BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN
MAQASID SYAR’IYAH
As-Syatibi
membagi Maqasid Syar’iyah menjadi tiga kategori:
1. Dharuriyyat
Dharuriyyat artinya
kebutuhan mendesak atau darurat. Sehingga apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi
maka akan mengancam keselamatan manusia didunia maupun diakhirat.[1]
Maqasid Syar’iyah
Dharuriyyah meliputi perlindungan Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan
harta.[2] Islam telah mensyariatkan
bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan
pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia
kebutuhan primernya.
a.
Perlindungan
terhadap agama
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan
kebebasan yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap
pemeluk agama berhak atas nama agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa
untuk meninggalkannya menuju agama atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan
untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam. Dasar hak ini sesuai
firman Allah :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ
تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Artinya: “tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah : 256)
Asbabun Nuzul ayat
ini (sebagaimana menjelaskan kepada kita satu sisi mengagumkan agama ini
(Islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan, ada seorang
perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah kepada dirinya, bahwa bila
dia dikaruniai anak, dia akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi (hal seperti
ini dilakukan oleh para wanita dari kaum Anshar pada masa jahiliyah), lalu
ketika muncul Bani Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum Anshar.
Maka bapak-bapak mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami”;
mereka tidak akan membiarkan anak-anak mereka memeluk agama Yahudi, lalu Allah
menurunkan ayat ini,
Meski ada usaha
memaksa dari pihak orangtua yang ingin menjaga anak-anak mereka agar tidak
mengikuti musuh yang memerangi mereka, yang berbeda agama dan berbeda kaum, dan
meski dalam keadaan khusus yang dihadapi anak-anak atau keturunan mereka, agama
Yahudi adalah minoritas. Dan meski arus fanatik dan penindasan kepada orang yang
berbeda madzhab mendominasi dunia saat itu, terlebih yang berbeda agama,
seperti yang terjadi dalam madzhab pemerintahan Roma yang memberikan pilihan
kepada rakyatnya, antara kaum Kristen atau dibunuh, akan tetapi, ketika
madzhab Al-Malkani kuat, penyembelihan dilakukan atas
orang-orang Nasrani dari golongan Yaqubian dan yang lainnya, yang tidak mau
masuk dan mengikuti agamanya.
Atas semua
peristiwa yang telah terjadi ini, Al –Qur’an tetap menolak segala bentuk
pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan
membukakan dan menerangi mata hatinya, lalu orang tersebut akan masuk Islam
dengan bukti dan hujjah. Barangsiapa yang hatinya dibutakan, pendengaran, dan
penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya mereka masuk Islam
dalam keadaan dipaksa, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir.
Islam menjaga
tempat beribadatan orang – orang nonmuslim, menjaga kehormatan syiar mereka,
bahkan Al-Qur’an menjadikan salah satu sebab diperkenankannya berperang adalah
karena untuk menjaga kebebasan beribadah, dan hal ini tersirat dalam
firman-Nya,
ذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ
بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ.
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا
رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ
لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ
اللَّهِ كَثِيرًا
Artinya : “telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya
mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka
tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami
hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid,
yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. AL Hajj : 39-40)
Tak hanya nash –
nash dalam al –Qur’an yang menjamin kebebasan beragama, Rasulullah dan para
sahabatpun menghormati orang-orang nonmuslim dalam segala hal.
Sebagaimana janji
Nabi saw. kepada penduduk Najran menyatakan bahwa mereka berada dalam
perlindungan Allah dan tanggungan atau jaminan Rasulul-Nya untuk urusan harta,
agama, dan baiat mereka.
Pada suatu hari Umar bin Khattab melihat
seorang kakek tua yang buta meminta-minta di sebuah pintu. Umar pun bertanya,
dan dari situ dia tahu bahwa kakek tua itu adalah seorang Yahudi, lantas dia
bertanya, “Apa yang membuatmu seperti ini?” si kakek menjawab, “Jizyah,
kebutuhan, dan usia.” Mendengar jawaban itu, Umar menuntun kakek tersebut dan
pergi ke rumahnya, lalu dia member uang yang mencukupi kebutuhannya saat itu.
Setelah itu beliau mengirim surat kepada bendahara baitul mal, “Lihatlah! Demi
Allah, tidak adil bila kita memakan dari (jerih payah) masa mudanya, lalu kita
menelantarkannya saat dia tua.”
b. Perlindungan terhadap nyawa
Hak pertama
dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak hidup, hak yang disucikan
dan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya. Maka, tidak mengherankan bila jiwa
manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga,
dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan atau
kehancuran. Allah berfirman :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
Artinya: “dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS.
Al-Baqarah : 195)
Islam melarang
terjadinya pembunuhan. Baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain.
Salah satu sabda Rasulullah yang menjelaskan dilarangnya bunuh diri :
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ
عُذِّبَ بِهِ فِى النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa
yang membunuh dirinya dengan menggunakan sesuatu, dia akan disiksa dengan
menggunakan sesuatu tersebut di dalam neraka.”(HR. Muslim)
Adapun larangan
membunuh orang lain kecuali dengan alasan yang benar dijelaskan dalam banyak
ayat al – Qur’an, diantaranya dalam QS. Al-An’am : 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya : “dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.”(QS. Al – An’am : 151)
c.
Perlindungan
terhadap akal
Akal merupakan sumber hikmah
(pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata hati, dan media kebahagiaan manusia
di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah swt. disampaikan,
dengannya pula manusia berhak menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya
manusia menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.
Islam memerintahkan untuk menjaga
akal, mencegah segala bentuk penganiayaan yang ditujukan kepadanya, atau yang
bisa menyebabkan rusak dan berkurangnya akal tersebut untuk menghormati dan
memuliakan mereka, dan untuk merealisasikan semua kemaslahatan umum yang
menjadi pondasi kehidupan manusia, yakni dengan menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta benda.
Menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan
dengan penjagaan antara akal itu sendiri dengan ujian dan bencana yang bisa
melemahkan dan merusakkannya, atau menjadikan pemiliknya sebagai sumber
kejahatan dan sampah dalam masyarakat, atau menjadi alat dan perantara
kerusakan di dalamnya.
Diantara hal yang dapat merusak akal
adalah mengkonsumsi segala sesuatu yang bersifat memabukkan. Sebagaimana sabda
Rasulullah :
« كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ
حَرَامٌ ».
Artinya : “Setiap
hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.”(HR.
Muslim)
Keadaan mabuk
menyebabkan padamnya bara api pikiran, meredupkan cahaya akal, membunuh
kemauan, mematikan cita-cita, melemahkan karakter, menghilangkan akhlak mulia.
Keadaan tersebut juga menyebabkan kehinaan, kemerosotan, hancurnya kekuatan,
keroposnya bangunan tubuh, dan lemahnya anggota badan.
Seringkali Islam
mengingatkan tentang nilai dan eksistensinya, menyanjung orang-orang yang
menggunakan akal dan kemampuan mereka dalam memperhatikan alam dengan segala
ciptaan indah, makhluk yang mulia, dan keserasiannya. Allah berfirman :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
Artinya: “ Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”(QS. Ali ‘Imran : 190-191)
Al-Qur’an mencela
orang-orang yang menyia-nyiakan akal mereka, tidak untuk berpikir,
memperhatikan, dan merenung; mereka yang tidak memanfaatkan kemampuan akal yang
dikaruniakan Allah (yang melalui akal tersebut Allah memuliakan mereka) untuk menyikapi
kekuasaan Sang Pencipta, keagungan-Nya, dan kekuatan Sang Pemberi rezeki.
Mereka tidak menuntunnya menuju dermaga iman dan kesempurnaan Islam, serta
ketundukan kepada hal yang haq dan yang yaqin, bahkan mereka tidak menundukkan
akal mereka ke dalam bidang kehidupan yang karenanya mereka diciptakan, juga
untuk melakukan eksplotasi kekayaan, sumber daya alam, dan kekuatan yang sudah
tersedia untuk kebahagiaan individu serta kemajuan umat dan
bangsa-bangsa. Allah berfirman,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ
كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا
أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya: “ dan
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.”(QS. Al-A’raf : 179)
d. Perlindungan terhadap kehormatan
Islam menjamin kehormatan manusia
dengan memberikan perhatian yang dapat digunakan untuk memberikan spesialisasi
kepada hak asasi mereka. Perlindungan ini jelas terlihat dalam sanksi berat
yang dijatuhkan dalam masalah zina. masalah menghancurkan kehormatan orang
lain, dan masalah qaszaf.
Islam juga memberikan perlindungan
melalui pengharaman ghibah, mengadu domba, memata-matai, mengumpat,
dan mencela dengan menggunakan panggilan-panggilan buruk, juga
perlindungan-perlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan
kemuliaan manusia. Di antara bentuk perlindungan yang diberikan adalah dengan
menghinakan dan memberikan ancaman kepada para pembuat dosa dengan siksa yang
sangat pada hari kiamat.
Para ulama mendefinisikan, bahwa zina adalah
hubungan seksual yang sempurna antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang diinginkan, tanpa akad pernikahan sah ataupun pernikahan yang
menyerupai sah.
Sanksi
perbuatan zina sudah diterangkan dalam syariat Islam
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ
فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur : 2)
Islam juga
mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba, memata-matai, mengumpat,
mencaci, memanggil dengan julukan tidak baik, dan perbuatan-perbuatan sejenis
yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia. Islam pun menghinakan orang
yang melakukan dosa-dosa ini, juga mengancam mereka dengan janji yang pedih
pada hari kiamat, dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang fasik. Allah
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ
قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى
أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ .
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al – Hujurat :
11-13)
Islam juga menjaga
kehormatan nasab, silsilah dalam sebuah keluarga. semisal status anak kandungn
dan anak angkat. Islam juga menetapkan, setelah menikah, nasab seorang
wanita tidak akan mengalami perubahan. Setelah menikah, wanita muslimah namanya
tetap terjaga, demikian juga nama keluarga dan nasab aslinya. Dia tidak akan
membawa nama suaminya, betapapun tinggi kedudukan sang suami.
Para ulama’ juga mengharamkan masturbasi,
melampiaskan hasrat seksual dengan cara yang tidak syar’i dan dikenal di
kalangan pemuda sebagai ‘kebiasaan rahasia’, dan juga mengharamkan homo
seksual, hukum pengharaman ini terdapat penjagaan dan perlindungan yang
diberikan Islam kepada para pemuda dari berbagai bahaya ‘kebiasaan rahasia’.
Dalam Surah Al-Baqarah Allah berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ .
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا
لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ
الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “
mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. isteri-isterimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Baqarah : 222-223)
e.
Perlindungan
terhadap harta benda
Harta merupakan salah satu kebutuhan
inti dalam kehidupan, dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Meskipun
pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta
benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya
jangan sampai terjadi bentrokan antara satu dengan yang lain. Untuk itu, Islam
mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai, dll.
Cara menghasilkan harta tersebut
adalah dengan bekerja dan mewaris, maka seseorang tidak boleh memakan harta
orang lain dengan cara yang bathil, karena Allah berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “ dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah :
188)
Harta yang baik
pasti berasal dari tangan-tangan orang yang cara memilikinya berasal dari
pekerjaan yang dianjurkan agama, seperti bekerja di sawah, pabrik, perdagangan,
perserikatan dengan operasional yang syar’i, atau dari warisan dan hal sejenis.
2. Hajiyyat
Hajiyyah adalah kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini
tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan
mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut.[3]
Dari segi
penentapan hukum berdasarkan hajiyat, terbagi menjadi tiga:
a. Sesuatu yang dibutuhkan untuk membantu pelaksanaan sesuatu yang
diperintahkan oleh syari’at. Seperti mendirikan sekolah untuk menunjang
aktifitas belajar yang merupakan kewajiban manusia. Kebutuhan kepada sekolah
ini dianggap besar, namun ketiadaan sekolah tidak berarti terputusnya jalan
untuk menuntut ilmu.
b. Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghindari secara tidak langsung
pelanggaran-penlanggaran agama yang bersifat dharuri, seperti dilarangnya
berduaan sebagai antisipasi terjadinya perbuatan zina yang merupakan
pelanggaran bersifat dharuriy. Secara teori tidaklah setiap kali berduaan
(laki-perempuan) bearti akan terjadi perzinahan, hanya saja hal itu dilarang
untuk menutup kemungkinan terjadinya, dan kepentingan dari adanya tindakan
antisipasi ini berada pada tingkat hajiyat.
c. Segala bentuk kemudahan (rukhsat al-syar’iyyat) yang memberikan
kelapangan bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya ketiadaan rukhshah tidak
akan menghilangkan unsur dharuriy, namun manusia akan berada dalam kesulitan,
maka dari itu keberadaan rukhshah terdapat dalam semua aspek seperti ibadah,
muamalah dan jinayah. Seperti musafir boleh tidak berpuasa, hukuman diyat
(denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman
potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan
jiwanya dari kelaparan.
3. Tahsiniyat
Tahsiniyat berarti kebutuhan yang
bersifat tresier atau pelengkap. Adapun tujuan dari keberadaannya untuk
memperindah kehidupan manusia, di mana tanpa adanya hal tersebut tidak berarti
merusak tatanan kehidupan manusia dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan,
keberadaannya berguna untuk menata akhlak dan pola interaksi manusia dalam
pergaulan.
Dalam
kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan
bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka
Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya.
Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam
menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang
halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah
memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau
kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah
satu diantara tiga kepentingan tersebut[4]
BAB
III
KESIMPULAN
Secara garis besar Maqasid
Syar’iyah terbagi kepada 3. Pertama Dharuriyyat, kedua Hajiyyat dan yang ketiga
Tahsiniyat. Yang paling menjadi perhatian ulama adalah Dharuriyyat karena ini
hal yang primer atau kebutuhan pokok. Jika kebutuhan darurat ini tidak
terpenuhi maka akan timbul kebinasaan secara luas. Sedangkan Hajiyat adalah
kebutuhan sekunder, kebutuhan bersama yang dampaknya sosial. Dan yang terakhir
tahsiniyat atau kebutuhan pelengkap atau penyempuna. Ketiganya menjadi bagian
yang menyatu dalam tujuan disyariatkannya suatu hukum. Tanpa adanya ketiga ini
maka tidak ada hukum syariah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abubakar, Al Yasa’ 2012, Metode Istishlahiah
Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqh, Banda Aceh: CV Diandra
Primamitra Media
Djazuli, 2003, Fiqh Siyasi, Bandung : Prenada Media
Qardhawi, Yusuf, 1999, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern,
Kairo: Maktabah Wabah.
Wahab Khallaf, Abdul, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam
, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
[1]
A. Djazuli, 2003, Fiqh Siyasi, Bandung : Prenada Media, h. 397
[2]Al
Yasa’ Abubakar, 2012, Metode Istishlahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan
Dalam Ushul Fiqh, Banda Aceh: CV Diandra Primamitra Media, h. 39-40
[3]
Yusuf Qardhawi, 1999, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, Kairo:
Maktabah Wabah, h. 79
[4]
Abdul Wahab Khallaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam , Jakarta : Raja
Grafindo Persada, h. 333-343
Tidak ada komentar:
Posting Komentar