BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika istilah “demokrasi”
dipakai sebagai salah
satu sistem politik dalam
mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka
terjadilah perdebatan yang hangat dikalangan umat Islam. Istilah ini telah diterima oleh hampir
semua pemerintahan di dunia,
bahkan pemerintah otoriter
pun menggunakan istilah “demokrasi” untuk memberi ciri kepada rezim dan
aspirasi mereka. Konsekuensinya adalah menjamurnya
penggunaan kata “demokrasi”, seperti “demokrasi
liberal”, demokrasi terpimpin”,
“demokrasi kerakyatan”,
“demokrasi sosialis”, dan lain-lain dalam mengatur tatanan bernegara.
Dalam dunia Islam, banyak dari para ilmuwan dan intelektual muslim
telah berusaha mendefinisikan tentang
“demokrasi dalam Islam”
dan melihat adanya kesesuaian
antara Islam dan demokrasi di satu sisi. Dan ada pula yang menolak konsep
demokrasi, dan bahkan
mengatakan bahwa demokrasi
itu adalah sistem kufur (kafir).[1] sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Islam di sisi yang lain. Dengan demikian, terdapat dua
pendapat di kalangan umat Islam tentang konsep demokrasi tersebut. Yang pertama adalah
menolak, dan yang kedua menerima.
Bagi para
intelektual dan ulama
muslim yang menolak
demokrasi, bahkan mengharamkan penggunaan
istilah konsep demokrasi,
mengatakan bahwa karena konsep
demokrasi berarti menegasikan
kedaulatan Allah atasmanusia dan istilah ini tidak berasal
dari kosa kata Islam, dan karenanya harus ditinggalkan. Tokoh
yang menolak demokrasi
tersebut, diantaranya adalah seperti Hafiz
Salih dan Abd.
Al-Qadim Zallum. Sedangkan
para intelektual muslim yang
menerima konsep demokrasi,
berpandangan bahwa demokrasi dengan modifikasi
tertentu sesuai dengan
ajaran Islam.
Karena demokrasi berlandaskan keadilan
sosial dan persamaan derajat.[2] Mereka itu diantaranya adalah seperti Al-Maududi, Fazlur
Rahman dan lain-lain.Dalam konteks Indonesia,
sebagai negara yang memiliki umat Islam terbanyak di dunia, demokrasi belum diwujudkan
secara maksimal, dan
masihmemerlukan suatu
upaya yang lebih serius menuju bentuk yang ideal. Sebagai negara yang
berdaulat, Indonesia mempunyai
konsep tersendiri tentang demokrasi, yaitu
“demokrasi Pancasila”. Hal
ini bisa dilihat pada
masa Orde Baru, dan pada masa
Reformasi sekarang ini, nampaknya umat Islam Indonesia sudah lebih
demokrastis di bandingkan dengan
pada masa Orde
Baru. Oleh karena itu,
dalam makalah ini
penulis ingin memaparkan
bagaimana respon umat Islam
Indonesia terhadap konsep
demokrasi dan proses
demokratisasi. Untuk melihat respon dan
proses tersebut, maka
berikut ini akan dijelaskan tentang apa itu demokrasi.
- Apa
yang dimaksud dengan demokrasi?
- Bagaimana model – model demokrasi?
3. Bagaimana
tanggapan umat islam tentang indonesia terhadap demokrasi?
- Mengetahui
definisi demokrasi;
- Mengetahui
definisi model
– model demokrasi;
3.
Bagaimana tanggapan umat islam
tentang demokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Temtang Demokrasi
Istilah Demokrasi
pertama sekali diperkenalkan oleh Herodotus sekitar 3000 tahun
yang lalu di
Mesir Kuno, kemudian
dikembangkan oleh para pemikir
Yunani Kuno pada
masa klasik.[3] Secara
etimologi, kata demokrasi berasal dari
kata Demos (rakyat) dan Kratos
(kekuasaan/pemerintahan), dari
bahasa Yunani. Dalam sejarah, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5
SM, yang merupakan respon terhadap pengalaman buruk sistem monarkhi dan
kediktatoran di negara-negara kota Athena (Yunani Kuno). Ketika itu demokrasi
dipraktikkan sebagai sistem dimana seluruh warga negara membentuk lembaga
legislatif.
Hal ini dimungkinkan
oleh kenyataan jumlah penduduk negara-negara kota kurang lebih sepuluh ribu jiwa dan bahwa wanita,
anak kecil serta para budak tidak
mempunyai hak politik. Tidak ada pemisahan kekuasaan ketika itu dan semua
pejabat bertanggung jawab sepenuhnya
pada Majelis Rakyat yang Dalam perkembang selanjutnya, ide-ide
demokrasi-tentunya dalam istilah modern-berkembang dengan
ide-ide dan lembaga
dalam tradisi pencerahan yang
dimulai pada abad ke-16.
pertama sekali dirintis
oleh Niccolo Machiavelli
(1469-1527) dengan ide-ide
sekulerisme, kemudian ide
Negara Kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi
negara liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan lembaga
federal oleh John Locke(1632-1704), yang disempurnakan oleh Baron de
Montesquieu (1689-1755), yang
idenya mengenai pemisahan
kekuasaan menjadi lembagalegislatif, eksekutif dan yudikatif.[4] serta ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak
sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (17-1778), tetapi ide-ide
ini ada persamaan dengan ide-ide sekulerisme dan hak-hak asasi. Ide-ide
tersebut merupakan respon terhadap monarki absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa,
yang menggantikan kekuasaan gereja yang teokrasi. Ide-
ide demokrasi saat
ini muncul sejak revolusi Amerika pada tahun 1776
dan revolusi Perancis tahun
1789. Sekarang, “term” demokarasi
hampir diterima oleh
seluruh pemerintahan yang ada di dunia ini, bahkan pemerintah otoriter
pun menerima istilah “demokrasi” untuk
mengkarakterisasikan rezim dan
aspirasi mereka.
Demokrasi memang
merupakan slogan wacana politik kontemporer. Akibatnya adalah meluasnya
pengertian demokrasi itu sendiri, seperti Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Kerakyatan, Demokrasi Sosialis, dan lain-lain. Oleh
karena itu, istilah
demokrasi mempunyai berbagai
pengertian, di antaranya yaitu:
Pertama, definisi yang
diberikan oleh Joseph
A. Schumpeter, menurutnya metode
demokrasi adalah suatu
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh
kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
Kedua, definisi yang diberikan
oleh Sidney Hook,
demokrasi adalah bentuk pemerintahan di
mana keputusan-keputusan pemerintah
yang penting – atau arah
kebijakan di balik keputusan ini – secara langsung maupun tidak langsung,
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
dewasa. Sedangkan yang ketiga adalah menurut Philippe C. Schmitter dan Terry
Lynn Karl, demokrasi
adalah sebagai suatu
sistem pemerintahan di
mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di
wilayah publik oleh warga
negara, yang bertindak
secara tidak langsung
melalui kompetisi dan kerja sama, dengan para wakil mereka yang telah
terpilih.
Dari ketiga definisi
tersebut terlihat bahwa
demokrasi mengandung unsur-unsur: kekuasaan mayoritas,
suara rakyat, pemilihan
yang bebas dan
bertanggung jawabMeskipun demikian, ada tujuh kriteria yang harus
dipenuhi oleh sebuah sistem demokrasi yaitu:.[5]
1.
Kontrol atas keputusan
pemerintah mengenai kebijakan
secara konstitusional diberikan pada para pejabat yang dipilih;
2.
Para pejabat dipilih melalui
pemilihan yang teliti
dan jujur dimana
paksaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum;
3.
Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk
memilih dalam pemilihan pejabat;
4.
Secara praktis semua orang
dewasa mempunyai hak
untuk mencalonkan diri
pada jabatan-jabatan di pemerintahan, walaupun batasan umur untuk
menduduki jabatan mungkin lebih ketimbang
hak pilihnya;
5.
Rakyat mempunyai hak
untuk menyuarakan pendapat tanpa
ancaman hukuman yang
berat mengenai berbagai
persoalan politik yang didefinisikan
secara luas, termasuk
mengkritik para pejabat pemerintahan, rezim,
tatanan sosio-ekonomi dan
ideologi yang berlaku;
6.
Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif.
Lebih dari itu, sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh
hukum; dan
7.
Untuk meningkatkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak yang dinyatakan di atas, rakyat juga mempunyai hak membentuk lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang
relatif independen, termasuk
berbagai partai politik dan
kelompok kepentingan yang independen.
Berbeda dengan
definisi di atas,
Arief Budiman membedakan demokrasi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, demokrasi pinjaman; kedua, demokrasi terbatas; dan ketiga adalah
demokrasi yang asli.
Demokrasi model yang pertama terjadi
bila ada suasana
kebebasan. Semua warga
bebas
berpendapat,berorganisasi,
mengkritik dan sebagainya.
Ini terjadi, apabila
pemerintahan sudah kuat dan masyarakat sipilnya lemah. Dalam keadaan
begini, demokrasi terjadi namun sifatnya berupa pinjaman penguasa. Suatu saat
kalau kritiknya terlalu keras dan mengancam pemerintah, demokrasi itu
bisa ditarik kembali.
Model yang kedua demokrasi akan terjadi kalau ada pluralisme
di tingkat elit. Misalnya terjadi konflik di antara mereka. Kalau masyarakat
mengkritik pihak yang satu, pasti akan dibela
oleh pihak yang lain dan sebaliknya. Demokrasi jenis ini sifatnya
hanya sementara, kalau kelompok
yang satu sudah menang, atau kemudian
berkoalisi, ya kembali lagi tidak demokrasi. Sedangkan model yang ketiga adalah demokrasi terjadi
karena masyarakat bersatu dan menjadi kuat untuk kemudian dapat mengimbangi
kekuasaan. Dengan demikian, untuk memperjuangkan demokrasi kita tidak perlu meminta-minta kepada penguasa. Sehingga dapat kita katakan
kepada pemerintah seperti: “hai!
Kamu gak boleh sewenang-wenang, saya juga punya hak. Kalau gak, awas lho, bisa terguling kamu”. Maka
dalam hal ini,
perlu kita perkuat civil society.
Dengan kuatnya civil society maka
pemerintah atau penguasa tidak sewenang-wenang kepada masyarakat.
Model yang pertama dan yang kedua adalah
bentuk demokrasi yang semu,
karena tidak adanya keseimbangan antara
penguasa yang kuat dengan masyarakat
yang lemah. Dan
model inilah, dalam
pandangan penulis, yang terjadi
pada masa Orde Baru. Dimana
masyarakat dipasung oleh pemerintah dengan jargon-jargon yang palsu.
B. Model – Model Demokrasi
Ketika berbicara tentang
hubungan antara agama (dalam hal ini Islam) dengan demokrasi, menurut
Komaruddin Hidayat, ada tiga model
yang harus
diperhatikan, yaitu:
hubungan yang bersifat
negatif, netral, dan
positif. Hubungan
yang pertama di
istilahkan dengan “Agama
Versus demokrasi”;
hubungan
kedua diistilahkan dengan
“Sekularisasi Politik”; dan
yang ketiga
diistilahkan dengan “Teo-Demokrasi”.[6] Ketiga model tersebut,
dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Agama versus Demokrasi
Dalam model ini, agama dan demokrasi tidak dapat disatukan atau
dipertemukan, dan bahkan
berlawanan. Agama berciri
konserfatif dan membelunggu penalaran
dan kemerdekaan manusia
untuk membangun dunianya secara
otonom, tanpa dikekang
oleh tangan Tuhan
yang hadirmelalui kekuasaan
lembaga dan penguasa agama. Secara historis, hubungan negatif, bahkan
konfliktual, antara kehendak untuk membangun masyarakat demokrastis di satu
sisi dan otoritas agama di sisi yang
lain akan dijumpai dalam masyarakat,
baik dalam masyarakat
Kristen di Barat
maupun masyarakat Islam di Timur.
2.
Sekularisasi Politik
Pada model ini,
hubungan agama dan
demokrasi adalah bersifat netral, yaitu:urusan agama dan
urusan politik berjalan sendiri. Sekularisasi tersebut bisa terjadi pada level
formal kelembagaan, pada proses sosial, bisa juga pada level kesadaran
metafisis, dan bisa jadi pada ketiga
level tersebut terjadi sekaligus. Ciri pokok pada
kehidupan sekular adalah
penekanannya pada prinsip rasionalitas dan
efisiensi yang diberlakukan dalam
bidang kehidupan yang
faktual empiris, sehingga
agama semakin tersisih
menjadi urusan pribadi. Masyarakat yang mendukung sekularisasi politik
dan ekonomi tidak mesti dihakimi sebagai menolak dan anti agama, tetapi kurang
percaya pada lembaga agama untuk
menyelesaikan persoalan ekonomi
dan politik. Biarkanlah agama
dan politik menjalankan peran dan dialektikanya sendiri-sendiri.
3.
Teo-Demokrasi
Model ketiga ini berpandangan bahwa, baik secara teologis maupun sosiologis, sangat
mendukung proses demokrasi
politik, ekonomi maupun kebudayaan. Karena
semua agama dari
tradisi Ibrahim muncul
dan berkembang dengan misi untuk
melindungi dan menjunjung tinggi
harkat manusia. Oleh karena itu, meskipun agama tidak secara sistemis
mengajarkan praktek demokrasi namun
agama memberikan etos,
spirit dan muatan doktrinal yang mendorong bagi
terwujudnya kehidupan demokratis.
Meskipun agama berasal
dari Tuhan, tetapi
pada pelaksanaannya tetap melibatkan
peranan manusia. Maka disinilah perlunya penafsiran secara terus menerus
terhadap “teks-teks agama”
guna untuk melestarikan
alam ciptaan Tuhan. Dengan
demikian, untuk melihat
tangapan umat Islam Indonesia terhadap demokrasi, penulis
menggunakan ketiga kerangka teori
(model) tersebut dalam membahas tulisan ini.
C. Tanggapan Umat Islam Tentang
Indonesia Terhadap Demokrasi
Secara teoritis, demokrasi adalah sebagai konsep yang universal yang berlaku
dalam semua tempat
dan waktu, namun
dalam memahami dan menerapkannya tentu
mempunyai padangan yang berbeda-beda.
Hal ini juga dialami oleh umat
Islam, dan khususnya umat Islam Indonesia. Untuk melihat bagaimana respon umat
Islam Indonesia tentang konsep demokrasi dan proses demokratisasi, akan
dijelaskan dalam poin-poin berikut ini.
1. Tanggapan terhadap Konsep Demokrasi
Demokrasi bagi bangsaIndonesia
telah tumbuh sejak awal
kebangkitan nasional pada awal abad
ini, dimana para
pemimpin dan intelektual
muslim Indonesia telah merespon demokrasi sebagai sistem yang harus dijalankan dalam
kehidupan sosial dan politik. Pernyataan
ini pertama sekali dikemukakan oleh Serikat Islam(SI)
dalam konggres keduanya pada tahun 1917, yang isinya menuntut pemerintah
kolonial Belanda pada masa itu untuk menerapkan sistem yang demokratis di
Indonesia. Demikian pula
selama periode parlementer
dan demokrasi terpimpin, partai-partai
Islam dan para
intelektual muslim mendukung
terwujudnya demokrasi di Indonesia.
Pada tahun 1952-1958, Muhammad
Natsir sebagai ketua Masyumi mendukung demokrasi walaupun dia
mempunyai penafsiran berbeda tentang demokrasi.
Dalam pandangannya, Islam
adalah sistem demokrastis,
dalam pengertian bahwa Islam
menolak despotisme, absolutisme,
dan otoritarianisme. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan
otokrasi. Artinya semua urusan dalam pemerintahan Islam
diputuskan melalui Majelis Syura
(Dewan permusyawaratan). Keputusan-keputusan demokratis
diterapkan hanya pada masalah-masalah yang
tidak disebutkan secara
khusus dalam syari’ah. Dengan
demikian tidak ada
keputusan demokratis pada
masalah-masalah yang jelas disebutkan dalam al-Qur’an, seperti pada larangan
judi dan zina.
Dalam hal ini, meskipun Natsir mendukung demokrasi, tetapi dia tetap
mendukung kedaulatan Tuhan. Jalaluddin
Rahmat,[7] mendukung
demokrasi sebagai konsep
bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip, yaitu: pertama,
partisipasi politik; dan kedua
adalah hak asasi
manusia. Yang pertama
menyebabkan rakyat
berpatisipasi dalam keputusan-keputusan publik
melalui syura. Sedangkan yang kedua melindungi hak-hak asasi
manusia yang terdiri dari hak kebebasan
berbicara, hak mengontrol, dan hak persamaan dimuka hukum. Lebih lanjut
Rahmat menjelaskan bahwa
sistem politik Islam
tidak bisa dibandingkan dengan
sistem demokrasi dalam
dua pengertian: Pertama,
demokrasi adalah sistem
sekuler, yang kedaulatannya berada di tangan rakyat,sedangkan dalam Islam kedaulatan
berada di tangan (kekuasaan) Tuhan. Suara mayoritas tidak dapat atau
tidak mungkin mengubah syari’ah. Kedua, dalam praktiknya suara
rakyat dapat di manipulasi baik
melalui ancaman atau rayuan, sedangkan
Islam adalah sistem
yang unik, yang
mengembangkan prinsip-prinsip
syura dan hak-hak
asasi manusia. Dengan demikian,
kedua tokoh tersebut mendukung
demokrasi, tetapi mereka
pada dasarnya setuju tentang kedaulatan Tuhan sebagai
pengganti kedaulatan rakyat.
Berbeda dengan
kedua tokoh diatas,
Munawir Sjadzali,[8] menegaskan
bahwa tidak dapat dingkari bahwa pada
hakikatnya kedaulatan tertinggi berada
pada Tuhan, tetapi
konsep kedaulatan rakyat
tidak pernah diartikan untuk menolak kedaulatan Tuhan. Bahkan secara
historis, lanjutnya, kedaulatan rakyat diperkenalkan untuk menentang kedaulatan
monarki, yang ketika itu mempunyai kekuasaan absolut. Sementara itu, Nurchalish
Madjid secara tegas mendukung sistem demokrasi Barat.
Baginya, pilihan umat
Islam kepada ideologi demokrasi
adalah suatu keharusan. Karena bukan hanya suatu pertimbangan yang prinsipil, yaitu karena nilai-nilai demokrasi itu menurut kita dibenarkan dan
didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai
aturan politik yang
terbuka. Aturan tersebut
diperlukan supaya dalam sistem politik kita terwujud suatu mekanisme untuk sewaktu-waktu
mengadakan koreksi atas
kesalahan pelaksanaan pemerintahan
dan penggunaan kekuasaan ditinjau dari sudut kepentingan rakyat dan
ketentuan-ketentuan konstitusional.
Amin Rais menerima
demokrasi berdasarkan tiga
alasan,[9] yaitu: Pertama, Karena al-Qur’an memerintahkan umat
Islam untuk melaksanakan musyawarah dalam
menyelesaikan masalah-maslah mereka;
kedua, secarahistoris Nabi
menerapkan musyawarah ini
dengan umat Islam
dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka; dan ketiga, secara rasional,
dimana umat Islam diperintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah
mereka, ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi
adalah bentuk tertinggi mengenai sistem politik dalam
sejarah umat manusia.
Disamping itu,
Dawam Rahardjo tidak terlalu
mempersoalkan aspek-aspek
normatif tentang hubungan
Islam dengan demokrasi. Baginya, demokrasi sebagai
suatu konsep terbuka
yang universal sifatnya,
dan karenanya tidak perlu
dikaitkan dengan klaim-klaim
ideologis. Dia lebih tertarik untuk menyoroti pelaksanaan dan praktek demokrasi, khsusunya di Indonesia.
Menurutnya, demokrasi sejati bukan hanya meliputi bidang politik,tetapi juga
mencakup kehidupan bidang ekonomi. Tetapi demokrasi dibidang ekonomi sulit
atau tidak mungkin
dicapai tanpa adanya
syarat demokrasi politik, sebaliknya
adanya demokrasi di
bidang ekonomi akan
sangat membantu terselenggaranya demokrasi politik.
Berbeda dengan
pendapat para pemikir
di atas, Irfan
S. Awwas, Ja’far Umar Thalib, dan
Habib Rizieq menolak demokrasi. Karena
demokrasi menurut mereka sistem terburuk dari yang terburuk dan istilah demokrasi
itu sendiri tidak ada dalam Islam. Dalam demokarsi kebenaran dan kekuasan ada
di tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kebenaran dan kekusaan tertinggi
ada di tangan Tuhan.[10] Di
samping itu, kata
mereka, secara historis
kemunculan demokrasi dan
Islam berbeda. Demokrasi
lahir dari zaman Aristoteles, sedangkan Islam lahir
sejak nabi Adam AS. Dengan
demikian, demokrasi adalah sistem yang bertolak belakang dengan Islam.
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa hubungan Islam dan
demokrasi dapat dibahas
dalam dua pendekatan,
yaitu: pendekatan normatif dan
pendekatan empiris. Pada
dataran normatif, mereka mempersoalkan tentang nilai-nilai
demokrasi dari sudut pandang ajaran Islam.
Sedangkan pada
dataran empiris, mereka
menganalisis implementasi
demokrasi dalam praktek politik dan ketatanegaraan. Di samping itu, beberapa
pandangan tokoh di
atas, menunjukkan bahwa
para intelektual muslim Indonesia yang berwawasan luas, secara
umum menerima sistem demokrasi, walaupun
secara definitif mereka
berbeda. Ada yang
menerima bersyarat seperti Mohammad Natsir dan Amin
Rais, dan ada yang menerima
secara penuh seperti Nurcholish madjid, Munawir Sjadzali, dan Dawam Rahardjo,
dan ada
yang menolak secara keras seperti Umar
Ja’far Thalib dan
kawan-kawan. Mereka ini
berasal dari kelompaok
Islam garis keras,
maka wajar kalaumereka menolak
demokrasi. Karena pandangan mereka terhadap teks suci berbeda dengan para
ilmuwan yang lebih berwawasan akademik. Dari semua respon di atas, juga
terlihat masih adanya sebagian dari mereka, kecuali Nurcholish madjid, Munawir
Sjadzali, dan Dawam Rahardjo, yang masih memperdebatkan antara kekuasan
absolut Tuhan dan kerelatifan
manusia. Tetapi, secara
teologi Syura disepakati
sebagai konsep yang mempunyai makna dan nilai-nilai
demokrasi.
2.
“Syura” sebagai konsep demokrasi
Sebagaimana dijelaskan diatas,
para intelektual muslim
Indonesia telah sepakat menerima syura semakna dan mempunyai nilai-nilai
demokrasi. Konsep syura merupakan
perintah Tuhan yang langsung
diberik kepada Nabi SAW
sebagai teladan untuk
umat. Syura suatu
proses pengambilan keputusan
dalam masyarakat yang menyangkut
kepentingan bersama. Syura juga merupakan
gambaran tentang bagaimana kaum beriman menyelesaikan persoalan dan
urusan sosial mereka. Syura (musyawarah) dalam al-Qur’an di jelaskan dalam dua surat, yang pertama
dalam surat makkiyah, yaitu: surat asy-Syura (43) ayat 37, dan yang kedua adalah
dalam surat madaniyyah, yaitu surat Ali-Imran (3) ayat 159.
Dalam surat asy-Syura (42), ayat 38 disebutkan: “Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka”. Kemudian dalam ayat
yang lain: Ali Imran (3): 159 disebutkan: “Maka
disebabkan karena rahmat
Allahlah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi
mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (peperangan) itu”.
Dari kedua ayat di atas, maka syura, menurut Muhammad Syahrur[11] mengandung dua
pengertian, yaitu: pertama, syura sebagai prinsip muthlak (absolut) sebagaimana iman kepada Allah,
shalat, dan zakat;
kedua, syura sebagai praktik sehari-hari
yang mengikuti alur
sejarah yang dihuni
oleh masyarakat apa pun,
atau dengan kata
lain syura yang
terstruktur secara historis.
Pada pengertian pertama
menjelaskan syura merupakan
bagian fundamental iman untuk
menjawab seruan Tuhan,
di samping shalat
dan zakat. Artinya, Islam
datang untuk memahamkan
manusia bahwa gerakan revolusi apapun
yang berjuang dengan
tujuan kebebasan berakidah
dan berpendapat, maka
sebenarnya merupakan perjuangan
yang bertujuan pada syura. Sebaliknya,
orang-orang yang mencegah
syura, tidak percaya kepadanya, sama halnya dengan orang
yang mencegah shalat dan zakat. Hal ini
untuk mengokohkan syura
dari sudut pandang
akidah saja, sebelum praktik-praktik lainnya. Oleh karena
itu, orang Islam tidak boleh mengganti syura
dalam aspek prinsip-prinsipnya, karena
syura termasuk dasar-dasar
akidah dan ibadah.
Sedangkan dalam pengertian
yang kedua, syura
sebagai praktik historis, yang
meliputi aspek politik dan sosial ekonomi umat. Artinya Allah memerintahkan Nabi
Muhammad untuk bermusyawarah
dengan manusia dalam
masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan wahyu. Jadi objek ayat kedua
tersebut di arahkan kepada Muhammad sebagai Nabi, bukan
sebagai Rasul yang berhubungan langsung dengan manusia yang semasa
dengannya. Di sini Nabi
Muhammad mempraktikkan masalah
ini dalam struktur masyarakat dimana ia hidup yang
sarat dengan nilai-nilai sosio-kultural dan historis.
Menurut Nurcholish Madjid, Syura (musyawarah) mempunyai akar yang jauh dalam pandangan
kemanusian dan dijalankan
dengan adanya asumsi kebebasan
pada masing-masing perorangan manusia. Dalam hal ini, lanjutnya, perlu
mempertimbangkan pengalaman positif
Barat tentang demokrasi
prosedural dalam rangka memberikan kebebasan-kebebasan
asasi perorangan.[12] Di samping itu,
musyawarah juga menempatkan manusia pada posisi
yang setaraf untuk
memecahkan masalah-masalah bersama
dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Dengan demikian, pada prinsipnya musyawarah adalah sisi sosial dari doktrin
tauhid. Artinya seluruh tingkah
laku perorangan dalam
rangka tanggung jawab sosialnya dilakukan dengan kesadaran transedental dan
atas dasar tumpuan bimbingan Ilahi
yang telah menciptalkan
keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari.[13] Secara historis,
Nabi sendiri pernah
melakukan musyawarah. Misalnya
ketika perang Uhud, dimana ada dua
kemungkinan yang dihadapi oleh pasukan muslim pada waktu itu, yaitu bertahan
dalam kota Madinah atau berperang
diluar kota. Kemudian
Nabi bermusyawarah dengan
kaum muslimin untuk menentukan pilihan. Nabi berpendapat untuk bertahan
dalam kota, sedangkan mayoritas umat Islam memilih untuk berperang diluar kota.
Yang manarik dalam
peristiwa ini adalah
Nabi mengalah demi
suara mayoritas, walaupun pada akhirnya peperangan dimenangkan oleh
musuh.
Dengan demikian, dalam
musyawarah, proses lebih
penting dari hasil.[14] Hal ini juga
berarti bahwa suara minoritas
betapapun kuatnya atas klaim kebenaran
harus tunduk pada
suara mayoritas. Dengan
demikian, Musyawarah adalah suatu
tanda bahwa Islam
adalah “rahmat untuk
alam semesta”. Tetapi, yang
menjadi persoalan bagi
umat Islam adalah
apakah musyawarah itu boleh melanggar hak Tuhan dan Rasulnya, atau
sebaliknya? Karena kebenaran itu muthlak
hak Tuhan atau bagaimana?
3.
Antara Kekuasaan Tuhan dengan “kekuasaan” manusia
Adanya “kekuasan
manusia” bukan berarti
menafikan kekuasaan Tuhan,karena
secara teologis manusia dituntut untuk mengatur kehidupannyasendiri di dunia
ini. Dalam teologi Islam persoalan ini sudah menjadi persolan klasik yang
diperdebatkan oleh para
mutakallimin. Sebagian dari
mereka mengatakan bahwa kehidupan
manusia di dunia
diatur dan dikontrol sepenuhnya oleh Tuhan (Jabariyyah).
Artinya manusia hanya sebagai “robot” yang
semua gerak geriknya
sudah diprogramkan dalam
“komputer” Tuhan.
Sebagian yang lain
mengatakan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak
ada sangkut pautnya
dengan Tuhan ((Qadariyyah). Artinya Tuhan
hanya sebagai pencipta,
sedangkan untuk mengatur
kehidupannya manusia diberi kebebasan oleh Tuhan. Dalam konteks demokrasi (syura), umat Islam secara umum dan umat
Islam Indonesia khususnya,
masih memperdebatkan dan mempermasalahkan tentang kedaulatan muthlak Tuhan. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir. Tetapi
rakyat juga mempunyai kedaulatan. Dalam negara Islam
rakyat mempunyai dua hak, yaitu hak untuk menyusun undang-undang dan hak
untuk memilih kepala negara. Pemikiran
ini didasarkan pada ayat al-Qur’an: “Dan
bermusyawarahlah dengan mereka (rakyat)
dalam persoalan-persoalan negara”
(QS. Ali “Imran:
159); dan konsep ulul-amr minkum
(QS: An-Nisa’, 59).
Dengan demikian,
menerapkan kedaulatan rakyat
bukan bearti mengingkari kedaulatn
Tuhan. Meskipun agama berasal
dari Tuhan, tetapi pada
pelaksanaannya tetap melibatkan
peranan manusia. Maka
disinilah perlunya penafsiran secara
terus menerus terhadap
“teks-teks agama” guna untuk
melestarikan alam ciptaan
Tuhan. Yang diperlukan
sekarang bukan mempersoalkan kedaulatan
rakyat dengan kedaulatan
Tuhan, tetapi usahauntuk melakukan kebaikan sesama manusia
ciptaan Tuhan di dunia ini yang sangat
diperlukan. Maka penafsiran
terhadap ayat-ayat Tuhan,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang selalu
diperlukan dan dibutuhkan sesuai
dengan konteks dimana manusia itu hidup. Bagi
bangsa Indonesia, Syura
(musyawarah) tidak hanya
sebatas ajaran agama, tetapi
juga sudah menjadi
suatu kebudayan dan
tradisi masyarakat Indonesia dalam
memutuskan urusan-urusan bersama.
Secara
teologis-sosiologis, masyarakat Indonesia
tidak mempersoalkan dari
mana konsep tersebut datang
dan tidak mempersoalkan
antara kedaultan Tuhan dengan
kedaulatan rakyat. Dengan
demikian, maka muncullah
ungkapan “Demokrasi Indonesia” atau, “Demokrasi Pancasila”. Di samping
itu, dalam pandangan penulis,
memperdebatkan antara kekuasan Tuhan dan
kekuasan manusia tidak relevan lagi, karena Tuhan tidak secara langsung
mengatur perlakuan hamba-Nya di dunia ini. Kalau Tuhan mengatur manusia
secara langsung, ini sudah tentu tidak lagi ada kejahatan dan kemungkaran di dunia ini,
karena siapa yang bersalah langsung
diambil tindakan oleh Tuhan.
Hal ini, adalah
sesuatu yang mustahil, karena Tuhan
telah menjadikan manusia
sebagai khalifah di
dunia ini. Dengan demikian,
manusia bisa mengatur
dirinya sendiri sesuai
dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam teks
sucinya. Sekarang yang menjadi masalah adalah cara manusia memahami teks suci
tersebut. Oleh karena itu, pengaruh sosio-historis dan kultural sudah tentu
mendomiasi dan mempengaruhi pemahaman terhadap teks suci tersebut.
4. Demokrasi Pancasila
Demokrasi bukanlah
suatu sistem sosial
politik yang tunggal. Hampir semua
negara yang mempraktikkannya mempunyai
pandangan, pengertian dan cara-cara pelaksanaannya sendiri yang khas.
Selain kekhususan budaya negara yang bersangkutan, melainkan juga tingkat
perkembangan dan kemajuan negara itu dibidang-bidang lain, seperti ekonomi dan
pendidikan. Dengan demikian,
sistem demokrasi yang
dipraktikkan di Indonesia
akan berbeda dengan sistem demokrasi yang dipraktekkan di Eropa dan di
Amerika, karena Indonesia mempunyai kekhususannya tersendiri, baik dari segi
budaya maupun ditingkat kemajuan dan perkembangan negara.
Secara historis,
sejak kemerdekaannya pada tahun 1945,
Indonesia telah menjalankan tiga bentuk demokrasi, yaitu demokrasi
parlementer (1950-1959), demokrasi terpimpin
(1959-1965), dan demokrasi
pancasila (1965- sekarang).
Demokrasi parlementer dimanifestasikan dalam bentuk demokrasi liberal, demokrasi
terpimpin dimanifestasikan dalam
bentuk sosial.
Sedangkan istilah
demokrasi pancasila secara resmi muncul pada tahun 1968 melalui
ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968. Demokrasi
pancasila yang dicanangkan oleh Orde Baru ini, secara teoritis,
setidak-tidaknya adalah demokrasi
yang dibimbing oleh
nilai-nilai pancasila dan
UUD 45, yaitu mekanisme pembuatan keputusan melalui
metode musyawarah dan mufakat.
Demokrasi pancasila
adalah demokrasi yang penuh dengan
nuansa kekeluargaan, namum dalam
praktiknya demokrasi pancasila
belum memberikan kebebasan
berpendapat bagi segenap warga
negara dan belum bebas dari
tekanan dan ancaman.
Dengan demikian, demokrasi
pancasila diperlukan keteladanan dalam
praktek, bukan hanya
sekedar teori-teori demokrasi
belaka.
Bagi umat Islam
Indonesia, penggunaan istilah demokrasi pancasila tidak menjadi
persoalan, asal tidak
menyalahi konsep demokrasi
secara universal dan tidak menyalahi pula sila-sila yang ada dalam
pancasila. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Saifuddin Zuhri dan Amin Rais.
Bagi mereka, demokrasi pancasila adalah sebagai suatu bentuk demokrasi yang
mempunyai standar moral yang tinggi, karena demokrasi ini mempertahankan sila ketuhan
Yang Maha Esa. Artinya demokrasi yang menghargai hukum Tuhan dan tidak akan
melanggarnya. Sedangkan Nurcholish Madjid, melihat pada sila yang keempat, yaitu
“kebijaksaan dalam permusyawaratan”. Inilah
karakteristik demokrasi Indonesia dan sesuai dengan konsep syura dalam
Islam.
Secara teoritis, konsep demokrasi pancasila pada masa
Orde Baru tidak menjadi persolan,
tetapi dalam
pengaplikasiannya mendapat berbagai tantangan, karena
demokrasi pencasila tidak
berfungsi sebagai pelindung birokrasi, melainkan sebagai, dengan memakai istilah komaruddin hidayat, “majikan” dan
kekuatan kritik terhadap
birokrasi. Dengan bergulirnya reformasi, maka
peta perpolitikan di
Indoneisa juga berubah,
bahkan Indonesia sekarang adalah
negara demokrasi yang
ketiga didunia setelah Amerika Serikat
dan India. Dengan
demikian, pengaplikasian nilai-nilai demokrasi pancasila akan semakin
didambakan.
5. Munculnya “Presiden Wanita”
Salah satu ciri dari demokrasi adalah memberi hak kepada
seluruh warga negara yang sudah dewasa
untuk menjadi pemimpin (presiden), baik laki-lakimaupun perempuan.
Indonesia sebagai salah
satu negara yang menujuproses demokratisasi
dalam bidang politik,
atau dikenal dengan demokrasi pancasila
sudah tentu memberi
kesempatan kepada seluruh warganya untuk menjadi pemimpin
(presiden), walaupun isu tentang presiden wanita sudah
mencuat menjelang SU MPR
1999 yang lalu, dan
dikaitkan dengan pemahaman ajaran
agama Islam, karena
umat Islam merupakan mayoritas. Sasarannya adalah
Megawati Soekarno Putri, ketua umum PDI-P. Akhirnya, dengan
diberhentikan Gusdur oleh
MPR, kemudian Megawati menduduki jabatan presiden Indonesia
pada saat itu. Kemudian masalah ini,
sempat mengundang berbagai tanggapan
dari kalangan ulama, ada yang pro dan
ada yang kontra.
Bagi umat Islam, secara
umum, dilihat dari kaca mata teologis,
ini merupakan suatu masalah
yang sangat besar
dan menyimpang dari
ajaran agama. Karena dalam
teks-teks agama disebutkan
bahwa “kaum laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita”.
Tetapi ada juga
para ulama dan intelektual muslim
kontemporer yang membolehkan
wanita menjadi pemimpin, seperti
Yusuf Qardhawi dan Asghar Ali Engineer. Bagi mereka, Dalam memahami
kesetaran gender dalam
ajaran Islam tidak
hanya didasarkan atas perspektif
teologis-tekstual semata, tetapi
juga melalui perspektif
sosio-teologis-kontekstual.
Dan secara historis, Umar Bin
Khatab pernah mengangkat Asy-Syifa’ binti Abdullah al-Adawiyah sebagai
pemimpin pasar yang
mengawasi masalah-masalah perdagangan
dan seluk-beluk pengiriman
barang. Bagi umat Islam
Indonesia, Kepemimpinan wanita
tidak menjadi masalah, sebagaimana
yang dikemukakan Gusdur.
Menurutnya Mega Patut menjadi presiden.
Bagi NU dan PKB
menekankan dukungannya terhadap pencalonan Megawati sebagai
presiden. Tidak ada masalah dari segi
hukum Islam mencalonkan wanita sebagai presiden.[15] Pemikiran ini nampak
sejalan dengan pemikiran Yusuf
Qardhawi dan Asghar
Ali Engineer.
Ini menunjukkan bahwa
demokrasi dalam masyarakat muslim
Indonesia sudah berjalan dengan baik. Oleh
karena itu, proses
demokrasi di Indoensia
semakin dewasa, karena isu gender
dan pemberdayaan wanita sudah menjadi prioritas di badan legislatif dan
eksekutif. Secara sosiologis, demokrasi merupakan transformasi sosial yang
merefleksikan adanya perubahan
sosial, baik pada
dimensi individual, kultural dan
struktural. Oleh karena
itu, meminggirkan atau memisahkan isu
pemberdayaan perempuan dalam
wacana dan proses demokratisasi adalah suatu hal yang
musykil, karena perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
proses penguatan masyarakat.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Istilah Demokrasi
pertama sekali diperkenalkan oleh Herodotus sekitar 3000 tahun
yang lalu di
Mesir Kuno, kemudian
dikembangkan oleh para pemikir
Yunani Kuno pada
masa klasik. Secara etimologi,
kata demokrasi berasal dari
kata Demos (rakyat) dan Kratos
(kekuasaan/pemerintahan), dari
bahasa Yunani. Dalam sejarah, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5
SM, yang merupakan respon terhadap pengalaman buruk sistem monarkhi dan
kediktatoran di negara-negara kota Athena (Yunani Kuno).
Model – Model Demokrasi
1.
Agama versus Demokrasi
2.
Sekularisasi Politik
3.
Teo-Demokrasi
4.
Tanggapan Umat Islam Tentang
Indonesia Terhadap Demokrasi
Untuk melihat bagaimana respon umat Islam Indonesia tentang konsep
demokrasi dan proses demokratisasi, akan dijelaskan dalam poin-poin berikut
ini.
1.
Tanggapan terhadap
Konsep Demokrasi
Demokrasi bagi bangsaIndonesia
telah tumbuh sejak awal
kebangkitan nasional pada awal abad
ini, dimana para
pemimpin dan intelektual
muslim Indonesia telah merespon demokrasi sebagai sistem yang harus dijalankan dalam
kehidupan sosial dan politik
2.
“Syura” sebagai konsep demokrasi
Sebagaimana dijelaskan
diatas, para intelektual
muslim Indonesia telah sepakat
menerima syura semakna dan mempunyai nilai-nilai demokrasi. Konsep syura
merupakan perintah Tuhan yang
langsung diberik kepada Nabi
SAW sebagai teladan
untuk umat.
3.
Antara Kekuasaan Tuhan dengan “kekuasaan” manusia
Adanya
“kekuasan manusia” bukan
berarti menafikan kekuasaan Tuhan,karena secara teologis
manusia dituntut untuk mengatur kehidupannyasendiri di dunia ini. Dalam teologi
Islam persoalan ini sudah menjadi persolan klasik yang
diperdebatkan oleh para
mutakallimin. Sebagian dari
mereka mengatakan bahwa kehidupan
manusia di dunia
diatur dan dikontrol sepenuhnya oleh Tuhan (Jabariyyah).
B. Saran
Kami menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah tentang Pengertian Pendidikan Politik Islam dan Ruang
Lingkupnya masih ada kekurangan sehingga penyusunan berharap saran dan kritik
dari pembaca sekalian agar penyusun dapat meningkatkan dan memperbaiki
penyajian makalah yang lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd.
Al-Qadim Zallum. 2001. Demokrasi Sistem
Kufur. Jakarta: bursa ilmu indonesia
John I, Esposito dan John O. Voll. 1999. Demorasi di
negara-negara muslum: problem dan prospek, alih bahasa: Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan
Muhammad
Wahyuni Nafis dkk. 1995. Islam dan
demokrasi Empirik: kontekstualisasi ajaran islam. Jakarta:paramadina
Masykuri
Abdillah. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya
Robert A.
Dahl, 1982. Dilemma of
Pluralist Democracy, New Haven
dan London: Yale University Press
Komaruddin
Hidayat, 1998. Tragedi Raja midas:
Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
Jakarta: Paramadina
Magnis Suseno,
dkk. 1992. Agama dan Demokrasi. Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
Munawir Sjadzali. 1990. Islam
dan Tata Nebgara:
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:UI Press
M. Syafi’I
Anwar1995. Pemikiran dan
Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina
Khamami Zada. 2002. Islam Radikal:
Pergualatan Ormas-ormas
Islam Garis Keras
di Indonesai. Jakarta: Teraju
Muhammad Syahrur. 2003. Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus
Syamsul Fata. Yogyakarta: LKiS
Nurcholish Madjid. 2000. Masyarakat Religius:
Membumikan Nilai-nilai Islam
dalam Kehiudpan Masyarakat. Jakarta: Paramadina
Artani
Hasbi. 2001. Musyawarah dan Demokrasi : Analisis Konseptual Aplikatif dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama
Kuntowijoyo.
1997. Identitas Politik Umat Islam.
Bandung: Mizan Ruwaida Noor. 2000. Agenda Demokrasi Oleh dan Untuk
Perempuan, jurnal demokrasi dan Ham,
vol. 1, No. 1 Mei-Agustus
[1] Abd. Al-Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur,
( jakarta: bursa ilmu indonesia, 2001), h.10
[2] John I, Esposito dan John O. Voll, Demorasi
di negara-negara muslum: problem dan prospek, alih bahasa: Rahmani Astuti, (
Bandung: Mizan, 1999) h. 27
[3] Muhammad Wahyuni Nafis dkk, islam dan
demokrasi Empirik: kontekstualisasi ajaran islam, (Jakarta:paramadina, 1995),
h. 347
[4] Masykuri Abdillah, Demokrasi
di Persimpangan Makna, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 71
[5] Robert
A. Dahl, Dilemma
of Pluralist Democracy,(New Haven
dan London: Yale
University Press,
1982), h. 11
[6] Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
(Jakarta:
Paramadina, 1998), h. 9-18
[7] Magnis
Suseno, dkk., Agama
dan Demokrasi, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat, 1992), h. 40
[8] Munawir
Sjadzali, Islam dan
Tata Nebgara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta:UI Press,
1990), h. 172
[9] M.
Syafi’I Anwar, Pemikiran
dan Aksi Islam
Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1995),
h. 226
[10] Khamami
Zada, Islam Radikal:
Pergualatan Ormas-ormas Islam Garis
Keras di
Indonesai,
(Jakarta: Teraju, 2002), h. 132-136
[11] Muhammad
Syahrur, Tirani Islam:
Genealogi Masyarakat dan Negara,
alih bahasa:
Saifuddin Zuhri
Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 158-159
[12] Nurcholish
Madjid, Masyarakat Religius:
Membumikan Nilai-nilai Islam
dalam Kehiudpan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 21
[13] Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi :
Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), h. 1
[14] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,
(Bandung: Mizan, 1997), h. 96
[15] Ruwaida Noor, Agenda Demokrasi Oleh dan Untuk
Perempuan, ( jurnal demokrasi dan Ham, vol. 1, No. 1 Mei-Agustus, 2000), h. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar