Jumat, 03 Juli 2020

ITTIBA', TAQLID DAN TALFIQ DALAM USHUL FIQIH


BAB II
PEMBAHASAN
A. Taklid
1. Pengertian Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah”
(kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada
orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady
(mengalungi hewan kurban).Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu
seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.1
Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil.
Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui
keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara
tersebut disebut muqallid.2
2. Hukum – Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid
yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.3
a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang
awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari
hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana
mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan
diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku
bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim
yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki
kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi
1 Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2003), h. 87.
2 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 61.
3 Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.
155.
3
orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang
tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau
kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta
tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah
mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum
syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi
buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid
orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan
ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah
ayat 170 :
قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا 􁀃 وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ َّ
يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?".(Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid
yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli
atau buta.Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah
mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa
pamrih.Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil
bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran
Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun,
4
boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soalsoal
dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum
Allah dan Rasul.
B. Ittiba’
1. Pengetian Ittiba’
Ittiba’ artinya menurut atau mengikut.Menurut istilah agama yaitu
menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya
(dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan
hujjah.4Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.5 Sedangkan
menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang
lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang
melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
2. Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah
tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya.
Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba,
mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi
dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang
memiliki syarat untuk ijtihad.6
4 Nazar Bakry, Op.cit., h. 60.
5 Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 163.
6Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam,
(Surabaya: Citra Media, 1997), h. 164.
5
C. Talfiq
1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam.Ia diumpamakan
seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan
sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari
berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang
utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang
mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam
masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain
talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari
kalangan ahli fiqh.7Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah
(hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab
atau lebih.8
Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang
bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula
memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada
hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari
yang mudah-mudah saja.Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam
berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah
boleh.Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa
diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan
merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut
dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.9
2. Hukum Talfiq
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau
tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun
7M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 89.
8 Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 164
9 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h.
177.
6
sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.10 Pendapat tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih)
salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya
itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Keadaan orang itu sama dengan seorang
mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus tetap
beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah dalil yang
dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil
yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu
menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang
dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq
hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama
Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
b. Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah
satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk
mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu
kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua samasama
memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat
dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari
Malikiyah.
c. Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah
satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke
mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan
mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan
gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara
dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak
10 Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.cit., h. 165.
7
membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa,
beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadits yang
mengatakan bahwa agama itu mudah.
Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq
hukumnya mubah (boleh).Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal
Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi
seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil
mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq
diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan
beberapa alasan yaitu :
a. Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu
mazhab;
b. Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah;
c. Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan
mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang
menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan;
d. Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama
mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab;
e. Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta
penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang
lebih senior.11
D. Perbedaan Taklid, Ittiba’, dan Talfiq beserta Contohnya
Taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap
maupun perilakunya.Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan
dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang
11 M Ali Hasan, Op.cit.,h. 91.
8
menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.12Sedangkan talfiq pada dasarnya
adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih untuk menyelesaikan masalahmasalah
hukum.
Contoh taklid: seseorang yang melakukan gerakan ruku’ dan sujud ketika dia
hanya mengikuti guru ngajinya, tanpa pernah tau dari mana dalil yang
melandasinya.
Contoh ittiba’: seseorang yang sedang baca doa qunut saat shalat shubuh
mengikuti mazhab Imam Syafi’i, dan tau dalil yang melandasinya.
Contoh talfiq: dalam masalah rukun nikah mazhab Al-Hanabilah, sebuah
pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali khususnya bagi wanita yang sudah
pernah menikah sebelumnya. Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan
sudah dianggap sah meskipun tidak ada saksi-saksi.Dan dalam
pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak diberi
mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya. Ketiga pendapat yang berbeda itu
kalau ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadijadian’.
Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan menolak
model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut pandang masing-masing
mazhab, pernikahan itu tidak sah. Pernikahan model begini para prinsipnya
sama saja dengan sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-namakan
pernikahan.
12 Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999), h. 25.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taqlid adalah mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil.
Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui
keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Secara hukum taklid dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam
yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum
syariat.
2. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah
mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum
syariat.
Ittiba’ yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui
alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat
dijadikan hujjah. Hukum ittiba’ bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum
daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengemukakan hujjahnya.
Talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian
mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama
maupun dalam masalah yang berbeda. Hukum talfiq adalah mubah (boleh).
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih ada
kekurangan sehingga penyusunan berharap saran dan kritik dari pembaca
sekalian agar penyusun dapat meningkatkan dan memperbaiki penyajian makalah
yang lebih baik dari sebelumnya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi Yusuf, 2003, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama
Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Arifin Miftahul dan Haq Ahmad Faisal, 1997, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan
Hukum Islam, Surabaya: Citra Media
Bakry Nazar, 2003, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasan M Ali, 2002, Perbandingan Mazhab, cet 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hanafi Ahmad, 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, Jakarta: PT Bulan
Bintang.
Rosyada Dede, 1999, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta: Logos
Umam Khairul dan Aminudin A. Achyar Aminudin, 2001, Ushul Fiqih II, cet. 2,
Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar