Jumat, 17 Juli 2020

Maqasid Syariyah

BAB II

PEMBAHASAN

PEMBAGIAN MAQASID  SYAR’IYAH

As-Syatibi membagi Maqasid Syar’iyah menjadi tiga kategori:

1.    Dharuriyyat

Dharuriyyat artinya kebutuhan mendesak atau darurat. Sehingga apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan mengancam keselamatan manusia didunia maupun diakhirat.[1]

Maqasid Syar’iyah Dharuriyyah meliputi perlindungan Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta.[2] Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.

a.        Perlindungan terhadap agama

Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas nama agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam. Dasar hak ini sesuai firman Allah :

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

Artinya: “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah : 256)

Asbabun Nuzul ayat ini (sebagaimana menjelaskan kepada kita satu sisi mengagumkan agama ini (Islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan, ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah kepada dirinya, bahwa bila dia dikaruniai anak, dia akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi (hal seperti ini dilakukan oleh para wanita dari kaum Anshar pada masa jahiliyah), lalu ketika muncul Bani Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum Anshar. Maka bapak-bapak mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami”; mereka tidak akan membiarkan anak-anak mereka memeluk agama Yahudi, lalu Allah menurunkan ayat ini,

Meski ada usaha memaksa dari pihak orangtua yang ingin menjaga anak-anak mereka agar tidak mengikuti musuh yang memerangi mereka, yang berbeda agama dan berbeda kaum, dan meski dalam keadaan khusus yang dihadapi anak-anak atau keturunan mereka, agama Yahudi adalah minoritas. Dan meski arus fanatik dan penindasan kepada orang yang berbeda madzhab mendominasi dunia saat itu, terlebih yang berbeda agama, seperti yang terjadi dalam madzhab pemerintahan Roma yang memberikan pilihan kepada rakyatnya, antara kaum Kristen atau dibunuh, akan tetapi, ketika madzhab Al-Malkani kuat, penyembelihan dilakukan atas orang-orang Nasrani dari golongan Yaqubian dan yang lainnya, yang tidak mau masuk dan mengikuti agamanya.

Atas semua peristiwa yang telah terjadi ini, Al –Qur’an tetap menolak segala bentuk pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan membukakan dan menerangi mata hatinya, lalu orang tersebut akan masuk Islam dengan bukti dan hujjah. Barangsiapa yang hatinya dibutakan, pendengaran, dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya mereka masuk Islam dalam keadaan dipaksa, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir.

Islam menjaga tempat beribadatan orang – orang nonmuslim, menjaga kehormatan syiar mereka, bahkan Al-Qur’an menjadikan salah satu sebab diperkenankannya berperang adalah karena untuk menjaga kebebasan beribadah, dan hal ini tersirat dalam firman-Nya,

ذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ. الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا

Artinya : “telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. AL Hajj : 39-40)

Tak hanya nash – nash dalam al –Qur’an yang menjamin kebebasan beragama, Rasulullah dan para sahabatpun menghormati orang-orang nonmuslim dalam segala hal.

Sebagaimana janji Nabi saw. kepada penduduk Najran menyatakan bahwa mereka berada dalam perlindungan Allah dan tanggungan atau jaminan Rasulul-Nya untuk urusan harta, agama, dan baiat mereka.

 Pada suatu hari Umar bin Khattab melihat seorang kakek tua yang buta meminta-minta di sebuah pintu. Umar pun bertanya, dan dari situ dia tahu bahwa kakek tua itu adalah seorang Yahudi, lantas dia bertanya, “Apa yang membuatmu seperti ini?” si kakek menjawab, “Jizyah, kebutuhan, dan usia.” Mendengar jawaban itu, Umar menuntun kakek tersebut dan pergi ke rumahnya, lalu dia member uang yang mencukupi kebutuhannya saat itu. Setelah itu beliau mengirim surat kepada bendahara baitul mal, “Lihatlah! Demi Allah, tidak adil bila kita memakan dari (jerih payah) masa mudanya, lalu kita menelantarkannya saat dia tua.”

b.  Perlindungan terhadap nyawa

Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak hidup, hak yang disucikan dan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya. Maka, tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan atau kehancuran. Allah berfirman :

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

Artinya: “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah : 195)

Islam melarang terjadinya pembunuhan. Baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain. Salah satu sabda Rasulullah yang menjelaskan dilarangnya bunuh diri :

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِى النَّارِ

Artinya: “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan menggunakan sesuatu, dia akan disiksa dengan menggunakan sesuatu tersebut di dalam neraka.”(HR. Muslim)

Adapun larangan membunuh orang lain kecuali dengan alasan yang benar dijelaskan dalam banyak ayat al – Qur’an, diantaranya dalam QS. Al-An’am : 151

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Artinya : “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”(QS. Al – An’am : 151)

 

c.   Perlindungan terhadap akal

Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah swt. disampaikan, dengannya pula manusia berhak menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.

Islam memerintahkan untuk menjaga akal, mencegah segala bentuk penganiayaan yang ditujukan kepadanya, atau yang bisa menyebabkan rusak dan berkurangnya akal tersebut untuk menghormati dan memuliakan mereka, dan untuk merealisasikan semua kemaslahatan umum yang menjadi pondasi kehidupan manusia, yakni dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.

 Menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan dengan penjagaan antara akal itu sendiri dengan ujian dan bencana yang bisa melemahkan dan merusakkannya, atau menjadikan pemiliknya sebagai sumber kejahatan dan sampah dalam masyarakat, atau menjadi alat dan perantara kerusakan di dalamnya.

Diantara hal yang dapat merusak akal adalah mengkonsumsi segala sesuatu yang bersifat memabukkan. Sebagaimana sabda Rasulullah :

« كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ».

Artinya : “Setiap hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.”(HR. Muslim)

Keadaan mabuk menyebabkan padamnya bara api pikiran, meredupkan cahaya akal, membunuh kemauan, mematikan cita-cita, melemahkan karakter, menghilangkan akhlak mulia. Keadaan tersebut juga menyebabkan kehinaan, kemerosotan, hancurnya kekuatan, keroposnya bangunan tubuh, dan lemahnya anggota badan.

Seringkali Islam mengingatkan tentang nilai dan eksistensinya, menyanjung orang-orang yang menggunakan akal dan kemampuan mereka dalam memperhatikan alam dengan segala ciptaan indah, makhluk yang mulia, dan keserasiannya. Allah berfirman :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ.  الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”(QS. Ali ‘Imran : 190-191)

Al-Qur’an mencela orang-orang yang menyia-nyiakan akal mereka, tidak untuk berpikir, memperhatikan, dan merenung; mereka yang tidak memanfaatkan kemampuan akal yang dikaruniakan Allah (yang melalui akal tersebut Allah memuliakan mereka) untuk menyikapi kekuasaan Sang Pencipta, keagungan-Nya, dan kekuatan Sang Pemberi rezeki. Mereka tidak menuntunnya menuju dermaga iman dan kesempurnaan Islam, serta ketundukan kepada hal yang haq dan yang yaqin, bahkan mereka tidak menundukkan akal mereka ke dalam bidang kehidupan yang karenanya mereka diciptakan, juga untuk melakukan eksplotasi kekayaan, sumber daya alam, dan kekuatan yang sudah tersedia untuk kebahagiaan individu serta kemajuan umat dan bangsa-bangsa. Allah berfirman,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ 

Artinya: “ dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”(QS. Al-A’raf : 179)

 

d.  Perlindungan terhadap kehormatan

Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan perhatian yang dapat digunakan untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Perlindungan ini jelas terlihat dalam sanksi berat yang dijatuhkan dalam masalah zina. masalah menghancurkan kehormatan orang lain, dan masalah qaszaf.

Islam juga memberikan perlindungan melalui pengharaman ghibah, mengadu domba, memata-matai, mengumpat, dan mencela dengan menggunakan panggilan-panggilan buruk, juga perlindungan-perlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan manusia. Di antara bentuk perlindungan yang diberikan adalah dengan menghinakan dan memberikan ancaman kepada para pembuat dosa dengan siksa yang sangat pada hari kiamat.

 Para ulama mendefinisikan, bahwa zina adalah hubungan seksual yang sempurna antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diinginkan, tanpa akad pernikahan sah ataupun pernikahan yang menyerupai sah.

Sanksi perbuatan zina sudah diterangkan dalam syariat Islam  

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur : 2)

Islam juga mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba, memata-matai, mengumpat, mencaci, memanggil dengan julukan tidak baik, dan perbuatan-perbuatan sejenis yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia. Islam pun menghinakan orang yang melakukan dosa-dosa ini, juga mengancam mereka dengan janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang fasik. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ . يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al – Hujurat : 11-13)

Islam juga menjaga kehormatan nasab, silsilah dalam sebuah keluarga. semisal status anak kandungn dan anak angkat.  Islam juga menetapkan, setelah menikah, nasab seorang wanita tidak akan mengalami perubahan. Setelah menikah, wanita muslimah namanya tetap terjaga, demikian juga nama keluarga dan nasab aslinya. Dia tidak akan membawa nama suaminya, betapapun tinggi kedudukan sang suami.

 Para ulama’ juga mengharamkan masturbasi, melampiaskan hasrat seksual dengan cara yang tidak syar’i dan dikenal di kalangan pemuda sebagai ‘kebiasaan rahasia’, dan juga mengharamkan homo seksual, hukum pengharaman ini terdapat penjagaan dan perlindungan yang diberikan Islam kepada para pemuda dari berbagai bahaya ‘kebiasaan rahasia’. Dalam Surah Al-Baqarah Allah berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ . نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “ mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah : 222-223)

e.   Perlindungan terhadap harta benda

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu dengan yang lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, dll.

Cara menghasilkan harta tersebut adalah dengan bekerja dan mewaris, maka seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, karena Allah berfirman,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “ dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah : 188)

Harta yang baik pasti berasal dari tangan-tangan orang yang cara memilikinya berasal dari pekerjaan yang dianjurkan agama, seperti bekerja di sawah, pabrik, perdagangan, perserikatan dengan operasional yang syar’i, atau dari warisan dan hal sejenis.

 

2.    Hajiyyat

Hajiyyah adalah kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut.[3]

Dari segi penentapan hukum berdasarkan hajiyat, terbagi menjadi tiga:

a.       Sesuatu yang dibutuhkan untuk membantu pelaksanaan sesuatu yang diperintahkan oleh syari’at. Seperti mendirikan sekolah untuk menunjang aktifitas belajar yang merupakan kewajiban manusia. Kebutuhan kepada sekolah ini dianggap besar, namun ketiadaan sekolah tidak berarti terputusnya jalan untuk menuntut ilmu.

b.      Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghindari secara tidak langsung pelanggaran-penlanggaran agama yang bersifat dharuri, seperti dilarangnya berduaan sebagai antisipasi terjadinya perbuatan zina yang merupakan pelanggaran bersifat dharuriy. Secara teori tidaklah setiap kali berduaan (laki-perempuan) bearti akan terjadi perzinahan, hanya saja hal itu dilarang untuk menutup kemungkinan terjadinya, dan kepentingan dari adanya tindakan antisipasi ini berada pada tingkat hajiyat.

c.       Segala bentuk kemudahan (rukhsat al-syar’iyyat) yang memberikan kelapangan bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya ketiadaan rukhshah tidak akan menghilangkan unsur dharuriy, namun manusia akan berada dalam kesulitan, maka dari itu keberadaan rukhshah terdapat dalam semua aspek seperti ibadah, muamalah dan jinayah. Seperti musafir boleh tidak berpuasa, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

3.    Tahsiniyat

Tahsiniyat berarti kebutuhan yang bersifat tresier atau pelengkap. Adapun tujuan dari keberadaannya untuk memperindah kehidupan manusia, di mana tanpa adanya hal tersebut tidak berarti merusak tatanan kehidupan manusia dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan, keberadaannya berguna untuk menata akhlak dan pola interaksi manusia dalam pergaulan.

Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .

Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut[4]

 

BAB III

KESIMPULAN

 

            Secara garis besar Maqasid Syar’iyah terbagi kepada 3. Pertama Dharuriyyat, kedua Hajiyyat dan yang ketiga Tahsiniyat. Yang paling menjadi perhatian ulama adalah Dharuriyyat karena ini hal yang primer atau kebutuhan pokok. Jika kebutuhan darurat ini tidak terpenuhi maka akan timbul kebinasaan secara luas. Sedangkan Hajiyat adalah kebutuhan sekunder, kebutuhan bersama yang dampaknya sosial. Dan yang terakhir tahsiniyat atau kebutuhan pelengkap atau penyempuna. Ketiganya menjadi bagian yang menyatu dalam tujuan disyariatkannya suatu hukum. Tanpa adanya ketiga ini maka tidak ada hukum syariah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Abubakar, Al Yasa’ 2012, Metode Istishlahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqh, Banda Aceh: CV Diandra Primamitra Media

Djazuli, 2003, Fiqh Siyasi, Bandung : Prenada Media

Qardhawi, Yusuf, 1999, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, Kairo: Maktabah Wabah.

Wahab Khallaf, Abdul, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam , Jakarta : Raja Grafindo Persada.



[1] A. Djazuli, 2003, Fiqh Siyasi, Bandung : Prenada Media, h. 397

[2]Al Yasa’ Abubakar, 2012, Metode Istishlahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqh, Banda Aceh: CV Diandra Primamitra Media, h.  39-40

[3] Yusuf Qardhawi, 1999, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, Kairo: Maktabah Wabah, h. 79

[4] Abdul Wahab Khallaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam , Jakarta : Raja Grafindo Persada, h.  333-343


Tidak ada komentar:

Posting Komentar