaksanakan musyawarah  dalam  menyelesaikan  masalah-maslah  mereka;  kedua,  secarahistoris  Nabi  menerapkan  musyawarah  ini  dengan  umat  Islam  dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka; dan ketiga, secara rasional, dimana umat Islam diperintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka,  ini  menunjukkan bahwa  sistem  demokrasi  adalah  bentuk  tertinggi mengenai sistem politik dalam sejarah umat manusia.

Disamping  itu,  Dawam  Rahardjo tidak  terlalu  mempersoalkan aspek-aspek  normatif tentang  hubungan Islam  dengan demokrasi.  Baginya, demokrasi  sebagai  suatu  konsep  terbuka  yang  universal  sifatnya,  dan karenanya  tidak  perlu  dikaitkan  dengan  klaim-klaim  ideologis.  Dia  lebih tertarik  untuk menyoroti pelaksanaan dan praktek  demokrasi, khsusunya di Indonesia. Menurutnya, demokrasi sejati bukan hanya meliputi bidang politik,tetapi juga mencakup kehidupan bidang ekonomi. Tetapi demokrasi dibidang ekonomi  sulit  atau  tidak  mungkin  dicapai  tanpa  adanya  syarat  demokrasi politik,  sebaliknya  adanya  demokrasi  di  bidang  ekonomi  akan  sangat membantu terselenggaranya demokrasi politik.

Berbeda  dengan  pendapat  para  pemikir  di  atas,  Irfan  S.  Awwas, Ja’far Umar Thalib, dan Habib  Rizieq menolak demokrasi. Karena demokrasi menurut mereka sistem terburuk dari yang terburuk dan istilah demokrasi itu sendiri tidak ada dalam Islam. Dalam demokarsi kebenaran dan kekuasan ada di tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kebenaran dan kekusaan tertinggi ada  di tangan  Tuhan.[10]  Di  samping  itu,  kata  mereka,  secara  historis  kemunculan  demokrasi  dan  Islam  berbeda.  Demokrasi  lahir  dari  zaman Aristoteles, sedangkan Islam lahir sejak nabi Adam  AS.  Dengan  demikian, demokrasi adalah sistem yang bertolak belakang dengan Islam. Dari penjelasan di atas, dapat  disimpulkan bahwa hubungan Islam dan  demokrasi  dapat  dibahas  dalam  dua  pendekatan,  yaitu:  pendekatan normatif  dan  pendekatan  empiris.  Pada  dataran  normatif,  mereka mempersoalkan tentang nilai-nilai demokrasi dari sudut pandang ajaran Islam.

Sedangkan  pada  dataran  empiris,  mereka  menganalisis  implementasi demokrasi dalam praktek politik dan ketatanegaraan. Di samping itu, beberapa pandangan  tokoh  di  atas,  menunjukkan  bahwa  para  intelektual  muslim Indonesia yang berwawasan luas, secara umum menerima sistem demokrasi, walaupun  secara  definitif  mereka  berbeda.  Ada  yang  menerima  bersyarat seperti  Mohammad Natsir  dan Amin  Rais, dan  ada  yang menerima  secara penuh seperti Nurcholish madjid, Munawir Sjadzali, dan Dawam Rahardjo, dan  ada  yang menolak  secara keras  seperti Umar  Ja’far  Thalib  dan  kawan-kawan.  Mereka  ini  berasal  dari  kelompaok  Islam  garis  keras,  maka  wajar kalaumereka menolak demokrasi. Karena pandangan mereka terhadap teks suci berbeda dengan para ilmuwan yang lebih berwawasan akademik. Dari semua respon di atas, juga terlihat masih adanya sebagian dari mereka, kecuali Nurcholish madjid, Munawir Sjadzali, dan Dawam Rahardjo, yang masih memperdebatkan antara kekuasan absolut  Tuhan dan kerelatifan manusia.  Tetapi,  secara  teologi  Syura  disepakati  sebagai  konsep  yang mempunyai makna dan nilai-nilai demokrasi.

2.         “Syura” sebagai konsep demokrasi

Sebagaimana  dijelaskan  diatas,  para  intelektual  muslim  Indonesia telah sepakat menerima syura semakna dan mempunyai nilai-nilai demokrasi. Konsep  syura  merupakan  perintah Tuhan  yang  langsung  diberik  kepada Nabi  SAW  sebagai  teladan  untuk  umat.  Syura  suatu  proses  pengambilan keputusan dalam masyarakat  yang menyangkut kepentingan bersama. Syura juga merupakan  gambaran tentang bagaimana kaum beriman menyelesaikan persoalan dan urusan sosial mereka. Syura (musyawarah) dalam al-Qur’an  di jelaskan dalam dua surat, yang pertama dalam surat makkiyah, yaitu: surat asy-Syura (43) ayat 37, dan yang kedua adalah dalam surat madaniyyah, yaitu surat Ali-Imran (3) ayat 159.

Dalam surat asy-Syura (42), ayat 38 disebutkan: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara  mereka;  dan mereka menafkahkan sebagian  dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. Kemudian dalam ayat yang lain: Ali Imran (3): 159 disebutkan: “Maka  disebabkan  karena  rahmat  Allahlah  kamu  berlaku  lemah  lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.  Karena itu  maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (peperangan) itu”.

Dari kedua ayat di atas, maka syura, menurut Muhammad Syahrur[11] mengandung dua pengertian,  yaitu: pertama,  syura sebagai prinsip  muthlak (absolut)  sebagaimana iman  kepada Allah,  shalat,  dan  zakat;  kedua, syura sebagai  praktik  sehari-hari  yang  mengikuti  alur  sejarah  yang  dihuni  oleh masyarakat  apa  pun,  atau  dengan  kata  lain  syura  yang  terstruktur  secara historis. 

Pada  pengertian  pertama  menjelaskan  syura  merupakan  bagian fundamental  iman  untuk  menjawab  seruan  Tuhan,  di  samping  shalat  dan zakat.  Artinya,  Islam  datang  untuk  memahamkan  manusia  bahwa  gerakan revolusi  apapun  yang  berjuang  dengan  tujuan  kebebasan  berakidah  dan berpendapat,  maka sebenarnya  merupakan  perjuangan  yang  bertujuan pada syura.  Sebaliknya,  orang-orang  yang  mencegah  syura,  tidak  percaya kepadanya, sama halnya dengan orang yang mencegah shalat dan zakat. Hal ini  untuk  mengokohkan  syura  dari  sudut  pandang  akidah  saja,  sebelum praktik-praktik lainnya. Oleh karena itu, orang Islam tidak boleh mengganti syura  dalam  aspek  prinsip-prinsipnya,  karena  syura  termasuk  dasar-dasar akidah dan ibadah.

Sedangkan  dalam  pengertian  yang  kedua,  syura  sebagai  praktik historis, yang meliputi aspek politik dan sosial ekonomi umat. Artinya Allah memerintahkan  Nabi  Muhammad  untuk  bermusyawarah  dengan  manusia dalam masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan wahyu. Jadi objek ayat kedua tersebut di  arahkan kepada  Muhammad sebagai  Nabi, bukan  sebagai Rasul yang berhubungan langsung dengan manusia yang semasa dengannya. Di  sini  Nabi  Muhammad  mempraktikkan  masalah  ini  dalam  struktur masyarakat dimana ia hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosio-kultural dan historis.

Menurut Nurcholish Madjid, Syura (musyawarah) mempunyai akar yang  jauh  dalam  pandangan  kemanusian  dan  dijalankan  dengan  adanya asumsi kebebasan pada  masing-masing perorangan  manusia. Dalam  hal ini, lanjutnya,  perlu  mempertimbangkan  pengalaman  positif  Barat  tentang demokrasi prosedural  dalam rangka memberikan kebebasan-kebebasan asasi perorangan.[12] Di samping itu, musyawarah juga menempatkan manusia pada posisi  yang  setaraf  untuk  memecahkan  masalah-masalah  bersama  dalam kehidupan  keluarga,  bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara. 

Dengan demikian, pada prinsipnya musyawarah adalah sisi sosial dari doktrin tauhid. Artinya  seluruh  tingkah  laku  perorangan  dalam  rangka  tanggung  jawab sosialnya dilakukan dengan  kesadaran transedental  dan  atas  dasar  tumpuan bimbingan  Ilahi  yang  telah  menciptalkan  keharmonisan  dalam  kehidupan sehari-hari.[13] Secara  historis,  Nabi  sendiri  pernah  melakukan  musyawarah. Misalnya ketika  perang Uhud, dimana ada dua kemungkinan yang dihadapi oleh pasukan muslim pada waktu itu, yaitu bertahan dalam kota Madinah atau berperang  diluar  kota.  Kemudian  Nabi  bermusyawarah  dengan  kaum muslimin untuk menentukan pilihan. Nabi berpendapat untuk bertahan dalam kota, sedangkan mayoritas umat Islam memilih untuk berperang diluar kota. Yang  manarik  dalam  peristiwa  ini  adalah  Nabi  mengalah  demi  suara mayoritas, walaupun pada akhirnya peperangan dimenangkan oleh musuh.

Dengan  demikian,  dalam  musyawarah,  proses  lebih  penting  dari hasil.[14]  Hal ini juga  berarti bahwa suara  minoritas betapapun kuatnya  atas klaim  kebenaran  harus  tunduk  pada  suara  mayoritas.  Dengan  demikian, Musyawarah  adalah  suatu  tanda  bahwa  Islam  adalah  “rahmat  untuk  alam semesta”.  Tetapi,  yang  menjadi  persoalan  bagi  umat  Islam  adalah  apakah musyawarah itu boleh melanggar hak Tuhan dan Rasulnya, atau sebaliknya? Karena kebenaran itu muthlak  hak Tuhan atau bagaimana?

3.         Antara Kekuasaan Tuhan dengan “kekuasaan” manusia

Adanya  “kekuasan  manusia”  bukan  berarti  menafikan  kekuasaan Tuhan,karena secara teologis manusia dituntut untuk mengatur kehidupannyasendiri di dunia ini. Dalam teologi Islam persoalan ini sudah menjadi persolan klasik  yang  diperdebatkan  oleh  para  mutakallimin.  Sebagian  dari  mereka mengatakan  bahwa  kehidupan  manusia  di  dunia  diatur  dan  dikontrol sepenuhnya oleh Tuhan (Jabariyyah). Artinya manusia hanya sebagai “robot” yang  semua  gerak  geriknya  sudah  diprogramkan  dalam  “komputer”  Tuhan.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia  tidak  ada  sangkut  pautnya  dengan  Tuhan  ((Qadariyyah).  Artinya Tuhan  hanya  sebagai  pencipta,  sedangkan  untuk  mengatur  kehidupannya manusia diberi kebebasan oleh Tuhan. Dalam  konteks demokrasi   (syura), umat  Islam secara umum  dan umat  Islam  Indonesia  khususnya,    masih  memperdebatkan  dan mempermasalahkan  tentang kedaulatan muthlak Tuhan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan  oleh  Muhammad Natsir.  Tetapi  rakyat  juga  mempunyai kedaulatan. Dalam negara Islam rakyat mempunyai dua hak, yaitu hak untuk menyusun undang-undang dan hak untuk  memilih kepala negara. Pemikiran ini didasarkan pada ayat al-Qur’an:  “Dan bermusyawarahlah dengan mereka (rakyat)  dalam  persoalan-persoalan  negara”  (QS.  Ali  “Imran:  159);  dan konsep ulul-amr minkum (QS: An-Nisa’, 59).

Dengan  demikian,  menerapkan  kedaulatan  rakyat  bukan  bearti mengingkari  kedaulatn  Tuhan. Meskipun  agama  berasal  dari  Tuhan,  tetapi pada  pelaksanaannya  tetap  melibatkan  peranan  manusia.  Maka  disinilah perlunya  penafsiran  secara  terus  menerus  terhadap  “teks-teks  agama”  guna untuk  melestarikan  alam  ciptaan  Tuhan.  Yang  diperlukan  sekarang  bukan mempersoalkan  kedaulatan  rakyat  dengan  kedaulatan  Tuhan,  tetapi  usahauntuk melakukan kebaikan sesama manusia ciptaan Tuhan di dunia ini yang sangat  diperlukan.  Maka  penafsiran  terhadap  ayat-ayat  Tuhan,  baik  yang tertulis  maupun yang tidak  tertulis, yang  selalu  diperlukan dan  dibutuhkan sesuai dengan konteks dimana manusia itu hidup. Bagi  bangsa  Indonesia,  Syura  (musyawarah)  tidak  hanya  sebatas ajaran  agama,  tetapi  juga  sudah  menjadi  suatu  kebudayan  dan  tradisi masyarakat  Indonesia  dalam  memutuskan  urusan-urusan  bersama.

Secara teologis-sosiologis,  masyarakat  Indonesia  tidak  mempersoalkan  dari  mana konsep  tersebut  datang  dan  tidak  mempersoalkan  antara  kedaultan  Tuhan dengan  kedaulatan  rakyat.  Dengan  demikian,  maka  muncullah  ungkapan “Demokrasi Indonesia” atau, “Demokrasi Pancasila”. Di samping itu, dalam pandangan  penulis, memperdebatkan  antara kekuasan Tuhan dan kekuasan manusia tidak relevan lagi, karena Tuhan tidak secara langsung mengatur perlakuan hamba-Nya di dunia ini. Kalau Tuhan mengatur manusia secara  langsung, ini sudah  tentu tidak lagi ada  kejahatan dan kemungkaran di dunia ini, karena siapa  yang bersalah langsung diambil tindakan oleh Tuhan.

Hal ini, adalah sesuatu  yang mustahil, karena Tuhan telah  menjadikan  manusia  sebagai  khalifah  di  dunia  ini. Dengan  demikian,  manusia  bisa  mengatur  dirinya  sendiri  sesuai  dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam teks sucinya. Sekarang yang menjadi masalah adalah cara manusia memahami teks suci tersebut. Oleh karena itu, pengaruh sosio-historis dan kultural sudah tentu mendomiasi dan mempengaruhi pemahaman terhadap teks suci tersebut.

4.    Demokrasi Pancasila

Demokrasi  bukanlah  suatu  sistem  sosial  politik  yang  tunggal. Hampir  semua  negara  yang  mempraktikkannya  mempunyai  pandangan, pengertian dan cara-cara pelaksanaannya sendiri yang khas. Selain kekhususan budaya negara yang bersangkutan, melainkan juga tingkat perkembangan dan kemajuan negara itu dibidang-bidang lain, seperti ekonomi dan pendidikan. Dengan  demikian,  sistem  demokrasi  yang  dipraktikkan  di  Indonesia  akan berbeda dengan sistem demokrasi yang dipraktekkan di Eropa dan di Amerika, karena Indonesia mempunyai kekhususannya tersendiri, baik dari segi budaya maupun ditingkat kemajuan dan perkembangan negara.

Secara historis, sejak  kemerdekaannya pada  tahun 1945,  Indonesia telah menjalankan tiga bentuk demokrasi, yaitu demokrasi parlementer (1950-1959),  demokrasi  terpimpin  (1959-1965),  dan  demokrasi  pancasila  (1965- sekarang). Demokrasi parlementer dimanifestasikan dalam bentuk demokrasi liberal,  demokrasi  terpimpin  dimanifestasikan  dalam  bentuk  sosial. 

Sedangkan istilah demokrasi pancasila secara resmi muncul pada tahun  1968 melalui  ketetapan MPRS  No.  XXXVII/MPRS/1968.  Demokrasi  pancasila yang dicanangkan oleh Orde Baru ini, secara teoritis, setidak-tidaknya adalah demokrasi  yang  dibimbing  oleh  nilai-nilai  pancasila  dan  UUD  45,  yaitu mekanisme pembuatan keputusan melalui metode musyawarah dan mufakat.

Demokrasi pancasila adalah demokrasi yang penuh  dengan nuansa kekeluargaan,  namum  dalam  praktiknya  demokrasi  pancasila  belum memberikan kebebasan  berpendapat bagi  segenap  warga  negara dan  belum bebas  dari  tekanan  dan  ancaman.  Dengan  demikian,  demokrasi  pancasila diperlukan  keteladanan  dalam  praktek,  bukan  hanya  sekedar  teori-teori demokrasi belaka.

Bagi umat Islam Indonesia, penggunaan istilah demokrasi pancasila tidak  menjadi  persoalan,  asal  tidak  menyalahi  konsep  demokrasi  secara universal dan tidak menyalahi pula sila-sila yang ada dalam pancasila. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Saifuddin Zuhri dan Amin Rais. Bagi mereka, demokrasi pancasila adalah sebagai suatu bentuk demokrasi yang mempunyai standar moral yang tinggi, karena demokrasi ini mempertahankan sila ketuhan Yang Maha Esa. Artinya demokrasi yang menghargai hukum Tuhan dan tidak akan melanggarnya. Sedangkan Nurcholish Madjid, melihat pada sila yang keempat,  yaitu  “kebijaksaan  dalam  permusyawaratan”.  Inilah  karakteristik demokrasi Indonesia dan sesuai dengan konsep syura dalam Islam.

Secara teoritis,  konsep demokrasi  pancasila pada  masa  Orde Baru tidak  menjadi  persolan,  tetapi  dalam pengaplikasiannya  mendapat  berbagai tantangan,  karena    demokrasi  pencasila  tidak  berfungsi  sebagai  pelindung birokrasi, melainkan sebagai,   dengan memakai  istilah komaruddin hidayat, “majikan”  dan  kekuatan  kritik  terhadap  birokrasi.  Dengan  bergulirnya reformasi,  maka  peta  perpolitikan  di  Indoneisa  juga  berubah,  bahkan Indonesia  sekarang  adalah  negara  demokrasi  yang  ketiga  didunia  setelah Amerika  Serikat  dan  India.  Dengan  demikian,  pengaplikasian  nilai-nilai demokrasi pancasila akan semakin didambakan.                                    

5.    Munculnya “Presiden Wanita”

Salah satu ciri  dari demokrasi adalah memberi hak kepada seluruh warga  negara yang sudah dewasa untuk menjadi pemimpin (presiden), baik laki-lakimaupun  perempuan.  Indonesia  sebagai  salah  satu  negara  yang menujuproses  demokratisasi  dalam  bidang  politik,  atau  dikenal  dengan demokrasi  pancasila  sudah  tentu  memberi  kesempatan  kepada  seluruh warganya untuk menjadi pemimpin (presiden), walaupun isu tentang presiden wanita  sudah  mencuat menjelang  SU  MPR  1999  yang  lalu, dan  dikaitkan dengan  pemahaman  ajaran  agama  Islam,  karena  umat  Islam  merupakan mayoritas. Sasarannya adalah Megawati Soekarno Putri, ketua umum PDI-P. Akhirnya,  dengan  diberhentikan  Gusdur  oleh  MPR,  kemudian  Megawati menduduki jabatan presiden Indonesia pada saat itu. Kemudian masalah ini, sempat mengundang  berbagai tanggapan dari kalangan ulama, ada  yang pro dan ada yang kontra.

Bagi umat Islam, secara umum, dilihat  dari kaca mata teologis, ini merupakan  suatu  masalah  yang  sangat  besar  dan  menyimpang  dari  ajaran agama.  Karena  dalam  teks-teks  agama  disebutkan  bahwa  “kaum  laki-laki adalah  pemimpin  bagi  kaum  wanita”.  Tetapi  ada  juga  para  ulama  dan intelektual  muslim  kontemporer  yang  membolehkan  wanita  menjadi pemimpin, seperti Yusuf  Qardhawi dan  Asghar Ali Engineer. Bagi mereka, Dalam  memahami  kesetaran  gender  dalam  ajaran  Islam  tidak  hanya didasarkan  atas  perspektif  teologis-tekstual  semata,  tetapi  juga  melalui perspektif sosio-teologis-kontekstual.

Dan  secara historis,  Umar Bin  Khatab pernah mengangkat Asy-Syifa’ binti Abdullah al-Adawiyah sebagai pemimpin  pasar  yang  mengawasi  masalah-masalah  perdagangan  dan  seluk-beluk pengiriman barang. Bagi  umat  Islam  Indonesia,  Kepemimpinan  wanita  tidak  menjadi masalah,  sebagaimana  yang dikemukakan Gusdur.  Menurutnya  Mega Patut menjadi  presiden.  Bagi  NU dan  PKB  menekankan  dukungannya  terhadap pencalonan Megawati sebagai presiden. Tidak ada  masalah dari segi hukum Islam mencalonkan wanita sebagai presiden.[15] Pemikiran ini nampak sejalan dengan  pemikiran  Yusuf  Qardhawi  dan  Asghar  Ali  Engineer. 

Ini menunjukkan  bahwa  demokrasi dalam masyarakat  muslim Indonesia sudah berjalan dengan baik. Oleh  karena  itu,  proses  demokrasi  di  Indoensia  semakin  dewasa, karena isu gender dan pemberdayaan wanita sudah menjadi prioritas di badan legislatif dan eksekutif. Secara sosiologis, demokrasi merupakan transformasi sosial  yang  merefleksikan  adanya  perubahan  sosial,  baik  pada  dimensi individual,  kultural  dan  struktural.  Oleh  karena  itu,  meminggirkan  atau memisahkan  isu  pemberdayaan  perempuan  dalam  wacana  dan  proses demokratisasi adalah suatu hal yang musykil,  karena perempuan  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penguatan masyarakat.


 

BAB III

PENUTUPAN

A.    Kesimpulan

Istilah Demokrasi pertama sekali diperkenalkan oleh Herodotus sekitar 3000  tahun  yang  lalu  di  Mesir  Kuno,  kemudian  dikembangkan  oleh  para pemikir  Yunani  Kuno  pada  masa  klasik. Secara  etimologi,  kata  demokrasi berasal  dari  kata Demos  (rakyat)  dan Kratos  (kekuasaan/pemerintahan),  dari bahasa Yunani. Dalam sejarah, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5 SM, yang merupakan respon terhadap pengalaman buruk sistem monarkhi dan kediktatoran di negara-negara kota Athena (Yunani Kuno).

Model – Model Demokrasi

1.      Agama versus Demokrasi

2.      Sekularisasi Politik

3.      Teo-Demokrasi

4.      Tanggapan Umat Islam Tentang  Indonesia Terhadap Demokrasi

Untuk melihat bagaimana respon umat Islam Indonesia tentang konsep demokrasi dan proses demokratisasi, akan dijelaskan dalam poin-poin berikut ini. 

1.      Tanggapan terhadap Konsep Demokrasi

Demokrasi bagi bangsaIndonesia  telah  tumbuh sejak awal kebangkitan nasional  pada  awal abad  ini,  dimana  para  pemimpin  dan  intelektual  muslim  Indonesia  telah merespon demokrasi  sebagai sistem yang harus dijalankan dalam kehidupan sosial  dan politik

2.      “Syura” sebagai konsep demokrasi

Sebagaimana  dijelaskan  diatas,  para  intelektual  muslim  Indonesia telah sepakat menerima syura semakna dan mempunyai nilai-nilai demokrasi. Konsep  syura  merupakan  perintah Tuhan  yang  langsung  diberik  kepada Nabi  SAW  sebagai  teladan  untuk  umat. 

3.      Antara Kekuasaan Tuhan dengan “kekuasaan” manusia

Adanya  “kekuasan  manusia”  bukan  berarti  menafikan  kekuasaan Tuhan,karena secara teologis manusia dituntut untuk mengatur kehidupannyasendiri di dunia ini. Dalam teologi Islam persoalan ini sudah menjadi persolan klasik  yang  diperdebatkan  oleh  para  mutakallimin.  Sebagian  dari  mereka mengatakan  bahwa  kehidupan  manusia  di  dunia  diatur  dan  dikontrol sepenuhnya oleh Tuhan (Jabariyyah).

 

 

 

B.     Saran

 

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah tentang Pengertian Pendidikan Politik Islam dan Ruang Lingkupnya masih ada kekurangan sehingga penyusunan berharap saran dan kritik dari pembaca sekalian agar penyusun dapat meningkatkan dan memperbaiki penyajian makalah yang lebih baik dari sebelumnya.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Abd. Al-Qadim Zallum. 2001.  Demokrasi Sistem Kufur.  Jakarta: bursa ilmu indonesia

John I,  Esposito dan John O. Voll. 1999. Demorasi di negara-negara muslum: problem dan prospek, alih bahasa: Rahmani Astuti. Bandung: Mizan

Muhammad Wahyuni Nafis dkk. 1995.  Islam dan demokrasi Empirik: kontekstualisasi ajaran islam. Jakarta:paramadina

Masykuri Abdillah. 1999. Demokrasi  di  Persimpangan Makna.   Yogyakarta:  Tiara Wacana Yogya

Robert  A.  Dahl, 1982.  Dilemma  of  Pluralist  Democracy, New  Haven  dan  London:  Yale University Press

Komaruddin Hidayat, 1998. Tragedi Raja  midas: Moralitas Agama dan  Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina  

Magnis  Suseno,  dkk. 1992.  Agama  dan Demokrasi. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat

Munawir  Sjadzali. 1990.  Islam  dan  Tata  Nebgara:  Ajaran,  Sejarah  dan Pemikiran, Jakarta:UI Press

M.  Syafi’I  Anwar1995.  Pemikiran  dan  Aksi  Islam  Indonesia. Jakarta: Paramadina

Khamami  Zada. 2002. Islam  Radikal:  Pergualatan Ormas-ormas  Islam  Garis  Keras  di Indonesai. Jakarta: Teraju

Muhammad   Syahrur. 2003. Tirani  Islam: Genealogi  Masyarakat dan Negara, alih  bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata. Yogyakarta: LKiS

Nurcholish  Madjid. 2000. Masyarakat  Religius:  Membumikan  Nilai-nilai  Islam  dalam Kehiudpan Masyarakat. Jakarta: Paramadina

Artani Hasbi. 2001. Musyawarah dan Demokrasi : Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama

Kuntowijoyo. 1997.  Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan Ruwaida Noor. 2000. Agenda Demokrasi Oleh dan Untuk Perempuan,  jurnal demokrasi dan Ham, vol. 1, No. 1 Mei-Agustus



[1] Abd. Al-Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, ( jakarta: bursa ilmu indonesia, 2001), h.10

[2] John I, Esposito dan John O. Voll, Demorasi di negara-negara muslum: problem dan prospek, alih bahasa: Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1999) h. 27

[3] Muhammad Wahyuni Nafis dkk, islam dan demokrasi Empirik: kontekstualisasi ajaran islam, (Jakarta:paramadina, 1995), h. 347

[4] Masykuri Abdillah,  Demokrasi  di  Persimpangan Makna,  (Yogyakarta:  Tiara Wacana Yogya,  1999), h. 71

 

[5] Robert  A.  Dahl,  Dilemma  of  Pluralist  Democracy,(New  Haven  dan  London:  Yale

University Press, 1982), h. 11

 

[6] Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja  midas: Moralitas Agama dan  Krisis Modernisme,

(Jakarta: Paramadina, 1998), h. 9-18               

 

 

[7] Magnis  Suseno,  dkk.,  Agama  dan Demokrasi, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992), h. 40 

[8] Munawir  Sjadzali,  Islam  dan  Tata  Nebgara:  Ajaran,  Sejarah  dan  Pemikiran,

(Jakarta:UI Press, 1990), h. 172 

[9] M.  Syafi’I  Anwar,  Pemikiran  dan  Aksi  Islam  Indonesia,  (Jakarta:

Paramadina, 1995), h. 226

[10] Khamami  Zada,  Islam  Radikal:  Pergualatan Ormas-ormas  Islam  Garis  Keras  di

Indonesai, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 132-136

[11] Muhammad   Syahrur, Tirani  Islam: Genealogi  Masyarakat dan Negara, alih  bahasa:

Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 158-159

[12] Nurcholish  Madjid,  Masyarakat  Religius:  Membumikan  Nilai-nilai  Islam  dalam Kehiudpan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 21

[13] Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi : Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), h. 1

[14] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 96

 

[15] Ruwaida Noor, Agenda Demokrasi Oleh dan Untuk Perempuan, ( jurnal demokrasi dan Ham, vol. 1, No. 1 Mei-Agustus, 2000), h. 119


Tidak ada komentar:

Posting Komentar