BAB I
PENDAHULUAN
Wacana politik demokrasi dan Islam sering
diwarnai pro dan kontra, wacana tersebut selalu menarik untuk diperbincangkan
meskipun umat Islam sebenarnya tidak pernah sepakat dengan maknanya. Hal ini
tampak dari panggung politik kontemporer, semakin banyak gerakan-gerakan Islam
melibatkan diri dalam isu demokratisasi dan civil society. Hubungan
antara demokrasi dan Islam saat ini begitu kompleks. Sistem demokrasi Barat
dalam perkembanganya menjadi pilihan negara-negara berkembang karena diyakini
sebagai sistem politik yang menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia.[1]
Gelombang politik demokrasi Barat telah meluas
keberbagai negara, termasuk negara-negara yang berpenduduk muslim. Sejak tahun
1790 hanya terdapat tiga negara yang menganut sistem demokrasi liberal antara
lain negara Amerika Serikat, Swiss, dan Perancis. Pada tahun 1848 jumlahnya
berkembang menjadi lima negara, tahun 1900 berjumlah tiga belas negara, tahun
1919 berjumlah dua puluh lima negara, tahun 1940 berkembang jumlahnya menjadi
tiga belas negara, tahun 1960 berjumlah tiga puluh enam negara, dan pada tahun
1990 berjumlah enam puluh satu negara.
Survei
terhadap demokrasi yang dilakukan pada tahun 1939, negara yang sudah demokratis
sejumlah 12 negara. Antara lain Kanada, Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Irlandia,
Prancis, Inggris, Netherland, Norwegia, Swedia, dan Switzerland.[2]
Menurut penelitian yang dilakukan UNESCO pada tahun 1949 menyatakan untuk
pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik
dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan
oleh pendukung-pendukungnya yang sangat berpengaruh.[3]
Seolah tidak ingin diberi label anti
demokrasi, banyak kalangan Muslim yang kemudian menyatakan bahwa Islam sudah
sesuai dengan demokrasi Barat. Karena demokrasi Barat sudah menjadi tren
global, banyak orang yang kemudian menyuarakan demokrasi sebagai sebuah sistem
yang ideal dan tepat bagi suatu negara yang kemudian harus diikuti oleh setiap
manusia. Ada yang berpendapat, dengan demokrasi suatu bangsa akan menjadi
bangsa besar dan kuat. Ada sebagian kalangan yang menjadikan demokrasi bukan
sekedar mekanisme pemilihan kepemimpinan tetapi sebagai jalan hidup.[4]
Gelombang besar demokrasi ini kemudian menarik
kalangan Muslim untuk masuk kepusaran gelombang isu demokrasi tersebut. Supaya
tidak dikatakan tertinggal dalam sistem demokrasi dan masuk bagian dari
pergaulan global, banyak yang kemudian mengikuti konsep demokrasi tersebut
tanpa mempertimbangkan dengan matang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Banyak pihak yang mempertanyakan apakah ajaran Islam dan nilai-nilai demokrasi
selaras dan compatible. Bahkan terdapat pihak-pihak yang tidak setuju
bahwa definisi demokrasi seringkali dirumuskan secara sempit dari sudut pandang
Barat semata.
Tokoh besar pembaharuan Islam Abul A’la Al-Maududi dengan tegas
menentang konsep demokrasi Barat, yang menjadikan kedaulatan adalah mutlak
ditangan rakyat. Penolakan Abul A’la Al-Maududi terhadap demokrasi Barat tidak
hanya berdasarkan alasan teologis dan substansi demokrasi Barat, melainkan
praktek demokrasi yang cenderung mudharat yang terjadi di negara India
dan dunia Islam saat itu.[5]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi Sebagai System Politik Barat
Istilah demokrasi yang menurut asal kata
berarti rakyat berkuasa atau goverment by the people. Demokrasi selalu
diasosiasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Salah satu gagasan penting yang menjadi dasar kaum liberal dan sekuler adalah
gagasan mengenai demokrasi. Gagasan tersebut banyak mengambil nilai-nilai dari
peradaban Barat yang liberal dan sekuler. Peradaban Barat dalam keyakinanya
bisa mencapai kesuksesan dan kemajuan material adalah karena menggunakan
kebebasan dan menjadikan demokrasi sebagai sistem kenegaraan.[6]
Semua model demokrasi modern berpangkal pada
gagasan kebebasan sebagai sendi utama. Ada tiga unsur penting di dalam sistem
demokrasi Barat. Pertama, yang dimaksud dengan istilah rakyat atau
bangsa dalam sistem demokrasi modern, seperti yang dikenal di dunia Barat
adalah rakyat yang terbatas pada lingkup teretorial geografis yang hidup pada
suatu daerah tertentu dan disatukan dengan ikatan-ikatan darah, ras, bahasa dan
tradisi yang sama. Artinya adalah demokrasi secara pasti dipengarui pemikiran
nasionalisme dan rasialisme yang dipenuhi oleh kecenderungan fanatisme
kelompok. Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern adalah untuk kepentingan
materi atau dunia. Demokasi Barat berpretensi untuk mewujudkan kebahagiaan umat
atau suatu bangsa dengan menyediakan kebutuhan-kebutuhan di dunia. Ketiga,
Kekuasaan rakyat dalam demokrasi Barat adalah mutlak. Rakyat adalah sumber
kebenaran dan secara penuh memegang kedaulatan.[7]
Selain unsur-unsur tersebut di atas, demokrasi
Barat juga menganut prinsip-prinsip yang sangat fundamental.
1.
Kebebasan Individual (individual freedom).
2.
Kontrak Sosial.
3.
Menganut prinsip masyarakat pasar bebas (free
market society).
4.
Demokrasi Liberal, yakni mengakui eksistensi
pluralitas sosio-kultural dan politik masyarakat.[8]
Substansi hak-hak asasi dalam masyarakat
demokratis adalah hak politik (demokrasi politik, mengenai hubungan negara
dengan masyarakat), hak sipil (demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi, mengenai
hubungan elite dengan masa), dan hak aktualisasi diri (demokrasi budaya dan
demokrasi agama, mengenai hubungan negara dengan warga negara, serta hubungan
antar warga negara).[9]
Penting untuk dipahami dalam membedakan
demokrasi sebagai suatu metode untuk membentuk suatu sistem politik atau suatu
proses untuk membuat keputusan-keputusan kolektif. Demokrasi Barat adalah suatu
kombinasi dari sistem politik demokrasi dan ideologi politik yang liberal yang
menekankan hak-hak dan nilai-nilai tertentu seperti kepemilikan pribadi,
kebebasan negatif, individualisme dan toleransi. Barat dalam konteks ini adalah
bukan arah suatu letak geografis melainkan adalah suatu peradaban besar, kuat
dan sangat berpengaruh dalam kehidupan di dunia saat ini. Dalam sistem
demokrasi Barat seorang individu akan mendapat perlindungan dari tindakan
sewenang-wenang pejabat atau penguasa pemerintah.[10]
B. Teori Kedaulatan
Kata daulat dan kedaulatan berasal dari bahasa
Arab yang berasal dari akar kata daulat yang dalam makna klasiknya
berarti rezim politik atau kekuasaan. Kata daulat mencakup dua pengertian
pengertian tentang dinamika kekuasaan dibidang politik dan ekonomi sekaligus.
Istilah ini masuk ke dalam kosakata Indonesia melalui akulturasinya dengan
sistem politik di kerajaan-kerajaan nusantara, sehingga menjelang kemerdekaan
Republik Indonesia para pendiri negara kita biasa menggunakan istilah daulat
rakyat dan daulat tuanku.[11]
Kedaulatan mengandung pengertian sebagai
kekuasaan mutlak dan tertinggi yang berada dalam suatu negara. Jean Bodin
berpendapat bahwa kekuasaan mutlak dan tertinggi merupakan hal yang penting
bagi sebuah negara dalam rangka mengatur seluruh warga negara atau orang lain
di dalam wilayahnya. Berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki penguasa yang
karena diperoleh dalam kurun waktu tertentu, maka kekuasaan tertinggi itu tidak
dapat disebut sebagai kedaulatan. Penguasa hanyalah sebuah alat untuk
melaksanakan kehendak dari pihak yang memberikan kekuasaan terhadapnya. Teori
Kedaulatan digagas oleh Jean Bodin menjadi batu pijakan bagi terbentuknya
gagasan demokrasi Modern. Pemikirannya dianggap sebagai cikal bakal gagasan
negara-kebangsaan (nation-state) dengan kekuasaan dan kedaulatan yang
berpusat pada sang raja.[12]
Kedaulatan adalah persoalan terkait dimana
letak kekuasaan tertinggi atau siapa yang memimpin atau berdaulat, dalam sistem
demokrasi kedaulatan adalah ditangan rakyat. Sedangkan di dalam konsep theo
demokrasi kedaulatan berada ditangan Tuhan yang direpresentasikan di dalam syariah.
Inti perdebatan di dalam demokrasi dan Islam adalah dimana letak kekuasaan
(siapa pemimpin) atau yang berdaulat. Dengan menggunakan teori kedaulatan dapat
diketahui dimana letak perbedaan dan persamaan antara demokrasi dan theo
demokrasi.
Dalam perkembanganya ilmu hukum dikenal adanya
lima teori kedaulatan. Teori kedaulatan Tuhan, Teori kedaulatan Negara, Teori
kedaulatan Raja, Teori kedaulatan Hukum, dan Teori kedaulatan Rakyat.[13]
1.
Teori Kedaulatan Tuhan
Teori
kedaulatan Tuhan adalah kekuasaan tertinggi dalam negara berasal dari Tuhan.
Raja atau penguasa negara mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan sehingga
kehendak raja atau penguasa merupakan kehendak Tuhan. Teori ini menganggap
bahwa Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.[14]
Teori ini menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau
menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim memiliki
wewenang mutlak untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.[15]
2.
Teori Kedaulatan Raja
Teori
kedaulatan Raja adalah merupakan perwujudan dari teori kedaulatan Tuhan.
Kekuasaan tertinggi di tangan raja atau penguasa. Raja dianggap keturunan dewa
atau wakil Tuhan di bumi yang mendapat kekuasaan langsung dari Tuhan sehingga
kekuasaannya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Teori ini beranggapan bahwa
rajalah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Raja bahkan
dianggap sebagai pemimpin suci yang dipilih seperti pandangan Romawi Kuno
sebagai pemegang kedaulatan untuk menciptakan hukum dan sekaligus
melaksanakanya.[16]
3.
Teori Kedaulatan Negara
Teori
kedaulatan Negara adalah kekuasaan pemerintahan berdasar dari sumber kedaulatan
Negara. Karena sumber kedaulatan dari Negara, maka segera dianggap memiliki
kekuasaan yang tidak terbatas dan kekuasaan itu diserahkan kepada Raja atas
nama Negara. Negara berhak membuat aturan hukum, negara tidak wajib tunduk
terhadap hukum. Teori ini reaksi terhadap kesewenang-wenang Raja yang muncul
bersamaan dengan timbulnya konsep negara-bangsa dalam pengalaman sejarah Eropa.
Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang
diperintah oleh raja yang sekaligus memegang kekuasaan sebagai kepala Gereja.[17]
4.
Teori kedaulatan hukum
Teori kedaulatan Hukum adalah teori kedaulatan
yang menekankan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara terletak pada hukum,
baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pelaksanaan pemerintah dibatasi oleh
norma sehingga tidak bersifat absolut. Semua tindakan penyelenggara negara dan
rakyat harus berdasarkan hukum yang berlaku. Teori ini menganggap bahwa negara
itu sesungguhnya tidaklah memegang kedaulatan. Sumber kekuasaan tertinggi
adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk pada hukum.[18]
5.
Teori kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan Rakyat yang menyakini bahwa
sesungguhnya berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat
merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah. Kedaulatan
rakyat adalah salah satu unsur penting dalam demokrasi Barat. Kedaulatan rakyat
sendiri merupakan suatu konsep ketatanegaraan yang dianut banyak negara. Jenis
teori kedaulatan yang dianut suatu negara biasanya dapat diamati dari dasar
negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem hukumnya.[19]
C. Demokrasi Barat dan Politik Islam
1. Teory Politik Barat
Terdapat
dua teori modern tentang negara yang saling bertentangan yaitu teori Hegel dan
teori Karl Marx. Teori Hegel mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide
suci (devide idea) di muka bumi, di mana setiap warga negara dapat
mengidentifikasi martabatnya, statusnya, dan arah kehidupanya. Teori Hegel ini
menerangkan bahwa Negara merupakan inkarnasi ide suci dan karenanya negara
berada di atas segala-galanya. Makin kuat suatu negara makin baik para
warganya. Dengan demikian warga negara harus menyerahkan seluruh dedikasinya
kepada negara. Dapat disimpulkan konsep Hegel adalah negara menjadi aparat yang
didewakan yang berhak menuntut apapun dari para warganya. Karena itu negara bersifat
absolut yang dimensi kekuasaanya melampaui hak-hak transendental individu.[20]
Konsep teori Karl Marx adalah negara pada
hakikatnya adalah aparat atau mesin penindasan, tirani atau ekploitasi kaum
pekerja oleh pemilik alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan pemegang
distribusi kekayaan yang mencelakakan para pekerja. Tidak aneh jika kita
temukan dalam khazanah Marxisme konsep mengenai layunya negara setelah terjadi
revolusi sosialis. Artinya setelah terjadinya revolusi sosialis akan terbentuk
kediktatoran proletariat dan kemudian melalui kekuasaan kaum proletar itu
perbedaan kelas dapat dimusnakan sampai terwujud masyarakat tanpa kelas. Dalam
masyarakat tanpa kelas inilah negara sebagai aparat penindas kelas kapitalis
akan layu dengan sendirinya dan akan lenyap untuk selama-lamanya.[21]
Bagi karl marx ekspresi kehidupan beragama
pada dasarnya merupakan exspresi kehidupan sosial. Agama adalah keluh kesah
warga masyarakat yang tertindas. Agama adalah candu masyarakat yang hanya akan
memberikan penenang sementara, tetapi tidak mampu membongkar dan menghilangkan
kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan. Oleh karena itu, sisi positif
agama adalah kemampuan memberikan ketenangan dan daya tahan sementara dalam
menghadapi kenyataan sosial yang getir dengan harapan nantinya akan mendapatkan
kompensasi di hari kemudian (surga) di mana kesengsaraan akan lenyap
selama-lamanya.[22]
2.
Teory
Politik Islam
Islam memiliki prinsip-prinsip yang sangat
fundamental sebagai dasar membangun sistem politik yang kuat berdasarkan al-Qur’an
dan Hadis. Terdapat tiga prinsip yang fundamental menurut Abul A’la Al-Maududi:
1. Islam
adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua
segi kehidupan manusia termasuk kehidupan politik. Islam terdapat pula sistem
politik yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.
2. Kekuasaan
tertinggi yang sering disebut kedaulatan, dalam Islam hanyalah milik Allah SWT.
Umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai
khalifah-khalifah di bumi. Dengan demikian tidak dibenarkan gagasan kedaulatan
rakyat sebagai kekuasaan mutlak.
3. Sistem
politik Islam adalah suatu sistem yang universal dan tidak mengenal batas-batas
dan ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.[23]
Menurut teori Politik Islam, kedaulatan adalah
berada di tangan Allah SWT. Hanya Allah SWT yang memberi hukum tidak ada
seorangpun sekalipun Rasul, yang berhak memerintah orang lain sekehendak
hatinya sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Teori politik Islam
menyatakan bahwa iman terhadap keesaan dan kekuasaan Allah SWT merupakan
landasan sistem sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul. Dari sini
filsafat politik Islam mengambil titik pijak. Prinsip dasar Islam adalah bahwa
manusia, baik secara individual maupun kelompok harus menyerahkan semua hak
atas kekuasaan, legislasi serta penguasaan atas sesamanya. Tidak seorangpun
yang diperkenankan memberi perintah atau aturan-aturan sekehendaknya sendiri
dan tidak seorangpun yang diperkenankan untuk mengakui kwajiban untuk
melaksanakan perintah atau aturan seperti ini. Tidak seorang pun yang diberi
hak istimewa untuk membuat undang-undang yang telah dibentuk dengan cara
seperti itu. Hak ini adalah hanya milik Allah SWT. Prinsip dalam teori politik Islam antara lain
adalah:
1. Tidak
ada orang, kelompok bahkan seluruh penduduk suatu negara dapat melakukan klaim
atas kedaulatan. Hanya Allah SWT yang memegang kedaulatan dalam arti
sebenarnya. Seluruh manusia hanyalah pelaksana Kedaulatan tuhan.
2. Tuhan
adalah pencipta hukum sebenarnya, sehingga hanya Allah SWT yang berhak membuat
legislasi secara mutlak. Manusia diperkenankan membuat legislasi itu sepanjang
tidak bertentangan dengan legislasi dasar yang berasal dari wahyu. Secara
demikian kita tidak dapat melakukan modifikasi atas hukum yang telah ditetapkan
oleh Tuhan, walaupun rencana modifikasi itu disetujui secara aklamasi oleh
seluruh anggota perwakilan rakyat misalnya.
3. Suatu
perintah yang menjalankan peraturan-peraturan dasar dari Tuhan sebagaimana
diterangkan oleh nabinya wajib memperoleh ketaatan rakyat, karena pemerintahan
seperti itu pada prinsipnya bertindak sebagai badan politik yang memberlakukan
peraturan-peraturan Tuhan.[24]
Dalam
demokrasi Barat kedaulatan tertinggi mutlak ditangan rakyat, artinya bahwa
rakyat adalah sumber kekuasaan tertinggi dalam negara. Bahkan keputusan –
keputusan mayoritas tersebut dapat mengesampingkan kehendak Allah SWT.[25]
Berbeda dengan demokrasi Islam, dalam demokrasi Islam Tuhan sebagai
satu-satunya zat yang berkuasa memberi hukum dan memberikan prinsip-prinsip
pokok otoritas. Semua hukum dan adat kebiasaan yang berbeda dengan petunjuk
Allah SWT harus ditinggalkan. Semua teori atau ajaran yang tidak mengacu pada
petunjuk Allah SWT dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membuat Tuhan
selain daripada Allah SWT. Tunduk dan patuh kepada Tuhan berati membawa
seantero hidup manusia ini sesuai dengan kehendak Allah SWT yang diwahyukan.[26]
D. Tujuan Negara Menurut Islam
Islam adalah agama yang mengandung aspek
individual dan aspek sosial. Negara adalah bagian dari aspek sosial dalam
kehidupan beragama di dalam Islam. Ketika seseorang menjalankan Islam, maka
orang tersebut akan menyangkut persoalan publik. Diantara masalah publik itu
adalah negara. Tidak dibenarkan umat Islam meletakan agama disatu sisi dan
negara disisi lain. Negara terkait erat dengan agama dan tidak ada pemisahan.
Antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena dalam ajaran agama
Islam terkandung aturan-aturan hidup yang tidak hanya mengandung ajaran yang terkait
dengan permasalahan ibadah saja. Islam terdapat juga bahasan tentang
keduniawian termasuk urusan politik dan kenegaraan.
Abul A’la Al-Maududi menjelaskan beberapa
tujuan diselenggarakan Negara:
1.
Untuk mencegah terjadinya eksploitasi antar
manusia, antar kelompok atau antar kelas dalam masyarakat.
2.
Untuk memelihara kebebasan ekonomi, politik,
pendidikan dan agama para warga negara dan melindungi seluruh warga negara dan
intervensi asing.
3.
Untuk menegakkan sistem keadilan sosial yang
seimbang sebagaimana dikehendaki dalam al-Qur’an.
4.
Untuk memberantas setiap kejahatan dan
mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan di dalam
Al-Qur’an.
5.
Menjadikan negara tersebut sebagai tempat
tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan
pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.[27]
Pembentukan
negara dalam Islam adalan bagian misi Islam yang agung dan satu kewajiban agama
untuk membangun negara dengan adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan
nilai-nilai agama. Negara yang sudah dibangun perlu dipelihara eksistensinya
tetapi tidak boleh negara itu kemudian di Tuhankan atau di dewa-dewakan.
BAB
III
KESIMPULAN
Politik
ala barat berbeda jauh dengan politik ala Islam. Demokrasi yang
diagung-agungkan banyak kalangan menyerahkan sepenuhnya keputusan ditangan
rakyat dalam kalimatnya, namun yang memutuskan tetaplah para pemilik
kepentingan yang mengaku mewakili rakyat, padahal rakyat tidak pernah mengingin
apa yang dibuat oleh pemimpin pilihan rakyat dan wakil rakyat tersebut.
Pemimpin membuat kebijakan sesuai kepentingannya, nama rakyat yang dijual untuk
berbagai kepentingan itu.
Islam
memiliki system politik yang mirip dengan demokrasi dalam hal musyawarah,
bahkan sebagian cendikiawan menganggap demokrasi itu system Islam. Namun pada
kenyataannya tidak. dalam Islam kedaulatan tertinggi ada ditangan Allah. Berbeda
dengan demokrasi yang kedaulatan berada ditangan rakyat. Semua hasil musyawarah
majlis syura (DPR) atau keputusan Amir (pemimpin) tidak boleh bertentangan
dengan ketetapan Allah didalam Al-Quran dan Hadis. Jika bertentangan maka
kebijakan dan hukum yang dibuat pemimpin batal dengan sendirinya. Sedangkan
untuk kebijakan dan hukum yang tidak ada ketentuan yang jelas didalam Nash,
itulah yang boleh dimusyawarahkan dengan mempertimbangkan manfaat dan
mudharatnya dari berbagai sisi, terutama dari sisi agama dan kemanusiaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta
: BIP
_______,
1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Korstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru.
A’la
Al-Maududi, Abul, 1988, Khilafah dan Kerajaan ( terj. Muhammad
al-Baqir), Bandung: Mizan.
Budiardjo,
Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hasan,
Fuad, 1996, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya.
Hidayat,
Komaruddin, 1994,Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi, Jakarta: Paramadina.
Husaini,
Adian, 2009, Menimbang Kembali Konsep Demokratis, Akademika, Vol.
4, No. 1, November 2009, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Ibrahim
Khadar, Lathifah, 2005, Barat Memfitnah Islam, Jakarta: Gema Insani.
Ihza
Mahendra, Yusril, 1999, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik
Islam, Jakarta:
Paramadina.
Kuntowijoyo,
1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan.
Kamaruzzaman,
2001, Relasi Islam dan Negara: Perspetif Modernisme dan Fundamentalisme,
Magelang: Indonesiatera
Mukti
Ali, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung:
Mizan.
Muslim
dan Naafisah, 2013, Teori-Teori Demokrasi,Bandung: Pustaka Setia.
Mustaqim,
Abdul, 2002, “Mendialogkan Islam dan Demokrasi: Persimpangan Doktrin dan
Implementasi”, Profetika, Vol.4, No.2 Juli 2002, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Purnama,
Eddy, 2007,Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan
Indonesia dan Pebandingannya dengan Negara Lain, Bandung: Nusamedia.
Rais,
Dhiauddin, 2011, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
Suhelmi,
Ahmad, 2001, Pemikir Politik Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sjadzali,
Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Vaezi,
Ahmed, 2006, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra.
[1]Abdul
Mustaqim, 2002, “Mendialogkan Islam dan Demokrasi: Persimpangan Doktrin dan
Implementasi”, Profetika, Vol.4, No.2 Juli 2002, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta, hlm. 202.
[2] Muslim Mufti dan Didah Durrotun Naafisah, 2013,
Teori-Teori Demokrasi,Bandung: Pustaka Setia, hlm.49.
[3] Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.105.
[4]
Adian Husaini, 2009, Menimbang Kembali
Konsep Demokratis, Akademika, Vol. 4, No. 1, November 2009, Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm.7.
[5] Kamaruzzaman, 2001, Relasi Islam dan
Negara: Perspetif Modernisme dan Fundamentalisme, Magelang: Indonesiatera,
h.77-78
[6] Lathifah
Ibrahim Khadar, 2005, Barat Memfitnah Islam, Jakarta: Gema Insani,
hlm.99.
[7] 23 Dhiauddin Rais, 2011, Teori Politik
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 309-311
[8]
Ahmad Suhelmi, 2001, Pemikir Politik Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, h. 295.
[9] Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat
Islam, Bandung: Mizan, h. 91.
[10] Ahmed Vaezi, 2006, Agama Politik: Nalar
Politik Islam, Jakarta: Citra, h. 201.
[11]Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : BIP, h. 143.
[12]Fuad
Hasan, 1996, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya, h.73.
[13]Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, h. 143.
[14]Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem
Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta: Muhammadiyah
University Press, h. 26
[15]Jimly
Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Korstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, h. 9-10.
[16] Aidul Fitriciada Azhari, Op. Cit, h. 28
[17] Aidul Fitriciada Azhari, Op. Cit, h.
29
[18] Aidul Fitriciada Azhari, Op. Cit, h.
29
[19]Eddy
Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan
Indonesia dan Pebandingannya dengan Negara Lain, (Bandung: Nusamedia,
2007), h. 9.
[20] Ahmad Suhelmi, Op. Ci , h. 258.
[21] Ahmad Suhelmi, Op. Ci , h. 275.
[22]Komaruddin
Hidayat, 1994,Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi, Jakarta:
Paramadina, h.190
[23] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata
Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, h.166.
[24]Abul
A’la Al-Maududi, 1988, Khilafah dan Kerajaan ( terj. Muhammad
al-Baqir), Bandung: Mizan,. h. 22.
[25]Yusril
Ihza Mahendra, 1999, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, Jakarta:
Paramadina, h. 245.
[26] Mukti
Ali, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung:
Mizan, h. 244.
[27] Abul
A’la Al-Maududi. Op. Cit, h. 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar