BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah bugis menurut
kamus dewan bermakna suku bangsa yang berasal dari Sulawesi selatan, Indonesia
yang terkenal sebagai pelaut. Suku ini juga merupakan bagian dari suku etnik
lainnya di wilayah Sulawesi yaitu termasuk kelompok suku bangsa toraja, mandar
dan Makassar. Orang bugis kini dengan populasinya mencapai empat juta yang
mendiami hamper kesemua kawasan Sulawesi selatan di mana kebanyakan agama yang
dianut oleh mereka adalah agama islam. Suku ini merupakan suku bangsa yang
menyebar dan merantau hamper keseluruh kawasan pesisir pantai kepulauan
nuantara Indonesia.
Keragaman etnis dan budaya memiliki potensi
besar dalam membangun bangsa ini, termasuk dalam pembangunan dan pengembangan
pendidikan. Keragaman budaya yang tumbuh dan berkembang pada setiap etnis
seharusnya diakui eksistensinya dan sekaligus dapat dijadikan landasan dalam
pembangunan pendidikan. Tilaar mengemukakan bahwa pendidikan nasional di
dalam era reformasi perlu dirumuskan suatu visi pendidikan yang baru yaitu
membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas
berdasarkan kebudayaan nasional. Sedang kebudayaan nasional sendiri dibangun
dari kebudayaan daerah yang tumbuh dan berkembang di setiap etnis. Dalam
kaitannya dengan upaya pembaharuan pendidikan dan keragaman budaya, maka faktor
sosial budaya tidak dapat diabaikan. Sistem pendidikan yang digunakan di negara
maju, seyogyanya tidak diciplak secara menyeluruh tanpa memperhatikan budaya
yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan suatu negara harus sesuai
dengan falsafah dan budaya bangsa sendiri. Indonesia dengankeanekaragaman
budayanya, perlu melakukan kajian tersendiri terhadap sistem pendidikan yang
akandigunakan, termasuk sistem pendidikan yang akan digunakan di setiap daerah
dan setiap etnis, sehinggasistem yang dipakai sesuai dengan kondisi budaya
masyarakat setempat.
Oleh karena itu, perlu ada upaya bagaimana
memperhatikan dan mengungkapkan keterlibatan faktor budaya dalam interaksi
tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi belajar
siswa.Siri’ sebagai inti budaya Bugis-Makassar memiliki potensi untuk dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa, sebab siri’ merupakan pandangan hidup yang
bertujuan untuk meningkatkan harkat,martabat dan harga diri, baik sebagai
individu maupun sebagai makhluk sosial.
Etnis Bugis dan etnis Makassar adalah dua
diantara empat etnis besar yang berada di Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya
kebudayaan dan pandangan hidup orang Bugis padaumumnya sama dan serasi dengan
kebudayaan dan pandangan hidup orang Makassar. Oleh karena itu membahas tentang
budaya Bugis sulit dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya Makassar.
Hal ini sejalan dengan pandangan Abdullah yang mengatakan bahwa dalam sistem
keluarga atau dalam kekerabatan kehidupan manusia Bugis dan manusia Makassar,
dapat dikatakan hampir tidak terdapat perbedaan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
kedua kelompok suku bangsa ini (suku Bugis dan suku Makassar) pada hakekatnya
merupakan suatu unit budaya. Sebab itu, apa yang berlaku dalam duniamanusia
Bugis, berlaku pula pada manusia Makassar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah Masuknya islam di Sulawesi ?
2.
Apa saja Kerajaan melayu di Sulawesi ?
3.
Bagaimana Adat istiadat bugis islami ?
4.
Apakah melayu bugis identic dengan islam ?
5.
Apa saja Tarian adat bugis islami yang popular ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui bagaimana sejarah Masuknya islam di Sulawesi
2.
Untuk mengetahui apa saja Kerajaan melayu di Sulawesi
3.
Untuk mengetahui bagaimana Adat istiadat bugis islami
4.
Untuk mengetahui apakah melayu bugis identic dengan islam
5.
Untuk mengetahui Apa saja Tarian adat bugis islami yang popular
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut ilmu khaldun Tamadun adalah diantara sarjana islam yang pertama membahas konsep ketamadunan.beliau
menggunakan istilah hadarah yang merupakan lawan daripada bdawah yaitu
kehidupan badwi.beliau juga menggunakan istilah umran yang bermakana
pembangunan.dalam kitabnya al-muqaddimah beliau lebih banyak menggunakan
istilah umran yang bersal dari kata amarah, ta”mir yang bermaksud
membangun,memajukan menghidupkan dan memakmurkan.bermula pada kurun ke 20,
muncullah perkataan tamaddun dan maddaniyah.pemikir islam seperti Muhammad
Abduh menggunakan istilah madaniyyah bersal dari madinah yang bermaksud Bandar
atau kota yang merupakan asas dan tempat perkembangan sesuatu Tamadun.
Sedangkan istilah Melayu memiliki berbagai macam defenisi seperti
dikemukakan oleh ilmuwan Van Ronekl yaitu, bangsa Melayu ialah orang yang
bertutur bahasa Melayu dan mendiami Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Riau
Lingga serta beberapa daerah di Sumatera khususnya di Palembang. Tetapi
pengertian definisi Melayu tersebut berbeda dengan konsep Melayu berdasarkan
Konsitusi Malaysia yang menyatakan bahwa bangsa Melayu adalah orang yang
berbahasa Melayu, beragama Islam dan mengamalkan budaya Melayu.
Sulawesi selatan adalah salah satu dari 34 provinsi
dalam Negara kesatuan republic Indonesia. Diprovinsi ini terdapat empat suku
bangsa utama yaitu, toraja, Makassar, bugis dan mandar.[1]
Suku bugis adalah salah satu suku yang terbesar yang mendiami daerah Sulawesi
selatan. Suku bangsa bugis terutama mendiami kabupataen-kabupaten bone, wajo,
soppeng, sinjai, bulukumba, barru, pare-pare, sidrap, pinrang dan luwu.
Sebagahagian penduduk pangkajene dan maros, sebagai daerah perbatasan antara
negeri-negeri orang bugis Makassar, adalah orang bugis atau orang Makassar.[2]
Bugi adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku melayu deutero . kata bugis
berasal dari kata to ugi yang berarti orang bugis.[3]
Melayu bugis merupakan orang-orang melayu (johor,
minangkabau, dan pattani) yang melakukan migrasi ke Sulawesi selatan sejak
tahun 1490. Perantau-perantau ini akhirnya melahirkan keturunan yang berperan di
kerajaan-kerajaan Sulawesi selatan, riau, dan semenanjung Malaysia.
Pada tahun 1542, Antonio de paiva seorang petualang
portugis mendarat di siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De
paiva menyatakan ketika mendarat ia telah bertemu orang melayu di siang. Mereka
mendiami perkampungan melayu dengan susunan masyarakat yang teratur sejak 1490.[4]
Manuel pinto yang mengunjungi siang pada tahun 1545,
menyatakan bahwa orang melayu di siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa. Pada
zaman pemerintahan karaeng tumaparisi kallonna (1500-1545) orang melayu sudah
mendirikan pemukiman di mangallekana, sebelah utara somba opu ibu kota kerajaan
gowa. Pada masa karaeng tunipalangga, orang melayu mengutus datuk nahkoda
boning menghadap raja gowa agar mangallekana diberi hak otonomi.
Sejak kedatangan
orang melayu ke kerajaan gowa, peranannya tidak hanya sebagai pedagang dan
ulama, tetapi juga memengaruhi kehidupan social dan politik kerajaan. Besarnya
jumlah dan peranan orang melayu dikerajaan gowa, menyebabkan raja gowa XII
karaeng tunijallo (1565-1590) membangun sebuah masjid di mangallekana untuk
orang melayu, sekalipun raja belum islam.[5]
B. Masuknya islam di Sulawesi
Agama adalah bagian yang penting dalam sebuah
masyarakat. Agama memainkan peranan dalam membentuk kehidupan masyarakat kea
rah yang lebih baik. Di masyarakat bugis mayoritas memeluk agama islam, hal ini
terlihat dari begitu banyak masjid-mesjid yang dibangun diwilayah orang bugis.
Orang bugis bersama orang aceh, melayu, banjar, sunda, Madura, dan tentu saja
orang makssar dianggap termasuk diantara orang Indonesia yang paling kuat dan
teguh memeluk ajaran islam.[6]
Namun ketika dilihat secara dekat masih banyak orang bugis baik dikota maupun
didesa masih saja mempertahankan kehidupan sebelum islam masuk sebagai agama
kepercayaan mereka. Misalnya, ritual-ritual masyarakat, kepercayaan mereka
terhadap mitos pra islam, persembahan kepada benda-benda pusaka dan
tempat-tempat keramat, serta kehadiran sejumlah pendeta yang bisu yang masih
tetap berperan aktip. Padahal, semua unsur tersebut sangat bertentangan dengan
ajaran islam yang mereka anut. [7]
Sinkretisme dalam masyarakat bugis tradisional masih
tetap melekat, meskipun ajaran islam telah begitu lama masuk dalam masyarakat
bugis. Sebagian muslim bugis yang rajin datan ke masjid sekalipun, ada yang
tanpa ragu-ragu dan terang-terangan melakukan praktik sinkretisme. Mereka
sering kali menggabungkan unsur-unsur yang ada di dalam kepercayaan tradisional
dengan unsur yang ada di dalam islam. Tindakan ini sering kali ditentang oleh
kaum muslim ortodoks, yang menekankan ajaran islam yang murni. Namun meskipun
demikian ritual kepercayaan tradisional sering kali tumpang tindih dengan
ajaran islam. Sebagai contoh, meskipun digunakan untuk ritus non islam,
pengorbanan hewan selalu dilakukan sesuai ajaran islam dengan menyembelih lewat
leher didahului ucapan bismillah.[8]
Pandangan yang berkembang di kalangan masyarakat bugis
dan Makassar Sulawesi selatan, menyebutkan bahwa agama islam pertama datang ke
daerah ini pada awal abad ke 17. Islam di perkenalkan pertama kalinya oleh para
muballig dari minangkabau, sumatera barat yang ketika masih berada di bawah
kekuasaan kesultanan aceh.[9]
Mengenai hal ini mattulada dalam bukunya sejarah
masyarakat dan kebudayaan Sulawesi selatan, menyebutkan bahwa seorang ulama
dari minangkabau tengah, sumatera barat bernama abdul kadir khatib tunggal tiba
di pelabuhan tallo pada tahun 1605 dengan menumpang sebuah kapal perahu.
Setibanya dipantai ia kemudian melakukan sholat yang mengherankan rakyat. Ia
menyatakan maksud kedatangannya untuk menghafdap raja. Raja tallo yang
mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang yang
berbuat aneh itu. Di tengah perjalanan ke pantai, di pintu gerbang halaman
istana tallo, raja bertemu dengan seorang tua itu kemudian menulis sesuatu di
atas kuku ibu jari raja tallo dan mengirim salam pada orang yang berbuat aneh
di pantai itu. Ketika raja bertemu dengan orang aneh di pantai itu, yang tiada
lain abdul kadir tunggal, disampaikanlah salam orang tua tadi. Kemudian
mengenai tulisan yang ada di atas kuku ibu jari raja tallo, ternyata adalah
tulisan berlafazkan surah al-fatihah. Khatib tunggal menyatakan bahwa orang tua
yang menjumpai raja adalah penjelmaan Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya dari kisah
itulah, kemudian orang Makassar menamakan penjelmaan Nabi Muhammad sebagai
“Makassar”.[10]
Peristiwa
tersebut di atas membawa implikasi terhadap di Islamkannya Kerajaan
Tallo, yang diterima oleh Rajanya yang pertama yang bernama I’ Mallingkang
Daeng Mannyonri Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Setelah memeluk agama Islam,
raja ini kemudian memakai nama Islam dengan gelar “Sultan
Alauddin Awwalul Islam”. Peristiwa
masuknya Islam Raja Tallo pertama terjadi pada malam Jumat 22 September 1605
atau 9 Jumadil Awwal 1014 H.[11]
Selain itu
terdapat informasi yang masih perlu untuk diteliti dan diuji kebenarannya,
bahwa sebelum kedatangan ketiga datuk yang berasal dari Sumatera, telah ada
ulama keturunan Arab yang datang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan Islam.
Ulama keturunan Arab yang dimaksud menurut laporan itu ialah Sayyid Jamaluddin
al-Husayn al-Akhbar yang berada di daerah ini sekitar abad ke-14 M.[12]
Kehadiran
masyarakat Melayu di Sulawesi Selatan, terutama di masa pemerintahan Kerajaan
Gowa pada abad ke 16 M, menunjukkan bukti tentang masuknya agama dan peradaban
Islam di kawasan ini. Mereka orangorang Melayu yang datang dari berbagai
negeri, seperti Aceh, Campa, pattani, johor dan minangkabau, umumnya bekerja
sebagai pedagang. Kehadiran mereka telah mendahului ketiga muballig penyebar
Islam dari Minangkabau Sumatera Barat. Orangorang Melayu yang diberikan tempat
oleh pemerintah kerajaan Gowa di daerah Mangallekana, sebuah perkampungan di
dekat Somba Opu yang dilengkapi dengan Masjid, adalah menjadi bukti kehadiran
Islam di kawasan ini sebelum para tiga
muballig dari Minangkabau tersebut berhasil mengislamkan Kerajaan Luwu dan
Kerajaan Gowa.[13]
Namun demikian perlu diketahui bahwa dengan kedatangan Islam di daerah ini,
tidak berarti secara langsung menghilangkan seluruh adat istiadat dan tradisi
local yang dipegang teguh oleh masayarakat.
Dalam konteks
syiar Islam di dalam masyarakat Muslim, terdapat orang-orang yang diberi tugas khusus untuk mengajarkan,
menyebarluaskan ajaran agama dan nilai-nilai Islam, serta peradabannya kepada
seluruh masyarakat. Orang yang diberi amanah tersebut dinamakan muballigh atau
ustadz atau guru. Mereka juga mengajarkan baca tulis al-Qur’an kepada anak-anak
Muslim agar mereka dapat membaca alQur’an dengan baik. Mereka inilah yang berperan
di dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan pada masanya hingga kurun waktu
memasuki abad ke-20. [14]
Pada periode
pertama perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan, proses islamisasi
ditandai dengan konversi keislaman para penguasa atau raja di daerah pesisir
atau kota pelabuhan. Kemudian disusul peran mereka sebagai pelindung dalam
pengembangan pusat penyiaran Islam di wilayahnya masing-masing. Demikian juga, akselerasi proses
permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan sangat ditunjang dengan system pendekatan
dan metode dakwah yang dilakukan oleh tiga muballigh dari Minangkabau, yaitu
Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan
pendekatan akomodatif, adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur
struktur birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masayarakat lokal.
Hal ini memberikan penegasan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah
melalui pintu istana raja.[15]
Sementara itu,
keberadaan ulama asal Bugis dalam peran islamisasi di Sulawesi Selatan pasca
tiga muballigh asal Minangkabau, tidak ada informasi mengenai hal tersebut
sampai munculnya ulama besar yang terkenal dalam sejarah Bugis dan Makassar,
yakni Syekh Yusuf al-Makassari Tajul Khalwati (1626-1669) . Demikian juga,
setelah kepergian Syekh Yusuf. Hasil penelusuran literature sejarah sulit
menemukan nama atau tokoh yang dapat digolongkan sebagai ulama Bugis dan
Makassar yang memiliki peran penting dalam proses islamisasi di Sulawesi
Selatan hingga memasuki abad ke-20 M. Terdapat dua periode atau masa yang
mengalami kehilangan jejak sejarah mengenai islamisasi di Sulawesi Selatan.
Kedua periode ini ialah, pertama adalah masa yang dimulai sejak penerimaan
Islam pertama kali oleh masyarakat Sulawesi Selatan hingga munculnya Syekh
Yusuf al-Makassari. Kedua, adalah masa setelah kepergian Syekh Yusuf hingga
masa peralihan menuju abad ke-20 M. Dari kasus ini, muncul pertanyaan sejarah,
“apakah dalam dua masa atau periode tersebut tidak terdapat ulama atau
muballigh Bugis dan Makassar yang mengisi posisi sebagai penyebar agama dan
kebudayaan Islam ketika itu, ataukah ada tetapi tidak meninggalkan karya besar
yang dapat menjelaskan peran mereka dalam pentas sejarah Islam di Sulawesi
Selatan?” Bagian ini merupakan hal yang menarik dan memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Kajian sejarah
untuk mengungkap apakah ada peran ulama Bugis dan Makassar mulai dari masa yang
paling awal di dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Hal ini tidak mudah
untuk dijawab, disebabkan kurangnya sumber sejarah yang dapat mendukung upaya
mengungkap latar historis peran ulama Bugis dan Makassar dalam proses
Islamisasi di daerah ini. Hanya sebagian kecil yang dapat diidentifikasi
sebagai ulama Bugis dan Makassar yang paling awal selain Syekh Yusuf, yaitu
Abdul Wahab al-Bugisi (abd ke-18 M), dan Abdul Hafidz Bugis (abad ke-19 M).
Tetapi meskipun para ulama ini cukup terkenal di luar tanah Bugis, namun
dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan, karya mereka berupa buku atau kitab
kurang dikenal, kecuali beberapa karya dari Syekh Yusuf. Hal ini disebabkan
karena hampir sebagaian besar usia mereka dihabiskan di luar tanah
BugisMakassar. Syekh Yusuf banyak menghabiskan waktunya di Banten, Tanah Arab,
Srilangka dan Afrika Selatan. Sementara dua ulama Bugis lainnya, Abdul Wahab
al-Bugisi banyak menghabiskan waktunya di tanah Arab dan Banjarmasin
(Kalmantan). Begitu juga Abdul Hafidz Bugis banyak menghabiskan waktunya di
tanah Arab. Beruntunglah Syekh Yusuf sempat menulis karya atau kitab yang dapat
dibaca oleh masyarakat Bugis-Makassar. Syekh Yusuf juga masih sempat
mengirimkan muridnya untuk kembali ke tanah Bugis-Makassar mengajarkan Islam,
terutama mengenai tasawuf. Tersebutlah beberapa nama murid Syekh Yusuf, yaitu
Syekh Nuruddin Abdul Fattah, Abdul Basyir alDarirul Khalwati dan Abdul Kadir
Daeng Majannang.[16]
Mereka inilah
yang berhasil mengajarkan dan menyebarkan ajaran tarikat Khalwatiyah yang
dikembangkan oleh Syekh Yusuf yang kemudian tersebar luas di daerah Sulawesi
Selatan. Proses penyebaran ajaran tarikat Khalwatiyah Syekh Yusuf ini pada periode
selanjutnya selalu berada di tangan para elite Bugis-Makassar. Hal ini
mempertegas bahwa transformasi ajaran Islam yang diperankan oleh Syekh Yusuf
tampak lebih fokus pada usaha mengajarkan tarikat Khalwatiyah pada kalangan
masyarakat Bugis-Makassar melalui karya
atau kitab yang ditulisnya, baik dalam bahasa Bugis, Makassar maupun dalam
bahasa Arab. Tarikat Khlwatiyah ini mengalami perkembangan yang cepat, sehingga
menurut seorang ahli Indonesianis tentang Islam, Van Bruinessen, bahwa tarikat
ini telah berakar secara kuat di kalangan masyarakat Bugis Makassar, dan
menjadi salah satu faktor utama yang memberi warna tersendiri corak Islam di
Sulawesi Selatan sepanjang sejarahnya. (van Bruinessen, 1995:294-296)
Abu Hamid,
seorang Antropolog dari universitas hasanuddin mengungkapkan bahwa, ada tiga
pola pendekatan keislaman yang dilakukan oleh ulama dalam proses islamisasi di
Sulawesi Selatan. Pertama, penekanan pada aspek syariat dilakukan untuk
masyarakat yang kuat berjudi dan minum ballo’ (arak), mencuri atau perbuatan
terlarang lainnya. Pendekatan seperti dilakukan oleh Datuk ri Bandang di daerah
Gowa. Kedua, pendekatan yang dilakukan pada masyarakat yang secara teguh
berpegang pada kepercayaan Dewata Sewwae’ dengan mitologi La Galigonya, ialah
dengan menekankan pada aspek aqidah (tauhid) mengesakan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketiga, penekanan pada aspek tasawuf dilakukan bagi masyarakat yang kuat
berpegang pada kebatinan dan ilmu sihir (black magic). Usaha seperti ini
ditempuh oleh Datuk ri Tiro di daerah Bulukumba. [17]
Walaupun ada
petunjuk yang diperoleh d ari p en jel asan di a tas mengenai adanya pusat
kajian Islam di daerah Sulawesi Selatan pada paruh pertama abad ke 19, seperti
di Pulau Salemo, Pulau Karanrang, Balannipa (Mandar), Palopo (Luwu), Wajo dan Bone.
Namun harus diakui tidak banyak dari kalangan ulama Bugis-Makassar yang lahir
dari puast kajian Islam tersebut, dapat dimasukkan sebagai tokoh pemikir Islam,
yang menghubungkan jalinan kesejarahan dalam proses Islamisasi di Sulawesi
Selatan. Fakta kesejarahan tentang Islamisasi di Sulawesi Selatan yang
dilakukan para ulama sufi, seperti Syekh Yusuf dan yang lainnya, telah
menggugat tesis bahwa para pedagang merupakan aktor utama dalam proses
Islamisasi di Nusantara mulai dipertanyakan. Dalam bahasa retorik Taufik
Abdullah,”para ahli masih memperdebatkan tentang kemungkinan
pedagang sebagai penyebar agama. Menjadi persoalan, dikarenakan apakah
pedagang, yang tentu saja perhatian utamanya adalah mencari untung, betul-betul
sanggup menyebarkan agama Islam”? [18]
Dalam
hubungannya dengan persoalan ini, studi yang dilakukan oleh Anthony H. Johns
semakin memperkuat pendapat bahwa para tokoh sufi dan tarikatlah yang mampu
menyebarkan agama Islam di Indonesia sampai ke pelosok daerah pedalaman dan
terpencil.[19]
Ketika Kerajaan Gowa Tallo menjadi pemegang hegemoni kekuasaan Islam di
Sulawesi Selatan, maka semua daerah yang belum memeluk agama Islam, terutama di
daerah pedalaman, seperti Kerajaan Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng harus
diislamkan. Gerakan ini merupakan gerakan politik atau ekspansi yang dlakukan
oleh Kerajaan Gowa Tallo dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya. Dengan
memakai media agama Islam, Gowa mengajak beberapa kerajaan di pedalaman
Sulawesi selatan untuk memeluk agama Islam. Namun ajakan Gowa Tallo ini
mendapat penolakan. Konsekwensi dari penolakan tersebut menyebabkan Gowa Tallo
melancarkan serangan militer ke daerah Kerajaan Bone, Soppeng, Wajo dan
Sidenreng. Setelah daerah kerajaan ini dikalahkan, maka barulah agama islam
diterima para penguasa dan rakyat kerajaan dipedalaman Sulawesi selatan.
Tersebutlah kerajaan yang memeluk agama islam karena kalah dalam peperangan
adalah sidenreg rapang dan soppeng (masuk islam tahun 1609 M), menyusul wajo
tahun 1610 M, dan terakhir adalah Bone pada tahun 1611 M. [20]
C. Kerajaan Islam di Sulawesi
1. Kerajaan gowa tallo
a. Sejarah awal
Pada awalnya di daerah gowa terdapat Sembilan
komunitas, yang dikenal dengan nama bate salapang (Sembilan bendera) yang
kemudian meliputi pusat kerajaan gowa: tombolo, lakiung, parang-parang, data,
angangjene, saumata, bissei, sero dan kalili. Melalui berbagai cara baik damai
maupun paksaan, komunitas lainnya ergabung untuk membentuk kerajaan gowa.
Cerita dari pendahulu di gowa di mulai oleh tumanurung sebagai pendiri islam
gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului
datangnya tumanurung, dua orang pertama adalah batara guru dan saudaranya.
Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan
masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan gowa dan tallo membentuk
persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih
dikenal dengan kerajaan Makassar.
Pada abad ke 17 di Sulawesi selatan telah muncul
beberapa kerajaan kecil seperti gowa, tello, soppeng dan bone. Diantara
kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah
gowa dan tallo keduanya lebih dikenal dengan kerajaan Makassar. [21]
Tokoh Kerajaan Makassar adalah Sultan
Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri Agamanna. Ia
merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama islam yang memerintah
dari tahun 1591 – 1638. dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar
Sultan Abdullah. Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12
Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur
39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir
dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin
saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda
yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua
Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
Di daerah
Sulawesi selatan proses islamisasi semakin mantap dengan adanya para mubalig
yang disebut Dato’tallu (tiga dato), yaitu dato Ri bandang (Abdul Makmur atau
khatib Tunggal) dato Ri pattimang (Dato Sulaemana atau Khatib Sulung), dato Ri
Tiro (Abdul Jawad atau khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari
kolo tengah, minangkabau. Para mubalig itulah yang mengislamkan raja luwuw
yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar sultan Muhammad pada 15-16
ramadhan 103 H (4-5 februari 1605 M). kemudian disusul oleh raja Gowa dan Tallo
yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Malingkang Daeng Manyonri
(Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada jum’at sore, 9 jumadil awal 1014 H
atau 22 september 1605 M dengan gelar sultan Abdullah. Selanjutnya karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan
syahadat pada jum’at 19 rajab 1016 H atau 9 november 1607.[22]
Peristiwa
masuknya islam raja gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran islam
di Sulawesi selatan, karena setelah itu terjadi konversi kedalam islam secara
besar-besaran. Konversi itu ditandai dengan
dikeluarkannya sebuah dekrit sultan Alauddin pada tanggal 9 November 1607
sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat.[23]
Setelah kerajaan gowa
dan tallo menjadi kerajaan islam dan raja-rajanya telah memeperoleh
gelar sultan, maka kerajaan itu juga yang menjadi pusat pengislaman di seluruh
Sulawesi selatan, agar mereka juga menerima islam. Seruan ini juga berdasarkan
perjanjian gowa dengan kerajaan lain, yang menyatakan bahwa siapa yang
menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu
kepada raja-raja yang lain. [24]
Perkembangan islam di Sulawesi selatan mendapat tempat
sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme khalwatiyah dari syeikh yusuf al-makassari
juga tersebar di kerajaan gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad
ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan gowa, maka ia
meninggalkan Sulawesi selatan dan pergi ke banten ia diterima oleh sultan ageng
tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti dikesultanan.
Kerajaan ini memiliki raja
yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan
peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang
dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan
rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak
Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone
memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang
pernah dilakukannya di abad ke-17.
Kerajaan Gowa dan Tallo
lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah
Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai
Ujung pandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting,
karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah
Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari
Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia
bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar
berkembang menjadi kerajaan besar dan
berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
b.
Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
Bebrapa peninggalan kerajaan gowa tallo diantaranya
adalah banteng Rotterdam (banteng ujung pandang), batu pallantikang, masjid
ketangka, kompleks makam katangka, serta makam syekh yusuf.
1.
Banteng Rotterdam
Banteng peninggalan masa kejayaan kerajaan gowa tallo
yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar. Banteng ini dibangun oleh
raja gowa ke-9 yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi Kallona
pada tahun 1545. Awalnya berbahan tanah liat, raja gowa ke-14 yakni sultan
Alauddin kemudian memugar bangunan banteng dengan bahan batu padas yang
diperoleh dari pegunungan karst di maros. Orang makssar menyebut banteng
Rotterdam dengan sebuatn banteng panyyua atau banteng penyu. Karena jika
dilihat dari atas banteng ini memiliki bentuk seperti penyu. Bentuk ini
memiliki filosofis bahwa kerajaan gowa tallo adalah kerajaan yang Berjaya di
laud an daratan, sama seperti penyu yang hidup di dua alam.
2.
Batu pallantikang
Batu pallantikan atau batu pelantikan adalah sebuah
batu andesit yang diapit batu kapur. Batu peninggalan kerajaan gowa tallo ini
dipercaya memiliki tuah karena dianggap sebagai batu dari khayanagn. Karena
anggapan tersebut sesuai namanya batu ini dgunakan sebagai tempat pengambilan
sumpah atas setiap raja atau penguasa baru di kerajaan gowa tallo.
3.
Masjid katangka
Masjid katangka terletak beberapa ratus meter di
sebelah timur makam di sisi selatan jalan yang menjadi batas administrasi
antara kota Makassar dengan kabupaten gowa. Tahun didirikan masjid katangka
tertera pada 1603 prasasti namun diragukan beberapa sejarawan, mengingat
konstruksi dan arsitekturnya yang tidak sesuai dengan zaman dan tempat
pembangunannya. Masjid ini dikelilingi oleh makam raja dari keluarga pendimnya,
para pemuka islam dengan bentuk cukup khas dan unik dengan model makam raja-raja
bugis Makassar.[25]
4.
Kompleks makam katangka
Diareal masjid katangk terdapat sebuah kompleks
pemakaman, makan sultan hasanuddin. Makam raja-raja bisa dikenali dengan mudah
karena diatapi dengan kubah. Sementara makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan
raja hanya ditandai dengan batu nisan biasa.
5.
Makam syekh yusuf
Syekh yusuf adalah ulama besar yang hidup dizaman
colonial belanda. Pengaruhnya yang sangat besar bagi perlawanan rakyat gowa
tallo terhadap penjajah, membuat belanda mengasingkannya ke srilanka, kemudian
ke cape town, afrika selatan, jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian
dikembalikan ke Makassar dan dimakamkan di sana, tepatnya di dataran rendah
lakiung sebelah barat masjid katangka.
c.
Perkembangan Ekonomi
Pada abad ke-11 sulawesi selatan terdapat kerajaan
gowa, tallo, wajo, soppeng dan luwu. Perkembangan kerajaan-kerajaan itu tidak
sama karena masing-masing mempunyai potensi yang berbeda. Kerajaan gowa dan
tallo menjadi besar karena letaknya straategis yaitu berada dijalur perdagangan
sehingga sering menjadi tempat persinggahan pedagang dari ternate dan tidore
yang akan berdagang ke malaka atau jawa. Kerajaan gowa tallo berkembang pesar
dan menjadi penghubung antara malaka, jawa dan Maluku. Pertumbuhan Makassar
makin cepat setelah malaka jatuh ke tangan portugis (1511) , sedangkan Maluku
dikuasai oleh portugis dan belanda.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan
internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di
Makasar.Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga
yang disebut dengan Ade’ Aloping Loping Bicaranna Pabbalue, sehingga dengan
adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan
mengalami perkembangan yang pesat.Selain perdagangan, Makasar juga
mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah
yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
d.
Perkembangan pemerintahan politik
Puncak kegemilangan kerajaan Makassar terjadi saat
sultan hasanuddin memegang tampuk kekuasaan. Di tangannya kerajaan Makassar
berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan jaringan perdagangan yang kuat dan
pengaruh yang luas. Kehidupan politik kerajaan gowa tallo dilihat dari raja-raja yang memerintah,
wilayah kekuasaan dan hubungannya dengan pihak luar negeri.
Raja-raja yang memerintah adalah:
1.
Karaeng matoaya
2.
Sultan alauddin
3.
Sultan Muhammad said
4.
Sultan hasanuddin
5.
I Mappasomba
e.
Kehidupan social dan budaya
sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka
giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari
mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Makasar memiliki
kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam
kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap
sakral. Norma kehidupan masyarakat
Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan
masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping
norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri
dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut
dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka”
dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan
“Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan
benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal
sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal
dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat
Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
f.
Perkembangan Agama
Agama yang berkembang di kerajaan gowa tallo adalah
agama islam. Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi selatan mendapat
tempat sibaik-baiknya bahkan ajaran sufisme khalwatiyah dari kaum syeikh yusuf
al-makssari juga tersebar si kerajaan gowa dan kerajaan lainnya pada
pertengahan abad ke-17 M.
g.
Masa kejayaan dan keruntuhan kerajaan gowa tallo
1)
Masa kejayaan
Kerajaan Goa dan Tallo
adalah dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berhubungan
dengan baik. Orang kemudian mengenal keduanya sebagai Kerajaan Makasar, yang
sebenarnya adalah ibu kota Gowa yang disebut Ujungpandang.Kerajaan Makasar
merupakan kerajaan maritim, penghasil rempah-rempah. Membentuk jalur
perdagangan Nusantara yang sangat terkenal pada abad ke-16 dan 17 Masehi dan
mempunyai hubungan diplomasi yang baik dengan kerajaan Ternate di Maluku.
Sebelum abad 16 M, raja-raja Makasar belum memeluk Islam, setelah kedatangan
Dato’ Ri Bandang, seorang penyiar Islam dari Sumatra, Makasar berkembang
menjadi kerajaan Islam. Sultan Alaudin adalah raja Makasar pertama yang memeluk
agama Islam, yang berkuasa dari tahun 1591 sampai 1638 M.Nama asli Sultan
Alaudin adalah Karaeng Ma’towaya Trumamenanga Ri Agamanna.
Di bawah kekuasaannya
Makasar tumbuh menjadi kerajaan maritim. Para pelaut mengembangkan perahu jenis
Pinisi dan Lambo. Setelah Sultan Alaudin meninggal, digantikan oleh Muhammad
Said pada tahun 1638 – 1653 M. Raja berikutnya adalah Sultan Hasanuddin yang
berkuasa dari tahun 1653. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin Makasar
menjadi gemilang, majunya perdagangan dan melakukan ekspansi.Kerajaan yang
berhasil dikuasai Makasar di Sulawesi Selatan adalah Lawu, Wajo, Soppeng dan
Bone. Sultan Hasanuddin berniat menguasai jalur perdagangan Indonesia bagian
timur, sehingga harus menghadapi VOC sebelum menguasai Maluku yang kaya akan
lada.Keberanian Hasanuddin melawan Belanda menyebabkan ia mendapatkan julukan
Ayam Jantan dari Timur. Kisah tentang keberanian Hasanuddin silahkan baca di
artikel sejarah Sultan Hasanuddin Ayam jantan dari timur. Pada tahun 1667
dengan bantuan Raja Bone, Belanda berhasil menekan Makasar untuk menyetujui
Perjanjian Bongaya. Perjanjian ini berisi 3 kesepakatan, yaitu :
a)
VOC mendapat hak monopoli perdagangan di Makasar.
b)
Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makasar, dan Makasar harus
melepas kerajaan daerah yang dikuasainya seperti Bone, Soppeng.
c)
Mengakui Aru Palaka sebagai raja Bone.
Setelah Sultan Hasanuddin
turun tahta pada tahun 1669 Map Somba putranya berusaha meneruskan perjuangan
ayahnya melawan Belanda. Belanda yang sangat menghargai tindakan kooperatif
dari Mapa Somba harus mempersiapkan armada perang. Pelaut Makasar sangat
tangguh ini ditunjang dengan keahlian mendesain berbagai kapal yang kuat dan
indah seperti Pinisi, Lambo dan Padewalang yang dapat mengarungi daerah
nusantara bahkan sampai ke India dan Cina.Makasar memiliki hukum perdagangan
yang disebut Ade Alloping Bicaranna Pabbahi’e, juga mengadopsi hukum-hukum
Islam dan menjalin kerjasama dengan Kerajaan Islam seperti Demak dan Malaka.
2). Masa runtuhnya kerajaan
gowwa tallo
Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama
napasomba. Sama seperti ayahnya, sultan ini menentang kehadiran belanda dengan
tujuan menjamin eksistensi Kesultanan Makasar. Namun, Mapasomba gigih pada
tekadnya untuk mengusir Belanda dari Makassar. Sikapnya yang keras dan tidak
mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan secara
besar-besaran. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan Mapasomba sendiri
tidak diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan
Makassar.
2.
Kerajaan Wajo
a.
Sejarah awal
Sejarah wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang
umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan to manurung. Sejarah awal wajo
menurut lontara sukkuna wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir
danau lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara,
selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir danau lampulung. Mereka dipimpin
oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan puangnge Ri
Lampulung. Puang Ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui
tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau
lampulung dari kata sipulung b yang
berarti berkumpul.
Komunitas lampulung terus berkembang dan memperluas
wilayahnya hingga ke saebawi. Setelah puang ri lampulung meninggal komunitas
ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya yaitu
puang ri timpengeng di boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di
boli. Komunitas boli berkembang hingga meninggalnya puang ri timpengeng.
Setelah itu putra mahkota kedatuan sina dan kerajaan
mampu yaitu la paukke datang dan mendirikan kerajaan cinnotabi. Adapun urtan
arung cinnotabi yaitu, la paukke arung cinnotabi I yang diganti oleh anaknya we
panangngareng arung cinnotabi II. We ternrisui putrinya menjadi arung cinnotabi
III yang diganti oleh putranya la patiroi sebagai arung cinnotabi IV.
Sepeninggal la patiroi adat cinnotabi mengangkat la tenribali dan la tenritippe
sekaligus sebagai arung cinnotabi V. setelah itu akkarungeng (kerajaan)
cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di boli dan membentuk komunitas
baru lagi yang diebut lipu tellu kajuue.
La tenritau menguasai wilayah majauleng, la tenripekka
menguasai wilayah sabbamparu dan la matareng menguasai wilayah takkalalla.
Ketiganya adalah sepupu satu kali le tenriballi. Le tenriballi sendiri setelah
kekosongan cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut akkarungeng ri penrang dan
menjadi arung penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta le tenribali
agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian assijancingeng ri
majauleng maka dibentuklah kerajaan wajo. Le tenribali diangkat sebagai raja
pertama bergelar batara wajo. Ketiga sepupunya bergelar paddanreng yang
menguasai wilayah distrik yang disebut limpo. Le tenritau menjadi paddanreng ri
majauleng, yang kemudian berubah menjadi paddanreng bettempola pertama. Le
tenripekka menjadi paddanreng sabbamparu yang kemudian menjadi paddanreng
talotenreng. Terakhir matareng menjadi paddanreng ri takkallala menjadi
paddanreng tuwa.
Berita tentang tumbuh kembangnya kerajaan wajo
terdapat pada sumber hikayat local. Di hikayat local terebut ada cerita yang
menghubungkan tentang pendirian kampong wajo yang didirikan oleh tiga anak raja
dari kampung tetangga
cinnotabi yang berasal dari keturunana dewa yang mendirikan kampung dan menjadi
raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa wajo: bettempola, talonlenreng, dan
tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja diseluruh wajo dengan gelar
batara wajo. Batara wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya
yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang renreng. Menarik perhatian kita bahwa
sejak itu raja-raja di wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan
dari seorang keluarga raja menjadi arung mata artinya raja yang pertama atau
utama.
Selama keempat
arung mata dewan pangreh praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung
panji) 30 orang ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota
dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara.
Kerajaan wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi kerajaan bugis
yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan kerajaan luwu dan bersatu dengan
kerajaan bone dan soppeng dalam perjanjian tellum poco pada 1582.
Wajo pernah
ditaklukkan kerajaan gowa dalam upaya memperluas islam dan pernah tunduk pada
1610. Disamping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa dato ri
bandang dan dato sulaeman memberikan pelajaran agama islam terhadap raja-raja
wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fiqh.
Persekutuan
dengan gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalamm
peperangan tapi berulang kali gowa juga mencampuri urusan pemerintah kerajaan
wajo. Kerajaan wajo sering pula membantu kerajaan gowa pada peperangan baru
dengan kerajaan bone pada 1643, 1660 dan 1667.
Kerajaan wajo sendiri pernah ditaklukkan kerajaan bone tetapi karena
didesak maka kerajaan bone sendiri takluk kepada kerajaan gowa tallo dibawah
sultan hasanuddin melawan VOC pimpinan spelman yang mendapat bantuan dari aru
palaka dari bone berakhir dengan perjanjian bongaya pada tahun 1667. Sejak itu
terjadi penyerahan kerajaan gowa pada VOC dan disusul pada 1670 kerajaan wajo
yang diserang tertara bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota kerajaan wajo
yaitu tosora. Arung matoa to sengeng gugur. Arung matoa penggantinya terpaksa
menandatangani perjanjian di makassar tentang penyerahan kerajaan wajo kepada
VOC. [26]
Wajo memeluk
islam resmi pada tahu 1610 pada pemerintahan la sangkuru patau mulajaji sultan
abdurrahman dan dato sulaeman menjadi qadhi pertama wajo. Setelah dato sulaiman
kembali ke luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, dato ri
tiro melanjutkan tugas dato sulaiman. Setelah
selsesai dati ri tiro ke bulukumba dan meninggal disana. Wajo terlibat perang
Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah
sulawesi yang tidak stabil dan posisi arung matowa la tenrilai to sengngeng
sebagai menantu sultan hasanuddin. Kekalahan gowa tidak menyebabkan la tenrilai
rela untuk menandatangani perjanjian bongaya, sehingga wajo diserang oleh
pasukan gabungan terlebih dahulu lamuru yang juga berpihak ke sultan hasanuddin
juga diserang. Kekalahan wajo menyebabkan banyak masyarakat pergi meninggalkan
wajo dan membangun komunitas social ekonomi di daerah rantauannya. La mohang
daeng mangkona salah satu panglima perang wajo yang tidak terima kekalahan
merantau ke kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai samarinda.
Wajo dibawah republic Indonesia timur, berbentuk
swapraja pada tahun 194501949. Setelah konferensi meja bundar, wajo bersama
swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1975. Antara tahun
1950-1957 pemerintah tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak
pemberontakan DI/TII. Setelah 1957 pemimpin di wajo adalah seorang bupati, wajo
yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi onderpdeling, selanjutnya swapraja dan
akhirnya menjadi kabupaten.
b.
Peninggalan kerajaan wajo
1.
Masjid kuno tosora
Sisa peradaban masa kerajaan wajo ini terletak di desa
tosora, kecamatan majauleng. Lokasi ini pernah menjadi pusat peradaban di
kabupaten wajo, karena merupakan pusat kerajaan wajo pada zaman dahulu. Bahkan
tosora pernahmenjadi ibu kota kabupaten wajo sebelum dipindahkan ke sengkang.
Berbagai peninggalan sejaran berupa bangunan maupun makam raja-raja wajo bisa
ditemukan diwilayah ini.
2.
Makam-makam kuno
Di desa tosora terdapat banyak sekali makam-makam kuno
yang tersebar dimana-mana, baik terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman
maupun yang tersebar secara acak.
Peninggalan makammakam kuno yang dideskripsikan dalam
tulisan ini terdiri atas tujuh kompleks yang penamaannya diberikan sesuai
dengan nama tokoh yang paling berpengaruh yang dimakamkan didalmnya yaitu:
a)
Kompleks makam arung banteng pola
Kompleks makam ini berada pada ketinggian 30,6 m dpl.
Terdapat 12 makam yang terlihat. Sebagian makam tersebut sudah tidak memiliki
jirat. Bentuk nisannya terlihat terdiri dari meriam, mahkota dan pipih.
b)
Kompleks makam la tenrilai to sengngeng
Kompleks makam ini berda pada ketinggian 30,7 m dpl.
Jumlah makam yang terlihat di kompleks makam tersebut sebanyak 44 makam. Bentuk
jirat sebagian makam tersebut sangat sederhana. Hal tersebut karena sebagian
makam tersebut terbuat dari papan batu yang disusun persegi. Bahkan ada juga
makam yang tidak memiliki jirat. Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan
yang ditancapkan.
c)
Komplks makam la mungkace to U’damang
Komplekas makam la mungkace to U’damang berada diluar
banteng sisi utara. Makam terletak diketinggian 30,6 m dpl. Jumlah makam di
kompleks ini sebanyak 83 makam. Sebagian besar jirat dikomplekas makam ini
tidak terlihat (kemungkinan makam ini juga tidak ada jirat). Makam tersebut
hanya ditandai dengan nisan.
c.
Raja-raja yang memerintaah
Raja-raja
yang memerintah di kerajaan wajo
Zaman
sebelum islam
1.
La tenri bali batara wajo I (akhir abad ke XIV)
2.
La mataesso batara wajo II (awal abad ke XV)
3.
La pateddungi to samallangi batara wajo III (1436-1456)
4.
La palewo to palippu batara wajo IV (1456-1466)
5.
La obbi’ settiware batara wajo V (1466-1469)
6.
La tenri umpu’ to langi arung matoa wajo (1474-1482
7.
La tadangpare’ puang ri mggalatung arung matoa wajo (1482-1487)
8.
La tenri pakado to nampe arung mato wajo (1487-1491)
9.
La tadangpare’ puang ro maggalatung arung matoa wajo (1491-1521)
10. La tenri pakado to nampe arung matoa wajo ( 1524-1535)
11. La temmasonge arung matoa wajo (1535-1538)
12. La warani to temmagiang arung matoa wajo (1538-1547)
13. La mallagenni arung matoa wajo (1547/hanya dua bulan)
14. La mappapuli to appamadeng ar
15. Ung matoa wajo (1547-1564)
16. La pakoko to pabelle arung matoa wajo (1564-1567)
17. La mungkace to addamang arung matoa wajo (1567-1607)
Zaman islam
1.
La sangkuru patau mulajaji sultan abdul rahman arung matoa wajo matinroe
ri alleparenna (1607-1610)
2.
La mappepulu to appamole arung matoa wajo (1612-1616)
3.
La samalewa to appakiu arung matoa wajo (1616-1621)
4.
La pakalongi to allinrung arung matoa wajo (1628-1626)
5.
La mappasaunge’ arung matoa wajo (1627-1628)
6.
La pakkalongi to allinrung arung matoa wajo (1628-1636)
7.
La tenri lai to addumemang arung matoa wajo (1636-1639)
8.
La isi gajang to bunne arung matoa wajo mattinroe ri batana (1639-1643)
9.
La makkaraka to pattemui arung matoa wajo matinroe ri panggaranna
(1643-1648)
10. La temmasonge puanna daeli petta pallinge arung matoa
wajo (1648-1651)
11. La paremma to rewo arung matoa wajo mattinroe ri
passirinna (1651-1658)
12. La tenri lai to sengngeng arung matoa wajo mattinroe
ri sale’kona (1658-1670)
13. La palli li to mallu arung matoa wajo (1670-1679)
14. La pariusi daeng manyampa arung matoa wajo matinroe ri
buluna (1679-1699)
15. La tenri sessu tomoe/to denra arung matoa wajo
(1699-1702)
16. La mattaone la sake daeng paguling puanna larumpang
arung matoa wajo (1702-1703)
17. La galigo to sunnia arung matoa wajo (1703-1712)
18. La tenri werung arung paneki arung matoa wajo
(1712-1715)
19. La sallewangeng to tenriruwa arung matoa wajo
(1715-1736)
20. La maddukellang puangna la tombong arung paneki arung
singkang sultan pasir arung matoa wajo (1736-1754)
21. La maddnaca arung matoa wajo (1754-1755)
22. La passaung puangna la omo arung matoa wajo
(1758-1761)
23. La mappaujung puangna salewong arung matoa wajo
(1764-1767)
24. La mallli ungeng to alleong arung alitta arung matoa
wajo (1767-1770)
25. La mal la lengeng (la cella puangna to appamadeng arung
matoa wajo ( 1795-1817)
26. La mamang to appamandeng radeng gallong arung matoa
wajo (1821-1825)
27. La paddengeng puangna palaguna arung matoa wajo
(1839-1845)
28. La pawellangi pajungperot arung matoa wajo (1854-1859)
29. La ciccing (aki ali) karaeng mangeppe datu pammana
pilla wajo arung matoa wajo (1859-1885)
30. La koro batara wajo arung padali arung matoa wajo
(1885-1891)
31. La passamula datu lompulle arung matoa wajo
(1892-1897)
Zaman pengaruh belanda
1.
Ishak manggabarani karaeng mangepe arung matoa wajo (1900-1916)
2.
La tenri oddang arung matoa larompong arung paneki arung lowa matoa wajo
(1926-1933)
3.
Andi mangkona arung mariori wawo (1933-1949)/arung matoa terakhir
D.
Adat istiadat
suku bugis
Terdapat dua pendapat utama mengenai asal-usul orang Bugis (To Ugi). Pertama,
orang Bugis berasal dari India Belakang seperti halnya suku bangsa lain di
Nusantara. Menurut pendukung pendapat, orang India Belakang datang secara
bergelombang ke Nusantara pada ribuan tahun lalu. Orang Bugis, menurut pendapat
ini, digolongkan dalam rumpun atau turunan Melayu Muda (Deutero Melayu) yang
datang ke wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum mereka datang, Melayu Tua (Proto
Melayu) terlebih dahulu mema suki wilayah ini.[27]
Pendapat ini juga didukung oleh fakta bahwa saat ini orang Bugis banyak
yang telah beranak-pinak di beberapa daerah Melayu seperti Sumatera dan
Kalimantan, bahkan di Malaysia. Pendapat pertama ini juga mendukung asumsi
bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari India.
Kedua, orang Bugis
merupakan salah satu rumpun dari orang Austronesia yang tersebar di beberapa
tempat di Asia.[28] Penyebaran rumpun ini
dalam perkembangannya melahirkan suku bangsa seperti Melayu, Bali, dan Jawa.
Namun, mereka lebih terkenal dibandingkan Bugis. Pada abad ke-19, penyebaran
orang Bugis telah merambah Singapura hingga Papua, dari bagian Selatan Filipina
hingga ke pantai Barat Australia. Adapula yang mengatakan bahwa orang Bugis
pernah menyeberangi samudera Hindia sampai ke Madagaskar sehingga keturunannya
masih dapat dilacak di daerahdaerah tersebut.
Dari keterangan ini, orang pun mengatakan bahwa orang Bugis merupakan
pelaut ulung di masanya karena kemampuan mengarungi lautan dengan keterbatasan
alat pelayaran yang dimiliki. Pendapat ini merupakan pendapat yang banyak
dijadikan rujukan mengenai asal-usul orang Bugis.
Kedua pendapat di atas setidaknya memberikan gambaran mengenai asal-usul
orang Bugis meskipun terdapat perbedaan persepsi. Tidak hanya pada persoalan
asal-usul, batasan mengenai siapakah yang termasuk orang Bugis pun sulit
ditetapkan. Untuk memberikan batasan terhadap orang Bugis, penulis meminjam
kerangka yang digunakan oleh Muhammad Damami (2002) untuk memberikan gambaran
mengenai definisi masyarakat Jawa.
1.
Adat perkawinan dalam suku bugis
Perkawinan
merupakan hal yang sakral dimana laki-laki dan perempuan saling terikat
oleh satu janji dalam membangun rumah tangga. Masyarakat Suku Bugis memandang
perkawinan sebagai hal yang sangat penting hingga membuat sebuah kriteria yang
dianggap sebagai perkawinan ideal.
Pembagian Perkawinan Suku Bugis
Sama halnya
dengan masyarakat Suku Jawa yang memandang bobot, bibit, bebet sebelum
melangsungkan perkawinan. Tak ayal jika masyarakat Suku ini juga memiliki
kriteria tertentu dalam perkawinan diantara mereka. Berikut pembagian
perkawinan ideal menurut masyarakat Suku Bugis :
a. Assialang Marola
Dalam
bahasa Makassar, istilah ini disebut Passialeng baji’na. Bentuk perkawinan ini
dikatakan sebagai bentuk ideal yang utama. Hal ini karena perkawinan oleh
masyarakat Suku Bugis yang dilaksanakan antara saudara sepupu sederajat ke
satu baik dari pihak ayah atau ibu.
a. Assialana
Memang
Passialleana, begitulah masyarakat Suku Bugis
menyebutnya. Seperti Assialang marola, Perkawinan ini juga melibatkan saudara
sepupu namun pada sederajat kedua baik dari pihak ayah atau ibu.
b.
Ripanddepe’ Mabelae
Perkawinan ideal yang satu ini biasanya
antara saudara sepupu sederajat ketiga baik dari pihak ayah atau ibu. Oleh
masyarakat Bugis, biasanya dinamakan nipakambani bellaya. Sebagai bentuk ideal
yang terakhir, ternyata perkawinan ini memiliki makna untuk merekatkan kembali
kekerabatan yang agak jauh.
Kegiatan Sebelum Perkawinan
Seperti kebanyakan
masyarakat pada umumnya, masyarakat Suku Bugis juga memiliki kegiatan sebelum
melangsungkan perkawinan. Hal ini disetiap kegiatannya tentu memiliki makna dan
tujuan masing-masing. Berikut kegiatan masyarakat Suku ini sebelum
perkawinan :
a.
Ma’manu-manu/ A’ jagang-jagang
Sebelum
melakukan proses lamaran atau melamar. Pihak keluarga dari calon mempelai pria
melakukan penyelidikan mengenai calon mempelai perempuan. Seperti latar
belakang, dan pendidikannya. Ini bertujuan untuk mengenal lebih dekat si calon
menantu wanita.
b.
A’suro/Massuro
Setelah
melakukan pengenalan lebih dalam, barulah keluarga dari pihak laki-laki
melakukan acara lamaran secara resmi.
c.
Appa’nasa/Patenre
Setelah
melakukan proses lamaran, maka dilakukan appa’nasa/patenre ada yaitu menentukan
hari pernikahan, besarnya mas kawin dan uang belanja.
d.
Appanai Leko Lompo (Erang-erang)
Setelah
pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut
A’bayuang, dengan mengantarkan passio/passiko atau pattere (dalam bahasa
Bugis). Prosesi mengantarkan pasio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang.
Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan
acara Patenre Ada atau Appa’nasa.
e.
A’barumbung (Mappesau)
Ini
adalah kegiatan mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita. Mandi uap
ini bertujuan untuk menghilangkan aroma tidak sedap pada tubuh, memberikan
kesegaran, mengeluarkan aura buruk dan mendatangkan aura baik. Biasanya mandi
uap dilakukan selama tiga hari.
f.
Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing)
Prosesi
appasili bunting ini hampir mirip dengan prosesi siraman dalam tradisi
pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan
batin.
g.
A’bu’bu
Prosesi
acara a’bu’bu (maceko) yaitu proses membersihkan rambut atau bulu-bulu halus
yang terdapat di ubun-ubun atau alis, yang bertujuan memudahkan dalam merias
pengantin wanita, agar hiasan hitam (da’dasa) pada dahi yang dikenakan calon
mempelai wanita dapat melekat dengan baik.
h.
Appakanre Bunting
Dalam
upacara ini, calon mempelai disuapi dengan makanan berupa kue-kue khas
tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde,
Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dalam suatu wadah besar yang
disebut Bosara Lompo.
i.
Akkorontigi (Mappacci) atau Malam Pacar
Acara
Akkorontigi merupakan kegiatan menghiasi rumah calon mempelai, kemudian
melakukan appacci atau mappacci, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan
raga calon pengantin wanita. Ini merupakan suatu rangkaian acara yang sakral
dan dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
j.
Assimorong/Menre’kawing
Ini
merupakan puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar, yakni
ketika kedua calon mempelai melakukan akad nikah.
k.
Appabajikang Bunting
Setelah
akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita.
Dalam tradisi Bugis-Makassar, pintu menuju kamar
mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara
pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah
mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling
menyentuh). Setelah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti
beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu
oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah
diterima oleh keluarga mempelai wanita.
2.
Kesenian suku bugis
Kesenian yang
dimiliki setiap daerah tentunya saling berbeda dengan yang lain. Begitu pun
masyarakat Suku Bugis yang memiliki kesenian yang tidak kalah menarik dengan
suku lainnya. Kesenian dari suku ini ada Seni Tari dan seni musik terlihat dari
beberapa alat musik yang dimiliki.
a.
Seni Tari Suku Bugis
Suku Bugis memiliki
kesenian yang menarik berupa tari-tarian. Tarian yang dibawakan suku ini
sangatlah indah dan mempesona serta memiliki beberapa nama. Nama tarian dari
suku bugis diantaranya :
1.
Tari Paduppa Bosara
Tarian ini bermakna penyambutan
tamu yang datang berkunjung. Hal ini sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima
kasih kepada para tamu atas kedatangannya.
2.
Tari Pakarena
Pakarena dalam bahasa
setempat diartikan sebagai main. Awalnya hanya digunakan untuk pertunjukan di
istana kerajaan. Dalam perkembangannya tarian ini semakin dikenal. Tarian ini
mencerminkan sifat lemah lembut dan sopan santun seorang wanita.
3.
Tari Ma’badong
Oleh masyarakat Suku Bugis
digunakan pada saat upacara kematian. Para penari memakai pakaian serba hitam atau
terkadang bebas. Para penari saling mengaitkan jari kelingking dengan membentuk
lingkaran. Tarian ma’badong dilakukan dengan gerakan langkah silih berganti
yang diiringi lagu yang menggambarkan kehidupan manusia dari lahir hingga mati.
4.
Tarian Pa’gellu
Tarian ini digunakan untuk
menyambut seseorang yang pulang dari berperang. Dibalik tarian heroik yang satu
ini, tersimpan peribahasa “jangan sampai kacang lupa kulitnya”. Intinya,
sudah seharusnya selalu mengingat jasa-jasa pahlawan kita.
5.
Tarian Mabissu
Tarian ini mempertontonkan kesaktian
para bissu di Sigeri Sulawesi Selatan. Jenis tarian ini menunjukkan bagaimana
kebalnya mereka terhadap senjata debusnya. Sehingga tarian ini terkesan mistis
namun estetis.
6. Tari Kipas
Sesuai namanya, para
penari menari dengan menggunakan kipas dan diiringi lagu. Keunikannya, meskipun
gerakannya lemah lembut tapi dibalik itu irama yang dimainkan bertempo cepat.
sehingga para penari dibalik itu dengan iramanya yang cepat harus tetap
mempertahankan gerakannya lemah lembut.
b.
Alat music suku bugis
Adapun alat musik
Suku Bugis diantaranya :
1.
Gandrang Bulo. Alat musik yang diambil dari nama gandrang
dan bulo yang disatukan artinya menjadi gendang dari bambu.
2.
Kecapi.
Alat musik yang satu ini dimainkan dengan cara dipetik yang digunakan pada saat
acara hajatan, perkawinan, dll. Fungsinya untuk memperkaya gabungan suara alat
musik lain.
3.
Gendang.
Alat musik ini mirip rebana yang bentuknya bulat panjang dan bundar. Seperti
gendang lainnya, gendang milik masyarakat Suku Bugis ini juga menghasilkan
suara yang khas dan memberikan irama yang bagus.
4.
Suling.
Suling terdiri atas 3 jenis, yaitu suling panjang (suling lampe), suling
calabai (suling ponco), dan suling dupa samping. Biasanya alat musik ini
digunakan untuk menyambut kedatangan para tamu.
3.
Rumah adat suku bugis
Rumah Adat Suku Bugis dibangun tanpa menggunakan
satupun paku dan digantikan dengan kayu atau besi. Jenis dari rumah ini
memiliki 2 jenis untuk status sosial yang berbeda. Rumah saoraja digunakan
untuk kaum bangsawan, sedangkan bola digunakan untuk rakyat biasa. Perbedaannya
hanya pada luas kedua rumah dan besaran tiang penyangganya.
Rumah ini juga terdiri atas 3 bagian. Awa bola
adalah kolong (bagian bawah) untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, dll.
Badan rumah terdiri ruang tamu, ruang tidur, tempat menyimpan benih, dll. Untuk
bagian belakang difungsikan sebagai dapur atau tempat tidur lansia dan anak
gadis.
Arsitektur rumah ini mendapat pengaruh dari Islam
karena rumah disana berorientasi menghadap kiblat dan banyak lukisan-lukisan
bernuansa islami.
4.
Pakaian adat suku bugis
Masyarakat
Suku Bugis memiliki baju adat yang dinamakan baju bodo (pendek). Awalnya baju
ini dibuat dengan lengan pendek tanpa memakai dalaman. Seiring perkembangan
jaman baju ini dibuat menutupi aurat karena pengaruh Islam.
Baju
bodo ini dipadukan dengan dalaman yang warnanya sama namun lebih terang. Selain
itu, untuk bawahan berupa sarung sutera berwarna senada.
5.
Adat istiadat suku bugis
Adat istiadat suku bugis yang sering dilakukan adalah
menggelar upacara adat mappadendang (pesta panen bagi adat suku bugis). Upacara
ini selain bentuk syukur atas keberhasilan dalam menanam padi juga memiliki
nilai magis. Upacara ini juga disebut pensucian gabah maksudnya membersihkan
dan mensucikan dari batang dan daunnya yang kemudian langsung di jemur dibawah
matahari. Upacara dilakukan dengan menumbukkan alu ke lesung silih berganti
yang dilakukan 6 perempuan dan 3 laki-laki dengan memakai baju bodo.
Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga dinamakan
pakkidona, sedangkan para pria dinamakan pakkambona. Para pria menari dan
menabur bagian ujung lesung. Bilik baruga yang digunakan berasal dari bamboo,
sedangkan pagar dibuat dari anyaman bamboo disebut walasoji.
E. Suku bugis identic dengan islam
Arus balik sejarah adalah sebuah fenomena penting
dalam sejarah sosial yang melibatkan orang-orang Melayu-Bugis-Makassar dan juga
orang-orang Bajau sebagai pemeran utama dalam dinamika masyarakat Asia Tenggara
sejak abad ke-15. Dinamika sejarah dalam arus balik ini sangat penting untuk
diketahui sebagai sebuah dasar pemahaman bagi peran timbal balik orang-orang
Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar dan peran orang-orang Bugis-Makassar di
negeri-negeri orang Melayu.
Tak terhitung jumlah literatur, termasuk berbagai
hikayat, yang menceritakan tentang peran silsilah dan petualangan orang-orang
Bugis-Makassar di negeri-negeri Melayu.[29] Berawal dari pengembaraan KaraEng Samarluka
anak raja dari Tanah Mengkasar ke Ujung Tanah (Semenanjung Malaka) dan peran
aktif Opu Tenri Borong Daeng Rilekke bersama kelima putra dan keturunannya.
Sebaliknya, peran orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar tidak
banyak dibicarakan bahkan kurang mendapat perhatian. Akibatnya, benang merah
dari sebuah penjelasan sejarah yang amat penting menjadi terabaikan dan kita
pun memperoleh ulasan sejarah tentang Melayu-Bugis/Makassar tidak berimbang.
Sejak kedatangan orang-orang Melayu ke Kerajaan Gowa
(Makassar), peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama,
tetapi juga dalam kegiatan Sosial-Budaya dan bahkan dalam birokrasi. Besarnya
jumlah dan peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa menyebabkan Raja Gowa
XII, I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1565-1590), membangun sebuah
masjid di Mangallekana untuk kepentingan orang-orang Melayu agar mereka betah
tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam.[30]
Sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia
timur, khususnya di Sulawesi Selatan, tidak hanya di bidang perdagangan, tetapi
juga dalam bidang pendidikan, penyebaran agama Islam dan kebudayaan Melayu.
Berbagai naskah keagamaan dan karya-karya sastra diterjemahkan dari bahasa
Melayu kebahasa Bugis/Makassar. Seperti Hikayat Rabiatul Adawiah, Hikayat Isma
Yatim, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Shahi Mardan Ali Al Murtada, Hikayat
Nabi Bercukur, Hikayat Nabi ber Mi‘raj, Laila Ma‘jannung, Hikayat Marakarma,
Hikayat Amir Hamzah, Budi Istiharat, Hikayat Cekal Weneng Pati, Hikayat Indra
Putera, Hikayat Darma Ta‘siah, Hikayat Puteri Jauhar Manikam, dan banyak lagi.
Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke 19.
Salah satu yang dapat disebutkan di sini adalah penulisan ulang Sureg I
Lagaligo, karya sastra Bugis yang disebut sebagai sebuah karya sastra terbesar
dari khazanah kesusastraan Indonesia tahun 1860 oleh seorang bangsawan Bugis
dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate. Namun siapa
sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Nama dirinya adalah Ratna
Kencana, ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu
Pabean, Syahhandar Makassar di abad ke-19, orang keturunan Melayu-Johor
berdarah campuran Makassar/Bugis.
Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa sampai
tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antarpulau yang melalui
pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Melayu dari Johor, dan Patani. Karena,
sekalipun orang-orang Melayu itu sudah menetap di Makassar hampir satu abad
lamanya, mereka tetap mempunyai hubungan baik dengan negeri asalnya di Tanah
Semenanjung dan pulau-pulau sekitarnya. Oleh karena itu, setiap tahun
kapal-kapal orang Melayu membawa secara rutin barang dagangan dari Makassar dan
pulau sekitarnya. Dari beberapa sumber diperoleh keterangan bahwa sampai awal
abad ke-17 rempah-rempah yang dibawa dari Banda ke Makassar diantarpulaukan
oleh orang Jawa dan Melayu. Demikian pula komoditas beras yang merupakan hasil
utama Sulawesi yang diekspor ke Malaka sejak tahun 1511, kemungkinan besar
tidak dilakukan sendiri oleh orang-orang Bugis/Makassar, tetapi orang Bajau dan
orang Melayu yang sudah di Makassar. Barulah pada tahun 1621 orang Makassar
mulai turut mengambil bagian yang panting dunia perdagangan dan pelayaran di
Nusantara. Ketika itu Kerajaan Gowa (Makassar) mulai memegang peranan penting
sebagai kerajaan maritim di kawasan timur Nusantara. Di bawah kekuasaan Raja
Gowa XIV, I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin 1598-1639.[31]
Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan
Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani. Adapun Datuk
Makotta bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu
Minangkabau dari Pagaruyung (di Salajo). Merekalah generasi pertama pendatang
Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Sanrobone, daerah kawasan Kerajaan
Gowa.
Di Salajo terjadi perkawinan antara orang-orang
Melayu-Patani dengan orang-orang Melayu dari Minangkabau. lkatan ini ditandai
dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir, dengan Tuan Rajja
Putra Datuk Makotta. Dalam sistem kemasyarakatan orang-orang Melayu,
orang-orang terpandang Melayu menggunakan titulatur Incek di depan nama diri,
seperti Incek Ali, Incek Talli, Incek Hasan. Kemudian terjadi perkawinan
campuran antara orang-orang Melayu dengan orang Bajou (Turijene, Bahasa
Makassar) yang ditandai perkawinan Incek Tija, Putri Incek Ali, cucu Tuan
Rajja/Tuan Aminah dengan seorang tokoh rnasyarakat Bajau di Sanrohone yang
dikenal dengan nama Lolo Bajo. Perkawinan ini melahirkan generasi masyarakat
Melayu campuran Bajou dan Sandrobone (Makassar). Generasi yang lahir dari
campuran daerah Melayu-Bajou-Makassar di Salajo yang dikenal dengan penggunaan
titulatur Kare di di depan nama diri, seperti Kare Bali, Kare Tongngi, Kare
Ponto, Kare Muntu, dst. Seseorang yang memilki titulatur Kare menempati tempat
yang sangat terhormat dalam sistem kemasyarakatan Makassar.
Pada generasi selanjutnya ketika terjadi perkawinan
campuran antara keturunan Incek dan Kare dengan orang Bugis-Makassar, lahirlah
sebuah generasi baru Bugis-Makassar keturunan Melayu atau Generasi baru Melayu
keturunan Bugis-Melayu di Nusantara bagian karat, yang secara umum dikenal
sebagai golongan masyarakat tubaji (bahasa Makassar) atau tudeceng (bahasa
Bugis). Mereka menggunakan titulatur Pa‘Daengang seperti I Minallang Daeng
Kenna, I Nali Daeng Tonji, I Yoho Daeng Siang dst.
Generasi baru yang lahir dari percampuran darah
Melayu-Bugis-Makassar dan Bajou ini menduduki tempat dalam struktur masyarakat,
dari strata bangsawan hingga ke golongan masyarakat orang terhormat atau orang
baik-baik. Kelompok inilah yang banyak meninggalkan Sulawesi Selatan selepas
keruntuhan Gowa pada 1667-1669. Migrasi Melayu yang datang berikutnya ialah
rombongan besar Datuk Maharajalela tiba di Kerajaan Gowa (Makassar), tahun
1635, disertai kemenakannya suami-istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama
istri yang bergelar Putri Senopati.[32]
F.
Tarian melayu bugis islami yang popular
Seni Tari Suku Bugis. Suku Bugis memiliki
kesenian yang menarik berupa tari-tarian. Tarian yang dibawakan suku ini
sangatlah indah dan mempesona serta memiliki beberapa nama. Nama tarian dari
suku bugis diantaranya :
1.
Tari Paduppa Bosara
Tarian ini bermakna
penyambutan tamu yang datang berkunjung. Hal ini sebagai bentuk penghargaan dan
rasa terima kasih kepada para tamu atas kedatangannya.
2.
Tari Pakarena
Pakarena dalam bahasa
setempat diartikan sebagai main. Awalnya hanya digunakan untuk pertunjukan di
istana kerajaan. Dalam perkembangannya tarian ini semakin dikenal. Tarian ini
mencerminkan sifat lemah lembut dan sopan santun seorang wanita.
3.
Tari Ma’badong
Oleh masyarakat Suku Bugis
digunakan pada saat upacara kematian. Para penari memakai pakaian serba hitam
atau terkadang bebas. Para penari saling mengaitkan jari kelingking dengan
membentuk lingkaran. Tarian ma’badong dilakukan dengan gerakan langkah silih
berganti yang diiringi lagu yang menggambarkan kehidupan manusia dari lahir
hingga mati.
4.
Tarian Pa’gellu
Tarian ini digunakan untuk
menyambut seseorang yang pulang dari berperang. Dibalik tarian heroik yang satu
ini, tersimpan peribahasa “jangan sampai kacang lupa kulitnya”. Intinya,
sudah seharusnya selalu mengingat jasa-jasa pahlawan kita.
5.
Tarian Mabissu
Tarian ini mempertontonkan kesaktian
para bissu di Sigeri Sulawesi Selatan. Jenis tarian ini menunjukkan bagaimana
kebalnya mereka terhadap senjata debusnya. Sehingga tarian ini terkesan mistis
namun estetis.
6. Tari Kipas
Sesuai namanya, para
penari menari dengan menggunakan kipas dan diiringi lagu. Keunikannya, meskipun
gerakannya lemah lembut tapi dibalik itu irama yang dimainkan bertempo cepat.
sehingga para penari dibalik itu dengan iramanya yang cepat harus tetap
mempertahankan gerakannya lemah lembut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah bugis menurut
kamus dewan bermakna suku bangsa yang berasal dari Sulawesi selatan, Indonesia
yang terkenal sebagai pelaut. Suku ini juga merupakan bagian dari suku etnik
lainnya di wilayah Sulawesi yaitu termasuk kelompok suku bangsa toraja, mandar
dan Makassar. Orang bugis kini dengan populasinya mencapai empat juta yang
mendiami hamper kesemua kawasan Sulawesi selatan di mana kebanyakan agama yang
dianut oleh mereka adalah agama islam. Suku ini merupakan suku bangsa yang
menyebar dan merantau hamper keseluruh kawasan pesisir pantai kepulauan
nuantara Indonesia.
Menurut ilmu khaldun Tamadun adalah diantara sarjana islam yang pertama membahas konsep ketamadunan.beliau
menggunakan istilah hadarah yang merupakan lawan daripada bdawah yaitu
kehidupan badwi.beliau juga menggunakan istilah umran yang bermakana
pembangunan.dalam kitabnya al-muqaddimah beliau lebih banyak menggunakan istilah
umran yang bersal dari kata amarah, ta”mir yang bermaksud membangun,memajukan
menghidupkan dan memakmurkan.bermula pada kurun ke 20, muncullah perkataan
tamaddun dan maddaniyah.pemikir islam seperti Muhammad Abduh menggunakan
istilah madaniyyah bersal dari madinah yang bermaksud Bandar atau kota yang
merupakan asas dan tempat perkembangan sesuatu Tamadun.
Sedangkan istilah Melayu memiliki berbagai macam defenisi seperti
dikemukakan oleh ilmuwan Van Ronekl yaitu, bangsa Melayu ialah orang yang
bertutur bahasa Melayu dan mendiami Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Riau
Lingga serta beberapa daerah di Sumatera khususnya di Palembang. Tetapi
pengertian definisi Melayu tersebut berbeda dengan konsep Melayu berdasarkan
Konsitusi Malaysia yang menyatakan bahwa bangsa Melayu adalah orang yang
berbahasa Melayu, beragama Islam dan mengamalkan budaya Melayu.
Sulawesi selatan adalah salah satu dari 34 provinsi
dalam Negara kesatuan republic Indonesia. Diprovinsi ini terdapat empat suku
bangsa utama yaitu, toraja, Makassar, bugis dan mandar.[33]
Suku bugis adalah salah satu suku yang terbesar yang mendiami daerah Sulawesi
selatan. Suku bangsa bugis terutama mendiami kabupataen-kabupaten bone, wajo,
soppeng, sinjai, bulukumba, barru, pare-pare, sidrap, pinrang dan luwu.
Sebagahagian penduduk pangkajene dan maros, sebagai daerah perbatasan antara
negeri-negeri orang bugis Makassar, adalah orang bugis atau orang Makassar.[34]
Bugi adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku melayu deutero . kata bugis
berasal dari kata to ugi yang berarti orang bugis.[35]
Melayu bugis merupakan orang-orang melayu (johor,
minangkabau, dan pattani) yang melakukan migrasi ke Sulawesi selatan sejak
tahun 1490. Perantau-perantau ini akhirnya melahirkan keturunan yang berperan
di kerajaan-kerajaan Sulawesi selatan, riau, dan semenanjung Malaysia.
B.
Saran
Demikian yang dapat saya sajikan, semoga beranfaat bagi pembaca dan juga
penulis khususnya, dan saya sebagai penulis menyadari betul bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan
saran agar makalah saya ini lebih baik kedepannya
DAFTAR PUSTAKA
A.
Moein MG, 1977, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ dan Pacce,
Ujung Pandang: SKU Makassar Press.
Abu
Hamid, 1994, Syekh Yusuf:Seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Abdul
Razak DaEng Pa‘tunru, 1995, Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan, Makassar, P 15, lihat juga Mattulada, 1988.
Abdurrahman,
1956, Kedatangan orang Melayu di Makassar
dalam H.D. Magemba, Kenallah Sulawesi Selatan, Jakarta: Timur Mas.
Agussalim,
2016, Suplemen Materi Ajar,
Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Deepublish
Publisher.
Ahmad
Sewang, 2005, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Akin
Duli, Dkk, 2013, Monumen islam di Sulawesi Selatan, Makassar: Balai
Cagar Budaya Makassar.
Azyumardi
Azra, 2007, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVI DAN
VIII: Akar Pemabaruan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, h. 35.
Bagian
ini Sepenuhnya Diambil dari Christian Pelras, 2006, Manusia Bugis, Jakarta:
Nalar.
Daeng
Patunru, Abdul Razak, 1988, Sejarah Gowa, Jakarta: Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan.
Dwi
Ari Listiyani, 2009, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Bahasa, Jakarta:
Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Edward
Paelanggomang, 2002, Makassar
Abdullah XIX,
Hamid,
1994, Syekh Yusuf:Seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, h. 79.
Hasan
Muarif Ambary, 2001, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia, Cetakan II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 35.
H.Anthony
Johns, 1993, Islamization in Southeast Asia: Reflection With Special
Reference to Role of Sufism, Southeast Asian Studies, No. 1, Volume. 3.
Moein
MG, 1977, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ dan Pacce,
Ujung Pandang: SKU Makassar Press.
Muhaemin,
2010, Membaca Islam di Sulawesi Selatan, Afkar, Jurnal refleksi
Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 29.
Mattulada,
1982, Menyusuri Jejak KehadiranMakassar Dalam Sejarah, Ujung Pandang:
BhaktBaru.
Nabilah
Lubis, 1997, Syekh Yusuf AL-Tajul Makassari: Menyingkap Intisari Segala
Rahasia, Bandung: Mizan.
Nurman
Said, 2010, Genealogi Pemikiran Islam Ulama Bugis, Jurnal Al-Fikr,
Volume 14. No.2.
Pelras,
Christian, 1996, The Bugis: Oxford: Blackwell Publisher.
Pelras,
Christian, 1983, Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan
Kesaksian Portugis Dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: YRS.
Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977, Geografi Budaya Daerah
Sulawesi Selatan, Jakarta:Balai Pustaka.
Ras
Burhani, Danawir, 1984, Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, Ujung
Pandang: IAIN Alauddin.
Restu
Gunawan, Dkk, 2016, Sejarah Indonesia
SMA/MA kelas X, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang,
Kemendikbud.
Suku
Bugis, 2015, http://id.m.Wikipedia.org/wiki/suku_bugis.
Taufik
Abdullah, 1988, Agama, Etos Kerja an Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES.
[1] A. Moein MG, 1977, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra
Siri’ dan Pacce, Ujung Pandang: SKU Makassar Press, h. 12.
[2] Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977, Geografi
Budaya Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta:Balai Pustaka, h. 34.
[4] Pelras, Christian, 1983, Sulawesi
Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian Portugis Dalam Citra
Masyarakat Indonesia, Jakarta: YRS
[9] Ras Burhani, Danawir, 1984, Sejarah Perkembangan Islam di
Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: IAIN Alauddin, h. 62.
[10] Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak
KehadiranMakassar Dalam Sejarah, Ujung Pandang: BhaktBaru, h. 150.
[11] Azyumardi Azra, 2007, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVI DAN VIII: Akar Pemabaruan
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 35.
[13] Abu Hamid, 1994, Syekh
Yusuf:Seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h.
79.
[14] Nurman Said, 2010, Genealogi
Pemikiran Islam Ulama Bugis, Jurnal Al-Fikr, Volume 14. No.2. h. 20
[15] Hasan Muarif Ambary, 2001, Menemukan
Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cetakan II,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 35.
[16] Nabilah Lubis, 1997, Syekh Yusuf
AL-Tajul Makassari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, Bandung: Mizan, h.
24.
[17] Abu Hamid, 1982, Sistem
Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang:
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, h.h.
75-77.
[19] H.Anthony Johns, 1993, Islamization
in Southeast Asia: Reflection With Special Reference to Role of Sufism, Southeast
Asian Studies, No. 1, Volume. 3.
[20] Muhaemin, 2010, Membaca Islam di
Sulawesi Selatan, Afkar, Jurnal refleksi Pemikiran Keagamaan dan
Kebudayaan, Edisi No. 29, h. 29.
[21] Dwi Ari Listiyani, 2009, Sejarah
2 Untuk SMA/MA Kelas XI Bahasa, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional, h. 98.
[22] Restu Gunawan, Dkk, 2016, Sejarah Indonesia SMA/MA kelas X, Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud, h.h. 221-222.
[23] Ahmad Sewang, 2005, Islamisasi
Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
h. 2.
[24] Agussalim, 2016, Suplemen Materi Ajar, Prasejarah
Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Deepublish Publisher, h. 48.
[25] Akin Duli, Dkk, 2013, Monumen
islam di Sulawesi Selatan, Makassar: Balai Cagar Budaya Makassar, h. 39.
[29] Silsilah
Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya, Tuhfat al-Nafis, Aturan Setia Bugis
dan Melayu, Sejarah Riau Lingga dan Daerah Takluknya. Tawariik al-Wusta,
Hikayat Negeri Johor, Hikayat Opu Daeng Menambun, Hikayat Raja-raja Riau,
Sejarah Raja-raja Riau, Silsilah Raja Bugis, Hikayat Negeri Riau, and Sejarah
Johor. Mukhtasar Tawarikh Al-Wusta A short chronicle of the Riau region.
[30] Abdul Razak
DaEng Pa‘tunru, 1995, Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan,
Makassar, P 15, lihat juga Mattulada, 1988.
[31] Edward
Paelanggomang, 2002, Makassar
Abdullah XIX,
[32] Abdurrahman,
1956, Kedatangan orang Melayu di
Makassar dalam H.D. Magemba, Kenallah Sulawesi Selatan, Jakarta: Timur Mas,
[33] A. Moein MG, 1977, Menggali Nilai
Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ dan Pacce, Ujung Pandang: SKU Makassar
Press, h. 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar