Jumat, 03 Juli 2020

POLITIK ISLAM VS POLITIK BARAT

BAB I

PENDAHULUAN

Wacana politik demokrasi dan Islam sering diwarnai pro dan kontra, wacana tersebut selalu menarik untuk diperbincangkan meskipun umat Islam sebenarnya tidak pernah sepakat dengan maknanya. Hal ini tampak dari panggung politik kontemporer, semakin banyak gerakan-gerakan Islam melibatkan diri dalam isu demokratisasi dan civil society. Hubungan antara demokrasi dan Islam saat ini begitu kompleks. Sistem demokrasi Barat dalam perkembanganya menjadi pilihan negara-negara berkembang karena diyakini sebagai sistem politik yang menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia.[1]

Gelombang politik demokrasi Barat telah meluas keberbagai negara, termasuk negara-negara yang berpenduduk muslim. Sejak tahun 1790 hanya terdapat tiga negara yang menganut sistem demokrasi liberal antara lain negara Amerika Serikat, Swiss, dan Perancis. Pada tahun 1848 jumlahnya berkembang menjadi lima negara, tahun 1900 berjumlah tiga belas negara, tahun 1919 berjumlah dua puluh lima negara, tahun 1940 berkembang jumlahnya menjadi tiga belas negara, tahun 1960 berjumlah tiga puluh enam negara, dan pada tahun 1990 berjumlah enam puluh satu negara.

Survei terhadap demokrasi yang dilakukan pada tahun 1939, negara yang sudah demokratis sejumlah 12 negara. Antara lain Kanada, Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Irlandia, Prancis, Inggris, Netherland, Norwegia, Swedia, dan Switzerland.[2] Menurut penelitian yang dilakukan UNESCO pada tahun 1949 menyatakan untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukungnya yang sangat berpengaruh.[3]

Seolah tidak ingin diberi label anti demokrasi, banyak kalangan Muslim yang kemudian menyatakan bahwa Islam sudah sesuai dengan demokrasi Barat. Karena demokrasi Barat sudah menjadi tren global, banyak orang yang kemudian menyuarakan demokrasi sebagai sebuah sistem yang ideal dan tepat bagi suatu negara yang kemudian harus diikuti oleh setiap manusia. Ada yang berpendapat, dengan demokrasi suatu bangsa akan menjadi bangsa besar dan kuat. Ada sebagian kalangan yang menjadikan demokrasi bukan sekedar mekanisme pemilihan kepemimpinan tetapi sebagai jalan hidup.[4]

Gelombang besar demokrasi ini kemudian menarik kalangan Muslim untuk masuk kepusaran gelombang isu demokrasi tersebut. Supaya tidak dikatakan tertinggal dalam sistem demokrasi dan masuk bagian dari pergaulan global, banyak yang kemudian mengikuti konsep demokrasi tersebut tanpa mempertimbangkan dengan matang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah ajaran Islam dan nilai-nilai demokrasi selaras dan compatible. Bahkan terdapat pihak-pihak yang tidak setuju bahwa definisi demokrasi seringkali dirumuskan secara sempit dari sudut pandang Barat semata.

Tokoh besar pembaharuan  Islam Abul A’la Al-Maududi dengan tegas menentang konsep demokrasi Barat, yang menjadikan kedaulatan adalah mutlak ditangan rakyat. Penolakan Abul A’la Al-Maududi terhadap demokrasi Barat tidak hanya berdasarkan alasan teologis dan substansi demokrasi Barat, melainkan praktek demokrasi yang cenderung mudharat yang terjadi di negara India dan dunia Islam saat itu.[5]

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Demokrasi Sebagai System Politik Barat

Istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau goverment by the people. Demokrasi selalu diasosiasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu gagasan penting yang menjadi dasar kaum liberal dan sekuler adalah gagasan mengenai demokrasi. Gagasan tersebut banyak mengambil nilai-nilai dari peradaban Barat yang liberal dan sekuler. Peradaban Barat dalam keyakinanya bisa mencapai kesuksesan dan kemajuan material adalah karena menggunakan kebebasan dan menjadikan demokrasi sebagai sistem kenegaraan.[6]

Semua model demokrasi modern berpangkal pada gagasan kebebasan sebagai sendi utama. Ada tiga unsur penting di dalam sistem demokrasi Barat. Pertama, yang dimaksud dengan istilah rakyat atau bangsa dalam sistem demokrasi modern, seperti yang dikenal di dunia Barat adalah rakyat yang terbatas pada lingkup teretorial geografis yang hidup pada suatu daerah tertentu dan disatukan dengan ikatan-ikatan darah, ras, bahasa dan tradisi yang sama. Artinya adalah demokrasi secara pasti dipengarui pemikiran nasionalisme dan rasialisme yang dipenuhi oleh kecenderungan fanatisme kelompok. Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern adalah untuk kepentingan materi atau dunia. Demokasi Barat berpretensi untuk mewujudkan kebahagiaan umat atau suatu bangsa dengan menyediakan kebutuhan-kebutuhan di dunia. Ketiga, Kekuasaan rakyat dalam demokrasi Barat adalah mutlak. Rakyat adalah sumber kebenaran dan secara penuh memegang kedaulatan.[7]

Selain unsur-unsur tersebut di atas, demokrasi Barat juga menganut prinsip-prinsip yang sangat fundamental.

1.    Kebebasan Individual (individual freedom).

2.    Kontrak Sosial.

3.    Menganut prinsip masyarakat pasar bebas (free market society).

4.    Demokrasi Liberal, yakni mengakui eksistensi pluralitas sosio-kultural dan politik masyarakat.[8]

Substansi hak-hak asasi dalam masyarakat demokratis adalah hak politik (demokrasi politik, mengenai hubungan negara dengan masyarakat), hak sipil (demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi, mengenai hubungan elite dengan masa), dan hak aktualisasi diri (demokrasi budaya dan demokrasi agama, mengenai hubungan negara dengan warga negara, serta hubungan antar warga negara).[9]

Penting untuk dipahami dalam membedakan demokrasi sebagai suatu metode untuk membentuk suatu sistem politik atau suatu proses untuk membuat keputusan-keputusan kolektif. Demokrasi Barat adalah suatu kombinasi dari sistem politik demokrasi dan ideologi politik yang liberal yang menekankan hak-hak dan nilai-nilai tertentu seperti kepemilikan pribadi, kebebasan negatif, individualisme dan toleransi. Barat dalam konteks ini adalah bukan arah suatu letak geografis melainkan adalah suatu peradaban besar, kuat dan sangat berpengaruh dalam kehidupan di dunia saat ini. Dalam sistem demokrasi Barat seorang individu akan mendapat perlindungan dari tindakan sewenang-wenang pejabat atau penguasa pemerintah.[10]

 

B.  Teori Kedaulatan

Kata daulat dan kedaulatan berasal dari bahasa Arab yang berasal dari akar kata daulat yang dalam makna klasiknya berarti rezim politik atau kekuasaan. Kata daulat mencakup dua pengertian pengertian tentang dinamika kekuasaan dibidang politik dan ekonomi sekaligus. Istilah ini masuk ke dalam kosakata Indonesia melalui akulturasinya dengan sistem politik di kerajaan-kerajaan nusantara, sehingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia para pendiri negara kita biasa menggunakan istilah daulat rakyat dan daulat tuanku.[11]

Kedaulatan mengandung pengertian sebagai kekuasaan mutlak dan tertinggi yang berada dalam suatu negara. Jean Bodin berpendapat bahwa kekuasaan mutlak dan tertinggi merupakan hal yang penting bagi sebuah negara dalam rangka mengatur seluruh warga negara atau orang lain di dalam wilayahnya. Berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki penguasa yang karena diperoleh dalam kurun waktu tertentu, maka kekuasaan tertinggi itu tidak dapat disebut sebagai kedaulatan. Penguasa hanyalah sebuah alat untuk melaksanakan kehendak dari pihak yang memberikan kekuasaan terhadapnya. Teori Kedaulatan digagas oleh Jean Bodin menjadi batu pijakan bagi terbentuknya gagasan demokrasi Modern. Pemikirannya dianggap sebagai cikal bakal gagasan negara-kebangsaan (nation-state) dengan kekuasaan dan kedaulatan yang berpusat pada sang raja.[12]

Kedaulatan adalah persoalan terkait dimana letak kekuasaan tertinggi atau siapa yang memimpin atau berdaulat, dalam sistem demokrasi kedaulatan adalah ditangan rakyat. Sedangkan di dalam konsep theo demokrasi kedaulatan berada ditangan Tuhan yang direpresentasikan di dalam syariah. Inti perdebatan di dalam demokrasi dan Islam adalah dimana letak kekuasaan (siapa pemimpin) atau yang berdaulat. Dengan menggunakan teori kedaulatan dapat diketahui dimana letak perbedaan dan persamaan antara demokrasi dan theo demokrasi.

Dalam perkembanganya ilmu hukum dikenal adanya lima teori kedaulatan. Teori kedaulatan Tuhan, Teori kedaulatan Negara, Teori kedaulatan Raja, Teori kedaulatan Hukum, dan Teori kedaulatan Rakyat.[13]

1.    Teori Kedaulatan Tuhan

Teori kedaulatan Tuhan adalah kekuasaan tertinggi dalam negara berasal dari Tuhan. Raja atau penguasa negara mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan sehingga kehendak raja atau penguasa merupakan kehendak Tuhan. Teori ini menganggap bahwa Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.[14] Teori ini menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim memiliki wewenang mutlak untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.[15]

2.    Teori Kedaulatan Raja

Teori kedaulatan Raja adalah merupakan perwujudan dari teori kedaulatan Tuhan. Kekuasaan tertinggi di tangan raja atau penguasa. Raja dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan di bumi yang mendapat kekuasaan langsung dari Tuhan sehingga kekuasaannya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Teori ini beranggapan bahwa rajalah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Raja bahkan dianggap sebagai pemimpin suci yang dipilih seperti pandangan Romawi Kuno sebagai pemegang kedaulatan untuk menciptakan hukum dan sekaligus melaksanakanya.[16]

3.    Teori Kedaulatan Negara

Teori kedaulatan Negara adalah kekuasaan pemerintahan berdasar dari sumber kedaulatan Negara. Karena sumber kedaulatan dari Negara, maka segera dianggap memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan kekuasaan itu diserahkan kepada Raja atas nama Negara. Negara berhak membuat aturan hukum, negara tidak wajib tunduk terhadap hukum. Teori ini reaksi terhadap kesewenang-wenang Raja yang muncul bersamaan dengan timbulnya konsep negara-bangsa dalam pengalaman sejarah Eropa. Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang diperintah oleh raja yang sekaligus memegang kekuasaan sebagai kepala Gereja.[17]

 

4.    Teori kedaulatan hukum

Teori kedaulatan Hukum adalah teori kedaulatan yang menekankan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara terletak pada hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pelaksanaan pemerintah dibatasi oleh norma sehingga tidak bersifat absolut. Semua tindakan penyelenggara negara dan rakyat harus berdasarkan hukum yang berlaku. Teori ini menganggap bahwa negara itu sesungguhnya tidaklah memegang kedaulatan. Sumber kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk pada hukum.[18]

5.    Teori kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan Rakyat yang menyakini bahwa sesungguhnya berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah. Kedaulatan rakyat adalah salah satu unsur penting dalam demokrasi Barat. Kedaulatan rakyat sendiri merupakan suatu konsep ketatanegaraan yang dianut banyak negara. Jenis teori kedaulatan yang dianut suatu negara biasanya dapat diamati dari dasar negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem hukumnya.[19]

 

C.  Demokrasi Barat dan Politik Islam

1.      Teory Politik Barat

Terdapat dua teori modern tentang negara yang saling bertentangan yaitu teori Hegel dan teori Karl Marx. Teori Hegel mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci (devide idea) di muka bumi, di mana setiap warga negara dapat mengidentifikasi martabatnya, statusnya, dan arah kehidupanya. Teori Hegel ini menerangkan bahwa Negara merupakan inkarnasi ide suci dan karenanya negara berada di atas segala-galanya. Makin kuat suatu negara makin baik para warganya. Dengan demikian warga negara harus menyerahkan seluruh dedikasinya kepada negara. Dapat disimpulkan konsep Hegel adalah negara menjadi aparat yang didewakan yang berhak menuntut apapun dari para warganya. Karena itu negara bersifat absolut yang dimensi kekuasaanya melampaui hak-hak transendental individu.[20]

Konsep teori Karl Marx adalah negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin penindasan, tirani atau ekploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan para pekerja. Tidak aneh jika kita temukan dalam khazanah Marxisme konsep mengenai layunya negara setelah terjadi revolusi sosialis. Artinya setelah terjadinya revolusi sosialis akan terbentuk kediktatoran proletariat dan kemudian melalui kekuasaan kaum proletar itu perbedaan kelas dapat dimusnakan sampai terwujud masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas inilah negara sebagai aparat penindas kelas kapitalis akan layu dengan sendirinya dan akan lenyap untuk selama-lamanya.[21]

Bagi karl marx ekspresi kehidupan beragama pada dasarnya merupakan exspresi kehidupan sosial. Agama adalah keluh kesah warga masyarakat yang tertindas. Agama adalah candu masyarakat yang hanya akan memberikan penenang sementara, tetapi tidak mampu membongkar dan menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan. Oleh karena itu, sisi positif agama adalah kemampuan memberikan ketenangan dan daya tahan sementara dalam menghadapi kenyataan sosial yang getir dengan harapan nantinya akan mendapatkan kompensasi di hari kemudian (surga) di mana kesengsaraan akan lenyap selama-lamanya.[22]

 

2.      Teory Politik Islam

Islam memiliki prinsip-prinsip yang sangat fundamental sebagai dasar membangun sistem politik yang kuat berdasarkan al-Qur’an dan Hadis. Terdapat tiga prinsip yang fundamental menurut Abul A’la Al-Maududi:

1.    Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia termasuk kehidupan politik. Islam terdapat pula sistem politik yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.

2.    Kekuasaan tertinggi yang sering disebut kedaulatan, dalam Islam hanyalah milik Allah SWT. Umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah di bumi. Dengan demikian tidak dibenarkan gagasan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan mutlak.

3.    Sistem politik Islam adalah suatu sistem yang universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.[23]

Menurut teori Politik Islam, kedaulatan adalah berada di tangan Allah SWT. Hanya Allah SWT yang memberi hukum tidak ada seorangpun sekalipun Rasul, yang berhak memerintah orang lain sekehendak hatinya sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Teori politik Islam menyatakan bahwa iman terhadap keesaan dan kekuasaan Allah SWT merupakan landasan sistem sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul. Dari sini filsafat politik Islam mengambil titik pijak. Prinsip dasar Islam adalah bahwa manusia, baik secara individual maupun kelompok harus menyerahkan semua hak atas kekuasaan, legislasi serta penguasaan atas sesamanya. Tidak seorangpun yang diperkenankan memberi perintah atau aturan-aturan sekehendaknya sendiri dan tidak seorangpun yang diperkenankan untuk mengakui kwajiban untuk melaksanakan perintah atau aturan seperti ini. Tidak seorang pun yang diberi hak istimewa untuk membuat undang-undang yang telah dibentuk dengan cara seperti itu. Hak ini adalah hanya milik Allah SWT.  Prinsip dalam teori politik Islam antara lain adalah:

1.    Tidak ada orang, kelompok bahkan seluruh penduduk suatu negara dapat melakukan klaim atas kedaulatan. Hanya Allah SWT yang memegang kedaulatan dalam arti sebenarnya. Seluruh manusia hanyalah pelaksana Kedaulatan tuhan.

2.    Tuhan adalah pencipta hukum sebenarnya, sehingga hanya Allah SWT yang berhak membuat legislasi secara mutlak. Manusia diperkenankan membuat legislasi itu sepanjang tidak bertentangan dengan legislasi dasar yang berasal dari wahyu. Secara demikian kita tidak dapat melakukan modifikasi atas hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan, walaupun rencana modifikasi itu disetujui secara aklamasi oleh seluruh anggota perwakilan rakyat misalnya.

3.    Suatu perintah yang menjalankan peraturan-peraturan dasar dari Tuhan sebagaimana diterangkan oleh nabinya wajib memperoleh ketaatan rakyat, karena pemerintahan seperti itu pada prinsipnya bertindak sebagai badan politik yang memberlakukan peraturan-peraturan Tuhan.[24]

        Dalam demokrasi Barat kedaulatan tertinggi mutlak ditangan rakyat, artinya bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan tertinggi dalam negara. Bahkan keputusan – keputusan mayoritas tersebut dapat mengesampingkan kehendak Allah SWT.[25] Berbeda dengan demokrasi Islam, dalam demokrasi Islam Tuhan sebagai satu-satunya zat yang berkuasa memberi hukum dan memberikan prinsip-prinsip pokok otoritas. Semua hukum dan adat kebiasaan yang berbeda dengan petunjuk Allah SWT harus ditinggalkan. Semua teori atau ajaran yang tidak mengacu pada petunjuk Allah SWT dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membuat Tuhan selain daripada Allah SWT. Tunduk dan patuh kepada Tuhan berati membawa seantero hidup manusia ini sesuai dengan kehendak Allah SWT yang diwahyukan.[26]

 

D.  Tujuan Negara Menurut Islam

Islam adalah agama yang mengandung aspek individual dan aspek sosial. Negara adalah bagian dari aspek sosial dalam kehidupan beragama di dalam Islam. Ketika seseorang menjalankan Islam, maka orang tersebut akan menyangkut persoalan publik. Diantara masalah publik itu adalah negara. Tidak dibenarkan umat Islam meletakan agama disatu sisi dan negara disisi lain. Negara terkait erat dengan agama dan tidak ada pemisahan. Antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena dalam ajaran agama Islam terkandung aturan-aturan hidup yang tidak hanya mengandung ajaran yang terkait dengan permasalahan ibadah saja. Islam terdapat juga bahasan tentang keduniawian termasuk urusan politik dan kenegaraan.

Abul A’la Al-Maududi menjelaskan beberapa tujuan diselenggarakan Negara:

1.    Untuk mencegah terjadinya eksploitasi antar manusia, antar kelompok atau antar kelas dalam masyarakat.

2.    Untuk memelihara kebebasan ekonomi, politik, pendidikan dan agama para warga negara dan melindungi seluruh warga negara dan intervensi asing.

3.    Untuk menegakkan sistem keadilan sosial yang seimbang sebagaimana dikehendaki dalam al-Qur’an.

4.    Untuk memberantas setiap kejahatan dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan di dalam Al-Qur’an.

5.    Menjadikan negara tersebut sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.[27]

Pembentukan negara dalam Islam adalan bagian misi Islam yang agung dan satu kewajiban agama untuk membangun negara dengan adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan nilai-nilai agama. Negara yang sudah dibangun perlu dipelihara eksistensinya tetapi tidak boleh negara itu kemudian di Tuhankan atau di dewa-dewakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

            Politik ala barat berbeda jauh dengan politik ala Islam. Demokrasi yang diagung-agungkan banyak kalangan menyerahkan sepenuhnya keputusan ditangan rakyat dalam kalimatnya, namun yang memutuskan tetaplah para pemilik kepentingan yang mengaku mewakili rakyat, padahal rakyat tidak pernah mengingin apa yang dibuat oleh pemimpin pilihan rakyat dan wakil rakyat tersebut. Pemimpin membuat kebijakan sesuai kepentingannya, nama rakyat yang dijual untuk berbagai kepentingan itu.

            Islam memiliki system politik yang mirip dengan demokrasi dalam hal musyawarah, bahkan sebagian cendikiawan menganggap demokrasi itu system Islam. Namun pada kenyataannya tidak. dalam Islam kedaulatan tertinggi ada ditangan Allah. Berbeda dengan demokrasi yang kedaulatan berada ditangan rakyat. Semua hasil musyawarah majlis syura (DPR) atau keputusan Amir (pemimpin) tidak boleh bertentangan dengan ketetapan Allah didalam Al-Quran dan Hadis. Jika bertentangan maka kebijakan dan hukum yang dibuat pemimpin batal dengan sendirinya. Sedangkan untuk kebijakan dan hukum yang tidak ada ketentuan yang jelas didalam Nash, itulah yang boleh dimusyawarahkan dengan mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya dari berbagai sisi, terutama dari sisi agama dan kemanusiaan.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : BIP

_______, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Korstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru.

A’la Al-Maududi, Abul, 1988, Khilafah dan Kerajaan ( terj. Muhammad al-Baqir), Bandung: Mizan.

Budiardjo, Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hasan, Fuad, 1996, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya.

Hidayat, Komaruddin, 1994,Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi, Jakarta: Paramadina.

Husaini, Adian, 2009, Menimbang Kembali Konsep Demokratis, Akademika, Vol. 4, No. 1, November 2009, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ibrahim Khadar, Lathifah, 2005, Barat Memfitnah Islam, Jakarta: Gema Insani.

Ihza Mahendra, Yusril, 1999, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik

Islam, Jakarta: Paramadina.

Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan.

Kamaruzzaman, 2001, Relasi Islam dan Negara: Perspetif Modernisme dan Fundamentalisme, Magelang: Indonesiatera

Mukti Ali, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan.

Muslim dan Naafisah, 2013, Teori-Teori Demokrasi,Bandung: Pustaka Setia.

Mustaqim, Abdul, 2002, “Mendialogkan Islam dan Demokrasi: Persimpangan Doktrin dan Implementasi”, Profetika, Vol.4, No.2 Juli 2002, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Purnama, Eddy, 2007,Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Pebandingannya dengan Negara Lain, Bandung: Nusamedia.

Rais, Dhiauddin, 2011, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press.

Suhelmi, Ahmad, 2001, Pemikir Politik Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sjadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Vaezi, Ahmed, 2006, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra.

 



[1]Abdul Mustaqim, 2002, “Mendialogkan Islam dan Demokrasi: Persimpangan Doktrin dan Implementasi”, Profetika, Vol.4, No.2 Juli 2002, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 202.

[2] Muslim Mufti dan Didah Durrotun Naafisah, 2013, Teori-Teori Demokrasi,Bandung: Pustaka Setia, hlm.49.

[3]  Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.105.

[4] Adian Husaini, 2009, Menimbang Kembali Konsep Demokratis, Akademika, Vol. 4, No. 1, November 2009, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm.7.

[5] Kamaruzzaman, 2001, Relasi Islam dan Negara: Perspetif Modernisme dan Fundamentalisme, Magelang: Indonesiatera, h.77-78

[6] Lathifah Ibrahim Khadar, 2005, Barat Memfitnah Islam, Jakarta: Gema Insani, hlm.99.

[7] 23 Dhiauddin Rais, 2011, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 309-311

[8] Ahmad Suhelmi, 2001, Pemikir Politik Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, h. 295.

[9] Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, h. 91.

[10] Ahmed Vaezi, 2006, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, h. 201.

[11]Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : BIP, h. 143.

[12]Fuad Hasan, 1996, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya, h.73.

[13]Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, h. 143.

[14]Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta: Muhammadiyah University Press, h. 26

[15]Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Korstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, h. 9-10.

[16] Aidul Fitriciada Azhari, Op. Cit, h. 28

[17] Aidul Fitriciada Azhari, Op. Cit, h. 29

[18] Aidul Fitriciada Azhari, Op. Cit, h. 29

[19]Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Pebandingannya dengan Negara Lain, (Bandung: Nusamedia, 2007), h. 9.

 

[20] Ahmad Suhelmi, Op. Ci , h. 258.

[21] Ahmad Suhelmi, Op. Ci , h. 275.

[22]Komaruddin Hidayat, 1994,Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi, Jakarta: Paramadina,  h.190

[23] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, h.166.

[24]Abul A’la Al-Maududi, 1988, Khilafah dan Kerajaan ( terj. Muhammad al-Baqir), Bandung: Mizan,. h. 22.

[25]Yusril Ihza Mahendra, 1999, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, Jakarta: Paramadina, h. 245.

 

[26] Mukti Ali, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, h. 244.

[27] Abul A’la Al-Maududi. Op. Cit, h. 33.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar