Jumat, 17 Juli 2020

ISLAM BUGIS (SULAWESI)

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Istilah bugis menurut kamus dewan bermakna suku bangsa yang berasal dari Sulawesi selatan, Indonesia yang terkenal sebagai pelaut. Suku ini juga merupakan bagian dari suku etnik lainnya di wilayah Sulawesi yaitu termasuk kelompok suku bangsa toraja, mandar dan Makassar. Orang bugis kini dengan populasinya mencapai empat juta yang mendiami hamper kesemua kawasan Sulawesi selatan di mana kebanyakan agama yang dianut oleh mereka adalah agama islam. Suku ini merupakan suku bangsa yang menyebar dan merantau hamper keseluruh kawasan pesisir pantai kepulauan nuantara Indonesia.

Keragaman etnis dan budaya memiliki potensi besar dalam membangun bangsa ini, termasuk dalam pembangunan dan pengembangan pendidikan. Keragaman budaya yang tumbuh dan berkembang pada setiap etnis seharusnya diakui eksistensinya dan sekaligus dapat dijadikan landasan dalam pembangunan pendidikan. Tilaar  mengemukakan bahwa pendidikan nasional di dalam era reformasi perlu dirumuskan suatu visi pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas berdasarkan kebudayaan nasional. Sedang kebudayaan nasional sendiri dibangun dari kebudayaan daerah yang tumbuh dan berkembang di setiap etnis. Dalam kaitannya dengan upaya pembaharuan pendidikan dan keragaman budaya, maka faktor sosial budaya tidak dapat diabaikan. Sistem pendidikan yang digunakan di negara maju, seyogyanya tidak diciplak secara menyeluruh tanpa memperhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan suatu negara harus sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa sendiri. Indonesia dengankeanekaragaman budayanya, perlu melakukan kajian tersendiri terhadap sistem pendidikan yang akandigunakan, termasuk sistem pendidikan yang akan digunakan di setiap daerah dan setiap etnis, sehinggasistem yang dipakai sesuai dengan kondisi budaya masyarakat setempat.

Oleh karena itu, perlu ada upaya bagaimana memperhatikan dan mengungkapkan keterlibatan faktor budaya dalam interaksi tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.Siri’ sebagai inti budaya Bugis-Makassar memiliki potensi untuk dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, sebab siri’ merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk meningkatkan harkat,martabat dan harga diri, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Etnis Bugis dan etnis Makassar adalah dua diantara empat etnis besar yang berada di Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup orang Bugis padaumumnya sama dan serasi dengan kebudayaan dan pandangan hidup orang Makassar. Oleh karena itu membahas tentang budaya  Bugis sulit dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya Makassar. Hal ini sejalan dengan pandangan Abdullah yang mengatakan bahwa dalam sistem keluarga atau dalam kekerabatan kehidupan manusia Bugis dan manusia Makassar, dapat dikatakan hampir tidak terdapat perbedaan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kedua kelompok suku bangsa ini (suku Bugis dan suku Makassar) pada hakekatnya merupakan suatu unit budaya. Sebab itu, apa yang berlaku dalam duniamanusia Bugis, berlaku pula pada manusia Makassar.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah Masuknya islam di Sulawesi ?

2.      Apa saja Kerajaan melayu di Sulawesi ?

3.      Bagaimana Adat istiadat bugis islami ?

4.      Apakah melayu bugis identic dengan islam ?

5.      Apa saja Tarian adat bugis islami yang popular ?

C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah Masuknya islam di Sulawesi

2.      Untuk mengetahui apa saja Kerajaan melayu di Sulawesi

3.      Untuk mengetahui bagaimana Adat istiadat bugis islami

4.      Untuk mengetahui apakah melayu bugis identic dengan islam

5.      Untuk mengetahui Apa saja Tarian adat bugis islami yang popular

 

                                                                                                     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Menurut ilmu khaldun Tamadun adalah diantara sarjana islam yang  pertama membahas konsep ketamadunan.beliau menggunakan istilah hadarah yang merupakan lawan daripada bdawah yaitu kehidupan badwi.beliau juga menggunakan istilah umran yang bermakana pembangunan.dalam kitabnya al-muqaddimah beliau lebih banyak menggunakan istilah umran yang bersal dari kata amarah, ta”mir yang bermaksud membangun,memajukan menghidupkan dan memakmurkan.bermula pada kurun ke 20, muncullah perkataan tamaddun dan maddaniyah.pemikir islam seperti Muhammad Abduh menggunakan istilah madaniyyah bersal dari madinah yang bermaksud Bandar atau kota yang merupakan asas dan tempat perkembangan sesuatu Tamadun.

Sedangkan istilah Melayu memiliki berbagai macam defenisi seperti dikemukakan oleh ilmuwan Van Ronekl yaitu, bangsa Melayu ialah orang yang bertutur bahasa Melayu dan mendiami Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Riau Lingga serta beberapa daerah di Sumatera khususnya di Palembang. Tetapi pengertian definisi Melayu tersebut berbeda dengan konsep Melayu berdasarkan Konsitusi Malaysia yang menyatakan bahwa bangsa Melayu adalah orang yang berbahasa Melayu, beragama Islam dan mengamalkan budaya Melayu.

Sulawesi selatan adalah salah satu dari 34 provinsi dalam Negara kesatuan republic Indonesia. Diprovinsi ini terdapat empat suku bangsa utama yaitu, toraja, Makassar, bugis dan mandar.[1] Suku bugis adalah salah satu suku yang terbesar yang mendiami daerah Sulawesi selatan. Suku bangsa bugis terutama mendiami kabupataen-kabupaten bone, wajo, soppeng, sinjai, bulukumba, barru, pare-pare, sidrap, pinrang dan luwu. Sebagahagian penduduk pangkajene dan maros, sebagai daerah perbatasan antara negeri-negeri orang bugis Makassar, adalah orang bugis atau orang Makassar.[2] Bugi adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku melayu deutero . kata bugis berasal dari kata to ugi yang berarti orang bugis.[3]

Melayu bugis merupakan orang-orang melayu (johor, minangkabau, dan pattani) yang melakukan migrasi ke Sulawesi selatan sejak tahun 1490. Perantau-perantau ini akhirnya melahirkan keturunan yang berperan di kerajaan-kerajaan Sulawesi selatan, riau, dan semenanjung Malaysia.

Pada tahun 1542, Antonio de paiva seorang petualang portugis mendarat di siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De paiva menyatakan ketika mendarat ia telah bertemu orang melayu di siang. Mereka mendiami perkampungan melayu dengan susunan masyarakat yang teratur sejak 1490.[4]

Manuel pinto yang mengunjungi siang pada tahun 1545, menyatakan bahwa orang melayu di siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa. Pada zaman pemerintahan karaeng tumaparisi kallonna (1500-1545) orang melayu sudah mendirikan pemukiman di mangallekana, sebelah utara somba opu ibu kota kerajaan gowa. Pada masa karaeng tunipalangga, orang melayu mengutus datuk nahkoda boning menghadap raja gowa agar mangallekana diberi hak otonomi.

Sejak kedatangan orang melayu ke kerajaan gowa, peranannya tidak hanya sebagai pedagang dan ulama, tetapi juga memengaruhi kehidupan social dan politik kerajaan. Besarnya jumlah dan peranan orang melayu dikerajaan gowa, menyebabkan raja gowa XII karaeng tunijallo (1565-1590) membangun sebuah masjid di mangallekana untuk orang melayu, sekalipun raja belum islam.[5]

B.     Masuknya islam di Sulawesi

Agama adalah bagian yang penting dalam sebuah masyarakat. Agama memainkan peranan dalam membentuk kehidupan masyarakat kea rah yang lebih baik. Di masyarakat bugis mayoritas memeluk agama islam, hal ini terlihat dari begitu banyak masjid-mesjid yang dibangun diwilayah orang bugis. Orang bugis bersama orang aceh, melayu, banjar, sunda, Madura, dan tentu saja orang makssar dianggap termasuk diantara orang Indonesia yang paling kuat dan teguh memeluk ajaran islam.[6] Namun ketika dilihat secara dekat masih banyak orang bugis baik dikota maupun didesa masih saja mempertahankan kehidupan sebelum islam masuk sebagai agama kepercayaan mereka. Misalnya, ritual-ritual masyarakat, kepercayaan mereka terhadap mitos pra islam, persembahan kepada benda-benda pusaka dan tempat-tempat keramat, serta kehadiran sejumlah pendeta yang bisu yang masih tetap berperan aktip. Padahal, semua unsur tersebut sangat bertentangan dengan ajaran islam yang mereka anut. [7]

Sinkretisme dalam masyarakat bugis tradisional masih tetap melekat, meskipun ajaran islam telah begitu lama masuk dalam masyarakat bugis. Sebagian muslim bugis yang rajin datan ke masjid sekalipun, ada yang tanpa ragu-ragu dan terang-terangan melakukan praktik sinkretisme. Mereka sering kali menggabungkan unsur-unsur yang ada di dalam kepercayaan tradisional dengan unsur yang ada di dalam islam. Tindakan ini sering kali ditentang oleh kaum muslim ortodoks, yang menekankan ajaran islam yang murni. Namun meskipun demikian ritual kepercayaan tradisional sering kali tumpang tindih dengan ajaran islam. Sebagai contoh, meskipun digunakan untuk ritus non islam, pengorbanan hewan selalu dilakukan sesuai ajaran islam dengan menyembelih lewat leher didahului ucapan bismillah.[8]

Pandangan yang berkembang di kalangan masyarakat bugis dan Makassar Sulawesi selatan, menyebutkan bahwa agama islam pertama datang ke daerah ini pada awal abad ke 17. Islam di perkenalkan pertama kalinya oleh para muballig dari minangkabau, sumatera barat yang ketika masih berada di bawah kekuasaan kesultanan aceh.[9]

Mengenai hal ini mattulada dalam bukunya sejarah masyarakat dan kebudayaan Sulawesi selatan, menyebutkan bahwa seorang ulama dari minangkabau tengah, sumatera barat bernama abdul kadir khatib tunggal tiba di pelabuhan tallo pada tahun 1605 dengan menumpang sebuah kapal perahu. Setibanya dipantai ia kemudian melakukan sholat yang mengherankan rakyat. Ia menyatakan maksud kedatangannya untuk menghafdap raja. Raja tallo yang mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang yang berbuat aneh itu. Di tengah perjalanan ke pantai, di pintu gerbang halaman istana tallo, raja bertemu dengan seorang tua itu kemudian menulis sesuatu di atas kuku ibu jari raja tallo dan mengirim salam pada orang yang berbuat aneh di pantai itu. Ketika raja bertemu dengan orang aneh di pantai itu, yang tiada lain abdul kadir tunggal, disampaikanlah salam orang tua tadi. Kemudian mengenai tulisan yang ada di atas kuku ibu jari raja tallo, ternyata adalah tulisan berlafazkan surah al-fatihah. Khatib tunggal menyatakan bahwa orang tua yang menjumpai raja adalah penjelmaan Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya dari kisah itulah, kemudian orang Makassar menamakan penjelmaan Nabi Muhammad sebagai “Makassar”.[10]

Peristiwa tersebut di atas membawa implikasi terhadap di Islamkannya  Kerajaan Tallo, yang diterima oleh Rajanya yang pertama yang bernama I’ Mallingkang Daeng Mannyonri Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Setelah memeluk agama Islam, raja ini kemudian memakai nama Islam dengan gelar “Sultan Alauddin Awwalul Islam”. Peristiwa masuknya Islam Raja Tallo pertama terjadi pada malam Jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awwal 1014 H.[11]

Selain itu terdapat informasi yang masih perlu untuk diteliti dan diuji  kebenarannya, bahwa sebelum kedatangan ketiga datuk yang berasal dari Sumatera, telah ada ulama keturunan Arab yang datang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan Islam. Ulama keturunan Arab yang dimaksud menurut laporan itu ialah Sayyid Jamaluddin al-Husayn al-Akhbar yang berada di daerah ini sekitar abad ke-14 M.[12]

Kehadiran masyarakat Melayu di Sulawesi Selatan, terutama di masa pemerintahan Kerajaan Gowa pada abad ke 16 M, menunjukkan bukti tentang masuknya agama dan peradaban Islam di kawasan ini. Mereka orangorang Melayu yang datang dari berbagai negeri, seperti Aceh, Campa, pattani, johor dan minangkabau, umumnya bekerja sebagai pedagang. Kehadiran mereka telah mendahului ketiga muballig penyebar Islam dari Minangkabau Sumatera Barat. Orangorang Melayu yang diberikan tempat oleh pemerintah kerajaan Gowa di daerah Mangallekana, sebuah perkampungan di dekat Somba Opu yang dilengkapi dengan Masjid, adalah menjadi bukti kehadiran Islam di kawasan  ini sebelum para tiga muballig dari Minangkabau tersebut berhasil mengislamkan Kerajaan Luwu dan Kerajaan Gowa.[13] Namun demikian perlu diketahui bahwa dengan kedatangan Islam di daerah ini, tidak berarti secara langsung menghilangkan seluruh adat istiadat dan tradisi local yang dipegang teguh oleh masayarakat.

Dalam konteks syiar Islam di dalam masyarakat Muslim, terdapat         orang-orang yang diberi tugas khusus untuk mengajarkan, menyebarluaskan ajaran agama dan nilai-nilai Islam, serta peradabannya kepada seluruh masyarakat. Orang yang diberi amanah tersebut dinamakan muballigh atau ustadz atau guru. Mereka juga mengajarkan baca tulis al-Qur’an kepada anak-anak Muslim agar mereka dapat membaca alQur’an dengan baik. Mereka inilah yang berperan di dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan pada masanya hingga kurun waktu memasuki abad ke-20. [14]

Pada periode pertama perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan, proses islamisasi ditandai dengan konversi keislaman para penguasa atau raja di daerah pesisir atau kota pelabuhan. Kemudian disusul peran mereka sebagai pelindung dalam pengembangan pusat penyiaran Islam di wilayahnya masing-masing. Demikian juga, akselerasi proses permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan sangat ditunjang dengan system pendekatan dan metode dakwah yang dilakukan oleh tiga muballigh dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan pendekatan akomodatif, adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur struktur birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masayarakat lokal. Hal ini memberikan penegasan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah melalui pintu istana raja.[15]

Sementara itu, keberadaan ulama asal Bugis dalam peran islamisasi di Sulawesi Selatan pasca tiga muballigh asal Minangkabau, tidak ada informasi mengenai hal tersebut sampai munculnya ulama besar yang terkenal dalam sejarah Bugis dan Makassar, yakni Syekh Yusuf al-Makassari Tajul Khalwati (1626-1669) . Demikian juga, setelah kepergian Syekh Yusuf. Hasil penelusuran literature sejarah sulit menemukan nama atau tokoh yang dapat digolongkan sebagai ulama Bugis dan Makassar yang memiliki peran penting dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan hingga memasuki abad ke-20 M. Terdapat dua periode atau masa yang mengalami kehilangan jejak sejarah mengenai islamisasi di Sulawesi Selatan. Kedua periode ini ialah, pertama adalah masa yang dimulai sejak penerimaan Islam pertama kali oleh masyarakat Sulawesi Selatan hingga munculnya Syekh Yusuf al-Makassari. Kedua, adalah masa setelah kepergian Syekh Yusuf hingga masa peralihan menuju abad ke-20 M. Dari kasus ini, muncul pertanyaan sejarah, “apakah dalam dua masa atau periode tersebut tidak terdapat ulama atau muballigh Bugis dan Makassar yang mengisi posisi sebagai penyebar agama dan kebudayaan Islam ketika itu, ataukah ada tetapi tidak meninggalkan karya besar yang dapat menjelaskan peran mereka dalam pentas sejarah Islam di Sulawesi Selatan?” Bagian ini merupakan hal yang menarik dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kajian sejarah untuk mengungkap apakah ada peran ulama Bugis dan Makassar mulai dari masa yang paling awal di dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Hal ini tidak mudah untuk dijawab, disebabkan kurangnya sumber sejarah yang dapat mendukung upaya mengungkap latar historis peran ulama Bugis dan Makassar dalam proses Islamisasi di daerah ini. Hanya sebagian kecil yang dapat diidentifikasi sebagai ulama Bugis dan Makassar yang paling awal selain Syekh Yusuf, yaitu Abdul Wahab al-Bugisi (abd ke-18 M), dan Abdul Hafidz Bugis (abad ke-19 M). Tetapi meskipun para ulama ini cukup terkenal di luar tanah Bugis, namun dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan, karya mereka berupa buku atau kitab kurang dikenal, kecuali beberapa karya dari Syekh Yusuf. Hal ini disebabkan karena hampir sebagaian besar usia mereka dihabiskan di luar tanah BugisMakassar. Syekh Yusuf banyak menghabiskan waktunya di Banten, Tanah Arab, Srilangka dan Afrika Selatan. Sementara dua ulama Bugis lainnya, Abdul Wahab al-Bugisi banyak menghabiskan waktunya di tanah Arab dan Banjarmasin (Kalmantan). Begitu juga Abdul Hafidz Bugis banyak menghabiskan waktunya di tanah Arab. Beruntunglah Syekh Yusuf sempat menulis karya atau kitab yang dapat dibaca oleh masyarakat Bugis-Makassar. Syekh Yusuf juga masih sempat mengirimkan muridnya untuk kembali ke tanah Bugis-Makassar mengajarkan Islam, terutama mengenai tasawuf. Tersebutlah beberapa nama murid Syekh Yusuf, yaitu Syekh Nuruddin Abdul Fattah, Abdul Basyir alDarirul Khalwati dan Abdul Kadir Daeng Majannang.[16]

Mereka inilah yang berhasil mengajarkan dan menyebarkan ajaran tarikat Khalwatiyah yang dikembangkan oleh Syekh Yusuf yang kemudian tersebar luas di daerah Sulawesi Selatan. Proses penyebaran ajaran tarikat Khalwatiyah Syekh Yusuf ini pada periode selanjutnya selalu berada di tangan para elite Bugis-Makassar. Hal ini mempertegas bahwa transformasi ajaran Islam yang diperankan oleh Syekh Yusuf tampak lebih fokus pada usaha mengajarkan tarikat Khalwatiyah pada kalangan masyarakat Bugis-Makassar  melalui karya atau kitab yang ditulisnya, baik dalam bahasa Bugis, Makassar maupun dalam bahasa Arab. Tarikat Khlwatiyah ini mengalami perkembangan yang cepat, sehingga menurut seorang ahli Indonesianis tentang Islam, Van Bruinessen, bahwa tarikat ini telah berakar secara kuat di kalangan masyarakat Bugis Makassar, dan menjadi salah satu faktor utama yang memberi warna tersendiri corak Islam di Sulawesi Selatan sepanjang sejarahnya. (van Bruinessen, 1995:294-296)

Abu Hamid, seorang Antropolog dari universitas hasanuddin mengungkapkan bahwa, ada tiga pola pendekatan keislaman yang dilakukan oleh ulama dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Pertama, penekanan pada aspek syariat dilakukan untuk masyarakat yang kuat berjudi dan minum ballo’ (arak), mencuri atau perbuatan terlarang lainnya. Pendekatan seperti dilakukan oleh Datuk ri Bandang di daerah Gowa. Kedua, pendekatan yang dilakukan pada masyarakat yang secara teguh berpegang pada kepercayaan Dewata Sewwae’ dengan mitologi La Galigonya, ialah dengan menekankan pada aspek aqidah (tauhid) mengesakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketiga, penekanan pada aspek tasawuf dilakukan bagi masyarakat yang kuat berpegang pada kebatinan dan ilmu sihir (black magic). Usaha seperti ini ditempuh oleh Datuk ri Tiro di daerah Bulukumba. [17]

Walaupun ada petunjuk yang diperoleh d ari p en jel asan di a tas mengenai adanya pusat kajian Islam di daerah Sulawesi Selatan pada paruh pertama abad ke 19, seperti di Pulau Salemo, Pulau Karanrang, Balannipa (Mandar), Palopo (Luwu), Wajo dan Bone. Namun harus diakui tidak banyak dari kalangan ulama Bugis-Makassar yang lahir dari puast kajian Islam tersebut, dapat dimasukkan sebagai tokoh pemikir Islam, yang menghubungkan jalinan kesejarahan dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan. Fakta kesejarahan tentang Islamisasi di Sulawesi Selatan yang dilakukan para ulama sufi, seperti Syekh Yusuf dan yang lainnya, telah menggugat tesis bahwa para pedagang merupakan aktor utama dalam proses Islamisasi di Nusantara mulai dipertanyakan. Dalam bahasa retorik Taufik Abdullah,”para ahli masih memperdebatkan tentang kemungkinan pedagang sebagai penyebar agama. Menjadi persoalan, dikarenakan apakah pedagang, yang tentu saja perhatian utamanya adalah mencari untung, betul-betul sanggup menyebarkan agama Islam”? [18]

Dalam hubungannya dengan persoalan ini, studi yang dilakukan oleh Anthony H. Johns semakin memperkuat pendapat bahwa para tokoh sufi dan tarikatlah yang mampu menyebarkan agama Islam di Indonesia sampai ke pelosok daerah pedalaman dan terpencil.[19] Ketika Kerajaan Gowa Tallo menjadi pemegang hegemoni kekuasaan Islam di Sulawesi Selatan, maka semua daerah yang belum memeluk agama Islam, terutama di daerah pedalaman, seperti Kerajaan Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng harus diislamkan. Gerakan ini merupakan gerakan politik atau ekspansi yang dlakukan oleh Kerajaan Gowa Tallo dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya. Dengan memakai media agama Islam, Gowa mengajak beberapa kerajaan di pedalaman Sulawesi selatan untuk memeluk agama Islam. Namun ajakan Gowa Tallo ini mendapat penolakan. Konsekwensi dari penolakan tersebut menyebabkan Gowa Tallo melancarkan serangan militer ke daerah Kerajaan Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng. Setelah daerah kerajaan ini dikalahkan, maka barulah agama islam diterima para penguasa dan rakyat kerajaan dipedalaman Sulawesi selatan. Tersebutlah kerajaan yang memeluk agama islam karena kalah dalam peperangan adalah sidenreg rapang dan soppeng (masuk islam tahun 1609 M), menyusul wajo tahun 1610 M, dan terakhir adalah Bone pada tahun 1611 M. [20]

C.     Kerajaan Islam di Sulawesi

1.      Kerajaan gowa tallo

a.       Sejarah awal

Pada awalnya di daerah gowa terdapat Sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama bate salapang (Sembilan bendera) yang kemudian meliputi pusat kerajaan gowa: tombolo, lakiung, parang-parang, data, angangjene, saumata, bissei, sero dan kalili. Melalui berbagai cara baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya ergabung untuk membentuk kerajaan gowa. Cerita dari pendahulu di gowa di mulai oleh tumanurung sebagai pendiri islam gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya tumanurung, dua orang pertama adalah batara guru dan saudaranya. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan gowa dan tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan kerajaan Makassar.

Pada abad ke 17 di Sulawesi selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti gowa, tello, soppeng dan bone. Diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah gowa dan tallo keduanya lebih dikenal dengan kerajaan Makassar. [21]

Tokoh  Kerajaan Makassar adalah Sultan Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri Agamanna. Ia merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama islam yang memerintah dari tahun 1591 – 1638. dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah. Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya  Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.

Di daerah Sulawesi selatan proses islamisasi semakin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Dato’tallu (tiga dato), yaitu dato Ri bandang (Abdul Makmur atau khatib Tunggal) dato Ri pattimang (Dato Sulaemana atau Khatib Sulung), dato Ri Tiro (Abdul Jawad atau khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari kolo tengah, minangkabau. Para mubalig itulah yang mengislamkan raja luwuw yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar sultan Muhammad pada 15-16 ramadhan 103 H (4-5 februari 1605 M). kemudian disusul oleh raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Malingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada jum’at sore, 9 jumadil awal 1014 H atau 22 september 1605 M dengan gelar sultan Abdullah. Selanjutnya karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada jum’at 19 rajab 1016 H atau 9 november 1607.[22]

Peristiwa masuknya islam raja gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran islam di Sulawesi selatan, karena setelah itu terjadi konversi kedalam islam secara besar-besaran. Konversi itu ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit sultan Alauddin pada tanggal 9 November 1607 sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat.[23]

Setelah kerajaan gowa  dan tallo menjadi kerajaan islam dan raja-rajanya telah memeperoleh gelar sultan, maka kerajaan itu juga yang menjadi pusat pengislaman di seluruh Sulawesi selatan, agar mereka juga menerima islam. Seruan ini juga berdasarkan perjanjian gowa dengan kerajaan lain, yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu kepada raja-raja yang lain. [24]

Perkembangan islam di Sulawesi selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme khalwatiyah dari syeikh yusuf al-makassari juga tersebar di kerajaan gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan gowa, maka ia meninggalkan Sulawesi selatan dan pergi ke banten ia diterima oleh sultan ageng tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti dikesultanan.

Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.

Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujung pandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan   berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.

 

b.      Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo

Bebrapa peninggalan kerajaan gowa tallo diantaranya adalah banteng Rotterdam (banteng ujung pandang), batu pallantikang, masjid ketangka, kompleks makam katangka, serta makam syekh yusuf.

1.      Banteng Rotterdam

Banteng peninggalan masa kejayaan kerajaan gowa tallo yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar. Banteng ini dibangun oleh raja gowa ke-9 yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi Kallona pada tahun 1545. Awalnya berbahan tanah liat, raja gowa ke-14 yakni sultan Alauddin kemudian memugar bangunan banteng dengan bahan batu padas yang diperoleh dari pegunungan karst di maros. Orang makssar menyebut banteng Rotterdam dengan sebuatn banteng panyyua atau banteng penyu. Karena jika dilihat dari atas banteng ini memiliki bentuk seperti penyu. Bentuk ini memiliki filosofis bahwa kerajaan gowa tallo adalah kerajaan yang Berjaya di laud an daratan, sama seperti penyu yang hidup di dua alam.

2.      Batu pallantikang

Batu pallantikan atau batu pelantikan adalah sebuah batu andesit yang diapit batu kapur. Batu peninggalan kerajaan gowa tallo ini dipercaya memiliki tuah karena dianggap sebagai batu dari khayanagn. Karena anggapan tersebut sesuai namanya batu ini dgunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja atau penguasa baru di kerajaan gowa tallo.

3.      Masjid katangka

Masjid katangka terletak beberapa ratus meter di sebelah timur makam di sisi selatan jalan yang menjadi batas administrasi antara kota Makassar dengan kabupaten gowa. Tahun didirikan masjid katangka tertera pada 1603 prasasti namun diragukan beberapa sejarawan, mengingat konstruksi dan arsitekturnya yang tidak sesuai dengan zaman dan tempat pembangunannya. Masjid ini dikelilingi oleh makam raja dari keluarga pendimnya, para pemuka islam dengan bentuk cukup khas dan unik dengan model makam raja-raja bugis Makassar.[25]

4.      Kompleks makam katangka

Diareal masjid katangk terdapat sebuah kompleks pemakaman, makan sultan hasanuddin. Makam raja-raja bisa dikenali dengan mudah karena diatapi dengan kubah. Sementara makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan raja hanya ditandai dengan batu nisan biasa.

5.      Makam syekh yusuf

Syekh yusuf adalah ulama besar yang hidup dizaman colonial belanda. Pengaruhnya yang sangat besar bagi perlawanan rakyat gowa tallo terhadap penjajah, membuat belanda mengasingkannya ke srilanka, kemudian ke cape town, afrika selatan, jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian dikembalikan ke Makassar dan dimakamkan di sana, tepatnya di dataran rendah lakiung sebelah barat masjid katangka.

c.       Perkembangan Ekonomi

Pada abad ke-11 sulawesi selatan terdapat kerajaan gowa, tallo, wajo, soppeng dan luwu. Perkembangan kerajaan-kerajaan itu tidak sama karena masing-masing mempunyai potensi yang berbeda. Kerajaan gowa dan tallo menjadi besar karena letaknya straategis yaitu berada dijalur perdagangan sehingga sering menjadi tempat persinggahan pedagang dari ternate dan tidore yang akan berdagang ke malaka atau jawa. Kerajaan gowa tallo berkembang pesar dan menjadi penghubung antara malaka, jawa dan Maluku. Pertumbuhan Makassar makin cepat setelah malaka jatuh ke tangan portugis (1511) , sedangkan Maluku dikuasai oleh portugis dan belanda.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan Ade’ Aloping Loping Bicaranna Pabbalue, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.

 

d.      Perkembangan pemerintahan politik

Puncak kegemilangan kerajaan Makassar terjadi saat sultan hasanuddin memegang tampuk kekuasaan. Di tangannya kerajaan Makassar berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan jaringan perdagangan yang kuat dan pengaruh yang luas. Kehidupan politik kerajaan gowa  tallo dilihat dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan dan hubungannya dengan pihak luar negeri.

Raja-raja yang memerintah adalah:                                  

1.      Karaeng matoaya

2.      Sultan alauddin

3.      Sultan Muhammad said

4.      Sultan hasanuddin

5.      I Mappasomba

e.       Kehidupan social dan budaya

sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.  Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral.  Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.

 

f.       Perkembangan Agama

Agama yang berkembang di kerajaan gowa tallo adalah agama islam. Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi selatan mendapat tempat sibaik-baiknya bahkan ajaran sufisme khalwatiyah dari kaum syeikh yusuf al-makssari juga tersebar si kerajaan gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17 M.

g.      Masa kejayaan dan keruntuhan kerajaan gowa tallo

1)        Masa kejayaan

Kerajaan Goa dan Tallo adalah dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berhubungan dengan baik. Orang kemudian mengenal keduanya sebagai Kerajaan Makasar, yang sebenarnya adalah ibu kota Gowa yang disebut Ujungpandang.Kerajaan Makasar merupakan kerajaan maritim, penghasil rempah-rempah. Membentuk jalur perdagangan Nusantara yang sangat terkenal pada abad ke-16 dan 17 Masehi dan mempunyai hubungan diplomasi yang baik dengan kerajaan Ternate di Maluku. Sebelum abad 16 M, raja-raja Makasar belum memeluk Islam, setelah kedatangan Dato’ Ri Bandang, seorang penyiar Islam dari Sumatra, Makasar berkembang menjadi kerajaan Islam. Sultan Alaudin adalah raja Makasar pertama yang memeluk agama Islam, yang berkuasa dari tahun 1591 sampai 1638 M.Nama asli Sultan Alaudin adalah Karaeng Ma’towaya Trumamenanga Ri Agamanna.

Di bawah kekuasaannya Makasar tumbuh menjadi kerajaan maritim. Para pelaut mengembangkan perahu jenis Pinisi dan Lambo. Setelah Sultan Alaudin meninggal, digantikan oleh Muhammad Said pada tahun 1638 – 1653 M. Raja berikutnya adalah Sultan Hasanuddin yang berkuasa dari tahun 1653. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin Makasar menjadi gemilang, majunya perdagangan dan melakukan ekspansi.Kerajaan yang berhasil dikuasai Makasar di Sulawesi Selatan adalah Lawu, Wajo, Soppeng dan Bone. Sultan Hasanuddin berniat menguasai jalur perdagangan Indonesia bagian timur, sehingga harus menghadapi VOC sebelum menguasai Maluku yang kaya akan lada.Keberanian Hasanuddin melawan Belanda menyebabkan ia mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur. Kisah tentang keberanian Hasanuddin silahkan baca di artikel sejarah Sultan Hasanuddin Ayam jantan dari timur. Pada tahun 1667 dengan bantuan Raja Bone, Belanda berhasil menekan Makasar untuk menyetujui Perjanjian Bongaya. Perjanjian ini berisi 3 kesepakatan,  yaitu :

a)     VOC mendapat hak monopoli perdagangan di Makasar.

b)   Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makasar, dan Makasar harus melepas kerajaan daerah yang dikuasainya seperti Bone, Soppeng.

c)    Mengakui Aru Palaka sebagai raja Bone.

Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun 1669 Map Somba putranya berusaha meneruskan perjuangan ayahnya melawan Belanda. Belanda yang sangat menghargai tindakan kooperatif dari Mapa Somba harus mempersiapkan armada perang. Pelaut Makasar sangat tangguh ini ditunjang dengan keahlian mendesain berbagai kapal yang kuat dan indah seperti Pinisi, Lambo dan Padewalang yang dapat mengarungi daerah nusantara bahkan sampai ke India dan Cina.Makasar memiliki hukum perdagangan yang disebut Ade Alloping Bicaranna Pabbahi’e, juga mengadopsi hukum-hukum Islam dan menjalin kerjasama dengan Kerajaan Islam seperti Demak dan Malaka.

2). Masa runtuhnya kerajaan gowwa tallo

Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama napasomba. Sama seperti ayahnya, sultan ini menentang kehadiran belanda dengan tujuan menjamin eksistensi Kesultanan Makasar. Namun, Mapasomba gigih pada tekadnya untuk mengusir Belanda dari Makassar. Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan Mapasomba sendiri tidak diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan Makassar.

 

 

 

2.      Kerajaan Wajo

a.       Sejarah awal

Sejarah wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan to manurung. Sejarah awal wajo menurut lontara sukkuna wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir danau lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir danau lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan puangnge Ri Lampulung. Puang Ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau lampulung dari kata sipulung  b yang berarti berkumpul.

Komunitas lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke saebawi. Setelah puang ri lampulung meninggal komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya yaitu puang ri timpengeng di boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di boli. Komunitas boli berkembang hingga meninggalnya puang ri timpengeng.

Setelah itu putra mahkota kedatuan sina dan kerajaan mampu yaitu la paukke datang dan mendirikan kerajaan cinnotabi. Adapun urtan arung cinnotabi yaitu, la paukke arung cinnotabi I yang diganti oleh anaknya we panangngareng arung cinnotabi II. We ternrisui putrinya menjadi arung cinnotabi III yang diganti oleh putranya la patiroi sebagai arung cinnotabi IV. Sepeninggal la patiroi adat cinnotabi mengangkat la tenribali dan la tenritippe sekaligus sebagai arung cinnotabi V. setelah itu akkarungeng (kerajaan) cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di boli dan membentuk komunitas baru lagi yang diebut lipu tellu kajuue.

La tenritau menguasai wilayah majauleng, la tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan la matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali le tenriballi. Le tenriballi sendiri setelah kekosongan cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut akkarungeng ri penrang dan menjadi arung penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta le tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian assijancingeng ri majauleng maka dibentuklah kerajaan wajo. Le tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar batara wajo. Ketiga sepupunya bergelar paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut limpo. Le tenritau menjadi paddanreng ri majauleng, yang kemudian berubah menjadi paddanreng bettempola pertama. Le tenripekka menjadi paddanreng sabbamparu yang kemudian menjadi paddanreng talotenreng. Terakhir matareng menjadi paddanreng ri takkallala menjadi paddanreng tuwa.

Berita tentang tumbuh kembangnya kerajaan wajo terdapat pada sumber hikayat local. Di hikayat local terebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian kampong wajo yang didirikan oleh tiga anak raja dari kampung tetangga cinnotabi yang berasal dari keturunana dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa wajo: bettempola, talonlenreng, dan tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja diseluruh wajo dengan gelar batara wajo. Batara wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang renreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung mata artinya raja yang pertama atau utama.

Selama keempat arung mata dewan pangreh praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji) 30 orang ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi kerajaan bugis yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan kerajaan luwu dan bersatu dengan kerajaan bone dan soppeng dalam perjanjian tellum poco pada 1582.

Wajo pernah ditaklukkan kerajaan gowa dalam upaya memperluas islam dan pernah tunduk pada 1610. Disamping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa dato ri bandang dan dato sulaeman memberikan pelajaran agama islam terhadap raja-raja wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fiqh.

Persekutuan dengan gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalamm peperangan tapi berulang kali gowa juga mencampuri urusan pemerintah kerajaan wajo. Kerajaan wajo sering pula membantu kerajaan gowa pada peperangan baru dengan kerajaan bone pada 1643, 1660 dan 1667.  Kerajaan wajo sendiri pernah ditaklukkan kerajaan bone tetapi karena didesak maka kerajaan bone sendiri takluk kepada kerajaan gowa tallo dibawah sultan hasanuddin melawan VOC pimpinan spelman yang mendapat bantuan dari aru palaka dari bone berakhir dengan perjanjian bongaya pada tahun 1667. Sejak itu terjadi penyerahan kerajaan gowa pada VOC dan disusul pada 1670 kerajaan wajo yang diserang tertara bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota kerajaan wajo yaitu tosora. Arung matoa to sengeng gugur. Arung matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di makassar tentang penyerahan kerajaan wajo kepada VOC. [26]

Wajo memeluk islam resmi pada tahu 1610 pada pemerintahan la sangkuru patau mulajaji sultan abdurrahman dan dato sulaeman menjadi qadhi pertama wajo. Setelah dato sulaiman kembali ke luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, dato ri tiro melanjutkan tugas dato sulaiman. Setelah selsesai dati ri tiro ke bulukumba dan meninggal disana. Wajo terlibat perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah sulawesi yang tidak stabil dan posisi arung matowa la tenrilai to sengngeng sebagai menantu sultan hasanuddin. Kekalahan gowa tidak menyebabkan la tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian bongaya, sehingga wajo diserang oleh pasukan gabungan terlebih dahulu lamuru yang juga berpihak ke sultan hasanuddin juga diserang. Kekalahan wajo menyebabkan banyak masyarakat pergi meninggalkan wajo dan membangun komunitas social ekonomi di daerah rantauannya. La mohang daeng mangkona salah satu panglima perang wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai samarinda.

Wajo dibawah republic Indonesia timur, berbentuk swapraja pada tahun 194501949. Setelah konferensi meja bundar, wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1975. Antara tahun 1950-1957 pemerintah tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontakan DI/TII. Setelah 1957 pemimpin di wajo adalah seorang bupati, wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi onderpdeling, selanjutnya swapraja dan akhirnya menjadi kabupaten.

b.      Peninggalan kerajaan wajo

1.      Masjid kuno tosora

Sisa peradaban masa kerajaan wajo ini terletak di desa tosora, kecamatan majauleng. Lokasi ini pernah menjadi pusat peradaban di kabupaten wajo, karena merupakan pusat kerajaan wajo pada zaman dahulu. Bahkan tosora pernahmenjadi ibu kota kabupaten wajo sebelum dipindahkan ke sengkang. Berbagai peninggalan sejaran berupa bangunan maupun makam raja-raja wajo bisa ditemukan diwilayah ini.

2.      Makam-makam kuno

Di desa tosora terdapat banyak sekali makam-makam kuno yang tersebar dimana-mana, baik terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman maupun yang tersebar secara acak.

Peninggalan makammakam kuno yang dideskripsikan dalam tulisan ini terdiri atas tujuh kompleks yang penamaannya diberikan sesuai dengan nama tokoh yang paling berpengaruh yang dimakamkan didalmnya yaitu:

a)      Kompleks makam arung banteng pola

Kompleks makam ini berada pada ketinggian 30,6 m dpl. Terdapat 12 makam yang terlihat. Sebagian makam tersebut sudah tidak memiliki jirat. Bentuk nisannya terlihat terdiri dari meriam, mahkota dan pipih.

b)      Kompleks makam la tenrilai to sengngeng

Kompleks makam ini berda pada ketinggian 30,7 m dpl. Jumlah makam yang terlihat di kompleks makam tersebut sebanyak 44 makam. Bentuk jirat sebagian makam tersebut sangat sederhana. Hal tersebut karena sebagian makam tersebut terbuat dari papan batu yang disusun persegi. Bahkan ada juga makam yang tidak memiliki jirat. Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan yang ditancapkan.

c)      Komplks makam la mungkace to U’damang

Komplekas makam la mungkace to U’damang berada diluar banteng sisi utara. Makam terletak diketinggian 30,6 m dpl. Jumlah makam di kompleks ini sebanyak 83 makam. Sebagian besar jirat dikomplekas makam ini tidak terlihat (kemungkinan makam ini juga tidak ada jirat). Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan.

c.       Raja-raja yang memerintaah

Raja-raja yang memerintah di kerajaan wajo

Zaman sebelum islam

1.      La tenri bali batara wajo I (akhir abad ke XIV)

2.      La mataesso batara wajo II (awal abad ke XV)

3.      La pateddungi to samallangi batara wajo III (1436-1456)

4.      La palewo to palippu batara wajo IV (1456-1466)

5.      La obbi’ settiware batara wajo V (1466-1469)

6.      La tenri umpu’ to langi arung matoa wajo (1474-1482

7.      La tadangpare’ puang ri mggalatung arung matoa wajo (1482-1487)

8.      La tenri pakado to nampe arung mato wajo (1487-1491)

9.      La tadangpare’ puang ro maggalatung arung matoa wajo (1491-1521)

10.  La tenri pakado to nampe arung matoa wajo ( 1524-1535)

11.  La temmasonge arung matoa wajo (1535-1538)

12.  La warani to temmagiang arung matoa wajo (1538-1547)

13.  La mallagenni arung matoa wajo (1547/hanya dua bulan)

14.  La mappapuli to appamadeng ar

15.  Ung matoa wajo (1547-1564)

16.  La pakoko to pabelle arung matoa wajo (1564-1567)

17.  La mungkace to addamang arung matoa wajo (1567-1607)

Zaman islam

1.      La sangkuru patau mulajaji sultan abdul rahman arung matoa wajo matinroe ri alleparenna (1607-1610)

2.      La mappepulu to appamole arung matoa wajo (1612-1616)

3.      La samalewa to appakiu arung matoa wajo (1616-1621)

4.      La pakalongi to allinrung arung matoa wajo (1628-1626)

5.      La mappasaunge’ arung matoa wajo (1627-1628)

6.      La pakkalongi to allinrung arung matoa wajo (1628-1636)

7.      La tenri lai to addumemang arung matoa wajo (1636-1639)

8.      La isi gajang to bunne arung matoa wajo mattinroe ri batana (1639-1643)

9.      La makkaraka to pattemui arung matoa wajo matinroe ri panggaranna (1643-1648)

10.  La temmasonge puanna daeli petta pallinge arung matoa wajo  (1648-1651)

11.  La paremma to rewo arung matoa wajo mattinroe ri passirinna (1651-1658)

12.  La tenri lai to sengngeng arung matoa wajo mattinroe ri sale’kona (1658-1670)

13.  La palli li to mallu arung matoa wajo (1670-1679)

14.  La pariusi daeng manyampa arung matoa wajo matinroe ri buluna (1679-1699)

15.  La tenri sessu tomoe/to denra arung matoa wajo (1699-1702)

16.  La mattaone la sake daeng paguling puanna larumpang arung matoa wajo (1702-1703)

17.  La galigo to sunnia arung matoa wajo (1703-1712)

18.  La tenri werung arung paneki arung matoa wajo (1712-1715)

19.  La sallewangeng to tenriruwa arung matoa wajo (1715-1736)

20.  La maddukellang puangna la tombong arung paneki arung singkang sultan pasir arung matoa wajo (1736-1754)

21.  La maddnaca arung matoa wajo (1754-1755)

22.  La passaung puangna la omo arung matoa wajo (1758-1761)

23.  La mappaujung puangna salewong arung matoa wajo (1764-1767)

24.  La mallli ungeng to alleong arung alitta arung matoa wajo (1767-1770)

25.  La mal la lengeng (la cella puangna to appamadeng arung matoa wajo ( 1795-1817)

26.  La mamang to appamandeng radeng gallong arung matoa wajo (1821-1825)

27.  La paddengeng puangna palaguna arung matoa wajo (1839-1845)

28.  La pawellangi pajungperot arung matoa wajo (1854-1859)

29.  La ciccing (aki ali) karaeng mangeppe datu pammana pilla wajo arung matoa wajo (1859-1885)

30.  La koro batara wajo arung padali arung matoa wajo (1885-1891)

31.  La passamula datu lompulle arung matoa wajo (1892-1897)

Zaman pengaruh belanda

1.      Ishak manggabarani karaeng mangepe arung matoa wajo (1900-1916)

2.      La tenri oddang arung matoa larompong arung paneki arung lowa matoa wajo (1926-1933)

3.      Andi mangkona arung mariori wawo (1933-1949)/arung matoa terakhir

D.    Adat istiadat suku bugis

Terdapat dua pendapat utama mengenai asal-usul orang Bugis (To Ugi). Pertama, orang Bugis berasal dari India Belakang seperti halnya suku bangsa lain di Nusantara. Menurut pendukung pendapat, orang India Belakang datang secara bergelombang ke Nusantara pada ribuan tahun lalu. Orang Bugis, menurut pendapat ini, digolongkan dalam rumpun atau turunan Melayu Muda (Deutero Melayu) yang datang ke wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum mereka datang, Melayu Tua (Proto Melayu) terlebih dahulu mema suki wilayah ini.[27]

Pendapat ini juga didukung oleh fakta bahwa saat ini orang Bugis banyak yang telah beranak-pinak di beberapa daerah Melayu seperti Sumatera dan Kalimantan, bahkan di Malaysia. Pendapat pertama ini juga mendukung asumsi bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari India.

Kedua, orang Bugis merupakan salah satu rumpun dari orang Austronesia yang tersebar di beberapa tempat di Asia.[28] Penyebaran rumpun ini dalam perkembangannya melahirkan suku bangsa seperti Melayu, Bali, dan Jawa. Namun, mereka lebih terkenal dibandingkan Bugis. Pada abad ke-19, penyebaran orang Bugis telah merambah Singapura hingga Papua, dari bagian Selatan Filipina hingga ke pantai Barat Australia. Adapula yang mengatakan bahwa orang Bugis pernah menyeberangi samudera Hindia sampai ke Madagaskar sehingga keturunannya masih dapat dilacak di daerahdaerah tersebut.  Dari keterangan ini, orang pun mengatakan bahwa orang Bugis merupakan pelaut ulung di masanya karena kemampuan mengarungi lautan dengan keterbatasan alat pelayaran yang dimiliki. Pendapat ini merupakan pendapat yang banyak dijadikan rujukan mengenai asal-usul orang Bugis.

Kedua pendapat di atas setidaknya memberikan gambaran mengenai asal-usul orang Bugis meskipun terdapat perbedaan persepsi. Tidak hanya pada persoalan asal-usul, batasan mengenai siapakah yang termasuk orang Bugis pun sulit ditetapkan. Untuk memberikan batasan terhadap orang Bugis, penulis meminjam kerangka yang digunakan oleh Muhammad Damami (2002) untuk memberikan gambaran mengenai definisi masyarakat Jawa.

 

1.        Adat perkawinan dalam suku bugis

        Perkawinan merupakan hal yang sakral dimana laki-laki dan perempuan saling terikat oleh satu janji dalam membangun rumah tangga. Masyarakat Suku Bugis memandang perkawinan sebagai hal yang sangat penting hingga membuat sebuah kriteria yang dianggap sebagai perkawinan ideal.

Pembagian Perkawinan Suku Bugis

Sama halnya dengan masyarakat Suku Jawa yang memandang bobot, bibit, bebet sebelum melangsungkan perkawinan. Tak ayal jika masyarakat Suku ini juga memiliki kriteria tertentu dalam perkawinan diantara mereka. Berikut pembagian perkawinan ideal menurut masyarakat Suku Bugis :

a.       Assialang Marola

Dalam bahasa Makassar, istilah ini disebut Passialeng baji’na. Bentuk perkawinan ini dikatakan sebagai bentuk ideal yang utama. Hal ini karena perkawinan oleh masyarakat Suku Bugis yang dilaksanakan antara saudara sepupu sederajat ke satu baik dari pihak ayah atau ibu.

a.       Assialana Memang

Passialleana, begitulah masyarakat Suku Bugis menyebutnya. Seperti Assialang marola, Perkawinan ini juga melibatkan saudara sepupu namun pada sederajat kedua baik dari pihak ayah atau ibu.

b.      Ripanddepe’ Mabelae

Perkawinan ideal yang satu ini biasanya antara saudara sepupu sederajat ketiga baik dari pihak ayah atau ibu. Oleh masyarakat Bugis, biasanya dinamakan nipakambani bellaya. Sebagai bentuk ideal yang terakhir, ternyata perkawinan ini memiliki makna untuk merekatkan kembali kekerabatan yang agak jauh.

Kegiatan Sebelum Perkawinan

Seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya, masyarakat Suku Bugis juga memiliki kegiatan sebelum melangsungkan perkawinan. Hal ini disetiap kegiatannya tentu memiliki makna dan tujuan masing-masing.  Berikut kegiatan masyarakat Suku ini sebelum perkawinan :

a.    Ma’manu-manu/ A’ jagang-jagang

Sebelum melakukan proses lamaran atau melamar. Pihak keluarga dari calon mempelai pria melakukan penyelidikan mengenai calon mempelai perempuan. Seperti latar belakang, dan pendidikannya. Ini bertujuan untuk mengenal lebih dekat si calon menantu wanita.

b.    A’suro/Massuro

Setelah melakukan pengenalan lebih dalam, barulah keluarga dari pihak laki-laki melakukan acara lamaran secara resmi.

c.    Appa’nasa/Patenre

Setelah melakukan proses lamaran, maka dilakukan appa’nasa/patenre ada yaitu menentukan hari pernikahan, besarnya mas kawin dan uang belanja.

d.   Appanai Leko Lompo (Erang-erang)

Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut A’bayuang, dengan mengantarkan passio/passiko atau pattere (dalam bahasa Bugis). Prosesi mengantarkan pasio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau Appa’nasa.

e.    A’barumbung (Mappesau)

Ini adalah kegiatan mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita. Mandi uap ini bertujuan untuk menghilangkan aroma tidak sedap pada tubuh, memberikan kesegaran, mengeluarkan aura buruk dan mendatangkan aura baik. Biasanya mandi uap dilakukan selama tiga hari.

f.     Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing)

Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan prosesi siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin.

g.    A’bu’bu

Prosesi acara a’bu’bu (maceko) yaitu proses membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, agar hiasan hitam (da’dasa) pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.

h.    Appakanre Bunting

Dalam upacara ini, calon mempelai disuapi dengan makanan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo.

i.      Akkorontigi (Mappacci) atau Malam Pacar

Acara Akkorontigi merupakan kegiatan menghiasi rumah calon mempelai, kemudian melakukan appacci atau mappacci, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin wanita. Ini merupakan suatu rangkaian acara yang sakral dan dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.

j.      Assimorong/Menre’kawing

Ini merupakan puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar, yakni ketika kedua calon mempelai melakukan akad nikah.

k.    Appabajikang Bunting

Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita.

Dalam tradisi Bugis-Makassar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Setelah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.

2.      Kesenian suku bugis

Kesenian yang dimiliki setiap daerah tentunya saling berbeda dengan yang lain. Begitu pun masyarakat Suku Bugis yang memiliki kesenian yang tidak kalah menarik dengan suku lainnya. Kesenian dari suku ini ada Seni Tari dan seni musik terlihat dari beberapa alat musik yang dimiliki.

a.         Seni Tari Suku Bugis

Suku Bugis memiliki kesenian yang menarik berupa tari-tarian. Tarian yang dibawakan suku ini sangatlah indah dan mempesona serta memiliki beberapa nama. Nama tarian dari suku bugis diantaranya :

1.      Tari Paduppa Bosara

Tarian ini bermakna penyambutan tamu yang datang berkunjung. Hal ini sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima kasih kepada para tamu atas kedatangannya.

2.      Tari Pakarena

Pakarena dalam bahasa setempat diartikan sebagai main. Awalnya hanya digunakan untuk pertunjukan di istana kerajaan. Dalam perkembangannya tarian ini semakin dikenal. Tarian ini mencerminkan sifat lemah lembut dan sopan santun seorang wanita.

3.      Tari Ma’badong

Oleh masyarakat Suku Bugis digunakan pada saat upacara kematian. Para penari memakai pakaian serba hitam atau terkadang bebas. Para penari saling mengaitkan jari kelingking dengan membentuk lingkaran. Tarian ma’badong dilakukan dengan gerakan langkah silih berganti yang diiringi lagu yang menggambarkan kehidupan manusia dari lahir hingga mati.

4.      Tarian Pa’gellu

Tarian ini digunakan untuk menyambut seseorang yang pulang dari berperang. Dibalik tarian heroik yang satu ini, tersimpan peribahasa “jangan sampai kacang lupa kulitnya”. Intinya, sudah seharusnya selalu mengingat jasa-jasa pahlawan kita.

5.      Tarian Mabissu

Tarian ini mempertontonkan kesaktian para bissu di Sigeri Sulawesi Selatan. Jenis tarian ini menunjukkan bagaimana kebalnya mereka terhadap senjata debusnya. Sehingga tarian ini terkesan mistis namun estetis.

6.      Tari Kipas

Sesuai namanya, para penari menari dengan menggunakan kipas dan diiringi lagu. Keunikannya, meskipun gerakannya lemah lembut tapi dibalik itu irama yang dimainkan bertempo cepat. sehingga para penari dibalik itu dengan iramanya yang cepat harus tetap mempertahankan gerakannya lemah lembut.

b.         Alat music suku bugis

Adapun alat musik Suku Bugis diantaranya :

1.       Gandrang Bulo. Alat musik yang diambil dari nama gandrang dan bulo yang disatukan artinya menjadi gendang dari bambu.

2.       Kecapi. Alat musik yang satu ini dimainkan dengan cara dipetik yang digunakan pada saat acara hajatan, perkawinan, dll. Fungsinya untuk memperkaya gabungan suara alat musik lain.

3.       Gendang. Alat musik ini mirip rebana yang bentuknya bulat panjang dan bundar. Seperti gendang lainnya, gendang milik masyarakat Suku Bugis ini juga menghasilkan suara yang khas dan memberikan irama yang bagus.

4.       Suling. Suling terdiri atas 3 jenis, yaitu suling panjang (suling lampe), suling calabai (suling ponco), dan suling dupa samping. Biasanya alat musik ini digunakan untuk menyambut kedatangan para tamu.

3.        Rumah adat suku bugis

Rumah Adat Suku Bugis dibangun tanpa menggunakan satupun paku dan digantikan dengan kayu atau besi. Jenis dari rumah ini memiliki 2 jenis untuk status sosial yang berbeda. Rumah saoraja digunakan untuk kaum bangsawan, sedangkan bola digunakan untuk rakyat biasa. Perbedaannya hanya pada luas kedua rumah dan besaran tiang penyangganya.

Rumah ini juga terdiri atas 3 bagian. Awa bola adalah kolong (bagian bawah) untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, dll. Badan rumah terdiri ruang tamu, ruang tidur, tempat menyimpan benih, dll. Untuk bagian belakang difungsikan sebagai dapur atau tempat tidur lansia dan anak gadis.

Arsitektur rumah ini mendapat pengaruh dari Islam karena rumah disana berorientasi menghadap kiblat dan banyak lukisan-lukisan bernuansa islami.

4.      Pakaian adat suku bugis

Masyarakat Suku Bugis memiliki baju adat yang dinamakan baju bodo (pendek). Awalnya baju ini dibuat dengan lengan pendek tanpa memakai dalaman. Seiring perkembangan jaman baju ini dibuat menutupi aurat karena pengaruh Islam.

Baju bodo ini dipadukan dengan dalaman yang warnanya sama namun lebih terang. Selain itu, untuk bawahan berupa sarung sutera berwarna senada.

5.      Adat istiadat suku bugis

Adat istiadat suku bugis yang sering dilakukan adalah menggelar upacara adat mappadendang (pesta panen bagi adat suku bugis). Upacara ini selain bentuk syukur atas keberhasilan dalam menanam padi juga memiliki nilai magis. Upacara ini juga disebut pensucian gabah maksudnya membersihkan dan mensucikan dari batang dan daunnya yang kemudian langsung di jemur dibawah matahari. Upacara dilakukan dengan menumbukkan alu ke lesung silih berganti yang dilakukan 6 perempuan dan 3 laki-laki dengan memakai baju bodo.

Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga dinamakan pakkidona, sedangkan para pria dinamakan pakkambona. Para pria menari dan menabur bagian ujung lesung. Bilik baruga yang digunakan berasal dari bamboo, sedangkan pagar dibuat dari anyaman bamboo disebut walasoji.

E.     Suku bugis identic dengan islam

Arus balik sejarah adalah sebuah fenomena penting dalam sejarah sosial yang melibatkan orang-orang Melayu-Bugis-Makassar dan juga orang-orang Bajau sebagai pemeran utama dalam dinamika masyarakat Asia Tenggara sejak abad ke-15. Dinamika sejarah dalam arus balik ini sangat penting untuk diketahui sebagai sebuah dasar pemahaman bagi peran timbal balik orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar dan peran orang-orang Bugis-Makassar di negeri-negeri orang Melayu.

Tak terhitung jumlah literatur, termasuk berbagai hikayat, yang menceritakan tentang peran silsilah dan petualangan orang-orang Bugis-Makassar di negeri-negeri Melayu.[29] Berawal dari pengembaraan KaraEng Samarluka anak raja dari Tanah Mengkasar ke Ujung Tanah (Semenanjung Malaka) dan peran aktif Opu Tenri Borong Daeng Rilekke bersama kelima putra dan keturunannya. Sebaliknya, peran orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar tidak banyak dibicarakan bahkan kurang mendapat perhatian. Akibatnya, benang merah dari sebuah penjelasan sejarah yang amat penting menjadi terabaikan dan kita pun memperoleh ulasan sejarah tentang Melayu-Bugis/Makassar tidak berimbang.

Sejak kedatangan orang-orang Melayu ke Kerajaan Gowa (Makassar), peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan Sosial-Budaya dan bahkan dalam birokrasi. Besarnya jumlah dan peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa menyebabkan Raja Gowa XII, I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1565-1590), membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk kepentingan orang-orang Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam.[30]

Sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia timur, khususnya di Sulawesi Selatan, tidak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga dalam bidang pendidikan, penyebaran agama Islam dan kebudayaan Melayu. Berbagai naskah keagamaan dan karya-karya sastra diterjemahkan dari bahasa Melayu kebahasa Bugis/Makassar. Seperti Hikayat Rabiatul Adawiah, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Shahi Mardan Ali Al Murtada, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Nabi ber Mi‘raj, Laila Ma‘jannung, Hikayat Marakarma, Hikayat Amir Hamzah, Budi Istiharat, Hikayat Cekal Weneng Pati, Hikayat Indra Putera, Hikayat Darma Ta‘siah, Hikayat Puteri Jauhar Manikam, dan banyak lagi.

Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke 19. Salah satu yang dapat disebutkan di sini adalah penulisan ulang Sureg I Lagaligo, karya sastra Bugis yang disebut sebagai sebuah karya sastra terbesar dari khazanah kesusastraan Indonesia tahun 1860 oleh seorang bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate. Namun siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Nama dirinya adalah Ratna Kencana, ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu Pabean, Syahhandar Makassar di abad ke-19, orang keturunan Melayu-Johor berdarah campuran Makassar/Bugis.

Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antarpulau yang melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Melayu dari Johor, dan Patani. Karena, sekalipun orang-orang Melayu itu sudah menetap di Makassar hampir satu abad lamanya, mereka tetap mempunyai hubungan baik dengan negeri asalnya di Tanah Semenanjung dan pulau-pulau sekitarnya. Oleh karena itu, setiap tahun kapal-kapal orang Melayu membawa secara rutin barang dagangan dari Makassar dan pulau sekitarnya. Dari beberapa sumber diperoleh keterangan bahwa sampai awal abad ke-17 rempah-rempah yang dibawa dari Banda ke Makassar diantarpulaukan oleh orang Jawa dan Melayu. Demikian pula komoditas beras yang merupakan hasil utama Sulawesi yang diekspor ke Malaka sejak tahun 1511, kemungkinan besar tidak dilakukan sendiri oleh orang-orang Bugis/Makassar, tetapi orang Bajau dan orang Melayu yang sudah di Makassar. Barulah pada tahun 1621 orang Makassar mulai turut mengambil bagian yang panting dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Ketika itu Kerajaan Gowa (Makassar) mulai memegang peranan penting sebagai kerajaan maritim di kawasan timur Nusantara. Di bawah kekuasaan Raja Gowa XIV, I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin 1598-1639.[31]

Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani. Adapun Datuk Makotta bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung (di Salajo). Merekalah generasi pertama pendatang Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Sanrobone, daerah kawasan Kerajaan Gowa.

Di Salajo terjadi perkawinan antara orang-orang Melayu-Patani dengan orang-orang Melayu dari Minangkabau. lkatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir, dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta. Dalam sistem kemasyarakatan orang-orang Melayu, orang-orang terpandang Melayu menggunakan titulatur Incek di depan nama diri, seperti Incek Ali, Incek Talli, Incek Hasan. Kemudian terjadi perkawinan campuran antara orang-orang Melayu dengan orang Bajou (Turijene, Bahasa Makassar) yang ditandai perkawinan Incek Tija, Putri Incek Ali, cucu Tuan Rajja/Tuan Aminah dengan seorang tokoh rnasyarakat Bajau di Sanrohone yang dikenal dengan nama Lolo Bajo. Perkawinan ini melahirkan generasi masyarakat Melayu campuran Bajou dan Sandrobone (Makassar). Generasi yang lahir dari campuran daerah Melayu-Bajou-Makassar di Salajo yang dikenal dengan penggunaan titulatur Kare di di depan nama diri, seperti Kare Bali, Kare Tongngi, Kare Ponto, Kare Muntu, dst. Seseorang yang memilki titulatur Kare menempati tempat yang sangat terhormat dalam sistem kemasyarakatan Makassar.

Pada generasi selanjutnya ketika terjadi perkawinan campuran antara keturunan Incek dan Kare dengan orang Bugis-Makassar, lahirlah sebuah generasi baru Bugis-Makassar keturunan Melayu atau Generasi baru Melayu keturunan Bugis-Melayu di Nusantara bagian karat, yang secara umum dikenal sebagai golongan masyarakat tubaji (bahasa Makassar) atau tudeceng (bahasa Bugis). Mereka menggunakan titulatur Pa‘Daengang seperti I Minallang Daeng Kenna, I Nali Daeng Tonji, I Yoho Daeng Siang dst.

Generasi baru yang lahir dari percampuran darah Melayu-Bugis-Makassar dan Bajou ini menduduki tempat dalam struktur masyarakat, dari strata bangsawan hingga ke golongan masyarakat orang terhormat atau orang baik-baik. Kelompok inilah yang banyak meninggalkan Sulawesi Selatan selepas keruntuhan Gowa pada 1667-1669. Migrasi Melayu yang datang berikutnya ialah rombongan besar Datuk Maharajalela tiba di Kerajaan Gowa (Makassar), tahun 1635, disertai kemenakannya suami-istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama istri yang bergelar Putri Senopati.[32]

F.      Tarian melayu bugis islami yang popular

Seni Tari Suku Bugis. Suku Bugis memiliki kesenian yang menarik berupa tari-tarian. Tarian yang dibawakan suku ini sangatlah indah dan mempesona serta memiliki beberapa nama. Nama tarian dari suku bugis diantaranya :

1.      Tari Paduppa Bosara

Tarian ini bermakna penyambutan tamu yang datang berkunjung. Hal ini sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima kasih kepada para tamu atas kedatangannya.

2.      Tari Pakarena

Pakarena dalam bahasa setempat diartikan sebagai main. Awalnya hanya digunakan untuk pertunjukan di istana kerajaan. Dalam perkembangannya tarian ini semakin dikenal. Tarian ini mencerminkan sifat lemah lembut dan sopan santun seorang wanita.

3.      Tari Ma’badong

Oleh masyarakat Suku Bugis digunakan pada saat upacara kematian. Para penari memakai pakaian serba hitam atau terkadang bebas. Para penari saling mengaitkan jari kelingking dengan membentuk lingkaran. Tarian ma’badong dilakukan dengan gerakan langkah silih berganti yang diiringi lagu yang menggambarkan kehidupan manusia dari lahir hingga mati.

4.      Tarian Pa’gellu

Tarian ini digunakan untuk menyambut seseorang yang pulang dari berperang. Dibalik tarian heroik yang satu ini, tersimpan peribahasa “jangan sampai kacang lupa kulitnya”. Intinya, sudah seharusnya selalu mengingat jasa-jasa pahlawan kita.

5.      Tarian Mabissu

Tarian ini mempertontonkan kesaktian para bissu di Sigeri Sulawesi Selatan. Jenis tarian ini menunjukkan bagaimana kebalnya mereka terhadap senjata debusnya. Sehingga tarian ini terkesan mistis namun estetis.

6.      Tari Kipas

Sesuai namanya, para penari menari dengan menggunakan kipas dan diiringi lagu. Keunikannya, meskipun gerakannya lemah lembut tapi dibalik itu irama yang dimainkan bertempo cepat. sehingga para penari dibalik itu dengan iramanya yang cepat harus tetap mempertahankan gerakannya lemah lembut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Istilah bugis menurut kamus dewan bermakna suku bangsa yang berasal dari Sulawesi selatan, Indonesia yang terkenal sebagai pelaut. Suku ini juga merupakan bagian dari suku etnik lainnya di wilayah Sulawesi yaitu termasuk kelompok suku bangsa toraja, mandar dan Makassar. Orang bugis kini dengan populasinya mencapai empat juta yang mendiami hamper kesemua kawasan Sulawesi selatan di mana kebanyakan agama yang dianut oleh mereka adalah agama islam. Suku ini merupakan suku bangsa yang menyebar dan merantau hamper keseluruh kawasan pesisir pantai kepulauan nuantara Indonesia.

Menurut ilmu khaldun Tamadun adalah diantara sarjana islam yang  pertama membahas konsep ketamadunan.beliau menggunakan istilah hadarah yang merupakan lawan daripada bdawah yaitu kehidupan badwi.beliau juga menggunakan istilah umran yang bermakana pembangunan.dalam kitabnya al-muqaddimah beliau lebih banyak menggunakan istilah umran yang bersal dari kata amarah, ta”mir yang bermaksud membangun,memajukan menghidupkan dan memakmurkan.bermula pada kurun ke 20, muncullah perkataan tamaddun dan maddaniyah.pemikir islam seperti Muhammad Abduh menggunakan istilah madaniyyah bersal dari madinah yang bermaksud Bandar atau kota yang merupakan asas dan tempat perkembangan sesuatu Tamadun.

Sedangkan istilah Melayu memiliki berbagai macam defenisi seperti dikemukakan oleh ilmuwan Van Ronekl yaitu, bangsa Melayu ialah orang yang bertutur bahasa Melayu dan mendiami Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Riau Lingga serta beberapa daerah di Sumatera khususnya di Palembang. Tetapi pengertian definisi Melayu tersebut berbeda dengan konsep Melayu berdasarkan Konsitusi Malaysia yang menyatakan bahwa bangsa Melayu adalah orang yang berbahasa Melayu, beragama Islam dan mengamalkan budaya Melayu.

Sulawesi selatan adalah salah satu dari 34 provinsi dalam Negara kesatuan republic Indonesia. Diprovinsi ini terdapat empat suku bangsa utama yaitu, toraja, Makassar, bugis dan mandar.[33] Suku bugis adalah salah satu suku yang terbesar yang mendiami daerah Sulawesi selatan. Suku bangsa bugis terutama mendiami kabupataen-kabupaten bone, wajo, soppeng, sinjai, bulukumba, barru, pare-pare, sidrap, pinrang dan luwu. Sebagahagian penduduk pangkajene dan maros, sebagai daerah perbatasan antara negeri-negeri orang bugis Makassar, adalah orang bugis atau orang Makassar.[34] Bugi adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku melayu deutero . kata bugis berasal dari kata to ugi yang berarti orang bugis.[35]

Melayu bugis merupakan orang-orang melayu (johor, minangkabau, dan pattani) yang melakukan migrasi ke Sulawesi selatan sejak tahun 1490. Perantau-perantau ini akhirnya melahirkan keturunan yang berperan di kerajaan-kerajaan Sulawesi selatan, riau, dan semenanjung Malaysia.

B.       Saran

Demikian yang dapat saya sajikan, semoga beranfaat bagi pembaca dan juga penulis khususnya, dan saya sebagai penulis menyadari betul bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran agar makalah saya ini lebih baik kedepannya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Moein MG, 1977, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ dan Pacce, Ujung Pandang: SKU Makassar Press.

Abu Hamid, 1994, Syekh Yusuf:Seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Abdul Razak DaEng Pa‘tunru, 1995, Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar, P 15, lihat juga Mattulada, 1988.

Abdurrahman, 1956,  Kedatangan orang Melayu di Makassar dalam H.D. Magemba, Kenallah Sulawesi Selatan, Jakarta: Timur Mas.

Agussalim, 2016,  Suplemen Materi Ajar, Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Deepublish Publisher.

Ahmad Sewang, 2005, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Akin Duli, Dkk, 2013, Monumen islam di Sulawesi Selatan, Makassar: Balai Cagar Budaya Makassar.

Azyumardi Azra, 2007, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVI DAN VIII: Akar Pemabaruan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 35.

Bagian ini Sepenuhnya Diambil dari Christian Pelras, 2006, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar.

Daeng Patunru, Abdul Razak, 1988, Sejarah Gowa, Jakarta: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Dwi Ari Listiyani, 2009, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Bahasa, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Edward Paelanggomang, 2002,  Makassar Abdullah XIX,

Hamid, 1994, Syekh Yusuf:Seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 79.

Hasan Muarif Ambary, 2001, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cetakan II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 35.

H.Anthony Johns, 1993, Islamization in Southeast Asia: Reflection With Special Reference to Role of Sufism, Southeast Asian Studies, No. 1, Volume. 3.

Moein MG, 1977, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ dan Pacce, Ujung Pandang: SKU Makassar Press.

Muhaemin, 2010, Membaca Islam di Sulawesi Selatan, Afkar, Jurnal refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 29.

Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak KehadiranMakassar Dalam Sejarah, Ujung Pandang: BhaktBaru.

Nabilah Lubis, 1997, Syekh Yusuf AL-Tajul Makassari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, Bandung: Mizan.

 

Nurman Said, 2010, Genealogi Pemikiran Islam Ulama Bugis, Jurnal Al-Fikr, Volume 14. No.2.

Pelras, Christian, 1996, The Bugis: Oxford: Blackwell Publisher.

Pelras, Christian, 1983, Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian Portugis Dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: YRS.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977, Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta:Balai Pustaka.

Ras Burhani, Danawir, 1984, Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: IAIN Alauddin.

Restu Gunawan, Dkk, 2016,  Sejarah Indonesia SMA/MA kelas X, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud.

Suku Bugis, 2015, http://id.m.Wikipedia.org/wiki/suku_bugis.

Taufik Abdullah, 1988, Agama, Etos Kerja an Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES.



     [1] A. Moein MG, 1977, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ dan Pacce, Ujung Pandang: SKU Makassar Press, h. 12.

     [2] Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977, Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta:Balai Pustaka, h. 34.

     [3] Suku Bugis, 2015, http://id.m.Wikipedia.org/wiki/suku_bugis                                      

     [4] Pelras, Christian, 1983, Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian Portugis Dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: YRS

     [5] Daeng Patunru, Abdul Razak, 1988, Sejarah Gowa, Jakarta: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan

     [6] Bagian ini Sepenuhnya Diambil dari Christian Pelras, 2006, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar, 209.

     [7] Ibid, 210

     [8] Ibid, 223                                                                                                            

     [9] Ras Burhani, Danawir, 1984, Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: IAIN Alauddin, h. 62.

     [10] Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak KehadiranMakassar Dalam Sejarah, Ujung Pandang: BhaktBaru, h. 150.

     [11] Azyumardi Azra, 2007, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVI DAN VIII: Akar Pemabaruan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 35.

     [12] Pelras, Christian, 1996, The Bugis: Oxford: Blackwell Publisher, h. 134.

     [13] Abu Hamid, 1994, Syekh Yusuf:Seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 79.

     [14] Nurman Said, 2010, Genealogi Pemikiran Islam Ulama Bugis, Jurnal Al-Fikr, Volume 14. No.2. h. 20

     [15] Hasan Muarif Ambary, 2001, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cetakan II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 35.

     [16] Nabilah Lubis, 1997, Syekh Yusuf AL-Tajul Makassari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, Bandung: Mizan, h. 24.

     [17] Abu Hamid, 1982, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, h.h.  75-77.

     [18] Taufik Abdullah, 1988, Agama, Etos Kerja an Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES, h. 1.

     [19] H.Anthony Johns, 1993, Islamization in Southeast Asia: Reflection With Special Reference to Role of Sufism, Southeast Asian Studies, No. 1, Volume. 3.

     [20] Muhaemin, 2010, Membaca Islam di Sulawesi Selatan, Afkar, Jurnal refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 29, h. 29.

     [21] Dwi Ari Listiyani, 2009, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Bahasa, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, h. 98.

     [22] Restu Gunawan, Dkk, 2016,  Sejarah Indonesia SMA/MA kelas X, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud, h.h.  221-222.

     [23] Ahmad Sewang, 2005, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 2.

     [24] Agussalim, 2016,  Suplemen Materi Ajar, Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Deepublish Publisher, h. 48.

     [25] Akin Duli, Dkk, 2013, Monumen islam di Sulawesi Selatan, Makassar: Balai Cagar Budaya Makassar, h. 39.

     [26] Restu Gunawan, Op.Cit, h.h. 224-225

     [27] Hamzah, 1984, h. 34-35

     [28]Tenggara (Pelras2006).

[29] Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya, Tuhfat al-Nafis, Aturan Setia Bugis dan Melayu, Sejarah Riau Lingga dan Daerah Takluknya. Tawariik al-Wusta, Hikayat Negeri Johor, Hikayat Opu Daeng Menambun, Hikayat Raja-raja Riau, Sejarah Raja-raja Riau, Silsilah Raja Bugis, Hikayat Negeri Riau, and Sejarah Johor. Mukhtasar Tawarikh Al-Wusta A short chronicle of the Riau region.

[30] Abdul Razak DaEng Pa‘tunru, 1995, Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar, P 15, lihat juga Mattulada, 1988.

[31] Edward Paelanggomang, 2002,  Makassar Abdullah XIX,

[32] Abdurrahman, 1956,  Kedatangan orang Melayu di Makassar dalam H.D. Magemba, Kenallah Sulawesi Selatan, Jakarta: Timur Mas,

     [33] A. Moein MG, 1977, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ dan Pacce, Ujung Pandang: SKU Makassar Press, h. 12.

     [34] Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977, Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta:Balai Pustaka, h. 34.

     [35] Suku Bugis, 2015, http://id.m.Wikipedia.org/wiki/suku_bugis                                     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar